Adapun total anggaran penelitian dan pengembangan pertanian pada periode 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 13.17 persen per tahun, yaitu
dari 32.08 milyar pada tahun 1985 menjadi 737.67 milyar pada tahun 2009. Selanjutnya bila dilihat pangsa pengeluaran riset dan pengembangan jagung
terhadap total anggaran riset dan pengembangan pertanian selama periode waktu tersebut diatas mengalami penurunan sebesar 1.29 persen pertahun, yaitu
pangsanya dari 2.55 persen pada tahun 1985 kemudian menurun pangsanya menjadi 1.60 persen pada tahun 2009. Dengan demikian alokasi biaya riset dan
pengembangan jagung masih relatif rendah. Disisi lain bahwa target peningkatan produksi jagung nasional terus meningkat seiring dengan meningkatnya
kebutuhan jagung. Meskipun alokasi anggaran riset masih terbatas, akan tetapi riset jagung terus ditingkatkan dengan dukungan pihak swasta nasional dan
lembaga riset internasional. Meningkatnya pengeluaran riset dan pengembangan jagung diharapkan makin tinggi penciptaan teknologi untuk meningkatkan
produktivitas, yang selanjutnya dapat diintroduksikan terhadap para petani dan akan berdampak terhadap peningkatan produksi jagung nasional.
5.6.2. Infrastruktur Jalan
Jalan merupakan salah satu prasarana penting dalam transportasi darat. Hal ini karena fungsi strategis yang dimilikinya, yaitu sebagai penghubung antar satu
daerah dengan daerah lain. Jalan sebagai sentra penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran, sangat dirasakan manfaatnya dalam rangka
meningkatkan perekonomian suatu wilayah BPS, 2009. Data infrastruktur jalan dalam penelitian ini merupakan data panjang jalan yang terdapat di Provinsi Jawa
Timur dan Jawa Barat. Data panjang jalan yang ada pada setiap provinsi
merupakan penjumlahan panjang jalan menurut tingkat kewenangan pembinaannya, yaitu jalan kabupatenkota, jalan provinsi dan jalan Negara.
Menurut BPS 2009, bahwa saat ini jalan kabupatenkota masih merupakan bagian terbesar yaitu 389.75 ribu kilometer atau proporsinya sekitar 82
persen dari total panjang jalan di Indonesia, sedangkan jalan provinsi dan negara masing-masing sebesar 48.02 ribu kilometer dan 38.57 kilometer atau proporsinya
masing-masing sekitar 10 persen dan 8 persen. Jenis permukaan jalan terdiri dari: aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Jalan beraspal proporsinya paling besar yaitu
56.94 persen, sedangkan jalan dengan permukaan kerikil sebesar 21.60 persen, permukaan tanah sebesar 17.59 persen dan lainnya sebesar 3.87 persen. Data
perkembangan infrastruktur jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat disajikan pada Tabel 11.
Di Provinsi Jawa Timur, total panjang jalan pada periode 1985-2009 meningkat sekitar 2.11 persen per tahun yaitu dari 18 405 kilometer pada tahun
1985 menjadi 38 565 kilometer pada tahun 2009. Sementara di Jawa Barat, pada periode yang sama peningkatannya mencapai 2.39 persen per tahun, yaitu dari
12 500 kilometer pada tahun 1985 menjadi 20 761 kilometer pada tahun 2009. Secara rata-rata, panjang jalan di kedua provinsi tersebut meningkat sebesar 2.23
persen per tahun, yaitu dari 15 453 kilometer pada tahun 1985 menjadi 30 661 kilometer pada tahun 2009.
Pengelolaan infrastruktur di pedesaan merupakan salah satu langkah kebijakan penting bagi percepatan pembangunan di pedesaaan Sinar Tani, Mei
2011. Jenis infrastruktur dipedeasaan yang dipentingkan antara lain adalah jalan yang masuk ke pedesaaan. Semakin terbuka dan aksesnya infrastruktur jalan ke
pedesaan akan mempermudah arus barang dari dan ke pedesaan itu sendiri. Infrastruktur jalan yang baik akan menjadi lebih murah biaya transportasi,
sehingga input-input pertanian yang dibutuhkan oleh para petani di pedesaan akan semakin mudah diperoleh dan harganya pun murah. Pada sisi lain, proses
penjualan hasil pertanian pun jika dijual ke perkotaan atau tujuan pemasaran lainnya akan semakin mudah. Menurut Delis 2011 bahwa pengembangan
infrastruktur jalan memiliki dampak besar terhadap aktivitas ekonomi di wilayah sentra produksi. Dengan demikian, terdapatnya infrastruktur jalan yang memadai
di sentra produksi jagung akan memudahkan proses pemasaran jagung, dan juga akan mempermudah masuknya berbagai kebutuhan input usahatani jagung ke
sentra produksi tersebut.
Tabel 11. Perkembangan Total Panjang Jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009
Kilometer Tahun
Jawa Timur Jawa Barat
Rata-rata 1985
18405 12500
15453 1986
20623 12950
16787 1987
21046 14084
17565 1988
24678 14702
19690 1989
25162 17471
21317 1990
26948 17940
22444 1991
29345 19799
24572 1992
29725 20101
24913 1993
29725 21181
25453 1994
32010 19166
25588 1995
22120 22036
22078 1996
23521 23048
23284 1997
26075 21421
23748 1998
26685 23137
24911 1999
26388 22106
24247 2000
27777 23993
25885 2001
27782 19193
23488 2002
28145 22174
25159 2003
28224 22356
25290 2004
28683 23018
25850 2005
36803 23118
29960 2006
36337 21290
28813 2007
37027 21744
29386 2008
37814 37732
37773 2009
38565 22758
30661 Rata-rata
28385 20761
24573 Perkembangan
thn 1985-1998
1.86 4.53
2.98 1998-2000
2.03 1.85
1.95 1998-2009
4.06 2.00
3.18 1985-2009
2.11 2.39
2.23 Sumber: BPS Jatim 1985-2010, BPS Jabar 1985-2010, Statistik
Indonesia 1985-2010, Statistik TransportasiPerhubungan 1989-2009
VI. HASIL PENDUGAAN FUNGSI KEUNTUNGAN, ELASTISITAS PENAWARAN OUTPUT DAN
PERMINTAAN INPUT
6.1. Pendugaan Fungsi Keuntungan Translog
Menurut Shidu and Baanante 1981 bahwa fungsi keuntungan yang direstriksi persamaan 47 dan persamaan pangsa biaya input variabel yang dalam
hal ini pangsa biaya input benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja persamaan 48-51 diduga secara bersama-sama dengan metode SUR Seemingly
Unrelated Regression Zellner, 1962. Hal ini dilakukan, karena pada sistem
persamaan tersebut terpaut satu sama lain melalui galat error term. Fungsi keuntungan bersifat homogen berderajat satu dalam harga produksi
dan masukan input. Di samping itu, fungsi keuntungan translog juga bersifat simetri Simatupang, 1988; Purwoto, 1990. Oleh karena itu, sebelum
menganalisis hasil pendugaan fungsi keuntungan translog, akan terlebih dahulu diuraikan hasil pengujian statistika dan persyaratan produksi.
6.1.1. Pengujian Statisitika dan Persyaratan Produksi
Hasil pengujian model terhadap deteksi multicolinearity, menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah tersebut. Menurut Hanke, et.al., 2001 bahwa
kekuatan multicolinearity dapat diukur dengan VIF Variance Inflation Factor. Jika nilai VIF di atas 10, maka terdapat masalah multicolinearity, dan jika 10
tidak terdapat masalah multikolinearity. Hasil pengujian atas R
2
sistem dengan metode SUR R
2
sistem = 0.77 diperoleh nilai VIF sebesar 4.35. Hasil regresi dengan OLS, nilai r korelasi rata-rata masih dibawah 0.8. Hal ini sebagaimana