Hubungan integral antarunsur pembentuk aspek fsikekologi dipahami oleh petani  sebagai  satu  kesatuan  sistem  ekologi  pertanian  agroekosistem.  Petani
menginterpretasikannya  dalam  beragam  pola  penggunaan  lahan  yaitu agroeksosistem  kebun-talun,  sawah,  dan  pekarangan  di  kawasan  permukiman.
Pembentukan ragam agroekosistem tersebut dipengaruhi oleh keberadaan sumber daya  air  yang  dipercaya  masyarakat  Sunda  sebagai  unsur  utama  kehidupan
makhluk  hidup.  Agroekosistem  kebun-talun  merupakan  hasil  persepsi  dan preferensi  masyarakat  terhadap  kurangnya  ketersediaan  sumber  daya  air  pada
lahan pertaniannya, sedangkan agroekosistem sawah dibentuk karena kelimpahan sumber  daya  air.  Namun,  usaha  padi  sawah  yang  dilakukan  masyarakat  bukan
menjadi ciri khas dari masyarakat Sunda melainkan hasil intervensi Mataram. Agroekosistem  huma  merupakan  sistem  usaha  padi  ladang  yang  saat  ini
sudah  tidak  dibudidayakan  oleh  masyarakat  di  daerah  studi.  Padi  huma dibudidayakan tanpa kebergantungan pada keberadaan air sehingga sesuai dengan
kondisi lahan di kawasan pegunungan yang miskin air permukaan. Agroeksistem pekarangan  di  daerah  studi  sebagai  ruang  bertani  dalam  skala  keluarga,  banyak
dibudidayakan  tanaman  lahan  kering.  Berdasarkan  hal  tersebut,  sebagian  besar agroekosistem  yang  dibentuk  oleh  masyarakat  Sunda  parahiyangan  termasuk  ke
dalam usaha pertanian lahan kering. Dewasa  ini,  masyarakat  di  daerah  studi  merasakan  semakin  menurunnya
sumber daya air baik kualitas maupun kuantitasnya. Degradasi sumber daya air di daerah  studi  sebagian  besar  disebabkan  oleh  tingginya  konversi  lahan  di  daerah
gunung.  Air  menjadi  isu  sentral  dalam  permasalahan  lingkungan  karena  air merupakan  sumber  alam  utama  yang  dipercaya  masyarakat  sebagai  sumber
kehidupan.  Aktivitas  sosial-ekonomi  primer  dan  sekunder  yang  bergantung  pada produkstivitas  usaha  pertanian  tidak  dapat  berjalan  optimal  jika  tidak  didukung
oleh  kondisi  sumber  daya  air  yang  optimal.  Secara  budaya,  masyarakat  Sunda dikenal sebagai urang cai orang air karena keterikatan kultural yang sangat kuat
dengan  air  dan  urang  gunung  orang  gunung  sebagai  manifestasi  ruang  bagi sumber daya air.
Intervensi kebijakan pemerintah yang dilakukan pada masyarakat di daerah studi  lebih  terfokus  pada  upaya  konservasi  air  dan  tanah.  Dimulai  dari  program
Pelestarian  Hutan  Tanah  Air  PHTA  pada  tahun  19761977  yang  merupakan instruksi  presiden  untuk  menyediakan  bantuan  penghijauan  di  kawasan  DAS
Citanduy. Selanjutnya tahun 19821983 berupa intervensi Proyek Penghijauan dan Reboisasi  Nasional  Pelita  V.  Proyek  tersebut  merupakan  instruksi  presiden  yang
dilakukan  untuk  meningkatkan  kualitas  DAS  Citanduy  melalui  program  Unit Percontohan  Usaha  Pelestarian  Sumber  Daya  Alam  UP-UPSDA.  Program
terakhir  adalah  program  Citanduy  I  dan  II  yang  menekankan  kepada  upaya konservasi tanah dan air dengan intensifikasi usaha pertanian.
Dengan  melihat  hasil  kajian  karakteristik  elemen-elemen  pembentuk lanskap  pertanian  Sunda  Parahiyangan,  dapat  ditentukan  bahwa  air  merupakan
elemen  utama  yang  mempengaruhi  karakter  lanskap  pertanian  Sunda Parahiyangan.  Aspek  fisik  dengan  unsur-unsurnya  berasosiasi  positif  dengan
sumber  daya  air.  Begitu  pula  aspek  sosial-ekonomi  yang  erat  kaitannya  dengan keberadaan  sumber  daya  air.  Aspek  eksternal  berupa  intervensi  yang
mempengaruhi  pembentukan  lanskap  pertanian  di  kawasan  Sunda  Parahiyangan sebagian  besar  fokus  pada  pemecahan  masalah  air  dan  tanah.  Kondisi  ini  pula
yang  memperkuat  status  orang  Sunda  secara  spiritual-budaya  sebagai  urang cai dan  urang  gunung.  Dengan  demikian,  karakteristik  lanskap  pertanian  Sunda
Parahiyangan  membentuk  tipe  karakter  lanskap  pertanian  pegunungan  dengan sistem pertanian yang dijalankan berupa pertanian lahan kering dan sumber daya
air sebagai elemen penyusun utama lanskap pertanian.
4.3. Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan
Analisis  keberlanjutan  lanskap  pertanian  dilakukan  terhadap  aspek  fisik yang  menjadi  objek  serta  aspek  masyarakat  yang  merupakan  subjek  dalam
pengelolaan  lanskap  pertanian.  Analisis  fisik  merupakan  penilaian  terhadap sumber  daya  fisik  lanskap  pertanian  pembentuk  satuan  lahan  yang  berpengaruh
terhadap potensi penggunaan lahan. Penilaian dilakukan terhadap lingkungan fisik yaitu  tanah,  topografi,  unsur  iklim,  air,  vegetasi,  satwa,  termasuk  didalamnya
produk kebudayaan masyarakat.
Beragam masalah lingkungan yang bersumber dari air dirasakan masyarakat hingga dewasa ini. Kurangnya air di saat musim kemarau atau kelebihan air sesaat
pada saat musim hujan karena menurunnya kapasitas tanah dalam menampung air limpahan, menjadi permasalahan yang belum ditemukan solusinya secara holistik.
Kelangkaan  dan  rendahnya  kualitas  air  semakin  dirasakan  masyarakat  sejak dibukanya  kawasan  hutan  menjadi  lahan  perkebunan  kopi  pada  tahun  2007.
Pembukaan lahan dalam skala besar berdampak pada tingginya tingkat erosi yang diikuti hilangnya lapisan subur tanah.
Berdasarkan kajian terhadap aspek ekologi, permasalahan lingkungan yang terjadi  dipengaruhi  oleh  kondisi  aktual  dari  elemen  penyusun  lanskap.  Tingkat
kecuraman  lereng  yang  beragam  dengan  kondisi  tanah  yang  berporositas  tinggi menyebabkan  air  mudah  hilang.  Kondisi  curah  hujan  maksimal  tanpa  didukung
kemampuan  daya  serah  dan  jerap  tanah  terhadap  air  yang  tinggi,  tidak  dapat mengoptimalkan  pemanfaatannya.  Pengetahuan  ekologi  tradisional  masyarakat
memberikan  solusi  terbaik  dengan  pemanfaatan  vegetasi  sebagai  alat  pengontrol stabilitas air dan tanah.
Pohon  yang  ditanam  di  dataran  tinggi  memiliki  kemampuan  konservasi  air dan  tanah  yang  optimal.  Keberadaan  pohon  dapat  memaksimalkan  pemanfaatan
air  hujan  yang  menjadi  sumber  daya  air  utama  di  daerah  studi.  Pengairan  hujan mampu  merangsang  akar  untuk  menyusun  zona  perakaran  yang  lebih  luas  dan
dalam Darwis, 2004. Dengan sistem perakaran tersebut, pohon dapat menyerap dan  menjerap  air  secara  optimal  sehingga  dapat  menjaga  debit  air  tanah  dan
konstruksi tanah. Jenis  pohon  atau  tanaman  yang  dapat  dibudidayakan  untuk  ditanam  di
daerah  hulu  dapat  disesuaikan  dengan  fungsi  yang  diharapkan.  Namun, pemenuhan  fungsi  konservasi  perlu  diupayakan  oleh  setiap  pola  pemanfaatan.
Dengan demikian, upaya konservasi daerah utama tangkapan air water catchment area dapat dilakukan secara terpadu baik pada agroekosistem kebun-talun, sawah,
dan  pekarangan  di  kawasan  permukiman.  Secara  budaya  perlu  dibudidayakan kembali  40  tangkal  adam  yang  dipercayai  masyarakat  sebagai  vegetasi  lokal
pituin yang mampu menjaga stabilitas lingkungan.
Berdasarkan  perspektif  sosial-kemasyarakatan,  kerusakan  lingkungan  di kawasan pertanian di perdesaan dipengaruhi oleh persepsi, preferensi, sikap, serta
perilaku  masyarakat.  Tingkat  persepsi  dan  preferensi  terkait  erat  dengan  tingkat pendidikan  masyarakat.  Data  profil  desa  menunjukkan  tingkat  pendidikan  yang
rendah Tabel 11. Sebagian besar masyarakat yang hidup menetap di desa hanya berpendidikan  hingga  tingkat  sekolah  dasar.  Rendahnya  tingkat  pendidikan  di
daerah  studi  banyak  dipengaruhi  oleh  kurangnya  biaya  untuk  kebutuhan pendidikan,  serta  adanya  persepsi  yang  masih  kuat  di  masyarakat  yang
menganggap tidak perlunya pendidikan formal. Kondisi  tersebut  menyebabkan  distribusi  informasi  ilmu  pengetahuan  dan
teknologi  yang  terkait  dengan  pemanfaatan  lahan  lestari  mengalami  kendala. Kasus  di  atas  membuka  fakta  lain  bahwa  faktor  ekonomi  memiliki  peranan  vital
dalam proses ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Prasodjo 2005 menegaskan bahwa motif ekonomi akan mempengaruhi persepsi,
preferensi,  sikap  hingga  perilaku  masyarakat  dalam  merespon  kebutuhannya terhadap  alam  dan  lingkungannya.  Aktivitas  yang  ekstraktif,  produktif,  atau
konservatif  terhadap  alam  dan  lingkungan  akan  dilakukan  masyarakat  selama mampu memenuhi kebutuhan ekonomi.
Di  tengah  kuatnya  arus  modernisasi  yang  lebih  menekankan  pada pemenuhan  fungsi  ekonomi,  masyarakat  perdesaan  memiliki  pengetahuan
ekologik  tradisional  dalam  memanfaatkan  sumber  daya  alam  dan  lingkungan pertanian secara lestari. Kearifan lokal sebagai cerminan pengetahuan tradisional
masyarakat  yang  masih  melembaga  di  daerah  studi  adalah  sikap  dan  perilaku kekeluargaan  sebagai  aktualisasi  dari  ungkapan  silih  asih,  silih  asah,  dan  silih
asuh.  Persepsi  dan  preferensi  masyarakat  yang  menganggap  sumber  daya  alam dan  lingkungan  merupakan  milik  bersama  mempengaruhi  pemanfaatan  dengan
pertimbangan keuntungan bersama. Peran  ajengankyai  sebagai  tokoh  masyarakat  sangat  dibutuhkan  untuk
mengakomodasi  beragam  harapan  dan  kebutuhan  masyarakat.  Akomodasi disesuaikan dengan kondisi sumber daya lahan guna memperoleh manfaat optimal
tanpa mengurangi kemampuan lahan. Pranata religius religious institution yang diemban oleh para ajengankyai telah memberikan dampak positif terhadap proses