Konsep Pengelolaan Alam Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan Berkelanjutan

Konsep penataan ruang Sunda masih dijalankan oleh sebagian masyarakat di daerah studi dengan berbagai penyesuaian terhadap kondisi ekologi, sosial- ekonomi, dan spiritual-budaya masyarakatnya. Masyarakat menerapkan konsep luhur-handap secara umum dengan menempatkan Gunung ditempatkan di bagian atas luhur sebagai representasi Tuhan yang memberi sumber kehidupan. Selanjutnya, permukiman masyarakat ditempatkan di bagian tengah tengah, dan kawasan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan di posisi bawah handap. Di samping itu, masyarakat menerapkan konsep ci nyusu yang menjadikan sumber mata air sebagai inti dari suatu kawasan. Air dianggap sebagai unsur alam yang menjadi dasar terbentuknya tubuh dan jiwa manusia. Pandangan ini menjadi dasar dalam memahami maksud dikeramatkannya gunung bagi masyarakat Sunda. Konsep penataan ruang pertanian yang dilakukan masyarakat khususnya masyarakat Dusun Ciomas tercermin dalam aplikasi konsep kabuyutan. Kabuyutan memiliki multi dimensi nilai yang tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah materi, namun juga menjadi sebuah filofofi hidup bagi orang Sunda. Terdapat pesan moral bagi seluruh masyarakat Sunda untuk dapat menjaga, memelihara, dan melindungi kelestarian kabuyutan yang ada di seluruh Tatar Sunda sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi generasi berikutnya. Konsep kabuyutan sebagai langkah awal dalam penataan ruang Sunda, dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan lindung berupa leuweung larangan dan leuweung tutupan di wilayahnya. Setelah penetapan kawasan lindung dilakukan, kawasan lain dapat dimanfaatkan sesuai daya dukung dan kesesuaian pemanfaatannya. Ruang untuk fungsi pertanian ditetapkan dengan penerapan konsep luhur-handap. Agroekosistem kebun-talun dengan komoditas utama berupa pohon kayu ditempatkan di daerah luhur sesuai dengan fungsinya dalam konservasi tanah dan air. Dalam kebun-talun biasa ditanam pohon pituin yang bernilai budaya tinggi. Agroeksositem sawah ditempatkan di handap dan berdekatan dengan permukiman karena disesuaikan dengan komoditas utama berupa sumber pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penempatan tersebut dikarenakan kebutuhan padi terhadap air yang maksimal sehingga lebih memudahkan dalam perolehan sumber daya air. Agroekosistem pekarangan ditempatkan di tengah bersama kawasan permukiman untuk mempermudah masyarakat memanfaatkan sumber daya pertanian yang tersedia. Pekarangan tidak hanya berfungsi sebagai ruang produksi pertanian, tetapi berfungsi juga sebagai ruang sosial. Aktivitas sosial biasa dilakukan masyarakat di buruan yang merupakan bagian depan dari pekarangan.

4.4.3. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Pertanian

Berdasarkan pengetahuan ekologik tradisional, masyarakat telah melakukan beragam upaya responsif dalam menjaga keberlangsungan sistem ekologi pertanian. Dalam lingkungan masyarakat Sunda dikenal dengan adanya leuweung larangan dan leuweung tutupan yang secara umum dapat diartikan sebagai hutan lindung yang menjadi tujuan utama penerapan konsep kabuyutan. Pemanfaatan kedua jenis hutan tersebut sangat terbatas, hanya keperluan dalam kondisi sangat mendesak hasil hutan dapat dimanfaatkan. Adanya larangan dan perintah dalam pemanfaatannya, berdampak pada kelestarian ekosistem hutan. Kawasan keramat sacred place biasa dicirikan dengan adanya makam sesepuh kampung, dikelilingi pohon-pohon besar dan tinggi, serta semak yang dibiarkan tumbuh liar. Di setiap tempat keramat ditetapkan aturan-aturan khusus yang berkaitan dengan pemeliharaan ekosistem. Aturan-aturan tersebut umumnya lahir dari sejarah dan legenda yang dipercayai oleh masyarakat secara turun temurun. Maung Panjalu yang dikenal dengan sebutan menak merupakan salah satu legenda masyarakat Sunda Panjalu yang masih diyakini keberadaannya oleh sebagian masyarakat. Berdasarkan pengetahuan ekologik tradisional terkait ruang, kearifan masyarakat diaktualisasikan dalam penamaan tempat berdasarkan ciri fisik yang berada di tapak. Sebagai contoh dalam penggunaan prefix ci yang digunakan untuk menandakan tempat dekat sumber air, leuwi untuk daerah di dekat sungai, pasir untuk penanda daerah berbukit, bojong untuk menandakan daerah berbahaya, dan ciri lain untuk menandakan tempat tertentu. Pemahaman terhadap tempat- tempat tersebut dapat menghindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung dan kesesuaiaan fungsi pemanfaatannya.