Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Pengembangan, Kebutuhan dan Impor Jagung 2.1.1. Kebijakan Pengembangan Jagung Jagung diusahakan pada lingkungan yang beragam yaitu dari lahan kering, sawah tadah hujan hingga sawah beririgasi. Areal pertanaman jagung telah mengalami pergeseran, pada tahun 1980-an dominan 78 persen di tanam dilahan kering dan sisanya sebesar 11 persen ditanam dilahan sawah irigasi dan 10 persen ditanam disawah tadah hujan. Namun, saat ini diperkirakan areal pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat berturut-turut sebesar 10-15 persen dan 20-30 persen terutama di daerah produksi jagung komersial Badan Litbang Pertanian, 2005. Produksi jagung nasional masih bersifat musiman, dimana saat penen raya melimpah dan dilain pihak saat bulan-bulan tertentu paceklik. Hal ini sangat berkaitan dengan musim tanam yang dominan dilakukan pada musim hujan Oktober-Maret, sedangkan pada musim kemarau April-September luas pertanaman relatif sedikit. Produksi jagung di Indonesia relatif tersebar di seluruh pelosok, dan dalam luasan yang belum memenuhi skala usaha yang mampu mensuplai produksi yang cukup untuk setiap saat dalam satu wilayah. Sehingga untuk memperoleh produksi yang relatif besar diperlukan proses pengumpulan colecting dari berbagai daerah yang terpencar. Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani cukup beragam, bergantung pada orientasi produksi subsisten, semikomersial, komersial, kondisi kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penggunaan varietas pada tahun 2002 adalah 28 persen hibrida, 47 persen komposit unggul, dan 25 persen komposit lokal. Karena pertimbangan harga dan resiko yang dihadapi, cukup banyak petani yang menanam benih hibrida turunan F2 Badan Litbang Pertanian, 2005. Menurut Djulin, et.al., 2005 bahwa hingga kini jagung masih dominan ditanam di lahan kering pada musim hujan, walaupun disisi lain juga terjadi perluasan jagung di lahan sawah pada musim kemarau. Masih dominannya pertanaman jagung di lahan kering dan dominannya penanaman dimusim hujan menyebabkan timbulnya permasalahan terkait mutu hasil dan fluktuasi harga yang relatif besar. Kondisi ini juga merupakan sebagai salah satu penyebab lambatnya adopsi teknologi jagung. Hasil penelitian Djulin, et.al., 2005 juga menyebutkan bahwa usahatani jagung unggul hibrida di lahan sawah dan lahan kering memberikan hasil sebesar 6.14 tonha dan 4.62 tonha, dengan keuntungan yang diraih masing- masing sebesar 2.9 juta rupiah dan 2.1 juta rupiah per hektar. Penelitian lainnya Sumaryanto 2005 mengungkapkan bahwa rata-rata produktivitas usahatani jagung hibrida di DAS Brantas sebesar 5.2 tonha, dengan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar 2.1 juta rupiah per hektar. Sementara itu, pengembangan jagung kedepan diarahkan untuk mencapai tujuan terciptanya Indonesia menjadi produsen jagung yang tangguh dan mandiri pada tahun 2025 dengan ciri-ciri produksi yang cukup dan efisien, kualitas dan nilai tambah yang berdaya saing, penguasaan pasar yang luas, meluasnya peran stakeholde r, serta adanya dukungan pemerintah yang kondusif Deptan, 2005. Untuk merealisasikan program tersebut ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam PAT, peningkatan efisiensi produksi,