Profitabilitas Privat dan Sosial

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial

Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Selain itu profitabilitas privat finansial merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan kebijakan yang ada. Sementara profitabilitas sosial ekonomi merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Profitabilitas privat finansial adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup biaya-biaya input variabel: pupuk, pestisida dan tenaga kerja serta biaya tetap sewa, penyusutan. Profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial ekonomi yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 16 dapat dikemukakan bahwa baik secara finansial maupun ekonomi usahatani jagung di Provinsi Jawa Timur selama satu tahun terakhir tahun 2009 menunjukkan tingkat kelayakan usaha yang baik. Salah satu indikator sederhana dapat dilihat pada nilai Revenue Cost 136 Ratio RC-rasio yang lebih besar dari satu. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang diterima petani pada tingkat harga sosial lebih tinggi dari pada harga aktualnya harga privat. Oleh karena itu, keuntungan bersih secara sosial yaitu Rp 4 500 872 per hektar dengan RC rasio 1.92, lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan privat yang bernilai Rp 4 421 350 per hektar dengan RC rasio 1.98. Di Provinsi Jawa Barat, baik secara finansial maupun ekonomi usahatani jagung di selama satu tahun terakhir tahun 2009 juga menunjukkan tingkat kelayakan usaha yang baik. Nilai Revenue Cost Ratio RC-rasio yang lebih besar dari satu. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang diterima petani pada tingkat harga sosial juga lebih tinggi dari pada harga aktualnya harga privat. Hal ini sebagaimana terlihat bahwa keuntungan bersih secara sosial yaitu Rp 7 650 406 per hektar dengan RC-rasio 1.80, lebih besar dibandingkan dengan keuntungan privat yang bernilai Rp 4 604 707 per hektar dengan RC-rasio 1.61. Hasil penelitian Mantau 2009 atas usahatani jagung di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara memperoleh keuntungan privat sebesar 218.93 ribu rupiah per hektar dan keuntungan sosial sebesar 3.05 juta rupiah per hektar. Selanjutnya hasil penelitian Simatupang 2005 bahwa usahatani jagung hibrida layak secara sosial ekonomi diusahakan, keuntungan yang diraih mencapai 747 ribu rupiah pada usahatani di lahan sawah Provinsi Lampung dan 1.9 juta rupiah di lahan kering Provinsi Sumatera Utara. Hal analisis diatas menunjukkan bahwa secara sosial petani jagung sebenarnya lebih diuntungkan dibanding dengan produsen input tradable maupun domestic non tradabel. Sebaliknya secara finansial individu petani perolehan 137 pendapatan yang rendah menunjukkan tingginya komponen biaya produksi yang harus dikeluarkan pada usahatani. Sementara biaya produksi yang tinggi kurang diimbangi dengan harga jual yang memadai pada tingkat harga aktual. Hasil analisis memperlihatkan bahwa usahatani jagung memiliki profitabilitas sosial lebih tinggi dibandingkan dengan profitabilitas privat baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Provinsi Jawa Barat. Hal ini merupakan indikasi awal bahwa usahatani jagung baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat memiliki keunggulan komparatif. Tabel 16. Hasil Analisis Penerimaan, Biaya Input dan Profitabilitas Privat dan Sosial di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 2009 RpHa Uraian Jawa Timur Jawa Barat Nilai Privat Nilai Sosial Diver- gensi Nilai Privat Nilai Sosial Diver- gensi 1. Penerimaan 8947400 9422960 -475560 12098100 13808721 -1710621 2. Biaya Input a. Tradable Input 930080 1326118 -1233038 815355 972368 -157013 b. Domestic Factor 3595570 3595570 6678038 6678038 Total biaya 4526050 4922088 -396038 7493393 7650406 -157013 3. Keuntungan 4421350 4500872 -79522 4604707 6158315 -1553608 4. RC rasio 1.98 1.92 1.61 1.80 Pada Tabel 16, juga terlihat terdapatnya perbedaaan divergensi antara profitabilitas privat dibanding profitabilitas sosial pada usahatani jagung baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat. Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya praktek monopsoni dalam perdagangan jagung. Para petani sering sangat tergantung pada pedagang pengumpul desa atau dengan kata lain para pedagang pengumpul di masing-masing desa produsen jagung, dan menjadi satu-satunya pembeli hasil panen mereka. Selain itu, petani juga sering bergantung terhadap 138 pedagang hasil dalam hal pinjaman modal usahatani baik berupa uang tunai untuk modal maupun input. Karena itu, pedagang pengumpul tersebut memiliki kekuatan dalam mengendalikan pasar input dan output, akibatnya harga jual input menjadi tinggi sementara harga beli output justru ditekan. Pearson et.al., 2005 mengemukakan bahwa salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar. Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif serta menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Terdapat tiga jenis kegagalan pasar yang menyebabkan divergensi, yaitu: 1 monopoli penjual yang menguasai harga pasar atau monopsoni pembeli menguasai harga pasar, 2 eksternalitas negatif yaitu biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya atau eksternalitas positif yaitu pihak tersebut tidak bisa menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya, dan 3 pasar faktor domestik yang tidak sempurna, dimana tidak ada lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap. Penyebab kedua terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat non efisiensi pemerataan atau ketahanan pangan, akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya, tarif impor yang diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani tujuan pemerataan dan meningkatkan produksi dalam negeri tujuan ketahanan pangan, namun di lain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga impor komoditas yang digantikannya ternyata lebih murah dari 139 biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi komoditas dalam negeri, sehingga akan menimbulkan trade-off. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non-efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilakasanakan, maka divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi nilai divergensi pada Tabel 16 akan menjadi nol. Pada kondisi seperti itu, nilai-nilai pada bagian privat atau dengan kata lain pendapatan revenue, biaya dan profitabilitas privat akan sama dengan pendapatan, biaya dan profitabilitas sosial. Pada prakteknya, pemerintah tetap berupaya melindungi petani berskala kecil dengan serangkaian kebijakan seperti kebijakan bea masuk impor untuk komoditas tertentu. Hal ini dilakukan agar petani terlindungi dari jatuhnya harga akibat membanjirnya komoditas impor jika tidak ada kebijakan bea masuk, mengingat komoditas yang dihasilkan petani masih belum dapat bersaing dengan komoditas sejenis dari luar negeri yang di impor. Selain itu, pemerintah juga masih memberikan subsidi input seperti input pupuk. Input pupuk seperti urea dan TSP masih digunakan oleh sebagian besar petani tanaman pangan yang merupakan petani berskala kecil. Bahkan terdapat hal penting lainnya untuk melindungi petani berskala kecil, dimana pemerintah juga perlu melindungi petani khususnya dalam hal stabilitas harga produk. Pemerintah pusat perlu mendorong agar pemerintah daerah atau badan usaha daerah membeli komoditas dalam hal ini khususnya komoditas jagung pada saat panen raya dengan harga pasar yang tetap 140 memberikan keuntungan yang wajar bagi petani jagung, sehingga harga tidak jatuh pada saat panen raya. Selain itu, dalam hal permodalan, pemerintah juga perlu memberikan subsidi bunga kredit untuk pinjaman modal usahatani bagi petani kecil dengan persyaratan yang mudah.

7.2. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif