Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal

2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal

Masyarakat gunung tidak terlepas dari aktivitas pertanian sebagai tempat mereka menggantungkan hidupnya FAO, 2007. Berdasarkan sejarah, budaya, dan karakteristik alam serta lingkungannya, masyarakat gunung Sunda Parahiyangan memiliki keunikan yang tercermin dalam aktivitas masyarakatnya seperti dalam hal pertanian Lubis et al., 2003. Secara umum masyarakat Sunda memiliki mata pencaharian utama dalam perburuan, pertambangan, perikanan, perniagaan, pelayaran, pertanian, dan peternakan. Aktivitas pertanian masyarakat Sunda di pedalaman berdasarkan informasi dalam Sanghyang Siksakandang Karesian Danasasmita, 1987 adalah perladangan yang berkembang menjadi sistem perkebunan. Sistem persawahan baru dikembangkan pada awal abad ke-17 ketika pengaruh Mataram masuk wilayah Tatar Sunda Lubis et al., 2003. Sistem pertanian yang berkembang di daerah Jawa Barat pada umumnya adalah sistem agroforestri berupa kebun-talun dan pekarangan Soemarwoto dan Conway, 1992, serta sistem padi sawah Christanty, Abdoelah, Marten, dan Iskandar, 1986. Sistem pertanian tersebut merupakan modifikasi dari sistem pertanian tradisional Jawa Christanty et al., 1986. Iskandar dan Iskandar 2011 menambahkan bahwa dalam perkembangan sejarah masyarakat Sunda, sistem ekologi pertanian agroekosistem yang dijalankan terdiri dari lima agroekosistem, yaitu huma, kebun-talun, sawah, kebun sayuran, dan pekarangan Gambar 2. Perkembangan agroekosistem dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya pertanian yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi meningkat ke arah pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi dan spiritual-budaya. Soemarwoto 1984 mendefinisikan kebun-talun sebagai sistem rotasi antara kebun campuran dan tanaman kayu yang merupakan sistem pertanian tradisional untuk meningkatkan produksi dan menyediakan banyak fungsi serta manfaat. Berdasarkan masa perkembangannya, Iskandar dan Iskandar 2011 menjelaskan bahwa awal pembentukan sistem pertanian kebun-talun dimulai dengan pembukaan talun tua menjadi kebun. Selanjutnya kebun berkembang dan diberakan hingga menjadi talun kembali. Dengan demikian rotasi perkembangannya adalah talun-kebun-talun. Dibangun Rumah Kebun Campuran Kebun Talun Huma Leuweung Kolot Reuma Kolot Reuma Ngora Tegalan Sistem Huma Sistem Kebun-Talun Sistem Pekarangan Dikonversi Dibera Dibera Dibuka Dibera Dibuka Dibangun Rumah Sistem Sawah Dibangun Rumah Dibangun Rumah Irigasi Non-Irigasi Non-Irigasi Dibuka Dibera Gambar 2. Perkembangan Lanskap Pertanian Agroekosistem Masyarakat Sunda Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011 Pekarangan didefinisikan Soemarwoto dan Conway 1992 sebagai sistem pertanian di sekitar rumah. Pekarangan merupakan sistem tradisional yang berlokasi di sekitar permukiman yang menyediakan produk kebutuhan dasar bagi pemiliknya serta produk komersial dengan mengkombinasikan pertanian pangan, pohon, dan hewan ternak. Sistem pertanian yang terbentuk merupakan hasil interaksi masyarakat Sunda terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungannya yang didasarkan pada ragam kebutuhan mendasar based needs. Kearifan lokal masyarakat pertanian telah membentuk budaya pertanian agriculture yang sulit dipisahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakatnya Becker dan Ghimire, 2003. Dalam budaya Sunda dikenal adanya tiga hubungan yang harus saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu manusia, alam, dan tuhan. Berdasarkan etimologinya 1 , kata Sunda berasal dari Sun-Da-Ha yang mengandung arti Sun adalah Diri, Da adalah Alam, dan Ha adalah Tuhan. Berdasarkan hal ini, kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah tempat kearifan lokal tersebut berlaku. Ranah pertama adalah Diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Konsep Sun yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan individu dengan individu atau individu dengan masyarakat. Beberapa kearifan lokal masyarakat Sunda dalam konteks Sun, di antaranya, adalah hade ku omong, goreng ku omong segala hal sebaiknya dibicarakan yang maksudnya bahwa keterbukaan dalam hubungan bermasyarakat sebaiknya dibudayakan. Kedua adalah konsep Da yang merupakan hubungan manusia dengan alam yang banyak terlihat dalam aktivitas masyarakat adat Sunda yang sangat memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dasar dalam melakukan pengabdian pada alam diungkapkan dalam ungkapan suci ing pamrih rancage gawe yang maksudnya bahwa antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu dan tidak terpisah. Masyarakat adat Sunda beranggapan bahwa mereka hidup bersama alam, dan bukan hidup di alam. Dengan kata lain, ketika mereka merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri dan masyarakat, seperti dalam ungkapan leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak hutan rusak, air habis, dan rakyat sengsara. Ketiga adalah konsep Ha yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Ha diungkapkan dalam perilaku masyarakat yang mengharmoniskan antara perilaku sesama manusia dan alamnya atas dasar kepercayaan terhadap Tuhan YME. Berdasarkan hal itu, secara turun-temurun masyarakat Sunda terus mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupannya guna tetap terjaganya keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhannya. Keagungan nilai kearifan lokal tersebut masih dijaga eksistensinya oleh beberapa masyarakat adat Sunda. Kawasan Sunda Parahiyangan memiliki masyarakat yang secara adat masih memegang teguh budaya Sunda sebagai warisan dari para leluhurnya Suryani, 2011, seperti Kampung Gentur di 1 Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa budayawan dan sejarawan Sunda. Kabupaten Cianjur 850 mdpl. 2 , Kampung Cikondang di Kabupaten Bandung 1.100 mdpl. 3 , Kampung Rancakalong di Kabupaten Sumedang 727 mdpl. 4 , Kampung Pulo di Kabupaten Garut 700 mdpl. 5 , Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya 1.200 mdpl. 6 , dan Kampung Ciomas di Kabupaten Ciamis 700 mdpl. 7 . Kampung adat di kawasan Sunda Parahiyangan masih memegang konsep- konsep penataan ruang termasuk didalamnya ruang pertanian, seperti luhur- handap, kaca-kaca, dan lemah-cai Purnama, 2007. Konsep luhur-handap didasarkan pada pemaknaan Sunda Sun-Da-Ha sebagai gambaran hubungan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Kebun-talun merupakan manifestasi dari konsep luhur atas yang banyak diinterpretasikan sebagai kawasan keramat kabuyutan. Implementasi dari konsep ini terlihat pada pemanfaatan di kawasan hulu yang sangat terbatas hingga adanya kawasan keramat berupa leuweung larangan danatau leuweung tutupan hutan larangan danatau hutan tutupan yang tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pengkeramatan dilakukan sebagai penghormatan terhadap para leluhur karuhun yang telah berjasa dalam menjaga stabilitas kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhannya. Pekarangan merupakan manifestasi dari konsep tengah tengah yang diinterpretasikan sebagai permukiman Purnama, 2007. Selain memiliki fungsi produksi bagi pemiliknya, pekarangan dapat menyediakan fungsi sosial di antara masyarakatnya. Pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang sosial yang mengakomodasi aktivitas sosial-ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Sistem pertanian sawah yang banyak dibudidayakan di kawasan hilir merupakan manifestasi dari konsep handap bawah yang diinterpretasikan sebagai kawasan perekonomian Purnama, 2007. 2 http:cianjurkab.go.idDaftar_Kecamatan_Nomor_10.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 3 http:bpsnt-bandung.blogspot.com200908kepercayaan-religi-masyarakat-adat.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 4 http:repository.upi.eduoperatoruploads_b025_0603328_chapter4.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 5 http:sikec.garutkab.go.idUserFilesFileleles2009.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 6 http:pustaka.unpad.ac.idwp-contentuploads200910kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 7 http:id.wikipedia.orgwikiKerajaan_Panjalu_Ciamis. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal Purnama, 2007. Konsep lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dengan demikian, dalam budaya Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman dan pertanian. Kearifan lokal merupakan aktualisasi dari sistem pengetahuan masyarakat dalam mengkonseptualisasikan interakasi budaya lokal masyarakatnya dengan alam. Hal tersebut diistilahkan oleh Becker dan Ghimire 2003 dengan traditional ecological knowledgeTEK yang selanjutnya digunakan pengetahuan ekologik tradisionalPET. Sistem pengetahuan tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kerangka etnografi sebagai keilmuan yang mengkaji kebudayaan suatu masyarakat. Kajian sistem pengetahuan dalam ranah etnografi dapat ditelusuri lebih lanjut berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal Koentjaraningrat, 1990. Koentjaraningrat 1990 menyusun kerangka etnografi berisi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi spiritual yang didahului dengan pendeskripsian lokasi, lingkungan alam, dan demografi masyarakatnya.

2.5. Pertanian Bekelanjutan