Study on The Characteristic of Sunda Parahiyangan Landscape for A Model of Sustainable Agricultural Landscape

(1)

KAJIAN KARAKTERISTIK LANSKAP SUNDA

PARAHIYANGAN SEBAGAI MODEL LANSKAP PERTANIAN

BERKELANJUTAN

MOHAMMAD ZAINI DAHLAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha mulia yang mengajarkan manusia dengan pena dan mengajarkan manusia

apa yang tidak diketahuinya.“ (Al-‘Alaq: 1-5)

“Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan pada kami.” (Al-Baqarah: 32)


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2012

Mohammad Zaini Dahlan NIM A451100061


(4)

ABSTRACT

MOHAMAD ZAINI DAHLAN. Study on The Characteristic of Sunda Parahiyangan Landscape for A Model of Sustainable Agricultural Landscape. Supervised by NURHAYATI H. S. ARIFIN and WAHJU QAMARA MUGNISJAH.

Agricultural landscape (agroecosystem) is a unified system of ecology and socio-economic and also spiritual-culture that involved in production of foods, shelters, clothes, fibers, biofuels, and other agricultural products. Sustainability of agroecosystem is needed to support the continuity of life, especially for rural communities that relied strongly on agricultural resources. Sundanese society as a rural and mountain society has its own traditional ecological knowledges (TEK). TEK of Sundanese society could be a filter for modernization that negatively affects socio-cultural life of the society itself, as well as damages the nature and environment. Regarding to the role of TEK, it is necessary to do an explorative and descriptive-qualitative study of the various forms of TEK in the context of sustainable agriculture. The qualitative method was used for collecting relevant data to the characteristic of Sunda Parahiyangan landscape. The Data were collected by using Rapid Participatory Rural Appraisal (rPRA) through semi-structured interview, Focus Group Discussion (FGD), and field survey. Data analysis used Landscape Characteristic Assessment (LCA) to analyze character of Sunda Parahiyangan landscape, Knowledge-Based System Methodology to analyze TEK, National Research Council (NRC) and Community Sustainability Assessment (CSA) to analyze sustainable agricultural landscape. The sustainability of agricultural landscape was proposed to achieve USDA’s sustainable agricultural landscape criteria. The study results indicate that the Sunda Parahiyangan agroecosystem has unique characteristics as a result of the adaptation of society to nature and environment through a learning process from generation to generation in a relatively long time period. The character at rural landscape that has been created is a mountainous agricultural landscape type with abundant water resource as a main element. Therefore, Sundanese society called as mountain people (urang gunung) and water people (urang cai). In general, this character is reflected in some Sundanese’s agroecosystems such as kebun-talun (forest garden), sawah (paddy field), and pekarangan (home garden) that located in the surrounding settlement area. Furthermore, kabuyutan concept is one of the TEKs related to understanding and utilization of nature and environment. Kabuyutan is focused on revitalizing the role of forest (mountain) as a buffer of agroecosystem balance by calculating and deciding protected area (leuweung larangan/protected forest and leuweung tutupan/conservation forest). To support the sustainability, integrated between traditional and modern concept by practicing agroforestry system with low external-input and sustainable agriculture (LEISA) system and also applying Islamic management could be applied in utilizing and managing agricultural resources.

Keywords: agroecosystem, mountainous agricultural landscape, mountain and water society, traditional ecological knowledge/TEK, kabuyutan, rural landscape management


(5)

RINGKASAN

MOHAMMAD ZAINI DAHLAN. Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan. Dibimbing oleh NURHAYATI H. S. ARIFIN dan WAHJU QAMARA MUGNISJAH.

Kawasan Sunda Parahiyangan yang berada di bagian hulu DAS Citanduy (Sub-DAS Cimuntur) merupakan bagian dari satuan kawasan lanskap pertanian. Lanskap pertanian yang disusun oleh beragam agroeksosistem merupakan perpaduan sistem ekologi dan sosial-ekonomi yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang sudah didomestikasikan serta masyarakat yang mengelolanya untuk menghasilkan pangan, papan, sandang, serat, biofuel, serta produk pertanian lainnya. Keberadaan unsur-unsur penyusun agroekosistem di daerah perdesaan menjadi bagian penting dalam menciptakan kawasan perdesaan yang berkelanjutan. Masyarakat pertanian Sunda Parahiyangan sebagai bagian integral dari agroekosistem memiliki perananan penting dalam menunjang pembangunan dan pengembangan kawasan perdesaan. Dengan sistem pengetahuan tradisional yang dimilikinya, secara turun-temurun masyarakat memanfaatkan sumber daya pertanian berdasarkan kearifannya sehingga terbukti mampu memberikan manfaat secara lestari tidak hanya untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Sistem usaha tani yang dilakukan masyarakat tidak hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga berperan aktif dalam melestarikan sumber daya pertaniannya. Dengan demikian, kearifan masyarakat lokal dapat menjadi pendorong dinamisasi dalam mencapai pembangunan pertanian di perdesaan yang berkelanjutan.

Sistem pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan solusi tepat untuk menciptakan kehidupan perdesaan berkelanjutan. Sistem tersebut harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta secara teknis tepat guna, ekonomi layak, dan sosial-budaya dapat diterima. Melihat besarnya peranan kearifan lokal, perlu dilakukan kajian yang bersifat eksploratif terhadap ragam bentuk kearifan lokal dalam konteks pertanian berkelanjutan yang dapat menjadi referensi bagi penerapan model lanskap pertanian berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan, mengkaji ragam manifestasi kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks lanskap pertanian berkelanjutan, dan menyusun model pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan yang mencakup kegiatan pra-penelitian, pra-penelitian, analisis dan sintesis, serta penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan. Data yang dibutuhkan berupa data fisik, kesejarahan, sistem sosial-ekonomi, sistem pertanian masyarakat, sistem spiritual-budaya, traditional ecological knowledge/TEK (selanjutnya digunakan pengetahuan ekologik tradisional/PET), dan kebijakan pengelolaan diperoleh melalui pelibatan aktif masyarakat lokal dengan pendekatan metode Rapid Partisipatory Rural Appraisal (rPRA) berupa wawancara semi terstruktur, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi lapang. Data penunjang diperoleh melalui penelusuran literatur terkait topik penelitian.


(6)

Analisis karakteristik lanskap pertanian dilakukan berdasarkan acuan karakterisasi lanskap Landscape Characteristic Assessment/LCA. Analisis ragam pengetahuan ekologi tradisional menggunakan metode pengetahuan berbasis sistem (The Knowledge-Based System Methodology). Keberlanjutan lanskap dianalisis berdasarkan acuan keberlanjutan lanskap pertanian National Research Council/NRC dan Community Sustainability Assessment/CSA untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan yang mengarah pada pembangunan pertanian berkelanjutan berdasarkan kriteria keberlanjutan USDA.

Kawasan studi berada dalam tatanan lanskap pegunungan Sunda Parahiyangan dengan karakteristik agroekosistem yang khas sebagai cerminan dari budaya Sunda. Sumber daya lanskap (elemen lanskap) Sunda Parahiyangan secara umum dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan nonpertanian. Karakteristik lahan disusun oleh jenis tanah litosol, latosol, dan regosol, topografi dari landai hingga sangat curam, serta sumber daya air yang didukung kondisi iklim berupa curah hujan rata-rata 4.000 mm/th, suhu harian rata-rata 25 0C, dan kelembaban nisbi rata-rata 80% yang ideal untuk pertanian. Unsur-unsur pembentuk lahan berkontribusi dalam memberikan media tumbuh serta habitat bagi beragam vegetasi dan satwa yang sesuai dengan kondisi fisik alam dan lingkungannya. Berbagai unsur pembentuk lahan dikelola oleh masyarakat dengan PET yang dimilikinya untuk membentuk berbagai pola sistem ekologi pertanian (agroekosistem). Agroekosistem yang terbentuk di daerah studi terdiri dari kebun-telun, sawah, dan pekarangan yang berada dalam kawasan permukiman.

Sistem sosial-ekonomi masyarakat pertanian terlihat dalam aktivitas produktif dan reproduktif. Aktivitas tersebut merupakan kegiatan ekstraksi sumber daya pertanian untuk dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan. Aktivitas produktif dilakukan di lahan pertanian (on farm), sedangkan aktivitas reproduktif dilakukan di luar lahan untuk pemanfaatan sumber daya pertanian secara lebih layak (off farm). Pemanfaatan lahan dominan sebagai kawasan pertanian belum mampu memberikan hasil optimal meskipun menjadi sumber pendapatan inti keluarga petani. Kepemilikan lahan garapan yang relatif sempit (gurem) dengan rata-rata 0,3 ha/petani, tingginya biaya produksi, kurangnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, serta kurang efektifnya peran pemerintah dalam mendukung usaha produksi pertanian masyarakat menjadi penyebab rendahnya peran pertanian dalam meningkatkan taraf hidup keluarga petani.

Pengetahuan ekologik tradisional terkait pertanian dalam sistem spiritual-budaya diekspresikan masyarakat dengan mengenal istilah atau nama lokal dari adat, aktivitas, dan obyek budaya pertanian. Salah satu PET dalam pengelolaan agroekosistem adalah konsep kabuyutan. Kabuyutan dipercaya sebagai model pengelolaan lanskap pertanian yang terbukti mampu memberikan manfaat berupa ketersediaan sumber daya pertanian yang optimal dan lingkungan yang lestari. Hal tersebut merupakan potensi yang dimiliki masyarakat untuk tetap bertahan dalam menjalankan kehidupannya dari usaha pertanian. Peran masyarakat pertanian di perdesaan diharapkan bukan sebagai konsumen eksploitatif, tetapi konsumen yang mampu memanfaatkan sumber daya secara adil dan bijaksana. Adil berarti memanfaatkan sesuai kebutuhan dan kemampuan daya dukung sumber daya; bijaksana berarti tetap mempertimbangkan pemanfaatan untuk generasi selanjutnya.


(7)

Berdasarkan hasil analisis dengan kriteria penilaian NRC, daerah studi memiliki potensi keberlanjutan cukup baik untuk mendukung usaha pertanian di setiap agroekosistem. Secara fisik, kondisi sumber daya pertanian yang melimpah dapat memberikan kesempatan bagi petani untuk memanfaatkan sumber daya pertanian tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk kebutuhan di masa yang akan datang. Di samping itu, ketersediaan sumber daya pertanian dapat memberikan kualitas hidup yang layak bagi petani dengan tersedianya lapangan pekerjaan untuk melakukan aktivitas produktif dan reproduktif, serta ketersediaan pangan dengan kualitas prima, cukup nutrisi, mudah diperoleh, dan harga yang sesuai. Kondisi optimal dapat dicapai dengan menjaga kualitas dan kuantitas sumber daya air dan tanah sebagai elemen utama pembentuk lanskap pertanian Sunda Parahiyangan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan masyarakat dengan metode CSA, diperoleh hasil tingkat keberlanjutan masyarakat yang menunjukkan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan dengan nilai rata-rata sebesar 1156. Namun, upaya perbaikan dan penyempurnaan dalam beberapa aspek yang bernilai kurang dari 50 perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan yang optimal seperti pada aspek infrastruktur berupa penyediaan lahan pertanian, sarana, dan prasarana pertanian.

Konsep pengelolaan lanskap pertanian Sunda Parahiyangan dapat dilakukan dengan penerapan model tradisional dan modern. Pengetahuan ekologik tradisional merupakan modal utama yang disempurnakan oleh pengetahuan ekologik modern guna merespon dinamika lanskap yang terjadi. Keterpaduan dapat dilakukan melalui penerapan konsep kabuyutan yang diintegrasikan dengan sistem pertanian agroforestry dalam setiap agroekosistem disertai optimalisasi asupan dari dalam dan efisiensi masukan dari luar (low-external-input and sustainable agriculture/LEISA). Selain LEISA, pengaruh luar berupa inisiasi program pemberdayaan masyarakat perdesaan baik dari pemerintah maupun swasta perlu dilakukan dengan pelibatan aktif masyarakat lokal. Pemberdayaan diarahkan untuk penguatan spiritual-buaya masyarakat yang dapat meningkatkan produktivitas serta etos kerja untuk mencapai kesejahteraan sehingga berdampak pada pemanfaatan sumber daya pertanian yang berkelanjutan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa lanskap pertanian Sunda Parahiyangan memiliki karakteristik yang khas berupa karakter lanskap pertanian pegunungan dengan air sebagai elemen pembentuk lanskap utama yang diaktualisasikan dalam ragam agroekosistem khas masyarakat Sunda seperti kebun-talun, sawah, dan pekarangan dalam kawasan permukiman. Konsep kabuyutan merupakan pengetahuan ekologik tradisional masyarakat yang fokus pada revitalisasi peran hutan (gunung) sebagai penyangga keseimbangan sistem ekologi pertanian. Sistem pertanian agroforestry modern dengan ragam bentuk pengembangannya berpotensi menjadi model pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan dengan penerapan sistem LEISA yang ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang adil dan bijaksana bagi masyarakat perdesaan. Dengan demikian, dapat terbentuk lanskap pertanian dengan kondisi fisik yang lestari serta masyarakat yang kuat secara sosial-ekonomi dan sehat secara spiritual-budaya.

Kata kunci: lanskap pertanian/agroekosistem, Sunda Parahiyangan, pengetahuan ekologik tradisional/PET, kabuyutan, pengelolaan lanskap perdesaan


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya dilakukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

KAJIAN KARAKTERISTIK LANSKAP SUNDA

PARAHIYANGAN SEBAGAI MODEL LANSKAP

PERTANIAN BERKELANJUTAN

MOHAMMAD ZAINI DAHLAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(10)

(11)

Judul Tesis : Kajian Karakteritik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan

Nama : Mohammad Zaini Dahlan

NRP : A451100061

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, MSc Ketua

Prof. Dr. Ir. Wahju Q. Mugnisjah, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala nikmat dan karunia ilmu-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan mulai bulan November 2011 hingga bulan Juli 2012 adalah tentang pengelolaan lanskap pertanian di kawasan perdesaan berdasarkan kajian budaya masyarakat lokal, dengan judul “Kajian Karakteristik Lanskap Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Berkelanjutan”.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, MAgr selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingannya selama penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS dan Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA selaku dosen luar komisi pada ujian tesis atas masukan dan saran dalam penyusunan tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula untuk Komunitas Adat Ciomas (KATCI) dan masyarakat Dusun Ciomas, Mandalare, dan Kertabraya atas kerja samanya dalam perolehan data selama penelitian. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, Adik-adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Bogor, September 2012

Mohammad Zaini Dahlan


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Lanskap Pertanian ... 5

2.2. Sunda Parahiyangan ... 6

2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal ... 9

2.4. Pertanian Berkelanjutan ... 13

III. METODOLOGI ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

3.2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 18

3.3. Alat dan Bahan Penelitian ... 19

3.4. Tahapan dan Metode Penelitian ... 19

3.4.1. Metode Penentuan Sampel Kampung ... 19

3.4.2. Metode Pengumpulan Data dan Informasi ... 22

3.4.3. Metode Inventarisasi Tanaman ... 24

3.4.4. Metode Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 24

3.4.5. Metode Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 25

3.4.5.1. Analisis Keberlanjutan Fisik ... 26

3.4.5.2. Analisis Keberlanjutan Masyarakat ... 28

3.4.6. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Analisis Situasional ... 31

4.1.1. Analisis Kondisi Fisik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 31

4.1.1.1. Tanah dan Topografi ... 33

4.1.1.2. Hidrologi ... 37

4.1.1.3. Iklim ... 40

4.1.1.4. Vegetasi dan Satwa ... 42

4.1.1.4.1. Struktur Vegetasi dan Satwa di Talun-Kebun . 43 4.1.1.4.2. Struktur Vegetasi dan Satwa di Sawah ... 48

4.1.1.4.3. Struktur Vegetasi dan Satwa di Pekarangan .... 56


(14)

4.1.2. Analisis Kondisi Sistem Sosial-Ekonomi Masyarakat Pertanian

Sunda Parahiyangan ... 73

4.1.2.1. Demografi ... 73

4.1.2.2. Kelembagaan Sosial ... 74

4.1.2.3. Mata Pencaharian ... 76

4.1.2.4. Infrastruktur ... 80

4.1.3. Analisis Kondisi Sistem Spiritual-Budaya Masyarakat Pertanian Sunda Parahiyangan ... 85

4.1.3.1. Sejarah Masyarakat ... 85

4.1.3.2. Spiritual Masyarakat ... 85

4.1.3.3. Budaya Masyarakat ... 86

4.1.3.3.1. Tradisi Muludan dan Nyangku ... 86

4.1.3.3.2. Konsep Kabuyutan ... 89

4.1.3.3.3. Pengetahuan Ekologik Tradisional ... 93

4.1.4. Intervensi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Sunda Parahiyangan ... 106

4.2. Karakterisasi Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 108

4.3. Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 111

4.4. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan Berkelanjutan ... 127

4.4.1. Konsep Pengelolaan Alam ... 128

4.4.2. Konsep Pengelolaan Ruang Pertanian ... 129

4.4.3. Konsep Pengelolaan Sumber Daya Pertanian ... 131

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 137

5.1. Simpulan ... 137

5.2. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(15)

DAFTAR TABEL

1. Jenis data dan sumber perolehannya ... 23

2. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Kebun-Talun ... 43

3. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Kebun-Talun ... 46

4. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Sawah ... 51

5. Pola Tanam di Agroekosistem Sawah ... 54

6. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Sawah ... 55

7. Jenis Tanaman Dominan di Agroekosistem Pekarangan ... 58

8. Indeks Keanekaragaman Tanaman di Agroekosistem Pekarangan ... 59

9. Pola Pemanfaatan Lahan (Land Use) ... 69

10. Kondisi Kependudukan di Daerah Studi ... 73

11. Kondisi Pendidikan Masyarakat di Daerah Studi ... 74

12. Kondisi Mata Pencaharian Masyarakat di Daerah Studi ... 76

13. Ragam Mata Pencaharian Masyarakat di Daerah Studi ... 77

14. Kondisi Infrastruktur di Daerah Studi ... 81

15. Elemen Penyusun Rumah Panggung Masyarakat Sunda ... 82

16. Ragam Jenis Tempat Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 80

17. Nama 40 Tangkal Adam Pengisi Kabuyutan ... 95

18. Ragam Jenis Fungsi Satwa Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 97

19. Ragam Instruksi Petani kepada Kerbau dalam Aktivitas Membajak ... 98

20. Ragam Aktivitas Pertanian pada Agroekosistem Talun-Kebun dan Pekarangan Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 99

21. Ragam Aktivitas Pertanian pada Agroekosistem Sawah Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 100

22. Ragam Sistem Ukur Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 102

23. Ragam Sistem Hitung Obyek Pertanian Secara Umum Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 102

24. Ragam Sistem Hitung Obyek Pertanian Sawah Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 103

25. Ragam Ukuran Waktu Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 103

26. Ragam Penciri Waktu (Mangsa) Berdasarkan PET Masyarakat Sunda ... 105

27. Hasil Penilaian Keberlanjutan Masyarakat Berdasarkan Kriteria CSA ... 116

28. Matriks Hubungan PET-NRC Menuju Keberlanjutan USDA ... 124

29. Matriks Hubungan PET-CSA Menuju Keberlanjutan USDA ... 126


(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda (Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011) ... 10

3. Lokasi Penelitian ... 17

4. Tahapan dan Metode Penelitian ... 20

5. Metode Penentuan Sampel Kampung (Dusun) ... 21

6. Lokasi Dusun di Daerah Studi ... 22

7. Bentuk dan Ukuran Plot dalam Pengamatan Tanaman ... 24

8. Bentuk Umum Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan ... 31

9. Sebaran Kawasan Agroekosistem di daerah Studi ... 32

10. Peta Sebaran Tanah di Kabupaten Ciamis ... 33

11. Bentuk Lahan (Landform) Kawasan Sunda Parahiyangan ... 34

12. Peta Sebaran Topografi di Kabupaten Ciamis ... 35

13. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Sawah (Kiri) dan Pekarangan dalam Permukiman (Kanan) ... 36

14. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Sawah Berteras (Kiri) dan Talun-Kebun (Kanan) ... 36

15. Bentuk Pemanfaatan Lahan (Land Use) Berdasarkan Topografi sebagai Kawasan Hutan Lindung (Kiri) dan Hutan Produksi (Kanan) ... 37

16. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy ... 38

17. Peta Sebaran Ketersediaan Air di Kabupaten Ciamis ... 39

18. Pemanfaatan Awi (Kiri) dan Susukan (Kanan) sebagai Saluran Air Tradisional Masyarakat Sunda ... 39

19. Peta Sebaran Curah Hujan di Kabupaten Ciamis ... 41

20. Tumbuhan Ki Rinyuh (Chromolaena odorata) dengan Bentuk Daun (Kiri) dan Habitatnya (Kanan) ... 45

21. Kondisi Agroekosistem Kebun-Talun di Daerah Studi ... 46

22. Kondisi Agroekosistem Sawah di Daerah Studi ... 49

23. Agroekosistem Padi Gogo Rancah dengan Bentuk Lahan Penanaman (Kiri) dan Penyemaian (Kanan) ... 49

24. Kombinasi Tanaman di Agroekosistem Sawah ... 51

25. Kondisi Agroekosistem Pekarangan di Daerah Studi ... 57

26. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Luas (> 500 m2) ... 60

27. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Sedang (200-500 m2) ... 60

28. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Sedang (< 200 m2) ... 60

29. Kondisi Agroekosistem Pekarangan Ekstensif ... 62

30. Pemanfatan Kotoran Ternak (Kiri) dan Tanaman (kanan) sebagai Pakan Ikan di Pekarangan ... 64

31. Kondisi Kawasan Hutan Gunung Sawal ... 66

32. Struktur Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan di Daerah Studi ... 70

33. Pola Permukiman Memusat dan Mengelompok di Daerah Studi ... 71

34. Model Rumah Panggung di Daerah Studi ... 82

35. Ilustrasi Konstruksi Imah Panggung Sunda Panjalu ... 84

36. Konsep Ruang Kabuyutan Sunda (Sumber: Hasil Wawancara dengan Sesepuh KATCI) ... 90


(17)

38. Pemanfaatan Suluh (Kiri) dan Hawu (Kanan) dalam Aktivitas Reproduksi Masyarakat (Memasak) ... 120 39. Alat Musik Karinding Buhun masyarakat Sunda di Panjalu ... 123 40. Konsep Pengelolaan Lanskap Pengelolaan Lanskap Pertanian

Berkelanjutan ... 128 41. Pemanfaatan Awi (Bambu) dalam Konservasi Tanah dan Air ... 132 42. Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

Berkelanjutan ... 133 43. Konsep Pengelolaan Ruang Pertanian Sunda Parahiyangan Berkelanjutan . 134


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Aspek Kajian dalam Mencapai Sistem Pertanian Berkelanjutan (National

Research Council/NRC) ... 145

2. Aspek Kajian dalam Menggali Pengetahuan Masyarakat Lokal Berkelanjutan (Community Sustainablility Assessment/CSA) ... 151

3. Kriteria Penilaian dalam Community Sustainablility Assessment/CSA ... 158

4. Jenis Tanaman Dominan dalam Agroekosistem Kebun-Talun ... 159

5. Jenis Tanaman Dominan dalam Agroekosistem Sawah ... 160


(19)

I. PENDAHULUAN 

1.1. Latar Belakang

Model pertanian konvensional yang lebih berorientasi kepada percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan telah mengakibatkan dampak negatif pada ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan pertanian. Kondisi tersebut menjadi bukti bahwa sudah saatnya Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya pertanian (negara agraris) mengubah paradigma ke arah pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) dalam hal sistem, strategi, dan kebijakan. Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai pertanian yang memiliki daya saing tinggi, produktif, menguntungkan, mengkonservasi sumber daya pertanian, meningkatkan kualitas pangan, serta menjaga ketersediaan saat ini dan akan datang. Dengan demikian, pembangunan pertanian harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan hewan, tidak merusak lingkungan, serta secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak, dan secara sosial-budaya dapat diterima (FAO, 2010).

Indonesia, sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduknya merupakan masyarakat pertanian, memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan pertanian berkelanjutan. Masyarakat Indonesia dengan pekerjaan utama di bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan memiliki porsi terbesar dengan jumlah pekerja 84.320.748 jiwa atau sekitar 35% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.000 jiwa (BPS, 2011). Melimpahnya potensi alam, kuatnya budaya masyarakat agraris serta beragamnya kearifan masyarakat lokal, sangat berpotensi dalam merealisasikan Indonesia sebagai negara agraris berkelanjutan yang mampu menciptakan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, kesejahteraan sosial, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Kawasan perdesaan sebagai basis produksi pertanian dengan beragam budaya masyarakatnya telah melahirkan berbagai macam kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut telah melalui perjalanan panjang sehingga menjadi intisari dan kompilasi pengalaman hidup serta terus diwariskan secara turun-temurun (Sartini 2004). Kearifan lokal masyarakat pertanian sebagai cerminan dari pengetahuan


(20)

ekologi tradisional dapat menjadi penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat, serta merusak alam dan lingkungan. Kearifan lokal telah terintegrasi secara sadar dalam penataan lanskap pertanian, tata cara bertani, dan pola kehidupan masyarakat pertanian.

Budaya bertani tercermin dalam kehidupan masyarakat pertanian Sunda Parahiyangan di Kabupaten Ciamis sebagai bagian integral dari suatu lanskap pertanian yang memanfaatkan sumber daya pertanian menjadi ragam bentuk agroekosistem. Sunda Parahiyangan merupakan kawasan yang dibentuk oleh dataran tinggi hingga pegunungan. Karakteristik lanskap yang khas tersebut telah membentuk suatu tatanan budaya masyarakat dengan sektor pertanian sebagai sumber usaha dan penghasilan utama bagi masyarakatnya (Rigg, 1862; Lubis, Nugraha, Wildan, Dyanti, Sofianto, Falah, Dienaputra, dan Djubiantono, 2003). Kabupaten Ciamis merupakan bagian dari kawasan Parahiyangan/Priangan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Sungai Citanduy (DAS Citanduy).

Selain sebagai sumber kehidupan, masyarakat pertanian berperan aktif dalam mengelola sumber daya pertanian agar tetap lestari. Kondisi aktual di daerah studi sebagai dampak dari sistem pertanian konvensional, terjadi berbagai masalah pertanian seperti kesuburan dan produktivitas lahan menurun, daya dukung lingkungan berkurang, konversi lahan, jumlah penduduk miskin dan pengangguran relatif meningkat, serta kesenjangan sosial semakin terlihat jelas. Peran ganda inilah yang menjadi hal menarik bahwa di satu sisi masyarakat memerlukan sumber daya pertanian untuk keberlangsungan hidupnya, di sisi lain mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keberlangsungan sistem ekologi pertanian agar tetap lestari.

Dengan demikian, kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dapat menjadi penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial-ekonomi dan spiritual-budaya masyarakat, serta kelestarian alam dan lingkungannya. Melihat besarnya peranan kearifan lokal, perlu dilakukan kajian eksploratif terhadap ragam bentuk kearifan lokal dalam konteks pertanian berkelanjutan. Kajian terhadap karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan menjadi salah satu obyek kajian yang dapat menghasilkan informasi sebagai referensi bagi penerapan model lanskap pertanian berkelanjutan


(21)

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Rumusan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan?

2. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks pertanian berkelanjutan saat ini?

3. Bagaimana hubungan antara lanskap pertanian Sunda Parahiyangan dengan konsep pertanian berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. mengkaji karakteristik lanskap pertanian Sunda Parahiyangan;

2. mengkaji ragam bentuk manifestasi kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan dalam konteks lanskap pertanian berkelanjutan;

3. menyusun model lanskap pertanian Sunda Parahiyangan sebagai referensi bagi model lanskap pertanian berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. sebagai informasi bagi penguatan eksistensi budaya Sunda pada umumnya dan khususnya kebudayaan Sunda Parahiyangan;

2. sebagai model acuan pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan di perdesaan yang berbasis kearifan masyarakat lokal;

3. sebagai dasar pertimbangan penentuan kebijakan dalam mengelola lanskap pertanian yang berkelanjutan di perdesaan.

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan masalah pertanian yang terjadi, diperlukan upaya pemecahan masalah yang komprehensif dengan melihat setiap elemen masalah sebagai suatu sistem yang saling terkait. Adanya isu pembangunan pertanian berkelanjutan berpotensi untuk memaksimalkan sumber daya lanskap pertanian dengan mempertimbangkan aspek kearifan lokal sehingga dapat dijadikan pendorong dinamisasi dalam mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan (Gambar 1).


(22)

Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan di kawasan hulu DAS Citanduy

Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

Sumber Daya Lanskap Pertanian Sumber Daya Masyarakat Pertanian

Upaya/Strategi Kebijakan Pengelolaan Lanskap Pertanian Berkelanjutan

Lanskap Pertanian Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Parahiyangan

Ancaman/Masalah Potensi Keberlanjutan Lanskap Sunda Parahiyangan


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lanskap Pertanian

Lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik khas yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia yang terintegrasi secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakternya sehingga dapat dibedakan dengan bentuk lainnya (Simonds, 1983). Lanskap didefinisikan pula sebagai proses polarisasi yang tidak hanya menyebabkan perbedaan tata guna lahan, tetapi juga dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan pengaruh interaksi manusia di dalamnya, lanskap dikategorikan menjadi lanskap alami (natural landscape) dan lanskap buatan (man-made landscape). Salah satu bentuk dari lanskap buatan adalah lanskap pertanian.

Pertanian didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengusahakan sumber daya alam dan lingkungannya guna menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Pertanian merupakan sistem yang tumbuh, berproses, dan menyediakan pangan, pakan, serat, tanaman hias, dan

biofuel untuk suatu bangsa. Pertanian mencakup pengelolaan sumber daya alam seperti air permukaan dan air tanah, hutan dan lahan lain untuk penggunaan komersial atau rekreasi, pelestarian vegetasi langka dan satwa liar, lingkungan sosial, fisik, dan biologis, serta isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan keseluruhan sistem (NRC, 2010).

Berdasarkan definisi tersebut, lanskap pertanian dapat didefinisikan sebagai bentuk lahan yang memiliki komposisi dan karakteristik elemen pembentuk yang mencerminkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian tidak hanya dalam konteks budidaya tanaman, tetapi mencakup kegiatan pembesaran hewan ternak, pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim pada kegiatan pascapanen, serta pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya hutan (FAO, 2011). Lanskap pertanian merupakan kumpulan elemen pembentuk karakter lahan yang merepresentasikan budaya bertani dan konservasi yang dikelola oleh masyarakat untuk mencapai keberlanjutan produksi pangan,


(24)

kesejahteraan masyarakat lokal, dan kelestarian ekosistem. Lanskap pertanian memiliki peranan penting dalam mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat (Turpin dan Oueslati, 2008) dan sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati (Arifin, 2012; Billeter, 2008).

2.2. Sunda Parahiyangan

Istilah Parahiyangan memiliki arti yang beragam berdasarkan sudut pandang yang mendefinisikannya. Dalam kepercayaan Sunda kuno, masyarakat percaya bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi sehingga wilayah pengunungan dianggap sebagai tempat bersemayam. Dengan kata lain, Parahiyangan dapat diartikan sebagai tempat para Hiyang bersemayam (Para-hiyang berarti jamak dari Hiyang).

Secara etimologi, Parahiyangan merupakan kata serapan dari bahasa Jawa kuno Parahyangan yang didefinisikan sebagai tempat tertinggi tempat para

Hyang bersemayam. Dalam naskah Nagarakartagama Pupuh 76: 1-12, Parahyangan disebut sebagai tempat suci Dharma Ipas Pratista Siwa (Lubis et al., 2003). Berdasarkan hal itu, masyarakat Sunda kuno menggangap jajaran pegunungan di Jawa Barat sebagai Parahiyangan. Berdasarkan sejarah perkembangan Kerajaan Sunda, jajaran pengunungan di kawasan tengah Jawa

Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat Hyang bersemayam. Legenda Sunda

menceritakan bahwa tanah Parahiyangan tercipta ketika Tuhan tersenyum dan mencurahkan berkah dan restu-Nya. Kisah ini menunjukkan keindahan dan kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur (Rosidi, 2000).

Lubis et al. (2003) mendefinisikan Parahiyangan atau lebih dikenal dengan Priangan sebagai sebutan untuk Kerajaan Sunda (932-1579 M) yang meliputi wilayah Tatar Sunda sebelah barat (Selat Sunda) hingga timur dan mencakup sebagian wilayah Jawa Tengah bagian selatan (Sungai Cipamali dan Danau Segara Anakan). Kerajaan Sunda merupakan gabungan dua kerajaan besar (Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda) dengan pusat pemerintah yang tidak pernah menetap. Pemerintahan bermula di Galuh Kawali dan berakhir di Pakuan Pajajaran hingga berakhir pada tahun 1579 M dan terbagi menjadi empat pusat kekuasaan (Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh).


(25)

Berdasarkan sejarah Kolonial (VOC), sebelum Priangan jatuh ke tangan VOC, Priangan dibentuk sebagai wilayah politik setingkat kabupaten oleh Sultan Mataram pada tahun 1641 M. Kekuasaan Mataram di Priangan berakhir berdasarkan perjanjian dengan VOC pada tahun 1677 dan 1705 M. Dalam perjanjian pertama disepakati penyerahan kekuasaan Priangan Timur, sedangkan perjanjian kedua disepakati penyerahan Priangan Tengah dan Barat ke pihak VOC sebagai balas jasa atas penyelesaian permasalahan dalam kekuasaan Mataram.

Sejarah berlanjut dengan penguasaan Parahiyangan (Priangan) oleh Jenderal Daendels (1799 M) dengan membagi Pulau Jawa menjadi Sembilan prefecture, di antaranya, adalah Prefecture Priangan yang terdiri dari Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang. Pembagian dilakukan berdasarkan kebijakan

Preangerstelsel warisan kompeni yang tetap dipertahankan karena dinilai menguntungkan. Priangan dalam masa itu dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) dan daerah minus kopi (Limbangan, Sukapura, dan Galuh).

Pada tahun 1811 M, Priangan jatuh ke tangan Inggris dengan Gubernur Raffles sebagai pemimpinnya. Priangan dibagi menjadi 16 keresidenan, di antaranya, adalah Keresidenan Priangan yang meliputi delapan afdeeling (Cianjur, Sukabumi, Bandung, Cicalengka, Sumedang, Limbangan, Tasikmalaya, dan Sukapura Kolot). Setelah melalui perkembangan sejarah, wilayah Parahiyangan saat ini termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Berdasarkan sudut pandang lanskap, Parahiyangan didefiniskan oleh Rigg (1862) sebagai sebutan bagi daerah di wilayah Tatar Sunda dengan karakteristik elemen penyusun lanskap yang khas. Rigg (1862) menambahkan istilah Priangan yang diserap dari bahasa Belanda (Prianger) merupakan nama lokal untuk wilayah di Jawa Barat dengan karakter alam berupa daratan (dataran tinggi hingga pegunungan) serta dikelilingi oleh pegunungan dan gunung berapi (ring of fire). Batasan kawasan Sunda Parahiyangan berdasarkan ketinggian tempatnya, dapat diidentifikasi melalui pendekatan definisi gunung.


(26)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) mendifinisikan gunung sebagai bagian dari muka bumi yang besar dan tinggi dengan ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut (mdpl.). Miskinis (2011) menambahkan definisi gunung sebagai bagian bumi (relief) yang memiliki ketinggian lebih dari 600 meter di atas permukaan laut, isi, bentuk, ketajaman, dan susunan yang saling terhubung. Susunan gunung yang membentuk pegunungan merupakan bagian bumi yang menutupi 24% permukaan bumi dan menjadi rumah bagi 12% populasi di dunia (Sharma, Chettri, and Oli, 2010; FAO, 2007). Berdasarkan hal itu, daerah gunung/pegunungan yang berada diketinggian lebih dari 600 mdpl. digolongkan ke dalam kawasan Parahiyangan.

Masyarakat gunung (mountain people) secara sederhana didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang hidup di daerah gunung atau pegunungan (Rigg, 1862). Masyarakat Sunda Parahiyangan dikenal sebagai masyarakat gunung (urang gunung) berdasarkan tempat mereka hidup dan hampir seluruh aktivitas kehidupannya berada di daerah pegunungan. Dengan demikian, masyarakat Sunda Parahiyangan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO (2007), disimpulkan bahwa masyarakat gunung termasuk ke dalam masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, dan mengalami ketidakcukupan pangan (food insecurity).

Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat gunung sangat antagonis ketika melihat fungsi vital dari gunung bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Gunung berfungsi sebagai penyedia air, udara, penjaga stabilitas keanekaragaman hayati, dan penyedia komoditas yang bernilai ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan ekosistem gunung telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya. Degradasi lahan yang terjadi, di antaranya, adalah semakin berkurang tanah subur, air, dan keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan, papan, sandang, dan energi bagi masyarakat. Beberapa faktor penyebab terjadinya degradasi lahan di pegunungan yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan ketidacukupan pangan masyarakat, di antaranya, adalah tingginya aktivitas perambahan hutan, konversi lahan, dan pertumbuhan populasi.


(27)

2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal

Masyarakat gunung tidak terlepas dari aktivitas pertanian sebagai tempat mereka menggantungkan hidupnya (FAO, 2007). Berdasarkan sejarah, budaya, dan karakteristik alam serta lingkungannya, masyarakat gunung Sunda Parahiyangan memiliki keunikan yang tercermin dalam aktivitas masyarakatnya seperti dalam hal pertanian (Lubis et al., 2003). Secara umum masyarakat Sunda memiliki mata pencaharian utama dalam perburuan, pertambangan, perikanan, perniagaan, pelayaran, pertanian, dan peternakan. Aktivitas pertanian masyarakat

Sunda di pedalaman berdasarkan informasi dalam Sanghyang Siksakandang

Karesian (Danasasmita, 1987) adalah perladangan yang berkembang menjadi sistem perkebunan. Sistem persawahan baru dikembangkan pada awal abad ke-17 ketika pengaruh Mataram masuk wilayah Tatar Sunda (Lubis et al., 2003).

Sistem pertanian yang berkembang di daerah Jawa Barat pada umumnya adalah sistem agroforestri berupa kebun-talun dan pekarangan (Soemarwoto dan Conway, 1992), serta sistem padi sawah (Christanty, Abdoelah, Marten, dan Iskandar, 1986). Sistem pertanian tersebut merupakan modifikasi dari sistem pertanian tradisional Jawa (Christanty et al., 1986). Iskandar dan Iskandar (2011) menambahkan bahwa dalam perkembangan sejarah masyarakat Sunda, sistem ekologi pertanian (agroekosistem) yang dijalankan terdiri dari lima agroekosistem, yaitu huma, kebun-talun, sawah, kebun sayuran, dan pekarangan (Gambar 2). Perkembangan agroekosistem dipengaruhi oleh perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya pertanian yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi meningkat ke arah pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi dan spiritual-budaya.

Soemarwoto (1984) mendefinisikan kebun-talun sebagai sistem rotasi antara kebun campuran dan tanaman kayu yang merupakan sistem pertanian tradisional untuk meningkatkan produksi dan menyediakan banyak fungsi serta manfaat. Berdasarkan masa perkembangannya, Iskandar dan Iskandar (2011) menjelaskan bahwa awal pembentukan sistem pertanian kebun-talun dimulai dengan pembukaan talun tua menjadi kebun. Selanjutnya kebun berkembang dan

diberakan hingga menjadi talun kembali. Dengan demikian rotasi


(28)

Dibangun Rumah

Kebun Campuran Kebun

Talun

Huma

Leuweung Kolot

Reuma Kolot

Reuma Ngora

Tegalan Sistem Huma

Sistem Kebun-Talun

Sistem Pekarangan

Dikonversi Dibera

Dibera Dibuka

Dibera Dibuka

Dibangun Rumah Sistem Sawah

Dibangun Rumah

Dibangun Rumah Irigasi

Non-Irigasi

Non-Irigasi

Dibuka Dibera

Gambar 2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda (Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011)

Pekarangan didefinisikan Soemarwoto dan Conway (1992) sebagai sistem pertanian di sekitar rumah. Pekarangan merupakan sistem tradisional yang berlokasi di sekitar permukiman yang menyediakan produk kebutuhan dasar bagi pemiliknya serta produk komersial dengan mengkombinasikan pertanian pangan, pohon, dan hewan ternak. Sistem pertanian yang terbentuk merupakan hasil interaksi masyarakat Sunda terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungannya yang didasarkan pada ragam kebutuhan mendasar (based needs).

Kearifan lokal masyarakat pertanian telah membentuk budaya pertanian (agriculture) yang sulit dipisahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakatnya (Becker dan Ghimire, 2003). Dalam budaya Sunda dikenal adanya tiga hubungan yang harus saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu manusia,


(29)

alam, dan tuhan. Berdasarkan etimologinya1, kata Sunda berasal dari Sun-Da-Ha

yang mengandung arti Sun adalah Diri, Da adalah Alam, dan Ha adalah Tuhan. Berdasarkan hal ini, kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah tempat kearifan lokal tersebut berlaku.

Ranah pertama adalah Diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Konsep Sun yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan individu dengan individu atau individu dengan masyarakat. Beberapa kearifan lokal masyarakat Sunda dalam konteks Sun, di antaranya, adalah hade ku omong, goreng ku omong

(segala hal sebaiknya dibicarakan) yang maksudnya bahwa keterbukaan dalam hubungan bermasyarakat sebaiknya dibudayakan.

Kedua adalah konsep Da yang merupakan hubungan manusia dengan alam

yang banyak terlihat dalam aktivitas masyarakat adat Sunda yang sangat memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dasar dalam melakukan pengabdian pada alam diungkapkan dalam ungkapan suci ing pamrih rancage gawe yang maksudnya bahwa antara manusia dan alam adalah bagian yang menyatu dan tidak terpisah. Masyarakat adat Sunda beranggapan bahwa mereka hidup bersama alam, dan bukan hidup di alam. Dengan kata lain, ketika mereka merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri dan masyarakat, seperti dalam ungkapan leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak (hutan rusak, air habis, dan rakyat sengsara).

Ketiga adalah konsep Ha yang merupakan hubungan manusia dengan

Tuhan. Konsep Ha diungkapkan dalam perilaku masyarakat yang

mengharmoniskan antara perilaku sesama manusia dan alamnya atas dasar kepercayaan terhadap Tuhan YME. Berdasarkan hal itu, secara turun-temurun masyarakat Sunda terus mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupannya guna tetap terjaganya keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhannya.

Keagungan nilai kearifan lokal tersebut masih dijaga eksistensinya oleh beberapa masyarakat adat Sunda. Kawasan Sunda Parahiyangan memiliki masyarakat yang secara adat masih memegang teguh budaya Sunda sebagai warisan dari para leluhurnya (Suryani, 2011), seperti Kampung Gentur di

       1


(30)

Kabupaten Cianjur (850 mdpl.2), Kampung Cikondang di Kabupaten Bandung (1.100 mdpl.3), Kampung Rancakalong di Kabupaten Sumedang (727 mdpl.4), Kampung Pulo di Kabupaten Garut (700 mdpl.5), Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya (1.200 mdpl.6), dan Kampung Ciomas di Kabupaten Ciamis (700 mdpl.7).

Kampung adat di kawasan Sunda Parahiyangan masih memegang konsep-konsep penataan ruang termasuk didalamnya ruang pertanian, seperti luhur-handap, kaca-kaca, dan lemah-cai (Purnama, 2007). Konsep luhur-handap

didasarkan pada pemaknaan Sunda (Sun-Da-Ha) sebagai gambaran hubungan antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Kebun-talun merupakan manifestasi dari konsep luhur (atas) yang banyak diinterpretasikan sebagai kawasan keramat (kabuyutan). Implementasi dari konsep ini terlihat pada pemanfaatan di kawasan hulu yang sangat terbatas hingga adanya kawasan keramat berupa leuweung larangan dan/atau leuweung tutupan (hutan larangan dan/atau hutan tutupan) yang tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pengkeramatan dilakukan sebagai penghormatan terhadap para leluhur (karuhun) yang telah berjasa dalam menjaga stabilitas kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhannya.

Pekarangan merupakan manifestasi dari konsep tengah (tengah) yang diinterpretasikan sebagai permukiman (Purnama, 2007). Selain memiliki fungsi produksi bagi pemiliknya, pekarangan dapat menyediakan fungsi sosial di antara

masyarakatnya. Pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang sosial yang

mengakomodasi aktivitas sosial-ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Sistem pertanian sawah yang banyak dibudidayakan di kawasan hilir merupakan manifestasi dari konsep handap (bawah) yang diinterpretasikan sebagai kawasan perekonomian (Purnama, 2007).

       2

http://cianjurkab.go.id/Daftar_Kecamatan_Nomor_10.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

3

http://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/08/kepercayaan-religi-masyarakat-adat.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

4

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_b025_0603328_chapter4.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

5

http://sikec.garutkab.go.id/UserFiles/File/leles2009.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

6

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

7


(31)

Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal (Purnama, 2007). Konsep

lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari tanah dan air. Dengan demikian, dalam budaya Sunda elemen tanah dan air menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman dan pertanian.

Kearifan lokal merupakan aktualisasi dari sistem pengetahuan masyarakat dalam mengkonseptualisasikan interakasi budaya lokal masyarakatnya dengan alam. Hal tersebut diistilahkan oleh Becker dan Ghimire (2003) dengan

traditional ecological knowledge/TEK yang selanjutnya digunakan pengetahuan ekologik tradisional/PET. Sistem pengetahuan tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kerangka etnografi sebagai keilmuan yang mengkaji kebudayaan suatu masyarakat. Kajian sistem pengetahuan dalam ranah etnografi dapat ditelusuri lebih lanjut berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal (Koentjaraningrat, 1990). Koentjaraningrat (1990) menyusun kerangka etnografi berisi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi (spiritual) yang didahului dengan pendeskripsian lokasi, lingkungan alam, dan demografi masyarakatnya.

2.5. Pertanian Bekelanjutan

Sistem pembangunan pertanian konvensional yang masih berorientasi untuk memaksimalkan perolehan ekonomi tanpa memperdulikan aspek kelestarian lingkungan perlu ditinggalkan dan diganti dengan sistem pembangunan pertanian ramah lingkungan yang mengacu pada pencapaian pembangunan pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai usaha pertanian yang mampu memaksimalkan sumber daya alam dan lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak hanya pada masa sekarang, tetapi untuk masa yang akan datang (FAO, 2010).


(32)

Pertanian berkelanjutan akan terwujud dengan mengkombinasikan empat kunci keberlanjutan USDA yang saling terkait (USDA-NAL, 2007), yaitu (1) menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat, serta berkontribusi dalam penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas lingkungan dan sumber daya, (3) mempertahankan kelangsungan ekonomi pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas hidup bagi petani, buruh tani, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan, fungsi utama pertanian sebagai penyedia kebutuhan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan dapat tercapai. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar inilah yang menjadi permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.

Food and Agriculture Organization (2010) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai askes bagi semua penduduk atas makanan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Definisi lain yang dikemukakan oleh Machmur (2010) berdasarkan amanat UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian, ketahanan pangan nasional merupakan agregat dari ketahanan pangan rumah tangga dan pengertian inilah yang dapat dijadikan sebagai dasar strategi pembangunan pertanian berkelanjutan.

Ketahanan pangan dapat tercapai setidaknya mengandung dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, suatu negara belum dapat dikategorikan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Ketahanan pangan dikatakan rapuh jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, meskipun stok pangan cukup tersedia. Ketahanan pangan erat kaitannya dengan kemandirian, tetapi kemandirian dalam konsep ketahanan pangan bukan kemandirian dalam keterisolasian (Machmur, 2010). Dalam konteks kekinian, kemandirian menuntut adanya kondisi saling tergantung (interdependency) antara lokal dan global, tradisional dan modern, desa dan kota, rakyat dan pemerintah, dan sebagainya. Kemandirian dalam konteks ini berarti kemandirian dalam paham pro-aktif yang saling tergantung dan bukan reaktif atau bahkan defensif (Kartasasmita, 2005).


(33)

Salah satu bentuk implementasi kemandirian pro-aktif adalah kemandirian pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Harianto, 2007). Perdesaan merupakan basis praktik pembangunan pertanian, sedangkan pertanian menjadi komponen utama yang menopang kehidupan perdesaan di Indonesia. Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional hanya dapat terwujud jika kondisi saling tergantung tersebut dibangun atas dasar kekuatan modal fisik/alam, SDM, sosial, dan finansial yang tinggi.

Budaya Sunda sangat erat kaitannya dalam hal tersebut, ungkapan silih-asih

(saling mengasihi), silih-asah (saling menasihati), silih-asuh (saling mengayomi), ulah pareumeun obor (jangan memutuskan tali silaturahmi), cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok (sesuatu yang dijalani pasti akan menghasilkan meskipun sedikit demi sedikit), kudu nyaah ka sasama (harus menyayangi sesama), ulah poho ka karuhun jeung ka anak incu (jangan melupakan para pendahulu dan anak cucu), serta ngajaga amanat (menjaga amanah/kepercayaan) merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem pembangunan pertanian yang lebih holistik dan berkelanjutan.


(34)

(35)

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan mulai bulan November 2011 hingga Juli 2012. Lokasi penelitian merupakan dusun Sunda yang masih menjalankan aktivitas kehidupan berdasarkan adat istiadat budaya Sunda. Dalam penelitian ini, kajian difokuskan pada lokasi penelitian berdasarkan pendekatan sejarah, etimologi, dan daerah alirah sungai (DAS) terkait aspek pertanian (zona agroklimat). Berdasarkan hal tersebut, dipilih tiga dusun Sunda yang memiliki keterkaitan kuat dengan sejarah Kerajaan Sunda, perkembangan kawasan Parahiyangan, dan termasuk ke dalam DAS Citanduy, yaitu Dusun Ciomas, Mandalare, dan Kertabraya di Desa Ciomas, Mandalare, dan Kertamandala, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis (Gambar 3).

U

Dusun Kertabraya Dusun Mandalare Dusun Ciomas

Peta Wilayah Sungai Citanduy, Provinsi Jawa Barat, Indonesia

Lokasi Penelitian

S 070 20’ – 070 40’ dan E 1080 15’ – 1090 15’

Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis


(36)

3.2. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian difokuskan pada kajian karakteristik lanskap pertanian di kawasan Sunda Parahiyangan. Obyek penelitian dipilih berdasarkan keterkaitannya dengan konsep lanskap pertanian Sunda Parahiyangan baik secara etimologi, sejarah, dan pendekatan daerah aliran sungai (DAS). Dusun terpilih diduga memiliki keterkaitan kuat dengan konsep Sunda Parahiyangan, yaitu berada di kawasan pegunungan atau dataran tinggi lebih dari 600 mdpl. (Miskinis, 2011), terkait sejarah Kerajaan Sunda dan perkembangan Parahiyangan, serta masyarakatnya yang masih menjalankan budaya Sunda (kearifan lokal) dalam aktivitas kehidupan terutama dalam aktivitas pertanian.

Sistem pertanian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sistem pertanian masyarakat Sunda yang meliputi kebun-talun, sawah, dan pekarangan dalam kawasan permukiman. Analisis karakteristik lanskap pertanian dibatasi pada aspek karakter fisik lanskap (ekologi), karakter masyarakat (sosial-ekonomi dan spiritual-budaya), dan aspek kebijakan sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi sistem internal lanskap pertanian. Untuk memperoleh karakteristik fisik lanskap pertanian yang kuat, dalam penelitian dilakukan kajian terhadap tiga lokasi berbeda berdasarkan ketinggian tempat dalam satu DAS yang sama. Berdasarkan pembagian zona DAS, kawasan Parahiyangan termasuk ke dalam zona DAS hulu (> 600 mdpl.). Kabupaten Ciamis termasuk ke dalam DAS Citanduy dan daerah studi berada dalam daerah hulu DAS (Sub-DAS Cimuntur). Berdasarkan konsep ruang Sunda luhur-handap, Dusun Ciomas (> 600 mdpl.) ditetapkan sebagai daerah handap, Dusun Mandalare di daerah tengah (800-1.000 mdpl.), dan Dusun Kertabraya di daerah luhur (> 1.000 mdpl.).

Kajian aspek ekologi dibatasi pada kondisi unsur pembentuk lahan pertanian, yaitu tanah dan topografi, hidrologi, unsur iklim (suhu, kelembaban nisbi, curah hujan, dan lama penyinaran), serta vegetasi dan satwa. Perbedaan unsur pembentuk lahan berdampak pada perbedaan karakter lanskap pertanian. Kajian aspek sosial-ekonomi dibatasi pada kondisi sistem sosial-ekonomi masyarakat lokal dengan melihat tingkat kesejahteraan secara kualitatif berdasarkan ukuran kebahagiaan masyarakat (Fellman (2003) dalam Jayadinata dan Pramandika (2006)).


(37)

Kajian aspek sistem spiritual-budaya dibatasi pada sistem pengetahuan ekologik tradisional tentang pertanian berdasarkan pemahaman masyarakat lokal. PET yang dikaji bukan secara murni sistem pengetahuan asli dari masyarakat lokal, karena sulit membedakan antara pengetahuan lokal yang murni hasil proses belajar masyarakat setempat atau merupakan adopsi, adaptasi, atau akulturasi dari pengetahun lain. Dengan demikian, sistem pengetahuan yang dikaji merupakan pengetahuan yang diketahui, diyakini, dan masih dijalankan atau sudah ditinggalkan oleh masyarakat lokal.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian, di antaranya, adalah GPS (Global

Positioning System), meteran, kamera, lembar panduan wawancara dan kuesioner,

serta perangkat lunak pengolah data spasial dan statistik. Bahan yang dibutuhkan dalam studi adalah peta rupa bumi digital Indonesia lembar 1308-441 (Kawali) dengan skala 1:25.000 dan peta Wilayah Sungai Citanduy.

3.4. Tahapan dan Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan sebagai upaya untuk dapat memperoleh informasi terkait obyek penelitian sehingga dapat memberikan jawaban yang relevan bagi pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan penelitian. Penelitian dilakukan melalui kegiatan prapenelitian, penelitian, analisis, sintesis, dan penyusunan rekomendasi pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal masyarakat Sunda Parahiyangan (Gambar 4).

3.4.1. Metode Penentuan Sampel Kampung

Penentuan sampel kampung (dusun) merupakan tahap awal dalam penelitian. Dusun yang dijadikan sebagai obyek penelitian dipilih berdasarkan kajian pustaka terhadap konsep lanskap pertanian Sunda Parahiyangan (Priangan atau Prianger dalam Bahasa Belanda) dan pendekatan daerah aliran sungai (DAS). Dusun yang dipilih berada dalam kawasan Parahiyangan (Kabupaten Ciamis) dengan ketinggian rata-rata lebih dari 600 mdpl.


(38)

Aspek Ekologi Sosial-Ekonomi Aspek Spiritual-Budaya Aspek Aspek Legal

1.  Terrain (lereng dan topografi) 2.  Iklim

3.  Tanah

4.  Hidorologi

5.  Vegetasi dan

Satwa Pertanian

6.  Batas Ekologi

7.  Land cover 8.  Land use

1.  Kependudukan

2.  Pendidikan

3.  Pekerjaan

4.  Kesehatan

5.  Kelembagaan

Sosial

6.  Kelembagaan

Ekonomi

1.  Agama dan Kepercayaan

2.  Elemen Budaya (Simbol,

Nilai, dan Norma)

3.  Persepsi dan Harapan

4.  Sikap dan Perilaku

5.  Adat Istiadat

6.  Kesejarahan

1.  Kebijakan Pelestarian

2.  Aturan Adat

3.  Konsep Keberlanjutan

Fisik Lanskap dan Masyarakat

4.  Batas Administrasi

Kajian Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan sebagai Model Lanskap Pertanian Berkelanjutan !

Sunda Parahiyangan!

(Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalayan, dan Ciamis)!

Kampung/dusun Sunda dengan ketinggian > 600 mdpl. dalam kawasan DAS Citanduy (Sub-DAS Cimuntur) dan termasuk wilayah administrasi !

Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat!

Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

(Metode Karakterisasi Lanskap Landscape Characteristic Assessment/LCA (Swanwick, 2002))

Analisis Ragam Pengetahuan Ekologi Tradisional Masyarakat Pertanian Sunda Parahiyangan

(Metode Pengetahuan Berbasis Sistem (Walker et al., 1997))

Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan (Faktor Fisik dan Masyarakat)

(Metode Keberlanjutan Fisik Lanskap National Research Council/NRC(NRC, 2010) dan Keberlanjutan

Masyarakat Community Sustainability Assessment/CSA(GEN, 2008))

Konsep Pengelolaan Lanskap Pertanian Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Parahiyangan


(39)

Kawasan Parahiyangan yang berada di Kabupaten Ciamis termasuk ke dalam jajaran pegunungan Sunda Parahiyangan (Gunung Galunggung, Sawal dan Cakrabuana). Berdasarkan daerah aliran sungan (DAS) termasuk ke dalam satuan Wilayah Sungai Citanduy yang berhulu di Gunung Cakrabuana dan bermuara di Danau Segara Anakan. Terkait aspek pertanian, ketinggian suatu tempat sangat mempengaruhi keberagaman produksi pertanian. Hal tersebut terkait dengan perbedaan suhu yang berkorelasi dengan ketinggian tempat (zona agroklimat). Dengan pendekatan tersebut, dalam penelitian ditentukan kampung dengan ketinggian berbeda (600-800 mdpl; 800-1.000 mdpl; > 1.000 mdpl). Di samping itu, pembagian tersebut merupakan upaya pencerminan dari konsep luhur-handap

dalam budaya masyarakat Sunda (Gambar 5).

Kabupaten

DAS Hulu

DAS Tengah

DAS Hilir

Luhur (> 1000 mdpl.) Tengah (800-1000 mdpl.) Handap (600-800 mdpl.)

Berdasarkan administrasi dan sejarah Berdasarkan karakter lanskap Sunda Parahiyangan (Gunung)

Berdasarkan daerah aliran sungai (DAS)

Berdasarkan zona agroklimat dan interpretasi konsep

luhur-handap Kampung (Dusun)

> 600 mdpl. Cianjur Bandung Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Sejarah Kerajaan Sunda, perkembangan Parahiyangan/ Priangan, etimologi, dan DAS Konsep Parahiyangan

Gambar 5. Metode Penentuan Sampel Kampung (Dusun)

Berdasarkan kriteria tersebut, ditentukan tiga dusun, yaitu Dusun Ciomas di Desa Ciomas (729-750 mdpl. dan termasuk daerah luhur), Dusun Mandalare di Desa Mandalare (737-866 mdpl. dan termasuk daerah tengah), dan Dusun Kertabraya di Desa Kertamandala (898-1203 mdpl. dan termasuk daerah handap). Ketiga dusun tersebut berada dalam kawasan Gunung Sawal, kawasan DAS Citanduy (Sub-DAS Cimuntur), dan termasuk ke dalam satuan wilayah administrasi Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat (Gambar 6).


(40)

Dusun Ciomas, Desa Ciomas

Sumber:

Peta Rupabumi Digital Indonesia - Kawali Skala 1:25.000 - Bakosurtanal

Keterangan

Dusun Mandalare, Desa Mandalare Dusun Kertabraya, Desa Kertamandala Peta Insert: Peta Kabupaten Ciamis

Gambar 6. Lokasi Dusun di Daerah Studi

3.4.2. Metode Pengumpulan Data dan Informasi

Penelitian dipandu oleh rincian jenis dan sumber data yang digunakan dalam pencapaian tujuan penelitian (Tabel 1). Data diperoleh melalui partisipasi aktif masyarakat lokal dengan pendekatan metode Rapid Partisipatory Rural

Appraisal (rPRA) (Muleler, Assanou, Guimbo, dan Almedom, 2009)

menggunakan sistem wawancara semi terstruktur, Focus Group Discussion

(FGD), observasi lapang (Huntington, 2000; Mulyoutami, Rismawan, dan Joshi, 2009), dan telaah pustaka.

Wawancara dilakukan dengan menyajikan pertanyaan yang mengacu kepada aspek penilaian keberlanjutan fisik lanskap National Research

Council/NRC (NRC, 2010) dan keberlanjutan masyarakat Community

Sustainability Assessment/CSA (GEN. 2008). Wawancara dilakukan kepada

narasumber (informan kunci) yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan rekomendasi yang valid (purposive). Wawancara dilakukan terhadap beberapa tokoh masyarakat, di antaranya, adalah kokolot (sesepuh masyarakat),


(41)

Dalam FGD disajikan beberapa permasalahan secara topikal terkait proses pengelolaan lanskap pertanian berkelanjutan untuk memperoleh data yang beragam dari berbagai macam responden (informan kunci). Topik kajian dalam FGD mengacu kepada penilaian keberlanjutan fisik lanskap NRC dan keberlanjutan masyarakat CSA. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan permasalahan pertanian yang dilihat dari sisi ekologi, sosial-ekonomi, dan spiritual-budaya (Lampiran 1 dan 2). Selanjutnya, data dan informasi hasil wawancara dan FGD disesuaikan dengan kondisi aktual melalui observasi lapang bersama masyarakat. Dengan proses tersebut, dapat diperoleh data dan informasi yang valid mengenai lanskap pertanian Sunda Parahiyangan berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional masyarakatnya.

Tabel 1. Jenis Data dan Sumber Perolehannya

No. Jenis Data Unsur Data Sumber Data

1. Sunda Parahiyangan

a.Kesejarahan:

Sejarah Sunda Parahiyangan, latar belakang dan sumber utama sejarah dan budaya.

Observasi lapang, wawancara semi terstruktur b.Kondisi Umum:

Peta tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, data hidrologi, data iklim, data demografi, data geografis, data/peta sirkulasi dan aksesibilitas, view, elemen lanskap alami, serta data vegetasi dan satwa.

Observasi lapang, Bappeda, BMG, Puslitbang Tanah, Bakosurtanal, BPS, BP DAS Citanduy. c.Kondisi Masyarakat Setempat:

Sistem kehidupan, ragam aktivitas masyarakat (sosial, budaya dan ekonomi), kepentingan penggunaan tapak, persepsi, harapan, dan intervensi masyarakat.

Observasi lapang, wawancara semi terstruktur, BPS, Potensi Desa.

2. Aspek Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

a.Sistem Pertanian Masyarakat Sunda Parahiyangan:

Karakteristik ekologi, sosial dan ekonomi, serta spiritual dan budaya.

Observasi lapang, wawancara semi terstruktur, BPS, Potensi Desa. b.Kebijakan Pengelolaan/Aspek Legal

Sistem pengelolaan saat ini, kebijakan pengelolaan, kebijakan tata ruang, dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat, serta rencana pengembangan kawasan berbasis pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).

Observasi lapang, wawancara semi terstruktur, BPS, BP DAS Citanduy, Potensi Desa.


(42)

3.4.3.Metode Inventarisasi Tanaman

Inventarisasi tanaman dilakukan dengan menggunakan sistem plot survei tanaman (Fridley, Senf, dan Peet, 2009) dengan metode garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Plot dibuat berukuran 1.000 m2 (50x20 m) untuk tanaman dalam agroekosistem kebun-talun dan sawah (Gambar 7). Kajian pada agroekosistem pekarangan, disesuaikan dengan kepemilikan luasan pekarangan (< 200 m2, 200-500m2, dan > 500 m2). Contoh plot ditentukan secara acak dan dipastikan sebelumnya berdasarkan dugaan (purposive random

sampling). Masing-masing agroekosistem di setiap dusun ditentukan tiga contoh

yang representatif. Hasil inventarisasi tanaman dominan (tiga jenis tanaman dalam setiap agroekosistem) digunakan sebagai dasar perhitungan tingkat keanekaragaman jenis tanaman berdasarkan perhitungan indeks Shannon-Wienner

(Finotto, 2011).

Gambar 7. Bentuk dan Ukuran Plot dalam Pengamatan Tanaman

3.4.4. Metode Analisis Karakteristik Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

Metode yang digunakan adalah Landscape Characteristic Assessment/LCA (Swanwick, 2002) yang meliputi tahap penentuan ruang lingkup analisis, pengumpulan dan pengolahan data, pengamatan lapang, serta klasifikasi dan deskripsi karakter lanskap. Analisis dilakukan secara deskriptif dan spasial terhadap aspek ekologi, sosial-ekonomi, spiritual-budaya, dan aspek legal berdasarkan pendekatan pengetahuan ekologik tradisional (PET). PET merupakan


(43)

spesifikasi dari pengetahuan lokal yang fokus pada konseptualisasi suatu budaya lokal dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungannya (Becker dan Ghimire, 2003). PET digunakan untuk mengkaji aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan spiritual-budaya berdasarkan pemahaman para ahli (tokoh masyarakat) mengenai masalah pertanian dengan pendekatan pengetahuan masyarakat lokal. Hasil karakterisasi berupa deskripsi dari karakter lanskap pertanian Sunda Parahiyangan.

3.4.5. Metode Analisis Keberlanjutan Lanskap Pertanian Sunda Parahiyangan

Analisis keberlanjutan dilakukan pada aspek fisik dan masyarakat, serta aspek intervensi kebijakan dengan pendekatan metode National Research

Council/NRC (NRC, 2010) dan Community Sustainability Assessment/CSA

(GEN, 2008). Analisis keberlanjutan lanskap pertanian menjadi salah satu faktor penting dalam menunjang tercapainya pembangunan pertanian berkelanjutan. Sebagai media utama yang mewadahi aktivitas pertanian, lanskap pertanian harus memiliki struktur dan fungsi sistem ekologi pertanian (agroekosistem) dengan daya lentur (resilience) yang optimal sebagai bentuk adaptasi terhadap dinamika pembangunan.

Untuk mengetahui tingkat keberlanjutan suatu lanskap pertanian, dilakukan analisis terhadap tiga unsur utama keberlanjutan (ekologi, sosial-ekonomi, dan spiritual-budaya) guna mencapai empat tujuan dari pertanian berkelanjutan USDA (USDA-NAL, 2007), yaitu (1) menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat,

serta berkontribusi dalam penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas

lingkungan dan sumber daya, (3) mempertahankan kelangsungan ekonomi pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas hidup bagi petani, buruh tani, dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil analisis keberlanjutan NRC dan CSA disesuaikan dengan kriteria keberlanjutan USDA membentuk matriks hubungan pengelolaan lanskap pertanian ke arah keberlanjutan. Matriks tersebut menjadi acuan dalam menyusun strategi pengelolaan lanskap pertanian Sunda Parahiyangan yang berkelanjutan.


(1)

156

berekreasi dan berwisata (olah raga, hobi, relaksasi, dsb)?

5. Apakah terdapat ruang sosial bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial?

6. Berapa sering masyarakat melakukan aktivitas kesenian di KKA?

7. Apakah desain kawasan dan penampilan masyarakatnya memunculkan nilai seni, keindahan, dan kualitas estetika yang baik?

8. Bagaimana respon, ekspresi, dan pengalaman masyarakat terhadap keindahan seni, taman, arsitektur, dsb.?

c. Keberlanjutan spiritual 1. Apakah masyarakat diberi kebebasan untuk memeluk dan meyakini agama dan kepercayaan yang diyakininya?

2. Apakah fasilitas untuk meningkatkan ketakwaan masyarakatnya tersedia dengan mudah?

3. Bagaimana kondisi spiritualitas dalam masyarakat? 4. Apa aktivitas dan media spiritual yang dilakukan

oleh masyarakat?

5. Berapa sering masyarakat melakukan ritual keagamaan?

6. Bagaimana kearifan lokal masyarakat dan nilai keagamaan yang diyakininya mampu memberikan kontribusi nyata bagi kelestarian lingkungan? 7. Apakah tersedia ruang khusus untuk pelaksanaan

ritual keagamaan?

8. Apakah masyarakat merasakan pentingnya agama dalam kehidupannya?

9. Bagaimanan gambaran/manifestasi nilai spiritual dalam kehidupan masyarakat di KKA?

d. Keeratan komunitas 1. Apakah masyarakat setuju bahwa kualitas hidup dalam bermasyarakat adalah lebih baik dari individualis?

2. Bagaimana masyarakat berbagai dalam hal keyakinan, nilai, dan pengalaman?

3. Bagiamana prinsip-prinsip moral beradaptasi menjadi filosofi bagi kehidupan masyarakat?

4. Bagaiamana masyarakat secara tradisional menjaga keeratan hubungan antar warga?

5. Bagaimana hubungan masyarakat berdasarkan gender?

e. Kelenturan komunitas 1. Apakah masyarakat mampu merespon secara positif masalah yang terjadi pada anggota masyarakatnya? 2. Apakah masyarakat bisa menerima ketika

membutuhkan bantuan pihak luar dalam menangani masalahan yang terjadi?

3. Bagaimana masyarakat merespon permasalahan yang terjadi pada anggota masyarakat yang termarjinalkan?


(2)

4. Bagaimana masyarakat mengupayakan kemampuannya dalam memecahkan permasalahan yang terjadi?

5. Bagaimana upaya tradisional yang dapat dilakukan masyarakat dalam menghadapi permasalahan? f. Paradigma baru,

pandangan global

1. Apakah masyarakat menyadari tanggung jawabnya dalam mengembangkan diri dan masyarakatnya? 2. Apakah masyarakat menyadari bahwa keberagaman

manusia harus dinilai dan didukung sama pentingnya seperti kesehatan dan kesuksesan masyarakat? 3. Apakah terdapat kesadaran untuk berbagi baik dalam

komunitas lokal maupun global?

4. Apakah masyarakat telah mengetahui dan menerima konsep keberlanjutan?

5. Apakah ada kesadaran masyarakat bahwa apa yang dilakukan masyarakat adalah untuk keberhasilan masyarakat itu sendiri?

g. Kesadaran perdamaian dan global

1. Apakah masyarakat menyadari bahwa keharmonisan dalam keberagaman sangat bermanfaatn bagi komunitas?

2. Apakah aktivitas masyarakat berdampak pada keterbukaan hati dan pikiran anggota masyarakat untuk sebuah pengalaman bersama yang berharga? 3. Apakah ketika penentuan kebijakan, anggota

masyarakat dapat menggunakan hati dan pikirannya secara bijak, jujur, dan penuh dedikasi?

4. Apakah masyarakat berani bertanggung jawab atas perbuatan salah yang diperbuat?

5. Apakah masyarakat bijak (selfless)?

6. Apakah KKA merupakan tempat yang baik untuk memupuk perdamaian baik lokal maupun global?


(3)

158

Lampiran 3.

Kriteria Penilaian dalam Community Sustainability Assessment/CSA

No. Parameter Bobot

Aspek Ekologis

1. Perasaan terhadap tempat *

2. Ketersediaan, produksi, dan distribusi makanan *

3. Infrastruktur, bangunan, dan transportasi *

4. Pola konsumsi dan pengelolaan limbah padat *

5. Air-sumber mutu dan pola penggunaan *

6. Limbah cair dan pengelolaan polusi air *

7. Sumber dan penggunaan energy *

Total nilai aspek ekologis **

Aspek Sosial

1. Keterbukaan, kepercayaan, keselamatan; ruang bersama *

2. Komunikasi, aliran gagasan, dan informasi *

3. Jaringan pencapaian dan jasa *

4. Keberlanjutan sosial *

5. Pendidikan *

6. Pelayanan kesehatan *

7. Keberlanjutan ekonomi lokal yang sehat *

Total nilai aspek sosial **

Aspek Spiritual

1. Keberlanjutan budaya *

2. Seni dan kesenangan *

3. Keberlanjutan spiritual *

4. Keterikatan masyarakat *

5. Kelenturan masyarakat *

6. Holografik baru berorientasi global *

7. Perdamaian dan kesadaran global *

Total nilai aspek spriritual **

Total nilai aspek keseluruhan ***

Keterangan:

1. Pembobotan parameter dalam satu aspek (*)

50+ : Menunjukan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 25-49 : Menunjukan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-24 : Menunjukan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 2. Pembobotan parameter dalam satu aspek (**)

333+ : Menunjukan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 166-332 : Menunjukan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-165 : Menunjukan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan 3. Pembobotan parameter dalam satu aspek (***)

999+ : Menunjukan kemajuan sempurna ke arah keberlanjutan 500-998 : Menunjukan suatu awal yang baik ke arah keberlanjutan 0-449 : Menunjukan perlunya tindakan untuk mencapai keberlanjutan


(4)

 

1 Ciomas 1a Pisang Musa paradisiaca L. 46 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 9 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 9 Pohon Industri/Lainnya

2a Pisang Musa paradisiaca L. 21 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 15 Pohon Industri/Lainnya

Cengkeh Syzygium aromaticum 10 Perdu Bumbu/Lainnya

3a Jati Tectona grandis L.f. 28 Pohon Industri/Lainnya

Mengkudu Morinda citrifolia L. 9 Perdu Buah/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 5 Pohon Industri/Lainnya

2 Mandalare 1b Pisang Musa paradisiaca L. 58 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Cengkeh Syzygium aromaticum 16 Perdu Bumbu/Lainnya

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 18 Pohon Industri/Lainnya

2b Pisang Musa paradisiaca L. 39 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 18 Pohon Industri/Lainnya

Cengkeh Syzygium aromaticum 14 Perdu Bumbu/Lainnya

3b Pisang Musa paradisiaca L. 33 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Jati Tectona grandis L.f. 15 Pohon Industri/Lainnya

Bambu Apus Gigantochloa apus 13 Pohon Industri/Sayur/Obat/Lainnya

3 Kertabraya 1c Kopi Robusta Coffea robusta L. 24 Perdu Buah

Pisang Musa paradisiaca L. 24 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Suren Toona sureni (BI.) Merr 23 Pohon Industri/Lainnya

2c Pisang Musa paradisiaca L. 63 Perdu Buah/Penghasil Pati/Obat

Suren Toona sureni (BI.) Merr 10 Pohon Industri/Lainnya

Gmelina Gmelina arborea Roxb. 10 Pohon Industri/Lainnya

3c Pisang Musa paradisiaca L. 54 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Cengkeh Syzygium aromaticum 18 Perdu Bumbu/Lainnya

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 13 Pohon Industri/Lainnya


(5)

 

Lampiran 5. Jenis Tanaman Dominan dalam Agroekosistem Sawah

No. Dusun Plot Nama Lokal Nama Botani Individu Kelompok Fungsi

1 Ciomas 1a Pisang Musa paradisiaca L. 17 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 8 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

2a Pisang Musa paradisiaca L. 123 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 11 Pohon Industri/Lainnya

Kelapa Cocos nucifera L. 6 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

3a Pisang Musa paradisiaca L. 73 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pisang Musa paradisiaca L. 35 Perdu Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 11 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

2 Mandalare 1b Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 63 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 6 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

2b Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 37 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 9 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

3b Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 54 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pisang Musa paradisiaca L. 43 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

3 Kertabraya 1c Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 117 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 3 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

2c Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 3 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 17 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 8 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

3c Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 6 Pohon Industri/Lainnya

Pisang Musa paradisiaca L. 123 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat


(6)

 

1 Ciomas 1a Pisang Musa paradisiaca L. 7 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 5 Herba Buah/Obat

Cengkeh Syzygium aromaticum 3 Perdu Bumbu/Lainnya

2a Pisang Musa paradisiaca L. 8 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 3 Herba Buah/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 3 Pohon Industri/Lainnya

3a Pisang Musa paradisiaca L. 5 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 5 Herba Buah/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 3 Pohon Industri/Lainnya

2 Mandalare 1b Pisang Musa paradisiaca L. 8 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 3 Perdu Buah/Obat

Cengkeh Syzygium aromaticum 2 Perdu Bumbu/Lainnya

2b Pisang Musa paradisiaca L. 9 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 7 Pohon Industri/Lainnya

Pepaya Carica papaya L. 2 Herba Buah/Obat

3b Pisang Musa paradisiaca L. 6 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Jambu Biji Psidium guajava L. 4 Perdu Buah/Obat

Alpukat Persea Americana L. 1 Pohon Buah/Obat

3 Kertabraya 1c Pisang Musa paradisiaca L. 16 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Kelapa Cocos nucifera L. 5 Pohon Buah/Bumbu/Lainnya

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 5 Pohon Industri/Lainnya

2c Pisang Musa paradisiaca L. 11 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 5 Herba Buah/Obat

Sengon/Albo Paraserianthes falcataria 2 Pohon Industri/Lainnya

3c Pisang Musa paradisiaca L. 7 Herba Buah/Penghasil Pati/Obat

Pepaya Carica papaya L. 3 Herba Buah/Obat