21
pendukung kehidupan, 2 Jasa-jasa kenyamanan, 3 Penyedia sumberdaya alam, dan 4 Penerima limbah Ortolano, 1984.
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis terdapat tiga prinsip yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan, yaitu : 1 Keharmonisan spasial, 2 Kapasitas asimilasi, dan 3 Pemanfaatan berkelanjutan.
Keberadaan zona konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus
hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber keanekaragaman hayati biodiversity. Bergantung pada kondisi alamnya, luas
zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 dari luas totalnya.
Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat
pulih renewable resources adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan dari pada suatu periode tertentu Clark,
1988. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih non- renewable resources harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak
merusak lingkungan sekitarnya. Ketika kita memanfaatkan wilayah perairan pesisir sebagai tempat untuk
pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi daya asimilasinya assimilative capacity. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi Krom, 1986 dalam Bengen, 2000.
2 Dimensi Sosial Ekonomi
Secara sosial - ekonomi - budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan
proyek tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin
22
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak
kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah
Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian
bagi para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia.
3 Dimensi Sosial Politik
Pada umumnya permasalahan kerusakan lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah
si pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta
peningkatan frekwensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab didaerah hulu. Demikian juga dampak
pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.
Ciri khas lain dari dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu ada semacam time lag.
Contohnya, pencemaran perairan Teluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun 1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an
silent spring oleh Carson R, 1963. Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam
ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4 Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan. Dan
23
bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sembari
mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan
yang berwibawa dan konsisten. Serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Disinilah peran sentuhan
nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.
2.4 Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan
sering dipahami hanya sebagai isu-isu lingkungan, lebih dari itu pembangunan berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan yang digambarkan oleh John Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai penemuan dari tiga pilar
pembangunan yaitu “profit, people, dan planet” yang merupakan tujuan pembangunan.
Secara teoritis keterbatasan Negara berkembang dalam mengembangkan perekonomian dapat ditelaah melalui pendekatan teori-teori
penghambat pembangunan. Implikakasi teoritis ini sangat berguna dalam menyusun kerangka berfikir dalam melihat persoalan pemberdayaan ekonomi
masyarakat suatu daerah. Dari ketiga teori yang menghambat pembangunan, dalam persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Bontang.
Pendekatan efek dualisme sosial dan teknologi merupakan pilihan dalam menjelaskan kasus ini. Pilihan ini dijatuhkan mengingat keterlibatan PKT sebagai
perusahaan penopang Pendapatan Asli Daerah PAD Kota Bontang yang cukup berpengaruh. Pendekatan teori yang menghambat pembangunan ini seperti PKT
diharapkan sebagai kutub atau pusat pertumbuhan yang mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi daerah sekitarnya.
2.4.1 Efek Dualisme Ekonomi
Salah satu dari ciri negara berkembang, perekonomiannya bersifat dualistis. Artinya, dalam perekonomian kegiatan ekonominya dapat dibedakan
menjadi dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi
24
tradisional. Pada dasarnya ciri perekonomian yang bersifat dualistis tersebut, terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang
menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi dengan semestinya. Mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumberdaya yang
tersedia tidak digunakan secara efisien. Disamping itu penggunaan teknologi yang terlalu tinggi di sektor modern menimbulkan kesulitan bagi negara untuk
mempercepat perkembangan kesempatan kerja di sektor modern. Kondisi inilah yang menyebabkan masalah pengangguran yang dihadapi, dimana kesenjangan
antara tingkat pendapatan di sektor-sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi tradisional.
Berbagai hambatan yang timbul dari adanya dualisme dari perekonomian yang baru berkembang dari pengaruh sektor tradisional kepada kehidupan
masyarakat dan kegiatan perekonomian. Sebagian kegiatan ekonomi yang bersifat dualisme, disatu sisinya menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan
cara berpikir yang juga sederhana. Konsekuensi penggunaan teknik sederhana menyebabkan produktifitas berbagai kegiatan produktif yang rendah. Dan
konsekuensi dari cara berpikir yang sederhana menyebabkan usaha-usaha pembaharuan sangat terbatas.
Disamping dualisme ekonomi, dualisme teknologi memiliki akibat yang cukup serius, yaitu: membatasi sektor modern untuk membuka kesempatan
kerja. Sektor modern terdiri dari sektor industri dan dalam sektor ini teknik-teknik berproduksi bersifat padat modal. Dalam teknik produksi yang demikian sifatnya,
proporsi antara faktor-faktor produksi relatif tetap. Makin tinggi tingkat teknologi makin terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dengan tingkat
kompetensi yang rendah. Selain terjadinya implikasi buruk dari dualisme teknologi terhadap
penciptaan kesempatan kerja, harus pula disadari bahwa teknologi modern mempercepat pertumbuhan ekonomi. Implikasi lainnya adalah kegiatan-kegiatan
dalam sektor modern pada umumnya mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dari sektor tradisional. Hal ini berarti bahwa kesenjangan tingkat
kesejahteraan antara kedua sektor itu makin lama makin bertambah lebar.
25
2.4.2 Teori Kutub Pertumbuhan Growth Pole Theory
Ide awal tentang pusat pertumbuhan growth pole Fancois Perroux muncul sebagai reaksi terhadap pandangan ekonom pada waktu itu, seperti
Casel 1927 dan Schumpeter 1951. Pemikiran ekonomi yang berkembang saat itu menyatakan bahwa transfer pertumbuhan antar wilayah berjalan lancar,
sehingga perkembangan penduduk, produksi dan capital tidaklah selalu proporsional antar waktu. Perroux menemukan kenyataan yang berbeda dengan
pendapat umum saat itu. Dimana transfer pertumbuhan ekonomi antar daerah umumnya tidak lancar, tetapi cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah
tertentu yang memiliki keuntungan lokasi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu yang didorong oleh
adanya keuntungan aglomerasi yang timbul karena adanya konsentrasi kegiatan ekonomi ini.
Adanya sekolompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu merupakan karakteristik awal dari sebuah pusat pertumbuhan. Karena
kegiatan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada lokasi tertentu, maka analisis tidak dapat dikaitkan untuk analisis ekonomi nasional, tetapi lebih pada analisis
ekonomi regional. Biasanya pusat pertumbuhan ini berlokasi di daerah perkotaan, atau daerah tertentu yang mempunyai ekonomi spesifik seperti
daerah pertambangan, pelabuhan, perkebunan, dan lain-lain.
2.4.3 Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Permasalahan utama yang sering terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir adalah lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan pengembangan kelautan dan wilayah pesisir. Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata
cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber
daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-
sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar
wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-
26
permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat
diperlukan. Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir yang
dilakukan Direktorat Kelautan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Bappenas www.bappenas.go.id_index.php, 20 Juli 2008 dapat memberikan masukan
yang cukup baik. Kajian ini bertujuan pertama mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia,
kedua mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, ketiga mengkaji dan menelaah langkah-langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan
dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan keempat menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan wilayah pesisir. Hasil Kajian ini menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir
dapat dilakukan dengan konsep pendekatan wilayah, yaitu dengan cara menentukan suatu wilayah di kawasan pesisir yang kondisi masyarakatnya
miskin, telah terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, kelebihan tangkap over exploitation, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan dan pencemaran. Strategi pendekatan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui pendekatan 4 empat bina: 1 bina manusia, 2 bina
sumberdaya, 3 bina lingkungan, dan 4 bina usaha, yang dirangkaikan dengan metode partisipatoris participatory approach. Berdasarkan faktor-faktor internal
dan eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya
prioritasnya adalah sebagai berikut: a peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; b peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan 3 konservasi dan
perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan SDKP. Persoalan yang muncul saat ini tidak terlepas dari ketidaktahuan
pengambil kebijakan pada persoalan spasial. Dimana para penentu kebijakan sering mengarah preferensi yang bias ke wilayah perkotaan urban biased.
Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan sebagai misal, telah
27
menimbulkan derasnya proses migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Keadaan ini menimbulkan persoalan di
kota yang sudah terlalu padat, pencemaran udara, pemukiman kumuh, sanitasi yang kurang baik, dan lainnya yang pada akhirnya menurunkan produktivitas
masyarakat kawasan perkotaan.
2.4.4 Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir
Secara teoritis, ekosistem Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu: 1 Inner Indonesia terdiri dari Jawa, Madura dan Bali JAMBAL; 2 Outer Indonesia
terdiri dari pulau-pulau diluar JAMBAL, yang terdiri dari: Kawasan Barat luar Jawa, berorientasi ke daratan continental dan Kawasan Timur luar Jawa,
memiliki karakteristik maritim. Berdasarkan karakteristik ekosistem makro ini, maka bentuk-bentuk
kawasan perdesaan akan terbagi atas tiga mega struktur, yaitu: 1 Kawasan perdesaan inner Indonesia JAMBAL yang berorientasi pada basis pertumbuhan
pertanian industri.Konsekuensi terhadap mata pencaharian dan bentuk lingkungan permukiman perdesaan pertanian industri cenderung berbentuk linier
sepanjang jalan regional yang menghubungkan suatu noda kota dengan noda wilayah lainnya. 2 Kawasan Perdesaan Indonesia Barat yang berorientasi
continental agro-estate. Konsekuensi terhadap mata pencaharian dan pola permukiman bervariasi berdasarkan kawasan hulu dan hilir aliran sungai.
Kehidupan masyarakat desa-desa hulu sungai daerah pedalaman lebih berbentuk kluster berkelompok, sedangkan pada hilir aliran sungai dan pantai
cenderung tersebar. 3 Kawasan Perdesaan Indonesia Timur yang berorientasi maritim. Konsekuensi mata pencaharian dan pola permukiman yang berorientasi
maritim, kawasan hutan pedalaman, dataran dan pesisir pantai sering terintegrasikan dalam satu kesatuan komunitas adat, tidak terpisah-pisah seperti
pada kawasan continental. Setelah memahami konsep perdesaan, kembali ke tujuan awal.
Keterlambatan pengambil kebijakan dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya dalam mengantisipasi persoalan kewilayahan memiliki sumbangan
yang cukup besar dalam menciptakan persoalan-persoalan baru. Implikasinya adalah hubungan kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi semakin kompleks
28
dan semakin sulit pemecahannya. Awalnya, berkembangnya kawasan perkotaan diharapkan menjadi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi wilayah keseluruhan
yang memberikan tetesan ke wilayah perdesaan sekitarnya trickle down. Faktanya adalah kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan menyebabkan
terjadinya urban biased dan mengalami kekurangan investasi modal, sehingga dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat
perdesaan. Dilain pihak lemahnya posisi tawar masyarakat perdesaan memperburuk situasi ini.
Dengan terjadinya disparitas spatial, pembangunan kutub-kutub pertumbuhan di kota-kota besar growth pole strategy yang semula diramalkan
bakal terjadi penetesan trickle down effect dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya ternyata tidak terjadi. Bahkan yang terjadi adalah net
effect-nya menimbulkan pengurasan yang besar yang besar masive backwash effect dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota. Dengan perkataan lain,
melalui strategi kutub pertumbuhan yang urban biased, telah menyebabkan terjadinya transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan
perkotaan secara besar-besaran.
2.5 Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Pihak yang berperan dalam pembangunan secara umum terdiri dari tiga bagian besar yaitu Pemerintah, Masyarakat, dan Pengusaha. Khusus untuk Kota
Bontang Pemerintah kota sudah sangat terbantu karena terdapat dua perusahaan besar di Kota Bontang PKT dan BADAK, disamping itu beberapa
perusahaan swasta lainnya. Agar lebih sinergi kegiatan pembangunan di Kota Bontang seyogyanya ada koordinasi diantara pihak tersebut.
Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, adalah untuk menghasilkan kelangsungan penyediaan dana untuk
mendukung manajemen pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur, perbaikan lingkungan, dan meningkatkan koordinasi serta menerapkan regulasi. Kurangnya
dana sering mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaan program pengelolaan.
Disamping itu, Pemerintah Daerah juga memerlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional yang diwujudkan dengan