Pengaruh Perubahan Harga Input

telah dimulai sejak tahun 1960-an pada saat awal program Bimas sampai saat ini. Dalam lima tahun terakhir 2005-2009 secara besaran subsidi pupuk meningkat yaitu dari 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah. Namun, meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik Nuryartono, 2009. Seperti halnya diketahui bahwa subsidi harga pupuk yang diberikan kepada petani selama ini bersifat tidak langsung, yaitu petani membayar harga pupuk dibawah harga pasar. Harga yang dibayar petani tersebut biasa disebut harga eceran tertinggi HET. Selisih harga pasar dengan HET adalah subsidi, yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk. Oleh karena itu, modus subsidi harga pupuk semacam itu bisa disebut sebagai modus subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk Sudaryanto, 2001. Menurunnya subsidi pupuk terhadap suatu jenis pupuk tertentu yang menyebabkan HET Harga Eceran Tertinggi pupuk meningkat misalnya pupuk urea dan SP36, pada hakekatnya adalah sama dengan kenaikan harga pupuk urea dan SP36. Pada tahun 2005, HET pupuk urea dan SP36 masing-masing sebesar Rp 1 050kg dan Rp 1 400kg, kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp 1 200kg dan Rp 1 550kg. Bahkan didaerah-daerah yang jaraknya jauh dan biaya transportasi mahal, harga eceran pupuk selalu diatas HET. Secara teoritis meningkatnya harga pupuk akan menyebabkan berkurangnya jumlah pupuk yang digunakan. Menurunnya penggunaan jumlah pupuk yang digunakan produsen petani akan menyebabkan menurunnya output yang dihasilkan produsen. Hal ini juga berlaku bagi penggunaan input lainnya Just, et.al., 1982; Pindyck and Rubinfeld, 2005 Pada pasar output, bahwa kenaikan harga input menyebabkan biaya produksi meningkat. Pada tingkat harga output yang konstan, maka produsen petani akan menyesuaikan output yang dihasilkannya agar memperoleh keuntungan maksimum yaitu dengan mengurangi jumlah output yang diproduksi. .

3.8. Pengaruh Pengeluaran Riset dan Infrastruktur Jalan terhadap Produksi Jagung

Menurut Lipsey, et.al. 1984 bahwa terdapatnya inovasi atau teknologi baru hasil penelitian akan menurunkan biaya, sehingga keuntungan akan naik. Terdapatnya perubahan teknologi diduga akan berpengaruh terhadap alokasi relatif penggunaan faktor produksi. Peningkatan infrastruktur riset dan jalan dapat menyebabkan luas areal tanaman jagung meningkat. Selain itu, peningkatan infrastruktur tersebut juga dapat menyebabkan hasil per hektar jagung meningkat. Hasil penelitian Hartoyo 1994, bahwa peningkatan pengeluaran riset dan infrastruktur jalan memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan produksi pertanian pangan di Pulau Jawa. Perubahan teknologi mempunyai pengaruh terhadap daya substitutif dari sesuatu faktor produksi tertentu terhadap faktor produksi lain. Kemajuan biasanya diukur dengan banyaknya produksi yang dihasilkan dari faktor produksi yang digunakan Selanjutnya Hartoyo 1994 mengemukakan bahwa pengaruh riset atau infrastruktur terhadap penawaran dapat melalui perubahan luas areal atau perubahan hasil per hektar produktivitas. Menurut Morlok 1995 bahwa perbaikan pelayanan transportasi di suatu daerah, misalnya melalui peningkatan jaringan jalan yang baik, akan memberikan dampak dalam hal peningkatan pola tata guna lahan, kualitas area, dan nilai lahan di area tersebut. Oleh karena itu, pengembangan sarana seperti jaringan jalan dalam suatu wilayah merupakan langka awal untuk menerima dan memperlancar barangjasa sesuai dengan kebutuhan pada wilayah tersebut. 3.9. Daya Saing Komoditas Jagung Keunggulan komparatif merupakan indikator sangat baik untuk mengukur daya saing komoditas pertanian dari suatu negara jika pasar dalam kondisi efisien, yaitu pasar tanpa distorsi. Dari analisis keunggulan komparatif dapat diperoleh informasi lainnya yang sangat berguna bagi penentuan kebijaksanaan pemerintah, yaitu simpul-simpul atau subsistem-subsistem mana dalam sistem agribisnis yang masih dalam kondisi tidak efisien, sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah menuju proses produksi, pengolahan dan pemasaran yang lebih efisien. Daya saing didefinisikan sebagai “the sustained ability to profitability gain and maintained market share” Martin, et.al., 1991 dalam Rahman, et.al., 2002. Jelas bahwa usaha suatu komoditas mempunyai daya saing jika usaha tersebut mampu mempertahankan profitabilitasnya dan pangsa pasarnya. Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, input dan biaya, struktur industri dan kondisi permintaan. Selanjutnya menurut Martin, et.al., 2008 terdapat dua belas pilar dalam mendukung daya saing, yaitu: 1 kelembagaan yang ada, 2 infrastruktur, 3 stabilitas makroekonomi, 4 pendidikan dan kesehatan, 5 pelatihan dan pendidikan yang tinggi, 6 efisiensi pasar barang, 7 efisiensi pasar tenaga kerja, 8 pasar finansial yang memadai, 9 kesiapan