Mata Pencaharian Analisis Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi Masyarakat Pertanian Sunda Parahiyangan
Fakta yang menunjukkan bahwa ketergantungan erat masyarakat pada sumber daya pertanian, terbukti dengan tingginya persentase masyarakat yang
menjadikan bertani sebagai mata pencaharian utama. Usaha produksi pertanian yang bersifat subsisten dirasakan masyarakat belum mampu memberikan
keuntungan finansial. Kondisi tersebut menuntut keluarga petani untuk mengembangkan struktur nafkahnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan
hidup mereka. Dalam sistem sosial-ekonomi lahan menjadi modal utama bagi ekonomi keluarga petani baik untuk keluarga kelas bawah, menengah maupun
atas. Luas lahan garapan dapat menentukan sejauh mana keluarga petani dapat mengembangkan struktur pendapatan ekonomi keluarganya.
Berdasarkan karakteristik umum sosial-ekonomi masyarakat pada setiap bentuk agroekosistem, dapat dipahami bahwa sistem sosial-ekonomi yang berlaku
sangat mempengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan sumber daya lahan. Pemanfaatan dominan lahan sebagai kawasan pertanian belum mampu
memberikan hasil yang optimal meskipun menjadi sumber pendapatan inti keluarga petani. Kepemilikan lahan garapan yang relatif sempit gurem,
tingginya biaya produksi, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan teknik bertani, dan kurang efektifnya peran pemerintah dalam
mendukung usaha produksi pertanian masyarakat menjadi penyebab tetap rendahnya peran pertanian dalam meningkatkan taraf hidup keluarga petani.
Meskipun kondisi tersebut dipandang kurang menguntungkan secara sosial- ekonomi, tetapi masyarakat masih mampu beradaptasi dengan kondisi serba
ketidakpastian dari usaha pertanian. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya, sebagian besar masyarakat menjalankan usaha produksi lainnya, seperti membuka
jasa penggilingan beras, penggergajian kayu, penyediaan input produksi, penyewaan gergaji mesin, traktor atau kerbau, dan pengumpul hasil pertanian.
Ragam aktivitas tersebut sebagian besar tergolong ke dalam kelompok produksi sekunder yang masih erat kaitannya dengan usaha pertanian off farm. Usaha
nonpertanian yang dilakukan masyarakat sebagian besar tergolong ke dalam produksi tersier buruh pabrik, pengusaha di kota, buruh tukang bangunan, dan
TKI dan kuarterner pamong desa, pensiunan, dan TNIPolri.
Pengembangan ragam struktur nafkah masyarakat petani tidak terlepas dari peran lahan sebagai modalaset penting keluarga petani. Faktor penguasaan lahan
sangat mempengaruhi masyarakat dalam menyusun formasi ekonomi rumah tangga Indaryanti, 2005. Pembentukan formasi bergantung pada bagaimana
masyarakat petani dapat memanfaatkan lahan secara optimal. Termasuk dalam hal ini bagaimana petani mampu memanfaatkan modal manusia, sosial, dan finansial
agar mampu berkontribusi positif terhadap pemanfaatan modal fisik tersebut. Informan kunci menerangkan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara luas
lahan garapan dengan pengembangan struktur nafkah masyarakat petani. Masyarakat petani dengan luas lahan garapan relatif sempit memiliki tingkat
pengembangan struktur nafkah lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani dengan lahan garapan yang relatif luas. Kondisi tersebut disebabkan oleh masih
banyaknya waktu luang yang dimiliki petani kelas menengah-bawah untuk melakukan aktivitas produksi lainnya. Berbeda dengan petani kelas menengah-
atas yang harus mengalokasikan waktu lebih besar untuk mengelola lahan garapannya sehingga sangat terbatas untuk melakukan aktivitas produksi lainnya.
Meskipun secara umum ragam aktivitas yang dilakukan petani kelas menengah- atas relatif lebih sedikit, dengan kepemilikan modal finansial yang kuat mereka
dapat melakukan ragam aktivitas produksi lain yang dilakukan tanpa harus keterlibatan secara langsung.
Faktor tersebut menjadi alasan kuat tetap rendahnya kemampuan petani kelas menengah-bawah dalam menyusun formasi ekonomi rumah tangga yang
stabil. Meskipun dapat menciptakan ragam aktivitas produksi lain, dengan lahan yang terbatas dan dukungan modal finansial yang lemah, hasil yang diperoleh
tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Narasumber menambahkan bahwa meskipun hasil yang diperoleh dapat mencukupi kebutuhan dan menutup biaya
produksi yang dilakukan, usaha mereka tetap tidak dapat memberikan keuntungan lebih surplus untuk diakumulasikan atau dialihkan pada pemanfaatan lainnya
menabung, belanja, rekreasi, modal usaha, perbaikan rumah, dan sebagainya. Masyarakat kelas menengah-atas, dengan modal lahan dan finansial yang kuat,
dapat lebih mudah mengembangkan hasil usaha produksinya untuk diakumulasikan atau dialihkan pada pemanfaatan lainnya.
Masyarakat di daerah hulu gunung memiliki strategi akumulasi pendapatan yang terbatas baik untuk petani kelas atas, menengah, maupun bawah
Indaryanti, 2005. Petani kelas atas di daerah hulu biasanya memanfaatkan kelebihan pendapatan untuk ditabungkan guna memenuhi kebutuhan yang lebih
besar dalam kondisi mendesak atau mendadak. Petani kelas menengah relatif memiliki lebih banyak alternatif strategi, seperti untuk menambah modal usaha,
ditabung, atau fungsi lainnya. Petani kelas bawah sebagian besar tidak mampu melakukan strategi pengembangan kelebihan pendapatan. Seluruh pendapatan
biasanya habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer serta mendukung aktivitas produksi primer dan sekunder yang masih terkait dengan usaha pertanian.
Dengan demikian, lahan sebagai aset penting bagi keluarga petani perlu dipertimbangkan dalam pengalokasianya sehingga ketergantungan pada lahan
dapat diimbangi dengan ketersediaan sumber daya lahan yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan ekonomi. Ketersediaan lahan garapan yang bernilai
ekonomi akan mempengaruhi kekuatan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya lahan untuk dapat memenuhi kebutuhan primer serta mampu
mengembangkannya untuk pemanfaatan lain. Kondisi tersebut besar peranannya dalam membentuk masyarakat petani yang kuat atau kaya dalam modal lahan,
sosial, dan finansial.