Sektor Publik dan Kemitraan Swasta

35 Ada tiga hal utama yang merupakan esensi dari pemahaman CSR, yaitu: 1 CSR merupakan tindakan yang harus diambil perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak yang ditimbulkan akibat operasi perusahaan maupun kebijakan yang diambil terhadap lingkungan hidup, internal perusahaan dan eksternal perusahaan. 2 Board juga harus mengungkapkan hal-hal penting diketahui para pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, seperti: laporan kinerja, laporan proses pengambilan keputusan, audit, laporan kegiatan CSR melalui Sustainable Reporting, dan lain-lain. Nindita, 2008. CSR harus beyond compliance to law, artinya: perusahaan harus dan wajib pertama kali mematuhi hukum dan peraturan yang ada. Setelah itu baru melakukan hal-hal baik kepada para stakeholders maupun lingkungan, diluar yang diwajibkan oleh hukum dan peraturan. Pra kondisi inilah yang harus tercipta, perusahaan harus dan wajib mematuhi hukum dan peraturan, sehingga barulah dapat dikategorikan sebagai kegiatan CSR. 3 CSR menuntut pengambil keputusan untuk turut bertanggung jawab juga. Dengan demikian CSR berkaitan erat dengan praktek corporate governance, atau jika pada organisasi, berarti organizational governance. Mengapa governance, karena dalam konsep governance, tanggung jawab dalam pengambilan keputusan board adalah hal yang paling utama. Board harus dapat diminta pertanggungjawabannya atas keputusan dan kebijakan yang diambil. Artinya, hal ini sangat terkait dengan akuntanbilitas. Dalam diskusi terbatas di CECT Universitas Trisakti dapat disimpulkan hubungan CSR, sustainability dan sustainable development. Sustainability adalah tujuan akhir yang harus dicapai oleh semua perusahaan. Tujuan akhir tersebut diantaranya adalah menyeimbangkan antara kinerja ekonomi, kesejahteraan sosial dan peremajaan serta pelestarian lingkungan hidup. Proses mencapai tujuan akhir disebut sebagai sustainable development pembangunan berkelanjutan. Sedangkan CSR adalah vehicle kendaraan untuk mencapai tujuan akhir tersebut, jadi CSR merupakan bagian dari kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. 36

2.6.2 Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan CSR

CSR mulai mengemuka dalam hasanah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat ketika dunia internasional ramai membicarakan CSR ini, hingga CSR menjadi isu besar bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi dimanapun. Hingga pada akhirnya pelaksanaan CSR di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007, Pasal 74 yaitu Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas. Didalam Undang-Undang ini pada pasal 74 dinyatakan bahwa semua Perseroan Terbatas wajib hukumnya melaksanakan CSR, sehingga tanggung sosial menjadi bagian dari rencana penganggaran perusahaan. Ada dua konteks politik ekonomi Indonesia dalam melihat peran BUMN kurun waktu 1998-2003, yaitu: 1 Kebijakan pemerintah melakukan penataan ulang reformasi BUMN yang ditandai dengan dua isu pokok, yakni restrukturisasi dan privatisasi. 2 Kebijakan pemerintah menjadikan usaha kecil sebagai tulang punggung ekonomi paska krisis. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Bukan hanya dukungan pada keberadaan usaha kecil dan koperasi tetapi juga BUMN harus mendukung program-program sosial yang lain. Program Bina Lingkungan BL yang menjadi dasar praktik tanggung jawab sosial BUMN, merupakan kebijakan sosial BUMN yang menyatu dengan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi yang disebut Program Kemitraan PK. Kedua aspek tersebut, baik program BL maupun PK, terwadahi dalam suatu ketentuan hukum yang sama, yakni: Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-236MBU2003 dan Nomor : PER-05MBU2007, tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan PKBL. Serta surat edaran Menteri BUMN Nomor: SE-33MBU2003 dan SEN- 01MBU.S2009 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri tersebut. Dalam surat edaran ini dijelaskan pula bahwa masing-masing BUMN membentuk unit sendiri yang khusus untuk melaksanakan PKBL. Ada tiga persoalan dalam menerapkan program PKBL. Pertama, Kepmen-236MBU2003 menyangkut pembatasan terhadap lima objek bantuan pendidikan, kesehatan, sarana umum, sarana ibadah, dan bencana alam. Kedua, terkait dengan manajemen program ditingkat BUMN yang masih bersifat