bahwa perubahan teknologi sampai saat ini cenderung menambah kemampuan modal menggantikan kedudukan tenaga kerja dalam fungsi produksi sehingga
kemajuan teknik biasanya selalu diasosiasikan dengan penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit. Kemajuan biasanya diukur dengan banyaknya produksi yang
dihasilkan dari faktor produksi yang digunakan. Berdasarkan perubahan tingkat substitusi marjinal suatu input terhadap
input lainnya, Weaver 1983 memformulasikan bias perubahan teknologi dalam bentuk persamaan:
dengan keterangan: Xi dan Xj merupakan input variabel i dan j, sementara Z merupakan peubah yang menggambarkan tingkat teknologi yang digunakan.
Bila B
hk
0 artinya perubahan teknologi lebih menghemat Xi relatif terhadap Xj, dan sebaliknya bila B
hk
0 artinya perubahan teknologi lebih banyak menggunakan Xi relatif terhadap Xj. Selanjutnya bila B
hk
= 0 artinya perubahan teknologi bersifat netral.
3.7. Pengaruh perubahan Harga Output dan Input terhadap Penawaran Produksi
3.7.1. Pengaruh Perubahan Harga Output
Kebijakan di bidang pertanian dapat meliputi kebijakan: harga, kebijakan pemasaran dan struktural. Kebijakan harga merupakan salah satu kebijakan yang
dapat menjamin stabilitas harga input dan output serta mencegah agar pendapatan produsen tidak berfluktuatif antar musimnya Mubyarto, 1989. Menurut Ellis
1992 bahwa terdapat beberapa instrumen dalam kebijakan harga yang dapat
berdampak pada stabilitas harga pertanian antara lain yaitu instrumen perdagangan seperti tarifbea masuk impor, dan instrumen intervensi langsung
seperti kebijakan harga dasar dan harga maksimum. Tidak seperti pada komoditas padi terdapat kebijakan harga dasar atau
harga pokok pembelian pemerintah saat ini, maka pada komoditas jagung sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme
harga dasar. Tidak diaturnya lagi harga dasar jagung, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh
mekanisme pasar. Dengan mekanisme pasar tersebut akan menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani,
mengingat permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun. Petani sebagai produsen komoditas jagung, apabila menghadapi kenaikan
harga jagung, ceteris paribus, maka jumlah jagung yang ditawarkan diproduksi akan meningkat. Sesuai teori mikroekonomi, jika terjadi perubahan harga
komoditas sendiri jagung, maka produksi hanya bergerak disepanjang kurva penawaran. Sementara jika terjadi perubahan harga komoditas lainnya substitusi
atau komplemen atau terjadi perubahan biaya faktor produksi dan teknologi yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser baik ke kiri maupun ke kanan.
Menurut Lipsey, et.al. 1984 bahwa beberapa varibel yang mempengaruhi jumlah
yang ditawarkan suatu produk adalah: harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, biaya faktor produksi, dan tingkat teknologi.
3.7.2. Pengaruh Perubahan Harga Input
Kebijakan yang dapat menyebabkan perubahan harga input seperti kebijakan pengurangan subsidi pupuk dan subsidi benih. Kebijakan subsidi pupuk
telah dimulai sejak tahun 1960-an pada saat awal program Bimas sampai saat ini. Dalam lima tahun terakhir 2005-2009 secara besaran subsidi pupuk meningkat
yaitu dari 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah. Namun, meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang
disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan
pupuk organik Nuryartono, 2009. Seperti halnya diketahui bahwa subsidi harga pupuk yang diberikan
kepada petani selama ini bersifat tidak langsung, yaitu petani membayar harga pupuk dibawah harga pasar. Harga yang dibayar petani tersebut biasa disebut
harga eceran tertinggi HET. Selisih harga pasar dengan HET adalah subsidi, yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk. Oleh karena itu, modus
subsidi harga pupuk semacam itu bisa disebut sebagai modus subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk Sudaryanto, 2001.
Menurunnya subsidi pupuk terhadap suatu jenis pupuk tertentu yang menyebabkan HET Harga Eceran Tertinggi pupuk meningkat misalnya pupuk
urea dan SP36, pada hakekatnya adalah sama dengan kenaikan harga pupuk urea dan SP36. Pada tahun 2005, HET pupuk urea dan SP36 masing-masing sebesar
Rp 1 050kg dan Rp 1 400kg, kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp 1 200kg dan Rp 1 550kg. Bahkan didaerah-daerah yang jaraknya
jauh dan biaya transportasi mahal, harga eceran pupuk selalu diatas HET. Secara teoritis meningkatnya harga pupuk akan menyebabkan berkurangnya jumlah
pupuk yang digunakan. Menurunnya penggunaan jumlah pupuk yang digunakan produsen petani akan menyebabkan menurunnya output yang dihasilkan
produsen. Hal ini juga berlaku bagi penggunaan input lainnya Just, et.al., 1982; Pindyck and Rubinfeld, 2005
Pada pasar output, bahwa kenaikan harga input menyebabkan biaya produksi meningkat. Pada tingkat harga output yang konstan, maka produsen
petani akan menyesuaikan output yang dihasilkannya agar memperoleh keuntungan maksimum yaitu dengan mengurangi jumlah output yang diproduksi.
.
3.8. Pengaruh Pengeluaran Riset dan Infrastruktur Jalan terhadap Produksi Jagung