Design strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the economic empowerment of local communities and coastal resources management in Bontang (case study of PT Pupuk Kaltim)

(1)

DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG

(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

TAUFIK HASBULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Taufik Hasbullah P 31600029


(4)

(5)

TAUFIK HASBULLAH. Design Strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the Economic Empowerment of Local Communities and Coastal Resources Management in Bontang (Case Study of PT Pupuk Kaltim). Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO and SUGENG BUDIHARSONO.

The purpose of this study is to analyze the impact of PT Pupuk Kaltim and the presence of its industrial activity on the economic growth of Bontang. To analyze the role of company’s CSR activities towards the economic empowerment on local communities and management of coastal resources in Bontang. and to develop a design strategy to economically empower local communities and coastal resources management in Bontang. Location Quotient (LQ) methods and Shift Share to observe the influence of company’s industrial activity and its economic impact on Bontang. Importance Performance Analysis (IPA) to observe the effectiveness of company’s CSR activities. To assess the sustainability of coastal areas, a modified method by measuring dimensional aspects of sustainability which are ecological, economic, socio-cultural, infrastructure and technology, as well as legal and institutional. The results of LQ analysis indicates that Bontang economic growth is highly correlated with the presence of manufacturing sector. Based on the analysis, which covers oil and gas industry, this study exceptionally concludes the presence of gas industry does have a strong role with a value greater than 1 and, coefficient of determination of 1.582 to the regional economy. Meanwhile, the shift share analysis shows that the role of regional economic structures is large enough to reach 92%. The ratio is mainly contributed by the potential of regional economic which is 46%. The results of IPA analysis show the significance of company’s CSR activities is sufficient to meet the expectations of coastal communities. Overall, the analysis concludes that the level of sustainability of coastal area in multi-dimensional value is 53.73, which lays in category of fairly continuous. Based on the analysis the sustainability of individual criterion are fairly sustainability for ecology (50.43), infrastucture and technological (60.83), and legal and institutional (55.33). Furthermore, the dimension of economic and socio-cultural are weak sustainability. The design of coastal development strategy is intended to encourage the Bontang City development sectors based on renewable coastal resources so that it can be a driving force for coastal economic activity in the future. Whereas, in particular for the CSR design strategy is to build economic self-reliance of local communities, community capacity building in integrated coastal management and resource conservation in coastal of Bontang City.

.


(6)

(7)

TAUFIK HASBULLAH. Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO dan SUGENG BUDIHARSONO.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang sangat menentukan keberlanjutan pembangunan Kota Bontang yang berada di wilayah pesisir, dimana di dalamnya terdapat aktivitas ekonomi berskala besar yakni PT Pupuk Kaltim (PKT) dan PT Badak NGL (BADAK) yang perlu ditingkatkan perannya dalam pembangunan ekonomi maupun tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.

Penelitian ini dilakukan di seluruh kelurahan yang berbatasan langsung dengan pesisir Kota Bontang yaitu, Bontang Kuala, Bontang Baru, Lhok Tuan, Guntung, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Tanjung Laut Indah, Tanjung Laut dan Kelurahan Belimbing.

Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis keberadaan perusahaan industri pengolahan (PKT) terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bontang, serta secara khusus menganalisis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang, dengan mengambil studi kasus peran CSR di PKT, dimana selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Location

Quotient (LQ) dan Shift Share untuk melihat pengaruh keberadaan perusahaan

industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Peran dan efektifitas program CSR terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan pesisir dianalisis menggunakan Importance Performance Analysis

(IPA). Selanjutnya dalam mengkaji keberlanjutan wilayah pesisir digunakan metode Rapfish dengan mengukur lima dimensi keberlanjutan yakni, dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis tersebut diatas dirumuskan menjadi desain dan strategi pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Bontang sangat dipengaruhi oleh keberadaan sektor industri pengolahan. Dari hasil perhitungan LQ sektor industri pengolahan baik dengan migas maupun tanpa migas memiliki peranan kuat dengan nilai lebih besar dari 1, dengan koefisien determinasi sebesar 1,582 terhadap perekonomian daerah. Sedangkan analisis shift share menunjukkan bahwa peran struktur ekonomi daerah cukup besar yakni mencapai 92 %, rasio tersebut ditopang oleh kontribusi kekhususan potensi ekonomi daerah yakni 46 %.


(8)

Hasil analisis efektifitas dengan metode IPA menunjukkan signifikansi CSR terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, dimana secara umum menegaskan bahwa aktifitas CSR telah cukup memenuhi ekspektasi dari masyarakat pesisir.

Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang menunjukkan tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang secara multi dimensi sebesar sebesar 53,73 dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, dimana diperoleh dari nilai dimensi ekologi sebesar 50,43, dimensi ekonomi 49,90, dimensi sosial budaya 48,18, dimensi infrastruktur dan tekhnologi sebesar 64,83 dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 55,33.

Strategi pengembangan kawasan pesisir Kota Bontang secara umum yaitu dengan mendorong perkembangan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya pesisir terbaharui sehingga dapat menjadi penggerak bagi kegiatan ekonomi pesisir. Sedangan secara khusus adalah dengan membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir terpadu dan upaya pelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kota Bontang.

Kata Kunci : CSR, Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, LQ, Shift Share, IPA, Rapfish


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG

(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

TAUFIK HASBULLAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Agus Heri Purnomo 2. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.


(13)

Dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

Nama : Taufik Hasbullah

NIM : P31600029

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Ketua

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

Alhamdulillah dengan segala karuniaNya disertasi berjudul “Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim)”, dapat diselesaikan.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc., Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. (alm), sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi sejak awal penulisan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih atas waktu dan masukan perbaikan disertasi disampaikan kepada Dr. Ir. Agus Heri Purnomo dan Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. sebagai penguji pada ujian tertutup serta Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai penguji pada ujian terbuka.

2. Rektor dan Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.

3. Para Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah memberikan ilmu selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Direksi dan mantan Direksi PT Pupuk Kaltim khususnya Bapak Ir. Bowo Kuntohadi, MM., yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat mengikuti studi ini tanpa meninggalkan tugas dan tanggung jawab penulis selama masih aktif menjadi karyawan, demikian pula teman-teman para manajer di lingkungan PT Pupuk Kaltim yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama penyelesaian studi S3 di IPB ini.

5. Teman-teman di Bappeda, BPS, DKP dan instansi pemerintah lainnya serta teman-teman LSM di Kota Bontang. Pak Dani Indrianto, Dosen dan Peneliti Universitas Trisakti dan Universitas Jayabaya Jakarta.


(16)

6. Rekan-rekan mahasiswa angkatan tahun 2000/ 2001 khususnya Dr. Ir. Abdul Rauf, M.Si., yang sejak awal memberikan support yang tidak sedikit kepada penulis. Demikian pula saudara saya Gigih Widya W Socria dan keluarganya di Bontang dan Samarinda, yang telah memberikan support tidak pernah lelah sampai selesainya disertasi ini.

7. Kedua orang tua tercinta H. Hasbullah (Alm) dan Hj. Khuzaimah (Alm) yang telah membesarkan, mendoakan, mendidik, tiada henti sampai akhir hayatnya. Demikian pula kepada Uni Hj. Mardiah, Uni Hj. Rasyidah (alm), Uni Hj. Fauziah dan Uda H. Lukman, Uda H. Mukhlis (alm) dan Uda H. Muslim yang amat besar jasanya.

8. Dukungan dan doa keluarga tercinta: Istri Hj. Siti Adansiana (alm) beserta ananda tercinta M. Naser serta Ocha dan cucuku Zoe dan Raj, M. Yasser dan Annisa, serta istri tercinta Hj. Sandyana Samantha dan anak-anak: Echa, Alghifari dan Alfarabi.

9. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., yang sejak awal penulis masuk IPB sampai saat ini jika berjumpa senantiasa menyapa hangat dan memberikan wawasan dan motivasi yang sangat berharga.

10. Sahabatku Wakil Walikota Bontang, Bapak Isro Umargani, Ustadz. Harun Al Rasyid, SH serta Ustadz Nadif Ridwan, sahabatku Drs. Gunawan Ja’far yang senantiasa memberikan nasehat dan pencerahan. Demikian pula kepada sahabat dan teman-teman di lingkungan PT Daun Buah yaitu; Bapak Ir. Surya Madya, MM, Bapak Ir. Ezrinal Aziz, M.Sc., dan Bapak Ir. Rusli Burhan, M.Si., serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 11. Guru kehidupan dan inspiratorku Ir. H. Jamil Azzaini, M.Sc. dan Ustadz KH.

Arifin Ilham yang telah berkontribusi tak ternilai dalam kehidupan kami.

Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan masyarakat pesisir dan kelestarian sumberdaya pesisir Kota Bontang.

Bogor, Februari 2012


(17)

Penulis dilahirkan di Bukittinggi Sumatera Barat, pada tanggal 15 Februari 1953, merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari keluarga H. Hasbullah (alm) dan Hj. Khuzaimah (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sampai SMP di Bukittinggi dan di SMA Negeri 10 Jakarta, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya selesai S1 pada tahun 1981. Selanjutnya menyelesaikan program Magister Manajemen (S2) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1991. Pada tahun 2001 memasuki program studi (S3) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Institut Pertanian Bogor sampai saat ini.

Tahun 1973 hingga 1979 penulis bekerja di PT Pupuk Sriwidjaja di bagian Import dan Shipping. Selanjutnya tahun 1979 sampai 2009 bekerja di PT Pupuk Kalimantan Timur dengan jabatan terakhir Direktur Utama Rumah Sakit Pupuk Kaltim di Bontang. Saat ini masih aktif (diperbantukan) mengelola unit usaha Yayasan Kesejahteraan Karyawan PT Pupuk Kaltim selaku Direktur PT Daun Buah yang bergerak dalam bidang Distributor Pupuk dan Jasa Konstruksi. Dan selaku pribadi memberikan jasa konsultasi manajamen Rumah Sakit, Kesehatan dan Lingkungan.


(18)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir ... 11

2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ... 11

2.1.2. Batasan Wilayah Pesisir ... 11

2.1.3. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir ... 12

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu (PWPT)... 13

2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 14

2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir... 16

2.3. Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 19

2.4. Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir ... 23

2.4.1. Efek Dualisme Ekonomi... 23

2.4.2. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) ... 25

2.4.3. Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir... 25

2.4.4. Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir... 27

2.5. Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu... 28

2.5.1. Anggaran Formal... ... 29

2.5.2. Sektor Publik dan Kemitraan Swasta ... 30

2.6. Konsep dan Teori CSR... ... 31

2.6.1. Sejarah dan Evolusi Pemikiran CSR ... 34

2.6.2. Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) ... 36

2.7. Efek Dualisme Ekonomi Terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu ... ... 42

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 45

3.2. Metode Penelitian ... 46

3.3. Tahapan Penelitian ... 46

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 47

3.4.1. Data Lingkungan dan Sumber Daya Pesisir Kota Bontang ... 48

3.4.2. Data Sosial Ekonomi... 49


(19)

3.6. Metode Analisis Data ... 50

3.6.1. Analisis Kewilayahan Pesisir... 50

1) Analisis Biogeofisik Wilayah... 50

2) Analisis Ekonomi Wilayah ... 50

3.6.2. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 54

3.6.3. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR Pesisir... 57

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1. Keadaan Wilayah Pesisir Kota Bontang ... 59

4.1.1. Sistem Lingkungan dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang... 59

4.1.2. Sistem Sosial Ekonomi Pesisir Kota Bontang ... 77

4.1.3. Gambaran Umum PKT ... 88

4.2. Analisis Ekonomi WilayahKota Bontang ... 99

4.2.1. Analisis Location Quotient... 99

4.2.2. Analisis Pendapatan Jangka Pendek ... 101

4.2.3. Analisis Shift Share ... 101

4.2.4. Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan Kota Bontang ... 102

4.3. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir... 104

4.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi... 104

4.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi... 106

4.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ... 108

4.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ... 110

4.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ... 112

4.3.6. Status Keberlanjutan Multidimensi... 114

4.4. Analisis Desain Strategi CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir ... 117

4.4.1. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR ... 117

1) Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) ... 117

2) Importance Performance Analysis (IPA)... 122

4.4.2. Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 124

1) Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 124

2) Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir... 127

4.4.3. Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir ... 129

4.4.4. Desain Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 130

4.4.5. Desain Kebijakan CSR PKT... 132

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

5.1. Kesimpulan ... 133

5.2. Saran ... 134

DAFT AR PUSTAKA... 135


(20)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbedaan -Persamaan CSR dan PKBL... 37

2. Lokasi Penelitian berdasarkan Jenis Wilayah ... 46

3. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 48

4. Jenis dan Sumber Data Primer... 49

5. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 49

6. Matriks Ringkasan Konsep Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan……… ... 54

7. Kategori Status Keberlanjutan wilayah pesisir berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis MDS ... 55

8. Kondisi Perikanan Berdasarkan Gross Tonage (GT) perahu, alat tangkap dan hasil tangkapan nelayan Kota Bontang ... 61

9. Asumsi dan Prediksi Hasil Tangkapan dengan Peningkatan UpayaTangkap (Fishing Effort) ... 62

10. Presentase Penutupan dan Jenis Seagrass di perairan sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Limau ... 64

11. Potensi Lahan Budidaya Rumput Laut ... 65

12. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Guntung ... 66

13. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Bontang Kuala ... 67

14. Percent Coverage Komponen Biotik dan Abiotik di Setiap Stasiun Terumbu Karang ... 69

15. Nilai r-k-s Berdasarkan Morfologi Karang... 71

16. Kegiatan Pariwisata di Pesisir Kota Bontang ... 74

17. Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan 2010 ... 78

18. Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kecamatan 2010 ... 78

19. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan Migas atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (%) 2006-2009 ... 81

20. Kontribusi Sub Sektor Perikanan dan Industri Migas Bagi PDRB atas Dasar Harga Konstan Kota Bontang Tahun 2006-2009 ... 81

21. Keadaan Prasarana dan Sarana Pendidikan tiap Kecamatan di Wilayah Kota Bontang... 85


(21)

22. Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan tiap Kecamatan di

Wilayah Kota Bontang ... 85 23. Keadaan Prasarana dan Sarana Peribadatan tiap Kecamatan di

Wilayah Kota Bontang ... 85 24. Keadaan Prasarana dan Sarana Transportasi di Wilayah Kota

Bontang... 86 25. Perkembangan Industri Pengolahan dan PDRB Bontang Periode

2005-2009 dengan Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta)... 99 26. Perbandingan Hasil Perhitungan LQ Pada Industri Pengolahan

Dengan Migas dan Tanpa Migas di Bontang Periode 2005-2009 ... 100 27. Hasil Perhitungan Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Sektor

Industri Pengolahan di Bontang Periode 2005-2009 (dalam juta)... 101 28. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Bontang 2005-2009 (dalam

juta) ... 102 29. Nilai Stress dan Squared Correlation (RSQ) dari hasil analisis MDS ... 116


(22)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 9 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995) ... 12 3. Kerangka Kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan (PEMSEA,

2003) ... 20 4. AcuanPelaksanaan CSR berdasarkan ISO 26000 ... 38 5. Scematic overview of ISO 26000 ... 39 6. Peta Lokasi Penelitian ... 45 7. Tahapan Penelitian ... 47 8. Importance Performance Analysis... 58 9. Peta StasiunTerumbu Karang ... 70 10. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 91 11. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 105 12. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 106 13. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekonomi Bontang ... 107 14. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekonomi Bontang... 108 15. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 16. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 17. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi

wilayah pesisir Bontang ... 111 18. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi

wilayah pesisir Bontang ... 111 19. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan

wilayah pesisir Bontang ... 113 20. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan

wilayah pesisir Bontang ... 113 21. Diagram Layang Perbandingan Hasil Analisis MDS terhadap tingkat

keberlanjutan wilayah pesisir Bontang ... 115 22. Penilaian Masyarakat terhadap Kinerja Indikator CSR ... 120 23. Penilaian Masyarakat terhadap Indikator Kepentingan CSR... 121 24. Perbandingan indikator kinerja CSR terhadap harapan masyarakat ... 122 25. Diagram Performance dan Importance indikator CSR... 123


(23)

(24)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 141 2. Hasil Tabulasi Score Indikator Keberlanjutan Sumberdaya Wilayah

Pesisir... 142 3. Hasil Tabulasi Responden tentang Persepsi Pelaksanaan CSR PKT ... 144 4. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja CSR PKT... 157 5. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat

Kepentingan CSR PKT ... 158 6. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja

CSR PKT... 159 7. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja Program

CSR PKT... 160 8. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat

Kepentingan Program CSR PKT ... 161 9. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja Program

CSR PKT... 162 10. Tabulasi Keterkaitan Mitra Binaan (Program Kemitraan) ... 163 11. Daftar Mitra Binaan PKT di sektor Perikanan dan Kelautan ... 164


(25)

(26)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mengembangkan ekonomi masyarakat pesisir memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Hal ini disebabkan karena kawasan pesisir memiliki karakteristik sumberdaya alam yang berbeda yang selanjutnya mempengaruhi tindakan dan aksi pelaku ekonominya. Jadi kondisi alam membuat perbedaan masyarakat dalam pandangan, sikap, dan tindakan mereka dalam hal mengembangkan wilayah pesisir. Perbedaan cara pandang inilah yang seharusnya dipahami pengambil keputusan yang terkait dengan pembangunan kawasan pesisir. Pemahaman ini sangat diperlukan supaya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir tepat arah, sasaran, guna dan manfaat.

Chua dan Pauly (1989) mengelompokkan degradasi dan marjinalisasi kawasan yang terjadi di Indonesia disebabkan (1) Sebagian besar sumberdaya hayati pesisir mengalami eksploitasi lebih dan ekosistem pesisir mengalami tekanan berat; (2) Terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi dari laut dan darat; (3) Sebagian besar penduduk hidup dalam kondisi miskin, sementara proses pemiskinan berlangsung terus dan di pihak lain makin terjadi ketimpangan pendapatan; (4) Instansi yang ada tidak dapat menjawab masalah-masalah yang muncul; (5) Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik; (6) Sangat kurang apresiasi publik terhadap pengelolaan yang berkelanjutan; (7) Sangat kurang pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi; (8) Sangat rendah kapasitas masyarakat, meskipun potensi yang ada cukup besar.

Kota Bontang di Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 49.757 Ha, dimana sekitar 34.977 Ha (70,29%) diantaranya merupakan wilayah pesisir atau laut, sehingga karakteristik masyarakat Kota Bontang tentunya sangat dipengaruhi oleh kehidupan pesisir dan laut. Masyarakat Kota Bontang merupakan masyarakat heterogen yang terbentuk secara genekologis (perkawinan) dan teritorial (bersama menempati suatu wilayah dalam mencari


(27)

penghidupan) dari berbagai etnis. Tercatat hampir 60-70% penduduknya adalah pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan (etnis Bugis).

Dengan dibukanya Kota Bontang sebagai kawasan industri yang digerakan oleh industri pengolahan gas alam cair PT. Badak NGL (BADAK) dan PT. Pupuk Kaltim (PKT) menjadi faktor pendorong bagi para pendatang untuk masuk wilayah ini dengan tujuan utama untuk mendapatkan pekerjaan. Pada umumnya para pendatang yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang cukup akan direspon pasar kerja dengan hasil yang lebihbaik.

Kebutuhan tenaga kerja dengan spesifikasi keterampilan tertentu telah menjadi persoalan tersendiri di Kota Bontang. Kondisi ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja untuk industri pengilangan gas alam cair dan industri pupuk banyak menggunakan tenaga kerja dari luar Kota Bontang, dimana BADAK dan PKT mensyaratkan kualitas yang tinggi dalam penyerapan tenaga kerja yang belum dapat dipenuhi tenaga kerja lokal. Dalam lima tahun terakhir yakni tahun 2006 sampai 2010, tercatat hanya 427 orang yang diterima sebagai karyawan tetap PKT, terdiri dari 46% tenaga kerja lokal dan 54% berasal dari luar Kota Bontang, sementara rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 2,98% per tahun atau 3.120 jiwa per tahun. Dengan keberadaan dua perusahaan besar ini adalah wajar jika jumlah penduduk Kota Bontang senantiasa bertambah.

Pembangunan kawasan industri dan kegiatan operasionalnya di wilayah pesisir Kota Bontang juga menyebabkan perubahan ekologis yang memberikan tekanan signifikan terhadap ekosistem wilayah pesisir, dimana pada akhirnya dapat mengubah struktur pemanfaatan ruang pesisir Kota Bontang. Tekanan terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut serta rendahnya pemahaman akan upaya konservasi. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran setan (vicious circle) dimana penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir. Namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Salah satu aspek pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah dengan mencarikan alternatif pendapatan sehingga mengurangi tekanan penduduk terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.


(28)

3

Kondisi ini menuntut agar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau

Corporate Social Responsibility (CSR) wajib lebih berperan dalam pembangunan di Kota Bontang, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat serta pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu di Kota Bontang.

CSR adalah upaya yang wajib dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasionalnya terhadap pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), dimana konsep pembangunan berkelanjutan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi (economic growth), kelestarian terhadap lingkungan (environmental protection), dan kesetaraan sosial (social equity). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi semata (profit), melainkan juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Pelaksanaan CSR di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Didalam Undang-Undang ini pada pasal 74 dinyatakan bahwa semua Perseroan Terbatas wajib hukumnya melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR), sehingga CSR menjadi bagian dari rencana penganggaran perusahaan.

Sementara itu perusahaan negara berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki acuan pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasarkan Undang-Undang BUMN Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 88 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 jo. Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007. Didalam ketentuan tersebut semua BUMN yang berada dibawah pengelolaan pemerintahan Indonesia wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dimana dananya adalah alokasi dari sisa keuntungan perusahaan sebesar maksimal 2% untuk masing-masing kegiatan.

Dengan dasar pemikiran seperti yang telah diterangkan diatas, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang ”Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim)”.


(29)

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Potensi yang begitu besar dimiliki Kota Bontang, baik sumberdaya alam yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, merupakan tumpuan pembangunan Kota Bontang dimasa yang akan datang, dimana segenap aktifitas serta permukimannya dengan derap pembangunan yang sangat intensif berada di kawasan pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa besarnya tekanan penduduk dengan dinamika sosial ekonomi dan tuntutan pemerintah daerah untuk memperoleh sumber dana bagi peningkatan akselerasi pembangunan telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang menjadi modal pembangunan masa kini dan masa yang akan datang.

Isu dan permasalahan di pesisir Kota Bontang tidak jauh beda dengan permasalahan kota-kota pesisir lainnya di Indonesia. Permasalahan yang ada berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir oleh manusia. Pemanfaatan sumberdaya ini selalu menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi fisik pesisir Kota Bontang. Kerusakan fisik lingkungan antara lain disebabkan oleh adanya aktivitas di darat dan aktivitas di laut. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas di darat adalah pencemaran akibat limbah buangan industri dan rumahtangga, sedangkan aktivitas di laut adalah adanya abrasi pantai, sedimentasi di dasar perairan pantai, dan kerusakan ekosistem terumbu karang serta ekosistem pesisir lainnya.

Kerusakan fisik lingkungan ini tidak terlepas dari adanya konflik pemanfaatan ruang dari berbagai kegiatan yang ada di pesisir Kota Bontang. Di kawasan pesisir Kota Bontang, intensitas penggunaan atau pemanfaatan ruang cukup tinggi sehingga berpeluang timbulnya masalah yang berakibat negatif bagi keberlanjutan keberadaan sumberdaya alam pesisir Kota Bontang.

Hasil penelitian UGM (2001), Sucofindo (2001), UNDIP (2002) dan IPB (2010) menunjukkan adanya pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat potensial seperti mangrove dan terumbu karang, serta konflik penggunaan ruang dan sumberdaya di kawasan pesisir dan laut kota Bontang, yang pada akhirnya mengancam kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.


(30)

5

Diperkirakan sekitar 100 Ha lahan mangrove telah beralih fungsi menjadi kawasan pabrik industri PKT sejak tahun 1979, disamping itu dari pengamatan

transect line terumbu karang sepanjang 32 km di areal pesisir PKT, hanya sekitar 5 km (15%) saja yang berada dalam kondisi normal, selebihnya 21 km (66%) dalam keadaan rusak dan 6 km (19%) dalam kondisi transisi, hal ini terjadi akibat aktivitas dredging dan dumping sekitar 247.000 m3

Permasalahan yang berkembang di kawasanpesisirkotaBontang, antara lain (Sucofindo, 2001; UGM, 2001; UNDIP, 2002; IPB, 2010) :

pasir laut pada saat pembangunan dermaga dan pabrik PKT.

 Kawasan pesisir dan laut Kota Bontang saat ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yaitu industri (PKT, BADAK, PT. Indominco), kawasan lindung (Taman Nasional Kutai), permukiman, pertambakan, budidaya laut, alur pelayaran, pelabuhan, daerah penangkapan ikan dan pariwisata. Kaitannya dengan penggunaan ruang oleh industri besar yang ada diwilayah ini, belum ada kajian yang membahas tentang kontribusi industri terhadap masyarakat dan sumberdaya pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 Terjadinya degradasi lingkungan di beberapa lokasi di Kota Bontang antara lain : kerusakan terumbu karang, abrasi laut yang menyebabkan pulau-pulau kecil menjadi berkurang luasannya, misalnya Pulau Beras Basah yang menjadi andalan pariwisata Kota Bontang, hutan mangrove yang dialihkan penggunaannya untuk pertambakan dan pemanfaatan lainnya.

 Intensitas aktivitas industri yang terus meningkat di Kota Bontang terutama industri pengolahan berskala besar seperti PKTdanBADAK yang membuang residu/limbah pabrik ke laut, mengakibatkan terjadinya pencemaran di wilayah pesisir dan lautan.

 Masih dominannya sektor industri migas yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya tak terbaharui (non-renewable resources) sementara sektor-sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir dan laut masih tertinggal.

 Adanya rencana pengembangan Kota Bontang yaitu perluasan kawasan pesisir yang mencakup Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kertanegara, rencana penggunaan lahan di wilayah perluasan Kota Bontang, rencana pemanfaatan kawasan pesisir kota Bontang sampai tahun 2027 yang meliputi


(31)

kawasan lindung, kawasan budidaya, pariwisata, perikanan tangkap, industri, pemukiman. Rencana tersebut selama ini belum didukung dengan kajian ilmiah penetapan kawasan. Untuk itulah pemerintah Kota Bontang melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) bekerjasama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang mengatur hal tersebut.

 Masih tingginya tuntutan dan harapan masyarakat terhadap PKTterutama di wilayah bufferzone. Hal tersebut perlu direspon secara proporsional oleh perusahaan sehingga tercipta suasana kondusif. Suasana yang kondusif sangat diperlukan perusahaan untuk bisa melakukan kegiatan produksi yang berkelanjutan.

 Adanya pergerseran kepemilikan dunia usaha, dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan publik. Secara tidak langsung hal ini bermakna perusahaan tidak lagi hanya sebatas institusi bisnis, tetapi telah bergeser menjadi institusi sosial. Dunia usaha tidak hanya bertugas mencari keuntungan, tetapi juga harus berperan menjadi institusi yang memiliki tanggungjawab sosial.

 Kesadaran akan pentingnya CSR menjadi trend global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan produksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

 Trend global lainnya di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan program CSR.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah :

1) Bagaimanaperan PKTterhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang ?

2) Bagaimana tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kota Bontang ?


(32)

7

3) Bagaimana efektifitas dan keberlangsungan program CSR PKT di Kota Bontang ?

4) Bagaimana strategi CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Menganalisis peran PKT terhadap peningkatan perekonomian Kota Bontang 2) Menganalisis tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah

pesisir di Kota Bontang.

3) Merumuskan strategi CSR PKT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang

1.4. Manfaat Penelitian

1) Masukan bagi pemerintah Kota Bontang, bagi proses perencanaan dan pengambil kebijakan dalam kaitannya kontribusi industri-industri besar yang ada di Kota Bontang terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir.

2) Masukan bagi pengambil kebijakan di lingkungan PKT, khususnya dalam implementasi program CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kebijakan pemerintah Kota Bontang berdasarkan arahan pemanfaatan ruang khususnya di wilayah pesisir lebih diarahkan pada pengembangan industri khususnya pengembangan industri PKT.Karena perusahaan besar tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap terlaksananya pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dan peningkatan perekonomian Kota Bontang.

Saat ini dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bontang, persaingan pemanfaatan ruang semakin ketat terutama masyarakat


(33)

yang bermukim di wilayah pesisir termasuk yang mempunyai mata pencaharian nelayan maupun petani ikan. Disatu sisi, perusahaan besar semakin berkembang dan disisi lain masyarakat disekitarnya semakin termarginalkan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir dan semakin langkanya sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Oleh karena itu perlu upaya yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir Kota Bontang.

Kegiatan usaha PKT banyak bersinggungan dengan beragam

stakeholders, khususnya masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi pabrik yaitu wilayah pesisir Kota Bontang. Terkait hal tersebut, perusahaan memandang dan sudah berkomitmen bahwa program CSR sebagai kegiatan yang sangat penting baik bagi kepentingan perusahaan, lingkungan maupun masyarakat itu sendiri.

Untuk merealisasikan upaya tersebut perlu dilakukan analisis seberapa besar kontribusi ekonomi dan tehnis dari PKT terhadap pengelolaan wilayah pesisir terpadu, sehingga kedepan dapat dibuat suatu perencanaan CSR yang terpadu sehingga baik bantuan yang diberikan berupa hibah, modal kerja, pelatihan maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang dapat dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan.

Program-program tersebut semuanya didasarkan pada potensi daerah serta kebijakan pemerintah Kota Bontang. Adapun kerangka pemikiran penelitian mengenai tanggung jawa bsosial (CSR) PKT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang.

Dalam kerangka pikir penelitian ini, diawali dengan mengidentifikasi kondisi potensi sumberdaya wilayah pesisir Kota Bontang, kemudian dilanjutkan melihat kondis iperusahaan yang ada (khususnya PKT). Dalam proses kegiatan perusahaan (PKT) kaitannya dengan sumberdaya wilayah pesisir akan dikaji baik dari aspek sumberdaya pesisirnya maupun dari aspek ekonominya sehingga diharapkan dari aspek ekonomi dapat memberikan kontribusi terhadap PAD, keuntungan bagi perusahaan dan secara sosial dapat mensejahterakan


(34)

9

masyarakat di sekitarnya serta dari aspek sumberdaya pesisir dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana penerapan tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan (PKT) terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat disekitarnya dan sumberdaya pesisir tetap terjaga kelestariannya. Untuk itu perlu merumuskan suatu desain strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir khususnya di Kota Bontang. Secara lengkap kerangka fikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1.Kerangka Pemikiran

AS PE K E K ON OM I WI L AY A H

EK ON OM I M AS YA R A KA T P OT E N SI

S U MB E R D AY A WI L AY A H PE SI SI R

K OT A B ON T A N G

K ON D IS I LI N GK U N GA N DA N S U MB E R D A YA P ES IS I R K OT A

B ON T A N G

PE N GE L OL AA N WI LA Y A H PE SI SI R SE C A R A T E RP A D U D A N BE R KE L A N JU T A N (P WP T )

PE R U S A HA A N IN D U S T R I (P K T )

AS PE K S U MB E R D AY A

PE SI SI R

C OR P OR A T E S OC I AL R ES P ON SI BI LI T Y (C S R )

A NA LI SI S E FE K T IVI T A S A NA LI SI S

BI OGE OF I S IK

A NA LI SI S EK ON OM I R E GI ON AL

A NA LI SI S PE R S EP SI

A NA LI SI S S US T AI N A BI LI T Y

D ES AI N S T R A T E GI C S R D AL A M P E MB E R DA Y AA N EK ON OM I M AS YA R A KA T DA N


(35)

2.1 Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir 2.1.1 Pengertian Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan perencanaan (Soegiarto, 1976; Dahuri, 1996).

2.1.2 Batasan Wilayah Pesisir

Dahuri (1996), mengemukakan bahwa pertanyaan yang seringkali muncul dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara wilayah daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore).

Berdasarkan kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena itu, batas wilayah pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (Planning zone) dapat sangat jauh ke arah hulu, misalnya kota Bandung untuk kawasan


(36)

12

pesisir dari DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah pengaturan (Dahuri, 1996). Batas wilayah pesisir menurut Pernetta dan Milliman (1995) disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)

2.1.3 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir

Dengan garis pantai terpanjang kedua didunia setelah Kanada, yaitu 81.000 km serta wilayah laut yang luasnya mencapai 5,8 juta km2

Kelompok pertama, sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan dapat pulih mencakup ekosistem mangrove, wilayah pesisir, rumput laut dan padang lamun, serta sumberdaya perikanan, yang secara potensial sangat besar dan , maka tidak mengherankan bahwa secara potensial, Indonesia memiliki sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Secara garis besar, potensi pembangunan kelautan Indonesia tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (evironmental services).


(37)

beragam jenisnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki luas ekosistem mangrove sebesar 2,4 juta km2 dan wilayah pesisir seluas 75.000 km2

Berbagai jenis sumberdaya hayati laut beserta perairan pesisir yang luas sangat potensial untuk dikembangkan melalui usaha mariculture (budidaya laut). Usaha tersebut dapat digolongkan menjadi dua kegiatan, yaitu budidaya tambak (brackish water ponds) dan budidaya laut (mariculture).

(Dahuri, et.al., 1996). Sementara itu, di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 spesies lamun (seagrass) dengan sebaran mencakup di wilayah perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Irian jaya. Sedangkan untuk sumberdaya perikanan, negara kita sudah lama diakui sebagai salah satu negara yang memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Data terakhir menunjukkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan nasional adalah 5,649 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 40% (FAO, 1997).

Kelompok kedua, sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, yang meliputi seluruh jenis mineral dan gas, dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Kelas A

(Mineral Strategis ) seperti minyak bumi, gas alam dan batubara; Kelas B (Mineral Vital) seperti emas, timah, nikel, dan bauksit, dan kelas C (Mineral Industri) seperti granit, kaolin, pasir dan bahan pembangunan lainnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki cadangan migas yang besar dan terbesar di kurang lebih 60 cekungan (basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan lautan seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, Pantai Selatan Jawa, Selat Makassar dan Celah Timor (Ditjen Migas, 1996)

Selain kedua sumberdaya tersebut diatas, yang tidak kalah pentingnya adalah sumberdaya jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti pariwisata, perhubungan laut, pemukiman dan sebagainya. Potensi kawasan pesisir sebagai kawasan wisata bahari hampir tersebar di seluruh kawasan pesisir Indonesia. 2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT)

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICM) merupakan kegiatan manusia didalam mengelola ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu wilayah pesisir, yakni dengan melakukan pemanfaatan sumber daya alam dan


(38)

14

jasa jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment)

tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri, 2006).

2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)

guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana prinsip

Dalam konteks ini Dahuri (2006) membagi keterpaduan (integration)

dalam tiga dimensi :

keterpaduan memastikan konsistensi dalam implementasi kebijakan terhadap tindakan pengelolaan.

1) Keterpaduan Sektoral

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration).

2) Keterpaduan Bidang Ilmu

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar


(39)

karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

3) Keterpaduan Keterkaitan Ekologis

Keterkaitan ekologis (ecological linkages) sangat diperlukan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) mengingat bahwa perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Seperti dipahami bersama bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Disamping itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.

1)

Chua (2006) membagi prinsip keterpaduan menjadi tiga kategori utama, yaitu keterpaduan sistem, fungsi dan kebijakan, dengan penjelasan sebagai berikut ;

Keterpaduan Sistem

Keterpaduan sistem pada prinsipnya berupaya untuk menghubungkan dimensi spasial dan temporal dari sistem sumberdaya pesisir dalam hal fisik, seperti perubahan lingkungan, pola penggunaan sumberdaya dan sosial ekonomi. Keterpaduan

2)

sistem melihat permasalahan mana yang relevan dalam pengelolaan pesisir yang timbul dari lingkungan, hubungan sosial dan ekonomi. Misalnya, membangun sebuah profil lingkungan pesisir membutuhkan pengumpulan informasi yang cukup untuk mengintegrasikan berbagai elemen sistem sumberdaya di wilayah tersebut.

Keterpaduan Fungsional

Keterpaduan fungsional merupakan keterpaduan dalam membagi peran diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) dimana dengan terbangunnya keterpaduan peran dapat meminimalisir tumpang tindih (overlaping) dalam pengelolaan wilayah pesisir, dengan keterpaduan fungsional antar stakeholders juga dapat saling melengkapi. Skema zonasi pesisir yang mengalokasikan sumber daya alam untuk penggunaan spesifik adalah contoh


(40)

16

dari keterpaduan fungsional yang efektif. Skema ini menentukan jenis dan tingkat kegiatan yang diperbolehkan di zona masing-masing sesuai dengan sasaran dan tujuan ICM, dengan memberikan batasan yang ditetapkan untuk jenis-jenis kegiatan proyek dan program yang boleh diimplementasikan.

3)

Pengalaman menunjukkan bahwa keterpaduan fungsional dan koordinasi di tingkat lokal sangat penting dalam meminimalkan konflik dalam mencapai kesepahaman antar stakeholders. Namun, keterpaduan fungsional perlu dibarengi dengan alokasi sumberdaya keuangan, undang-undang, dan pengembangan strategi pengelolaan pesisir di tingkat lokal maupun nasional.

Keterpaduan Kebijakan

2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Keterpaduan kebijakan bertujuan untuk mensinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterpaduan kebijakan membantu merasionalisasi dan mengkoordinasikan kegiatan antar lembaga publik dan dapat saling melengkapi antar program dan proyek. Keterpaduan Kebijakan membuka peluang bagi strategi pengelolaan pesisir dalam menghadapi tantangan perubahan, dengan tetap menyelaraskan terhadap tujuan pembangunan ekonomi nasional.

Ditinjau dari perspektif manajemen, pada dasarnya ada empat unsur pertanyaan pokok yang harus dijawab secara tepat didalam proses perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Pertama, dimana berbagai macam kegiatan manusia (pembangunan) harus ditempatkan diwilayah pesisir. Kedua, bagaimana menentukan tingkat usaha yang optimal dari setiap kegiatan pembangunan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan optimal adalah suatu tingkat usaha kegiatan pembangunan yang secara sosial ekonomi menguntungkan dan secara lingkungan (ekologis) masih dapat diterima. Ketiga, ”kapan” dan ”bagaimana” berbagai kegiatan pembangunan ini harus dilaksanakan. Keempat, ”siapa” yang sebaiknya bertanggung jawab atas pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta penegakan hukum dari program pengelolaan ini.

Suatu perencanaan pada perinsipnya merupakan skenario yang sistematis dan rasional serta dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang


(41)

diinginkan dan harus didefinisikan secara jelas dan tepat pada awal tahap perencanaan. Guna mendefinisikan secara proporsional, maka pendefinisian ini hendaknya berdasarkan pada permasalahan dan isu dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Meskipun permasalahan ini secara rinci bervariasi dari satu wilayah pesisir kewilayah yang lainnya, namun secara garis besar setiap upaya pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia akan mengahadapi empat kelompok masalah berikut (1) degradasi ekosistem, (2) pencemaran, (3) konflik pemanfaatan sumberdaya, dan (4) ketidak efisienan pemanfaatan sumberdaya. Sudah barang tentu, akar dari keempat masalah pokok ini harus ditelaah secara cermat. Menghadapi permasalahan pokok ini, maka wajar bila tujuan pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mencapai alokasi sumberdaya secara optimal di antara berbagai penggunaan, serta untuk memelihara kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem pesisir itu sendiri. Analisa permasalahan dan definisi tujuan tersebut menjadi landasan dan tolok ukur utama bagi tahapan berikutnya.

Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan dilokasi yang secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) dari wilayah pesisir harus diidentifikasikan lebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir itu sendiri. Dengan cara ini dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) wilayah pesisir.

Penempatan kegiatan pembangunan dilokasi yang sesuai, tidak saja menghindarkan kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan (viability) ekonomi kegiatan dimaksud.

Penentuan kelayakan biofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti Arc/Info dan Arc View

(Kapetsky et al, 1987). Informasi dasar, biasanya tersedia dalam bentuk thematic maps, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oceanografi dan biologi perairan pesisir.


(42)

18

Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tata guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik (biophysical availability) wilayah pesisir pun dapat pula ditentukan. Selanjutnya, jika informasi tentang potensi penggunaan (the future uses) wilayah pesisir juga tersedia, maka tata ruang yang dinamis pun dapat disusun.

Tahap selanjutnya adalah menentukan tingkat usaha optimal dari setiap kegiatan yang diplot pada lokasi yang sesuai menurut tata ruang tersebut di atas. Tahap ini merupakan tugas yang paling menantang bagi para perencana dan pengambil keputusan. Oleh karena tahap ini harus melibatkan paling sedikit 3 pertimbangan: berbagai tujuan yang mungkin saling bertentangan, timbal balik sektoral dan regional baik yang ada di sistem wilayah pesisir ataupun yang diluarnya, dan dinamika waktu.

Untuk dapat menentukan kapan dan bagaimana berbagai kegiatan pembangunan dilaksanakan, diperlukan analisis antara lain mengenai: keadaan infrastruktur, potensi, vegetasi, potensi sumberdaya manusia, dan kemampuan administratif daerah yang sedang dipertimbangkan. Sedangkan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program yang sudah ditetapkan membutuhkan analisis tentang aspek kelembagaan dan hukum yang ada, baik yang formal maupun tidak formal. Dengan demikian, tahapan yang terakhir pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menjamin terlaksananya segenap aktivitas yang sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya.

Analisis mengenai keadaan sosekbud dan aspek kelembagaan minimal meliputi : statistik kependudukan, pola mata pencaharian, aspirasi penduduk setempat tentang pembangunan wilayah pesisir dan kualitas lingkungan, pola hak pemilikan sumberdaya, dan manajemen sumberdaya tradisional yang sudah dianut masyarakat pesisir secara turun temurun. Informasi ini sangat berguna untuk menjamin bahwa penduduk setempat akan diuntungkan oleh setiap proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayahnya. Lebih jauh, hasil analisis ini juga dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam merancang dan membangun suatu perangkat kelembagaan (institutional arrangement) dan metode-metode tepat guna bagi pengelolaan sumberdaya pesisir.


(43)

Perencanaan pada prinsipnya merupakan suatu yang dinamis dan adaptif. Oleh karenanya, ia harus cukup luwes untuk dapat mengatasi berbagai ketidak menentuan dan perubahan baik yang terjadi didalam atau diluar sistem wilayah pesisir. Dalam konteks ini, suatu program pemantauan devaluasi yang teratur dapat meningkatkan keluwesan dan adaptifitas dari perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir, melalui mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Melalui proses perencanaan dan pengelolaan semacam ini pembangunan sumberdaya wilayah pesisir berkelanjutan diharapkan dapat tercapai.

2.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga syarat sebagai berikut (1) Untuk sumberdaya dapat pulih (renewable resources), laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju regenerasi sumberdaya tersebut. (2) Untuk sumberdaya tidak dapat pulih (non renewable resources, laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju penemuan inovasi baru atau substitusinya. (3) Adanya kemampuan mengekang implikasi kegiatan pemanfaatan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan pengolahan limbah (Ginting, 2002).

Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.

Untuk dapat menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara tepat, maka baik


(44)

20

aspek ekologi maupun sosial, ekonomi dan budaya harus dipertimbangkan sejak tahap perencanaan dari suatu proses pengelolaan ini, harus diidentifikasi dan selanjutnya disinkronkan dengan kaidah-kaidah dari konsep pembangunan berkelanjutan.

Kerangka strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu dapat terlihat dalam Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Kerangka kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan unt uk Wilayah

Kelautan Timur Asia ( PEMSEA, 2003)

Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi : (1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya, (3) Dimensi Sosial Politik, dan (4) Demensi Hukum dan Kelembagaan.

1) Dimensi Ekologis

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat disuatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) Jasa-jasa

Pemerintah an Kebijakan, Strategi

dan Perencanaan

Perangkat

Kelembagaan Legislasi

Informasi dan Kepedulian Publik Mekanisme Keuangan Pengembangan Kapasistas

Policy and Funct ional, Sc ientific/ Expert Advice

Aspek Pemb angun an Berkelan jutan Natural and

Man-made Hazard Prevention and Management Pollution Reduction and Waste Management

Project and P rogram Habitat Protection,

Restoration and Management

Water Use and Supply Management

Food Security an Livelihood Management

Target State of Co asts Report ing

MDGs WSSD Agenda 21 SDS-SEA

ICM Cycle ICM Cycle

IS O 1 40 01 IC M Co d e IS P ar tn e rs h ip s ( P u bl ic , C iv il So ci e ty , C o rpo ra te a n d O the r S ta ke h o lde rs


(45)

pendukung kehidupan, (2) Jasa-jasa kenyamanan, (3) Penyedia sumberdaya alam, dan (4) Penerima limbah (Ortolano, 1984).

Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis terdapat tiga prinsip yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu : (1) Keharmonisan spasial, (2) Kapasitas asimilasi, dan (3) Pemanfaatan berkelanjutan.

Keberadaan zona konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya, luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 % dari luas totalnya.

Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan dari pada suatu periode tertentu (Clark, 1988). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih ( non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.

Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom, 1986 dalam Bengen, 2000).

2) Dimensi Sosial Ekonomi

Secara sosial - ekonomi - budaya konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin


(46)

22

kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian bagi para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia.

3) Dimensi Sosial Politik

Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah si pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan frekwensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang kurang bertanggung jawab didaerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.

Ciri khas lain dari dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu ada semacam time lag. Contohnya, pencemaran perairan Teluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun 1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an (silent spring oleh Carson R, 1963).

Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan. Dan


(47)

bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sembari mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten. Serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Disinilah peran sentuhan nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.

2.4 Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan sering dipahami hanya sebagai isu-isu lingkungan, lebih dari itu pembangunan berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan yang digambarkan oleh John Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai penemuan dari tiga pilar pembangunan yaitu “profit, people, dan planet” yang merupakan tujuan pembangunan.

Secara teoritis keterbatasan Negara berkembang dalam mengembangkan perekonomian dapat ditelaah melalui pendekatan teori-teori penghambat pembangunan. Implikakasi teoritis ini sangat berguna dalam menyusun kerangka berfikir dalam melihat persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat suatu daerah. Dari ketiga teori yang menghambat pembangunan, dalam persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Bontang. Pendekatan efek dualisme sosial dan teknologi merupakan pilihan dalam menjelaskan kasus ini. Pilihan ini dijatuhkan mengingat keterlibatan PKT sebagai perusahaan penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bontang yang cukup berpengaruh. Pendekatan teori yang menghambat pembangunan ini seperti PKT diharapkan sebagai kutub atau pusat pertumbuhan yang mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi daerah sekitarnya.

2.4.1 Efek Dualisme Ekonomi

Salah satu dari ciri negara berkembang, perekonomiannya bersifat dualistis. Artinya, dalam perekonomian kegiatan ekonominya dapat dibedakan menjadi dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi


(48)

24

tradisional. Pada dasarnya ciri perekonomian yang bersifat dualistis tersebut, terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi dengan semestinya.

Mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumberdaya yang tersedia tidak digunakan secara efisien. Disamping itu penggunaan teknologi yang terlalu tinggi di sektor modern menimbulkan kesulitan bagi negara untuk mempercepat perkembangan kesempatan kerja di sektor modern. Kondisi inilah yang menyebabkan masalah pengangguran yang dihadapi, dimana kesenjangan antara tingkat pendapatan di sektor-sektor ekonomi modern dengan sektor ekonomi tradisional.

Berbagai hambatan yang timbul dari adanya dualisme dari perekonomian yang baru berkembang dari pengaruh sektor tradisional kepada kehidupan masyarakat dan kegiatan perekonomian. Sebagian kegiatan ekonomi yang bersifat dualisme, disatu sisinya menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan cara berpikir yang juga sederhana. Konsekuensi penggunaan teknik sederhana menyebabkan produktifitas berbagai kegiatan produktif yang rendah. Dan konsekuensi dari cara berpikir yang sederhana menyebabkan usaha-usaha pembaharuan sangat terbatas.

Disamping dualisme ekonomi, dualisme teknologi memiliki akibat yang cukup serius, yaitu: membatasi sektor modern untuk membuka kesempatan kerja. Sektor modern terdiri dari sektor industri dan dalam sektor ini teknik-teknik berproduksi bersifat padat modal. Dalam teknik produksi yang demikian sifatnya, proporsi antara faktor-faktor produksi relatif tetap. Makin tinggi tingkat teknologi makin terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dengan tingkat kompetensi yang rendah.

Selain terjadinya implikasi buruk dari dualisme teknologi terhadap penciptaan kesempatan kerja, harus pula disadari bahwa teknologi modern mempercepat pertumbuhan ekonomi. Implikasi lainnya adalah kegiatan-kegiatan dalam sektor modern pada umumnya mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat dari sektor tradisional. Hal ini berarti bahwa kesenjangan tingkat kesejahteraan antara kedua sektor itu makin lama makin bertambah lebar.


(49)

2.4.2 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Ide awal tentang pusat pertumbuhan (growth pole) Fancois Perroux muncul sebagai reaksi terhadap pandangan ekonom pada waktu itu, seperti Casel (1927) dan Schumpeter (1951). Pemikiran ekonomi yang berkembang saat itu menyatakan bahwa transfer pertumbuhan antar wilayah berjalan lancar, sehingga perkembangan penduduk, produksi dan capital tidaklah selalu proporsional antar waktu. Perroux menemukan kenyataan yang berbeda dengan pendapat umum saat itu. Dimana transfer pertumbuhan ekonomi antar daerah umumnya tidak lancar, tetapi cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang memiliki keuntungan lokasi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu yang didorong oleh adanya keuntungan aglomerasi yang timbul karena adanya konsentrasi kegiatan ekonomi ini.

Adanya sekolompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu merupakan karakteristik awal dari sebuah pusat pertumbuhan. Karena kegiatan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada lokasi tertentu, maka analisis tidak dapat dikaitkan untuk analisis ekonomi nasional, tetapi lebih pada analisis ekonomi regional. Biasanya pusat pertumbuhan ini berlokasi di daerah perkotaan, atau daerah tertentu yang mempunyai ekonomi spesifik seperti daerah pertambangan, pelabuhan, perkebunan, dan lain-lain.

2.4.3 Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Permasalahan utama yang sering terkait dengan pengelolaan sumber daya di wilayah pesisir adalah lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan pengembangan kelautan dan wilayah pesisir. Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan


(50)

permasalahan-26

permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan.

Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir yang dilakukan Direktorat Kelautan Dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Bappenas yang cukup baik. Kajian ini bertujuan pertama mengidentifikasi karakteristik sumberdaya kelautan dan kondisi wilayah pesisir di beberapa wilayah Indonesia, kedua mengidentifikasi dan menelaah berbagai kendala dan permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir, ketiga mengkaji dan menelaah langkah-langkah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir melalui proses partisipatif, dan keempat menyusun program dan rekomendasi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir.

Hasil Kajian ini menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan konsep pendekatan wilayah, yaitu dengan cara menentukan suatu wilayah di kawasan pesisir yang kondisi masyarakatnya miskin, telah terjadi degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, kelebihan tangkap (over exploitation), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan pencemaran. Strategi pendekatan pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui pendekatan 4 (empat) bina: (1) bina manusia, (2) bina sumberdaya, (3) bina lingkungan, dan (4) bina usaha, yang dirangkaikan dengan metode partisipatoris (participatory approach). Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir sesuai dengan peringkatnya/ prioritasnya adalah sebagai berikut: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir; (b) peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (3) konservasi dan perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP).

Persoalan yang muncul saat ini tidak terlepas dari ketidaktahuan pengambil kebijakan pada persoalan spasial. Dimana para penentu kebijakan sering mengarah preferensi yang bias ke wilayah perkotaan (urban biased). Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan sebagai misal, telah


(51)

menimbulkan derasnya proses migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Keadaan ini menimbulkan persoalan di kota yang sudah terlalu padat, pencemaran udara, pemukiman kumuh, sanitasi yang kurang baik, dan lainnya yang pada akhirnya menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan.

2.4.4 Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir

Secara teoritis, ekosistem Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Inner Indonesia terdiri dari Jawa, Madura dan Bali (JAMBAL); (2) Outer Indonesia terdiri dari pulau-pulau diluar JAMBAL, yang terdiri dari: Kawasan Barat luar Jawa, berorientasi ke daratan (continental) dan Kawasan Timur luar Jawa, memiliki karakteristik maritim.

Berdasarkan karakteristik ekosistem makro ini, maka bentuk-bentuk kawasan perdesaan akan terbagi atas tiga mega struktur, yaitu: (1) Kawasan perdesaan inner Indonesia (JAMBAL) yang berorientasi pada basis pertumbuhan pertanian industri.Konsekuensi terhadap mata pencaharian dan bentuk lingkungan permukiman perdesaan pertanian industri cenderung berbentuk linier sepanjang jalan regional yang menghubungkan suatu noda (kota) dengan noda wilayah lainnya. (2) Kawasan Perdesaan Indonesia Barat yang berorientasi

continental agro-estate. Konsekuensi terhadap mata pencaharian dan pola permukiman bervariasi berdasarkan kawasan hulu dan hilir aliran sungai. Kehidupan masyarakat desa-desa hulu sungai (daerah pedalaman) lebih berbentuk kluster (berkelompok), sedangkan pada hilir aliran sungai dan pantai cenderung tersebar. (3) Kawasan Perdesaan Indonesia Timur yang berorientasi maritim. Konsekuensi mata pencaharian dan pola permukiman yang berorientasi maritim, kawasan hutan pedalaman, dataran dan pesisir pantai sering terintegrasikan dalam satu kesatuan komunitas adat, tidak terpisah-pisah seperti pada kawasan continental.

Setelah memahami konsep perdesaan, kembali ke tujuan awal. Keterlambatan pengambil kebijakan dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya dalam mengantisipasi persoalan kewilayahan memiliki sumbangan yang cukup besar dalam menciptakan persoalan-persoalan baru. Implikasinya adalah hubungan kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi semakin kompleks


(52)

28

dan semakin sulit pemecahannya. Awalnya, berkembangnya kawasan perkotaan diharapkan menjadi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi wilayah keseluruhan yang memberikan tetesan ke wilayah perdesaan sekitarnya (trickle down). Faktanya adalah kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan menyebabkan terjadinya urban biased dan mengalami kekurangan investasi modal, sehingga dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dilain pihak lemahnya posisi tawar masyarakat perdesaan memperburuk situasi ini.

Dengan terjadinya disparitas spatial, pembangunan kutub-kutub pertumbuhan di kota-kota besar (growth pole strategy) yang semula diramalkan bakal terjadi penetesan (trickle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya ternyata tidak terjadi. Bahkan yang terjadi adalah net effect-nya menimbulkan pengurasan yang besar yang besar (masive backwash effect) dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota. Dengan perkataan lain, melalui strategi kutub pertumbuhan yang urban biased, telah menyebabkan terjadinya transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran.

2.5 Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu

Pihak yang berperan dalam pembangunan secara umum terdiri dari tiga bagian besar yaitu Pemerintah, Masyarakat, dan Pengusaha. Khusus untuk Kota Bontang Pemerintah kota sudah sangat terbantu karena terdapat dua perusahaan besar di Kota Bontang (PKT dan BADAK), disamping itu beberapa perusahaan swasta lainnya. Agar lebih sinergi kegiatan pembangunan di Kota Bontang seyogyanya ada koordinasi diantara pihak tersebut.

Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan laut, adalah untuk menghasilkan kelangsungan penyediaan dana untuk mendukung manajemen pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur, perbaikan lingkungan, dan meningkatkan koordinasi serta menerapkan regulasi. Kurangnya dana sering mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaan program pengelolaan.

Disamping itu, Pemerintah Daerah juga memerlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional yang diwujudkan dengan


(1)

Lampiran 7 Hasil Tabulasi Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Program CSR PKT

NO INDIKATOR RESPON

DEN

SANGAT

BAIK BAIK

CUKUP BAIK

KURANG BAIK

TIDAK BAIK 1 Pembinaan olahraga dan seni

budaya 90 5 12 33 38 2

2 Bantuan Pinjaman Kredit/

Modal kerja 90 11 42 24 12 1

3 Pelatihan dan pengembangan kewirausahaan

90 3 25 26 32 4

4 Bantuan pengembangan

fasilitas usaha 90 5 37 13 32 3

5 Bantuan Korban bencana

alam 90 12 27 25 21 5

6 Pendidikan masyarakat/

beasiswa 90 4 8 24 42 12

7 Kesehatan masyarakat 90 5 16 46 18 5

8 Peningkatan Sarana dan

prasarana umum 90 2 3 20 33 32

9 Bantuan sarana ibadah 90 5 6 40 35 4


(2)

Lampiran 8 Hasil Tabulasi Persepsi Masyarakat Terhadap Tingkat Kepentingan Program CSR PKT

NO. INDIKATOR RESPON

DEN

SANGAT

PENTING PENTING

CUKUP PENTING

KURANG PENTING

TIDAK PENTING 1 Pembinaan olahraga dan seni

budaya 90 7 15 22 43 3

2 Bantuan Pinjaman Kredit/

Modal kerja 90 24 29 22 14 1

3 Pelatihan dan pengembangan kewirausahaan

90 21 30 25 13 1

4 Bantuan pengembangan

fasilitas usaha 90 28 28 26 6 2

5 Bantuan Korban bencana

alam 90 12 18 24 30 6

6 Pendidikan masyarakat/

beasiswa 90 6 22 29 25 8

7 Kesehatan masyarakat 90 8 26 28 23 5

8 Peningkatan Sarana dan

prasarana umum 90 9 18 25 32 6

9 Bantuan sarana ibadah 90 11 23 38 16 2


(3)

Lampiran 9 Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja Program CSR PKT

NO. INDIKATOR RESPONDEN PERFORMANCE IMPORTANCE KESESUAIAN

1 Pembinaan olahraga dan seni

budaya 90 44 44 100%

2 Bantuan Pinjaman Kredit/

Modal kerja 90 64 67 95%

3

Pelatihan dan pengembangan kewirausahaan

90 48 66 72%

4 Bantuan pengembangan

fasilitas usaha 90 53 71 74%

5 Bantuan Korban bencana

alam 90 56 50 111%

6 Pendidikan masyarakat/

beasiswa 90 36 48 75%

7 Kesehatan masyarakat 90 49 53 94%

8 Peningkatan Sarana dan

prasarana umum 90 25 48 52%

9 Bantuan sarana ibadah 90 43 57 75%


(4)

Lampiran 10 Tabulasi Keterkaitan Mitra Binaan (Program Kemitraan)

No U R A I A N Ya Tidak

1. Apakah perusahaan/usaha anda menjalin kerjasama bisnis dengan perusahaan atau pihak lain?

80 20

2. Apakah perusahaan/usaha anda hanya menjalin kerjasama dalam bidang pemasaran dan distribusi dengan perusahaan atau pihak lainnya?

66,7 33,3

3. Apakah perusahaan/usaha anda merupakan bagian dari mata rantai produksi perusahaan besar atau pihak lainnya?

33,9 66,1

4. Apakah perusahaan/usaha anda seolah-olah merupakan bagian dari perusahaan besar sehingga menjadi bagian dari unit organisasi perusahaan lain?

31,6 68,4

5. Apakah usaha anda mendapatkan order atau pesanan dari perusahaan atau pihak lainnya?

89,8 10,2 6. Apakah usaha anda mendapatkan pasokan bahan baku

dari perusahaan atau pihak lainnya?

62,7 37,3 7. Apakah usaha anda mendapatkan modal kerja dari

perusahaan atau pihak lainnya?

44,6 55,4 8. Apakah hasil usaha anda ditampung pada perusahaan

atau pihak lain yang telah memberikan bantuan modal kerja?

32,2 67,8

9. Apakah dalam menjalankan usaha, anda bekerjasama dengan pihak luar negeri?

28,1 71,9

Tabulasi Keterkaitan Horisontal

No U R A I A N Ya Tidak

1 Apakah perusahaan/usaha anda memiliki kerjasama dengan pengusaha kecil/menengah lainnya?

90,6 9,4 2 Bentuk kerjasama antara pengusaha kecil yang biasa

dilakukan?

100 -

Pembelian bahan baku 59

-

Penjualan produk bersama 31

-


(5)

Lampiran 11 Daftar Nama Mitra Binaan PKT Dissektor Perikanan dan Kelautan

NO NAMA MITRA KODE MB JENIS USAHA NILAI

PENYALURAN

1 DG.PARANRENG,H 2010D002 TANITAMBAK 14,000,000

2 SAHA 2009S145 TANITAMBAK 15,000,000

3 PATAHUDDDIN 2009P014 TANITAMBAK 16,000,000

4 MASDAR 2009M100 TANITAMBAK 16,000,000

5 SAMSU 2009S144 TANITAMBAK 15,000,000

6 JUDDING,H 2009J028 TANITAMBAK 16,000,000

7 RANTO 2009R043 TANITAMBAK 15,000,000

8 BEDDUHALING,H 2010B008 BELATKERAMBA 50,000,000

9 BURHANUDDIN 2010B007 KERAMBA 35,000,000

10 PIRMAN,H 2009P015 TANITAMBAK 15,000,000

11 CORING 2010C001 NELAYAN 7,500,000

12 BURHANSABIR 2010B006 NELAYAN 20,000,000

13 AHMAD 2010A018 PRASARANANELAYAN 25,000,000

14 SIRAYU 2010S029 NELAYAN 10,000,000

15 HABA 2010H007 NELAYAN 7,000,000

16 TANASE 2010T002 TANITAMBAK 10,000,000

17 BADARUDDIN 2010B012 KELOMPOKNELAYAN 25,000,000

18 RUSTAM 2010R006 KELOMPOKNELAYAN 24,000,000

19 ISMAILNASARUDDIN 2010I012 NELAYAN 7,000,000

20 AHMADT 2010A04 NELAYAN 13,000,000

21 TASRI 2010T008 NELAYAN 4,000,000

22 ABDULMALIK 2010A039 PEDAGANGIKAN 40,000,000

23 ISMAIL 2010I013 NELAYAN 4,000,000

24 RUSTAN 2010R008 NELAYAN 25,000,000

25 MUKHTAR 2010M030 KERAMBA 30,000,000

26 HATTABETA 2010H013 TANITAMBAK 20,000,000

27 RUSTAMSINRING 2010R007 NELAYAN 10,000,000

28 HARIANI 2010H020 TANITAMBAK 16,000,000

29 JACOBPAMASI 2009Y013 KOLAMBUDIDAYA 65,000,000

30 KASTANBETTA 2010K011 TANITAMBAK 30,000,000

31 AZIS 2010A023 KERAMBA 35,000,000

32 MUHAMMADNASIR 2010M027 NELAYAN 1,700,000


(6)

Lampiran 11 (lanjutan)

NO NAMA MITRA KODE MB JENIS USAHA NILAI

PENYALURAN

34 HASAN 2010H027 NELAYAN 15,000,000

35 RAMLIRAZAK,H 2010R016 NELAYAN 28,000,000

36 MUHAMMADTHAHIR 2010M045 NELAYAN 10,000,000

37 AMINNUR 2010A057 PRASARANANELAYAN 15,000,000

38 ALFIAN 2010A053 KELOMPOKNELAYAN 35,000,000

39 NAJEMUDDIN 2010N029 NELAYAN 10,000,000

40 HERMAN 2010H019 NELAYAN 10,000,000

41 LATIF 2010L004 NELAYAN 30,000,000

42 MAKMUR,H 2010M068 NELAYAN 95,000,000

43 SUPRIANTO 2010S086 TANITAMBAK 8,000,000

44 JAYA 2010J010 NELAYAN 15,000,000

45 BASRI 2010B018 NELAYAN 15,000,000

46 HASAN 2010H035 NELAYAN 30,000,000

47 MAHIR 2010M077 NELAYAN 25,000,000

48 SYARIFUDDIN 2010S113 NELAYAN 10,000,000

49 ARIS 2010A071 NELAYAN 5,000,000

50 PARNOSUJARNO,H 2010P018 TANITAMBAK 60,000,000

51 BAHARUDDIN 2010B022 NELAYAN 7,000,000

52 NASRUDDIN 2010N041 PEDAGANGIKAN 25,000,000

53 JUFRIADI 2010J016 PEDAGANGIKAN 15,000,000

54 IDHAN 2010I047 PEDAGANGIKAN 15,000,000

55 USMAN 2011U001 NELAYAN 10,000,000

56 WARDLHAN 2010W010 PRASARANANELAYAN 20,000,000

57 SADIKE 2011S016 NELAYAN 50,000,000

58 HAERUDDIN,SE 2011H012 KOLAMBUDIDAYA 35,000,000

59 SYAMSURI 2011S022 KELOMPOKNELAYAN 35,000,000

60 DENNYWAHYUDI 2011D005 NELAYAN 20,000,000