Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR

122 Gambar 24. Perbandingan Indikator Kinerja CSR Terhadap Harapan Masyarakat. 2 Importance Performance Analysis IPA Dalam IPA, dimana mengkombinasikan antara indikator performance dan indikator importance, terlihat bahwa seluruh atribut indikator CSR memiliki nilai penting bagi responden, hal ini tergambar dari letak atibut indikator CSR seluruhnya berada pada wilayah kuadran I dan II. Di posisi kuadaran II dengan indikasi bahwa indikator dan program yang termasuk dalam kuadran ini sudah sesuai antara kinerja dan harapan masyarakat. Terdapat 5 atribut indikator CSR, yakni ; jumlah dana program, program kemitraan, program bina lingkungan, kuantitas penerima manfaat serta pengaruh program terhadap masyarakat yang masuk dalam kuadran ini, oleh karena itu rekomendasi yang tepat adalah mempertahankan prestasi yang sudah dicapai, sehingga kedepan bisa diraih prestasi yang lebih baik lagi. Posisi kuadran terlihat pada gambar berikut ; 20 40 60 80 100 Program Kemitraan Program Bina Lingkungan Ketepatan Sasaran Kuantitas Penerima Manfaat Jumlah Dana Program Tingkat Keberlanjutan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Mekanisme Pelaksanaan Program Keterlibatan Stakeholders Pendampingan Program 123 Gambar 25. Diagram Performance dan Importance Indikator CSR. Keterangan : 1. Program Kemitraan 2. Program Bina Lingk ungan 3. Ketepatan Sasaran 4. Kuantitas Penerima Manfaat 5. Jumlah Dana Program 6. Tingkat Keberlanjutan Program 7. Pengaruh Program terhadap Masyarakat 8. Mekanisme Pelaksanaan Program 9. Keterlibatan Stakeholders 10. Pendampingan Program Dari gambar tersebut terlihat bahwa aspek yang termasuk dalam kuadran I adalah mekanisme pelaksanaan program, pendampingan program, tingkat keberlanjutan program, keterlibatan stakeholders dan ketepatan sasaran diindikasikan bahwa kinerja aspek indikator tersebut belum sesuai dengan harapan yang di ekspektasikan oleh masyarakat. Bisa disebabkan oleh dua hal yaitu ekspektasi yang terlalu tinggi atau kinerjanya memang rendah sehingga belum memenuhi ekspektasi tersebut. Program dan indikator yang termasuk kedalam kuadran ini harus menjadi perhatian yang serius bagi para pelaksana 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 IM P O R T AN CE PERFORMANCE KUADRAN III KUADRAN IV KUADRAN II KUADRAN I 124 dan perencana CSR di lapangan. Oleh karena itu rekomendasinya adalah prioritas untuk diperhatikan dan ditingkatkan kinerjanya. Indikator dan program yang termasuk kedalam kuadran ini adalah aspek kontinuitas program, perencanaan program, koordinasi program dan pendampingan masyarakat. Tiga dari lima aspek yang termasuk kedalam kuadran ini dan direkomendasikan untuk diperhatikan adalah variabel dalam mekanisme pelaksanaan program sehingga implementasi dalam rangka meningkatkan kinerjanya sangat bertumpu kepada kemampuan organisasi dan tata kelola organisasi dalam rangka memprogram CSR menjadi lebih baik. Sementara satu aspek yang juga direkomenasikan penting untuk diperhatikan adalah variabel teknis dimana sangat berperan dalam keberhasilan pemberdayaan masyarakat yaitu aspek pendampingan program, disadari atau tidak disadari aspek ini memang merupakan salah satu kelemahan dalam pelaksanaan CSR PKT selama ini.

4.4.2 Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir

1 Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat pesisir dirancang selain untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi, juga dapat menjadi media pelestarian nilai-nilai lokal yang adaptif terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup. Usaha ekonomi yang dikembangkan merupakan usaha yang sesuai dengan potensi sumberdaya sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan setempat, yang memiliki prospek pemasaran produk hasil pemberdayaan ini baik dilingkungan setempat maupun dalam jaringan pasar yang lebih luas. Selain memperhatikan keberadaan kondisi masyarakat dan sumberdaya alam setempat serta aspek prospek pemasaran yang lebih luas, seyogyanya juga mempertimbangkan core business PKT, yaitu terkait dengan keberadaan PKT itu tidak membahayakan lingkungan. Sebaliknya, justru dengan keberadaan masyarakat pesisir yang diberdayakan tersebut membuktikan secara visual bahwa PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya sedemikian rupa sehingga tidak sekedar penyaluran 125 dana CSR, tetapi ada misi membangun model yang dapat menjadi contoh bagi pemberdayaan masyarakat ditempat lain oleh pihak lain yang berkepentingan. Lokasi pemberdayaan masyarakat komunitas pesisir ini dikawasan buffer zone. Selain lebih bermanfaat untuk membuktikan bahwa secara nyata PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sekitarnya secara selaras dan serasi. Indikasi kesiapan masyarakat menuju kemandiriaannya adalah berfungsinya kelembagaan mayarakat yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, misalnya permodalan usaha dan pemasaran hasil produksi masyarakat yang diberdayakan. Program Kemitraan Bina Lingkungan PKBL yang menjadi dasar praktek tanggung jawab sosial BUMN, merupakan kebijakan sosial BUMN yang menyatu dengan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi yang disebut program kemitraan PK. Kedua aspek tersebut baik program BL maupun PK, terwadahi dalam suatu ketentuan hukum yang sama. Ada tiga persoalan dalam menerapkan program PKBL, pertama Kepmen- 235MBU2003 menyangkut pembatasan terhadap lima objek bantuan pendidikan, kesehatan sarana umum, sarana ibadah dan bencana alam. Kedua, terkait dengan manajemen program ditingkat BUMN yang masih bersifat top down dan memerlukan persetujuan dari manajemen pusat bagi BUMN. Ketiga, menyangkut minimnya blue print cetak biru kebijakan. Tak jarang pelaksanaan tanggung jawab sosial BUMN hanya didasarkan pada keinginan baik dan dimensi etis, tetapi belum dirumuskan dalam suatu kebijakan tertulis oleh perusahaan BUMN.

a. Deskripsi Peserta Program Kemitraan dan Non Program Kemitraan

Sebagaian besar peserta program kemitraan PKT tinggal di Kelurahan Lhoktuan, tepatnya 64, 3 dan 35,7 lainnya bukan peserta kemitraan PKT dan mereka tersebar di tiga desa 14, 3 di Kelurahan Lhoktuan,1 di Kelurahan Belimbing. Jika diamati pendidikan dari peserta program kemitraan akan didapat variasi sebagai berikut : 10 tidak tamat SD, 30 tamat SMP dan 5 tamat SMA. Selain tingkat pendidikan, ternyata sebagian besar 126 peserta program kemitraan PKT 35 nya memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan sisanya 10 sebagai nelayan.

b. Perkembangan Penduduk Kota Bontang Berdasarkan Persepsi Responden.

Seluruh responden menyatakan bahwa pendapatan mereka meningkat atau mereka memiliki sumber pendapatan tambahan saat ini. Begitupula dengan tingkat pendidikan formal dikeluarga saat ini 70 responden lebih baik saat ini. Persepsi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan semakin baik.

c. Dampak langsung, dampak tidak langsung dan pemicu

Sebagian besar responden atau tepatnya 65 menyatakan bahwa PKT tidak memberikan manfaat langsung. Artinya sebagian besar responden sebagai penduduk Kota Bontang tidak dapat diterima sebagai karyawan atau pegawai. Persepsi ini perlu dipahami jika dikaitkan dengan kebutuhan, tingkat pendidikan masyarakat, sehingga PKT harus juga turut memikirkan manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat Kota Bontang sesuai dengan kemampuan mereka. Dampak tidak langsung dari keberadaan PKT juga dirasakan juga kurang berperan bagi masyarakat hal ini diindikasikan dari 61,1 masyarakat yang menyatakan tidak ada dampak ekonomi atau peluang usaha keberadaan PKT. Menariknya lagi dari data ini adalah semua peserta program kemitraan PK PKT menyatakan tidak menerima manfaat dari dampak tidak langsung ini. Artinya ada kecenderungan bahwa peserta program kemitraan PK PKT tidak integrasi dengan peluang bisnis yang ada perusahaan tersebut. Dampak pemicu lainnya seperti berkembangnya infrastruktur jalan, listrik, ternyata memberikan mafaat yang cukup besar bagi responden. Secara validasi angka dapat dikatakan lebih dari 88 responden menyatakan berkembangnya infrastruktur memberikan mafaat yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan tenaga kerja, ternyata hanya 27,8 responden yang menyatakan adanya pertambahan tenaga kerja atau karyawan. Dari data ini ternyata dampak pemicu sebagai instrumen yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar lebih dari 127 seperempatnya dari total 88 responden yang merasa terbantu secara ekonomi. Artinya peran dampak pemicu dalam menciptakan lapangan kerja baru, memiliki posisi lebih dari 20. Terkait pengetahuan responden terhadap program PKBL PKT serta seberapa besar program tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat dapat terlihat dari uraian sebagai berikut : 1. Bantuan pendidikan 52,6 responden mengetahuinya tetapi hanya 55 responden yang menikmatinya. 2. Bantuan kesehatan 52,6 mengetahui tetapi hanya 33,3 yang menikmatinya. 3. Bantuan sarana umum 100 responden mengetahuinya, dan semua responden menikmati bantuan ini. 4. Bantuan sarana ibadah, 100 responden mengetahuinya, 94,4 responden yang menikmatinya. 5. Bantuan bencana alam 52,6 mengetahuinya, hanya 50 yang menikmati. 6. Bantuan kemitraan usaha, 100 mengetahuinya dan semua responden menikmati. Dari informasi ini di dapatkan fakta yang cukup menarik menyangkut bantuan kemitraan usaha dari 100 bantuan kemitraan usaha ternyata responden mengetahui dan menikmati jenis bantuan ini. Artinya responden sebagai peserta program kemitraan dan peserta non program kemitraan ternyata mampu mengakses dan memanfaatkan dana program kemitraan PKT ini. Jika diamati sebagian besar bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan bantuan peralatan dan pemberian kredit. 2 Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Program CSR PKT saat ini terlihat masih belum terfokus pada upaya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, hal ini terindikasi dari pelaksanaan program pesisir yang relatif masih baru dilakukan dan terkesan belum menjadi prioritas dalam penganggaran program CSR PKT. Beberapa program yang termasuk secara khusus dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisisr secara 128 terpadu diantaranya adalah program revitalisasi terumbu karang dan penanaman mangrove di sekitar kawasan pesisir Kota Bontang. Program revitalisasi terumbu karang dilakukan dengan menanam concreteblock dengan pipa paralon tempat penyemaian bibit karang di kawasan perairan yang kondisi vegetasi terumbu karangnya telah rusak. Dari penyemaian ini diharapkan dapat memulihkan kembali kondisi ekosistem terumbu karang, yang menjadi tempat hidup bagi aneka biota laut, sehingga mampu meningkatkan produktifitas dan nilai ekonomis dari wilayah pesisir. Sementara pelaksanaan program penanaman mangrove yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, relatif menunjukkan hasil yang lebih baik. Dari sekitar 7500 bibit pohon yang ditanam, kini telah tumbuh menjadi tegakan mangrove setinggi 2 meter di kawasan HGB 63 area Sekatup Kelurahan Bontang Baru dan HGB 65 area Bukit Sintuk Kelurahan Belimbing. Diperkirakan dengan upaya penanaman 10.000 pohon per tahun akan mampu merekondisi wilayah pesisir Kota Bontang menjadi lebih baik. Bila dilihat dari besar nilai anggaran, program penanaman terumbu karang buatan satuannya diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 420.000 per unit, harga ini terdiri dari Rp. 230.000 untuk biaya pembuatan concreteblok penyemaian dan Rp. 190.000 untuk biaya angkutan dan penanaman di lokasi. Sehingga jika dikalkulasi anggaran rencana kebijakan penanaman 500 terumbu buatan mencapai sekitar Rp. 210.000.000 setiap tahunnya. Sementara program penanaman mangrove mencapai nilai Rp. 90.000.000 setiap tahun, jika diasumsikan biaya pembuatan dan penanaman berkisar Rp. 9.000 per pohon. Nilai tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total anggaran CSR PKT yang mencapai 20 milyar rupiah per tahunnya, atau jika kita hitung nilai manfaat relatif yang diperoleh dengan dampak ekologis yang ditimbulkan oleh perusahaan masih belum sebanding, sehingga nilai anggaran untuk pengelolaan wilayah pesisir haruslah proporsional, apalagi menurut perhitungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang, bahwa untuk mendapatkan hasil yang 129 optimal dari konservasi wilayah pesisir, maka jumlah minimal terumbu yang ditanam semestinya sebanyak 1000 buah setiap tahunnya. Disisi lain, dalam mendukung pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir tersebut, tentunya sangat diperlukan peran dan pemahaman dari masyarakat luas, dari hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak 65 responden menyatakan masyarakat dilingkungan mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang lebih baik dalam menjaga serta memelihara sumberdaya alam. Namun 52,6 responden juga menganggap bahwa peranan masyarakat dalam mengikuti pengelolaan sumberdaya alam tersebut ternyata relatif tidak meningkat. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat cukup baik walaupun peranan meraka dalam pengelolaan sumberdaya alam relatif tetap. Artinya kesadaran yang cukup baik ini harus ditingkatkan dalam bentuk kegiatan nyata atau agenda aksinya. Jika dikaitkan dengan program kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan perusahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, 55 responden menyatakan tidak ada keterpaduan antar unsur tersebut. Artinya, ada potensi pemanfaatan program kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan perusahaan guna mendorong peranan masyarakat harus dapat lebih aktif lagi. Sehingga kesadaran yang ada dapat diubah menjadi kegiatan nyata. Arahan dan bimbingan pemerintah dan perusahaan masih memiliki peluang untuk hal ini.

4.4.3 Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir.

Dari hasil analisis sebelumnya dapat dirumuskan permasalah utama yang dihadapi oleh kawasan pesisir Kota Bontang adalah belum terintegrasinya perencanaan kawasan pesisir yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan sekaligus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut : 1 Masih dominannya sektor industri migas mengandalkan eksploitasi sumberdaya tak terbaharui non-renewable resources sementara sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir justru tertinggal jauh dibelakang.