Jawa Barat Penggunaan Input Pada Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa

Tabel 2. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 Tahun Benih Kgha Urea Kgha TSP Kgha T.Kerja HOKha 1985 30 140 30 49 1986 29 153 26 66 1987 29 135 25 47 1988 33 186 36 62 1989 31 217 32 78 1990 26 154 38 26 1991 29 173 39 57 1992 28 182 33 58 1993 26 154 26 48 1994 29 169 25 45 1995 34 162 29 33 1996 34 189 28 34 1997 30 185 28 39 1998 29 190 29 59 1999 29 202 29 53 2000 28 193 30 48 2001 25 189 35 44 2002 26 185 35 39 2003 24 185 30 37 2004 24 188 30 38 2005 24 180 33 53 2006 26 180 35 61 2007 22 185 35 51 2008 24 165 35 51 2009 26 103 19 104 rata-rata 28 174 31 53 Perkembang- an thn 1985-1998 0.28 1.40 -0.62 -2.56 1998-2000 -2.10 0.64 1.63 -10.42 1998-2009 -1.71 -2.85 -0.36 4.16 1985-2009 -1.05 0.17 0.05 0.42 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001- 2009

5.2.2. Jawa Barat

Di Provinsi Jawa Barat, data penggunaan input pada struktur ongkos usahatani jagung disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diketahui bahwa kisaran penggunaan benih jagung antara 17 – 37 kgha, dengan rata-rata penggunaan sebesar 23 kgha. Bila dilihat perkembangan penggunaan benih jagung pada kurun waktu 1985-1998, secara rata-rata mengalami penurunan sebesar 4.79 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya 1998-2009 mengalami peningkatan sebesar 3.27 persen per tahun. Secara keseluruhan laju perkembangan penggunaan benih pada kurun waktu 1985-2009 mengalami penurunan sebesar 1.52 persen per tahun. Penggunaan benih jagung pada tahun 2009 mencapai 21 kgha, dengan rata-rata penggunaan pada kurun waktu 1985- 2009 sebesar 23 kgha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan 2010 bahwa kebutuhan benih untuk varietas jagung hibrida sebesar 15 kgha dan untuk varietas komposit dan lokal sekitar 25 kgha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pertanaman jagung di Jawa Barat juga belum seluruhnya menggunakan varietas unggul hibrida. Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, penggunaan input pupuk urea dalam kurun waktu 1985-2009 di Jawa Barat, antar tahunnya juga bervariasi, dengan kisaran penggunaan antara 51 – 154 kgha, dan rata-rata penggunaan sebesar 112 kgha. Laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.45 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, namun meningkat sebesar 2.43 persen per tahun pada kurun waktu 1998-2009. Pada periode 1985-2009, secara umum penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.07 persen per tahun. Penggunaan pupuk lainnya adalah pupuk TSP, dimana penggunaannya lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Pada kurun waktu 1985-2009, kisaran penggunaan pupuk TSP antara 17 - 79 kgha, dengan rata-rata penggunaan sebesar 49 kgha. Penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.69 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, dan selanjutnya pada kurun waktu 1998-2009 penggunaannya juga menurun sebesar 1.89 persen per tahun. Secara umum periode 1985-2009, penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.89 persen per tahun. Penyediaan dan distribusi pupuk bersubsidi dihadapkan pada permasalahan yang kompleks khususnya yang berkaitan dengan semakin berkembangnya luas dan keragaman komoditas, pergeseran musim tanam, bencana alam dan kekeringan, pengaturan wilayah produsen pupuk. Oleh karena itu, terdapat alokasi volume dan wilayah pelayanan produsen dan distributor sampai kios pengecer. Secara total tidak diketahui untuk per komoditas pada tahun 2009, realisasi penyaluran pupuk urea sebesar 677.62 ribu ton, SP sebesar 127.23 ribu ton, ZA sebesar 72.86 ribu ton, NPK sebesar 247.86 ribu ton, dan pupuk organic sebesar 17.41 ribu ton Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009. Bila di pandang penggunaan pupuk pada tahun terakhir 2009, yaitu sebesar 112 kgha untuk pupuk urea dan 49 kgha untuk pupuk TSP. Penggunaan pupuk tersebut masih sangat jauh dengan rata-rata anjuran nasional misalnya untuk pupuk urea pada usahatani jagung hibrida sebesar 300 kgha dan untuk jagung komposit sebesar 200 kgha Ditjen Tanaman Pangan, 2010. Rendahnya penggunaan pupuk tersebut di Jawa Barat juga disebabkan belum sepenuhnya usahatani menggunakan varietas unggul hibrida dan juga keterbatasan modal usahatani. Tabel 3. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Tahun Benih Kgha Urea Kgha TSP Kgha T.Kerja HOKha 1985 26 113 46 89 1986 30 93 49 118 1987 28 75 39 62 1988 31 112 67 107 1989 23 152 79 104 1990 37 119 58 102 1991 28 143 67 113 1992 29 142 78 73 1993 22 97 44 64 1994 17 100 46 50 1995 20 149 53 52 1996 17 121 48 54 1997 17 90 45 61 1998 16 71 35 92 1999 17 72 35 94 2000 17 85 45 98 2001 17 95 48 115 2002 20 115 51 117 2003 25 135 45 121 2004 25 136 50 149 2005 20 148 53 175 2006 25 154 55 189 2007 22 120 41 215 2008 23 105 32 277 2009 21 51 17 302 rata-rata 23 112 49 120 Perkembang- an thn 1985-1998 -4.79 -0.45 -1.69 -4.00 1998-2000 4.56 9.05 13.14 3.35 1998-2009 3.27 2.45 -1.69 11.56 1985-2009 -1.52 -0.07 -1.89 5.26 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2001-2009 Untuk penggunaan input tenaga kerja, kisaran penggunaannya antara 50 - 302 HOK Hari Orang Kerja per hektar, dengan rata-rata penggunaan sebesar 120 HOK per hektar. Bila dilihat perkembangan penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung pada kurun waktu 1985-1998 cenderung menurun sebesar 4.00 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya 1998-2009 mengalami peningkatan 11.56 persen per tahun. Secara keseluruhan penggunaan tenaga kerja dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 5.26 persen per tahun. 5.3. Harga Jagung dan Harga Input di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.3.1. Jawa Timur Perkembangan harga jagung di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 10.62 persen per tahun. Harga jagung pipilan kering pada tahun 1985 sebesar Rp 129 per kilogram, dan pada tahun 2009 menjadi Rp 2 200 per kilogram Tabel 4. Menurut Kasryno, et.al., 2007 bahwa perubahan harga jagung lebih terdorong karena permintaan jagung terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan dan industri. Bahkan harga jagung internasional peningkatannya akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati. Hal ini dipicu karena semakin meningkatnya harga minyak bumi. Semakin meningkatnya harga jagung diharapkan akan semakin meningkatnya pendapatan petani, dengan catatan jika kenaikan harga input tidak lebih tinggi dari kenaikan harga jagung serta tingkat produktivitas jagung stabil. Menurut Hartoyo 1994 bahwa tinggi rendahnya produksi yang akan dicapai, selain ditentukan oleh teknologi yang digunakan juga ditentukan oleh tinggi rendahnya harga input dan harga output yang terjadi. Harga benih jagung pada kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 14.77 persen. Lonjakan harga benih jagung cukup tajam mulai tahun 2005 yaitu menjadi sebesar Rp 10 000 per kilogram, dan selanjutnya pada tahun 2009 menjadi Rp 15 982 per kilogram. Tingginya harga benih jagung disebabkan oleh semakin mahalnya benih jagung hibrida yang rata-rata saat ini mencapai Rp 25 000 per kilogram. Tabel 4. Rata-rata Harga Jagung dan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 Tahun Jagung Rpkg Benih Rpkg Urea Rpkg TSP Rpkg Upah T.Kerja RpHOK 1985 129 182 98 100 792 1986 135 215 109 108 847 1987 161 276 126 124 923 1988 165 349 129 139 999 1989 180 400 171 178 1090 1990 202 350 229 248 1180 1991 228 510 222 247 1383 1992 356 538 240 272 1592 1993 228 535 259 313 1819 1994 281 620 280 333 2127 1995 339 823 310 419 2524 1996 383 980 387 488 2913 1997 627 1429 459 911 3232 1998 793 2186 919 1219 4197 1999 931 2253 993 1285 4923 2000 852 2893 1016 1352 5813 2001 1083 3800 1142 1451 6485 2002 1109 5192 1282 1624 7649 2003 1135 6813 1357 1982 8146 2004 1169 7638 1522 2060 8111 2005 1229 10000 1360 3045 8889 2006 1456 10769 1540 3704 13185 2007 1869 13636 1829 1782 17023 2008 2201 15417 2207 2440 16983 2009 2200 15982 2215 2630 18145 Rata-rata 778 4151 816 1138 5639 Perkembangan thn 1985-1998 13.14 16.62 14.69 17.87 12.78 1998-2000 3.40 14.45 4.93 5.17 16.23 1998-2009 9.50 17.18 8.03 7.60 13.25 1985-2009 10.62 14.77 10.97 11.32 11.92 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001- 2009 Sementara untuk harga pupuk urea dan TSP dalam kurun waktu 1985- 2009 juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 10.97 dan 11.32 persen per tahun. Peningkatan harga pupuk tersebut disebabkan oleh semakin terbatasnya anggaran subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah per jenis pupuknya. Menurut Nuryartono 2009 bahwa meskipun besar subsidi semakin meningkat, misalnya dari tahun 2005 sebesar 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah tahun 2009, namun meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik. Meskipun harga pupuk urea dan TSP semakin meningkat, namun jumlah penggunaan pupuk dalam periode 1985- 2009 tetap meningkat. Untuk upah tenaga kerja, selama kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 11.92 persen pertahun. Upah tenaga kerja pada tahun 1985 sebesar Rp 792 per hari kerja dan pada tahun 2009 sebesar Rp 18 145 per hari kerja. Bila diperhatikan perkembangan upah tenaga kerja antar tahunnya seperti disajikan pada Tabel 4 diketahui bahwa peningkatan upah tenaga kerja cukup tinggi sejak tahun 2003, yaitu sebesar Rp 8 146 per hari kerja. Selanjutnya upah tenaga kerja pada tahun 2009 meningkat tajam lebih dari dua kali lipat yaitu menjadi sebesar Rp 18 145 per hari kerja.

5.3.2. Jawa Barat