Pusat Pertumbuhan Deskripsi Peserta Program Kemitraan dan Non Program Kemitraan

109 keberlanjutan dan hasil analisis leverage tersaji pada Gambar 15 dan Gambar 16 berikut ; Gambar 15. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Sosial Budaya Kota Bontang Gambar 16. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Sosial Budaya Kota Bontang 50,71 46,90 46,92 Good Bad Up Down -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 O th e r Dis tin g is h in g F e a tu re s Status Keberlanjutan Wilayah Kondisi Wilayah Reference anchors Anchors 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Perubahan dalam praktek pengelolaan Konflik kepentingan dan pemanfaatan ruang Peran masyarakat adat lokal Prilaku masyarakat terhadap keberlanjutan Jumlah desa Pesisir Pemberdayaan masyarakat Tingkat penyerapan tenaga kerja sektoral Pengetahuan kelestarian lingkungan Tingkat pendidikan formal A ttr ib u te 110 Munculnya atribut sensitif, seperti disebutkan di atas, karena hampir seluruh wilayah di Bontang berbatasan dengan pesisir lautan, namun demikian perilaku masyarakat terhadap keberlanjutan wilayah pesisir relatif masih kurang, akibat tingkat heterogenitas penduduk yang tinggi sehingga peran masyarakat setempat juga dirasakan masih tergolong rendah

4.3.4 Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari sepuluh atribut, antara lain: 1 Perubahan tekhnologi, 2 Selektif dalam memilih peralatan yang ramah lingkungan, 3 Penggunaan mesin dalam proses produksi, 4 Dampak penggunaan tekhnologi, 5 Ketersediaan teknologi informasi, 6 Ketersediaan industri pengolahan lanjutan tingkat penggunaan alat dan mesin, 7 Standardisasi dan sertifikasi mutu produk, 8 Stabilitas pemanfaatan tekhnologi 9 Infrastuktur fasilitas umum pendukung, dan 10 Infrastruktur transportasi dan distribusi. Hasil analisis MDS menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi wilayah pesisir Bontang relatif tinggi jika dibandingkan dengan nilai indeks dimensi lainnya, hal ini dapat terlihat dari indeks Kecamatan Bontang utara yang mencapai nilai 74,77 cukup berkelanjutan diikuti dengan indeks Kecamatan Bontang Selatan sebesar 65,49 cukup berkelanjutan serta Kecamatan Bontang Barat yang memperoleh nilai 54,20 cukup berkelanjutan. Sementara hasil analisis leverage diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi : 1 Ketersediaan tekhnologi informasi, 2 Industri pengolahan lanjutan, 3 Stabilitas pemanfaatan tekhnologi, 4 Dampak penggunaan tekhnologi, dan 5 Standarisasi dan sertifikasi mutu produk. Adapun nilai keberlanjutan hasil analisis MDS dan nilai atribut yang sensitif hasil analisis leverage tersaji pada Gambar 17 dan Gambar 18 berikut ; 111 Gambar 17. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi wilayah pesisir Kota Bontang Gambar 18. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi wilayah pesisir Kota Bontang 74.77 65.50 54.21 Good Bad Up Down -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 O th e r Dis tin g is h in g F e a tu re s Status Keberlanjutan Wilayah Kondisi Wilayah Reference anchors Anchors 1 2 3 4 5 6 7 Infrastruktur transportasi dan distribusi Infrastruktur fasilitas umum pendukung Stabilitas pemanfaatan Standarisasi dan sertifikasi mutu produk Industri pengolahan lanjutan Ketersediaan tekhnologi informasi Dampak penggunaan tekhnologi Penggunaan mesin produksi Selektif dalam peralatan ramah lingkungan Perubahan tekhnologi A ttr ib u te 112 Munculnya atribut yang sensitif kelompok pertama, seperti industri pengolahan lanjutan dan standardisasi mutu produk, lebih disebabkan karena di wilayah Bontang belum banyak dijumpai industri pengolahan hasil kelautan, sehingga standardisasi mutu dan sertifikasi bagi produk kelautan yang akan dijual ke pasaran masih bersifat tradisional. Munculnya atribut lain yang sensitif, seperti keberadaan teknologi informasi belum tersedia dan berjalan secara optimal, stabilitas pemanfaatan tekhnologi serta dampaknya dalam peningkatan produksi, hal ini muncul karena pada umumnya masyarakat Kota Bontang belum menggunakan peralatan yang memadai, melainkan lebih banyak yang menggunakan perlatan secara tradisional. Demikian pula dengan teknologi informasi di wilayah ini. Sarana tersebut belum digunakan secara optimal. Berbagai informasi yang berkaitan dengan perkembangan teknologi lebih banyak diperoleh melalui kegiatan- kegiatan penyuluhan yang disampaikan oleh petugas setempat.

4.3.5 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sembilan atribut, antara lain: 1 Kesetaraan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir, 2 Penjangkauan penyuluhan dan pembinaan, 3 Keberadaan kelembagaan penyuluhan sosial, 4 Keberadaan organisasi masyarakat sipil OMS, 5 Mekanisme tekhnis pengelolaan kawasan pesisir, 6 Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, 7 Ketersediaan perangkat hukum regulasi setempat, 8 Tatakelola pemerintahan yang baik, dan 9 Hubungan antar stakeholders. Hasil analisis MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan wilayah pesisir Bontang untuk Kecamatan Bontang Utara sebesar 60,00 cukup berkelanjutan, Kecamatan Bontang Selatan sebesar 55, 01 cukup berkelanjutan, dan Kecamatan Bontang Barat sebesar 50,98 kurang berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan : 1 Penjangkauan penyuluhan dan pembinaan, 2 Keberadaan kelembagaan 113 penyuluh sosial, 3 Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, 4 Ketersediaan perangkat hukum regulasi lokal setempat. Adapun nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif hasil analisis leverage, seperti tersaji pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ; Gambar 19. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan wilayah pesisir Kota Bontang Gambar 20. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan wilayah pesisir Kota Bontang 60,01 55,01 50,98 Good Bad Up Down -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 O th e r Dis tin g is h in g F e a tu re s Status Keberlanjutan Wilayah Kondisi Wilayah Reference anchors Anchors 1 2 3 4 5 6 Hubungan antar stakeholder Tatakelola pemerintahan Regulasi lokal Sinkronisasi kebijakan Pusat - Daerah Mekanisme tekhnis Organisasi masyarakat sipil Kelembagaan penyuluh sosial Penjangkauan penyuluhan dan … Kesetaraan pemanfaatan ruang A ttr ib u te 114 Munculnya atribut sensitif pertama, berupa sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, dan regulasi kebijakan ditingkat lokal, hal disebabkan karena masalah pesisir belum tercover sepenuhnya oleh kebijakan pengembangan pesisirsecara terpadu, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih bersifat umum dan biasanya ditentukan secara top down , dan belum terintegrasi sampai level grassroot, sementara kondisi dan permasalahan yang dialami setiap daerah berbeda-beda, sehingga kebijakan tersebut terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah. Dalam rangka pengembangan kawasan pesisir, seharusnya diusulkan secara bottom up yang berasal dari kalangan grassroot yang mengetahui persis kondisi dan permasalahan daerahnya. Munculnya atribut sensitif kedua, yaitu terkait dengan keberadaan lembaga penyuluh sosial dan penjangkauan kegiatan dari lembaga tersebut, keberadaan kelembagaan sosial sangat penting dalam memberikan pemahanan pada masyarakat guna menciptakan pengelolaan wilayah yang berkelanjutan, aktivitas eksploitasi sumberdaya pesisir tidak hanya mengedepankan sisi keuntungan saat ini semata terapi bagaimana potensi tersebut dapat dikelola hingga lintas generasi, sehingga lembaga penyuluhan sosial dapat lebih berperan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat.

4.3.6 Status Keberlanjutan Multidimensi

Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang saat ini existing condition, sebesar 53,73 dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa jika dilihat dari sisi weak sustainability , maka dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kota Bontang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Sebaliknya, jika dilihat dari sisi strength sustainability, maka dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kota Bontang termasuk dalam kategori belum berkelanjutan, karena masih ada dimensi keberlanjutan yang berada pada kategori kurang atau tidak berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi serta dimensi sosial budaya. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 48 atribut dari lima dimensi keberlanjutan. Dari 48 atribut yang dianalisis, terdapat 19 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang. 115 Adapun perbandingan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan di tiap Kecamatan Kota Bontang, seperti pada Gambar 21 berikut. Gambar 21. Diagram Layang Perbandingan Hasil Analisis MDS Terhadap Tingkat Keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang Tingkat kesalahan dalam analisis MDS dapat dilihat dengan melakukan analisis Monte Carlo. Analisis ini dilakukan pada tingkat kepercayaan sekitar 95 persen. Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo, menunjukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS dapat diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang, dapat dihindari. Dalam rangka mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai Squared Correlation RSQ. Nilai ini 0,00 25,00 50,00 75,00 100,00 EKOLOGI EKONOMI SOSIAL BUDAYA INFRASTRUKTUR DAN TEKHNOLOGI HUKUM DAN KELEMBAGAAN BONTANG UTARA BONTANG SELATAN BONTANG BARAT 116 diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang telah dimodifikasi. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai Squared Correlation RSQ mendekati nilai 1,0 atau 100 persen Kavanagh dan Pitcher, 2004. Dari hasil analisis MDS diperoleh nilai stress tiap attribut yaitu ; dimensi ekologi memiliki nilai stress sebesar 0,15 dengan tingkat kepercayaan 95, dimensi ekonomi dengan nilai stress sebesar 0,14 dan tingkat kepercayaan 95, dimensi sosial budaya memiliki nilai stress tertinggi yakni 0,17 dengan tingkat kepercayaan terendah hanya 91, sedangkan dimensi infrastruktur dan tekhnologi serta hukum dan kelembagaan memiliki nilai stress yang sama yakni 0,14 dengan tingkat kepercayaan masing-masing sebesar 95 dan 94, Adapun nilai stress dan Squared Correlation RSQ tersaji secara lengkap pada Tabel 29 berikut. Tabel 29. Nilai Stress dan Squared Correlation RSQ dari hasil Analisis MDS Attribut Stress Squared Correlation RSQ Dimensi Ekologi 0.15 95 Dimensi Ekonomi 0.14 95 Dimensi Sosial Budaya 0.17 91 Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi 0.14 95 Dimensi Hukum dan Kelembagaan 0.14 94 Sumber : data diolah Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, terlihat dari nilai stress yang yang bernilai lebih kecil dari 0,25 dimana hanya berkisar antara 0,14 sampai 0,17 dengan nilai Squared Correlation RSQ yang diperoleh berkisar antara 91 sampai 95, artinya hasil analisis sudah cukup baik dimana variabel atribut yang dipilih untuk dinilai telah mampu menjelaskan mendekati 100 dari kondisi realitas model yang ada. Hasil tabulasi skor indikator keberlanjutan sumberdaya wilayah pesisir disajikan pada Lampiran 2. 117

4.4 Analisis Desain Strategi CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Berdasarkan analisis ekonomi wilayah pesisir dan keberlanjutan wilayah pesisir, terlihat bahwa peran ekonomi yang besar dari perusahaan pengolahan termasuk PKT ternyata belum dapat mendukung keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir Kota Bontang. Dengan demikian maka peran PKT harus lebih ditingkatkan dan diarahkan pada pengembangan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang. Oleh karena itu sangat penting dilakukan analisis desain strategi dalam pemberdayaan ekonomi dan sumberdaya pesisir di Kota Bontang. Dalam rangka analisis tersebut dilakukan wawancara dengan berbagai stakeholders terhadap program CSR PKT, secara rinci hasil wawancara ditabulasikan dan disajikan pada Lampiran 2 sampai Lampiran 11. Hasil analisis desain strategi CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir adalah sebagai berikut ;

4.4.1 Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR

Peran dan efektifitas pelaksanaan program CSR dapat terlihat dengan melakukan Analisis Kesenjangan Gap Analysis dan Importance Performance Analysis IPA. Analisis Kesenjangan digunakan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan masyarakat sebagai penerima manfaat program CSR PKT dengan kinerja yang dicapai juga menurut masyarakat tersebut. Analisis selanjutnya adalah Importance Performance Analysis IPA, dimana dalam analisis ini dapat terlihat posisi masing-masing indikator dalam diagram kartesian. Penempatan posisi masing-masing indikator tersebut menentukan rekomendasi terhadap indikator tersebut. 1 Analisis Kesenjangan Gap Analysis Mayoritas responden masyarakat menyatakan bahwa program CSR telah tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tingkat persetujuan masyarakat terhadap ketepatan sasaran dan kesesuaian program masing- masing sebesar 77,5 dan 82,5 responden masyarakat menyatakan bahwa program CSR telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Opini positif 118 responden masyarakat tersebut senada dengan opini yang dikeluarkan oleh responden keluarga karyawan dan mitra binaan. Data kuesioner menunjukkan bahwa keseluruhan responden keluarga karyawan dan mitra binaan menyatakan penilaian positif terhadap ketepatan sasaran dan kesesuaian program terhadap kebutuhan mereka. Lebih lanjut keseluruhan responden pada kelompok mitra binaan menyatakan bahwa perlu adanya keberlanjutan pelaksanaan program CSR PKT. Terkait besarnya kebutuhan masyarakat terhadap bidang pelaksanaan program, keseluruhan responden menyatakan bahwa program di bidang olahraga sangat dibutuhkan. Bidang olahraga menjadi satu-satunya bidang yang mendapat seluruh suara responden. Di sisi lain sebanyak 27,5 responden menyatakan belum terdapat program CSR bidang olahraga. Data tersebut memberikan gambaran bahwa masih terdapat sebagian masyarakat yang belum dapat merasakan atau belum mengetahui adanya pelaksanaan program CSR pada bidang olahraga. Tingkat kebutuhan responden masyarakat pada bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesenian, dan bencana masing-masing sebesar 85, 95, 95, 90 dan 80. Sedangkan tingkat keberadaan program pada masing- masing bidang tersebut adalah sebesar 52,5; 75; 82,5; 57,5 dan 57,5. Pada bidang kesehatan, kesenian dan bencana terlihat adanya gap yang cukup jauh antara tingkat kebutuhan dan keberadaan program. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harapan masyarakat tentang adanya pelaksanaan program CSR pada ketiga bidang tersebut belum dapat terpenuhi dengan baik. Kesenjangan antara kebutuhan dan keberadaan program pada bidang pendidikan dan ekonomi tidak terlalu jauh, dengan demikian keberadaan program pada kedua bidang tersebut telah cukup baik memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Semakin besarnya kesenjangan yang terjadi mengindikasikan semakin besarnya kebutuhan masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh program CSR. Pada kelompok responden keluarga masyarakat, gap antara keberadaan dan kebutuhan program pada bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesenian, olahraga dan bencana masing-masing sebesar 32,5; 20; 12,5; 32,5; 30 119 dan 22,5. Gap terkecil terjadi pada bidang ekonomi, sedangkan gap terbesar terjadi pada bidang kesehatan dan kesenian. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kebutuhan keluarga karyawan pada bidang ekonomi merupakan kebutuhan yang paling dapat dipenuhi oleh kegiatan CSR PKT, sedangkan kebutuhan karyawan pada bidang kesehatan dan kesenian merupakan kebutuhan yang paling belum dapat dipenuhi oleh kegiatan CSR PKT. Tidak terpenuhinya kebutuhan responden oleh kegiatan CSR dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah belum tersedianya program CSR yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sedangkan kemungkinan kedua adalah belum diketahuinya keberadaan program oleh kelompok responden. Dalam hal keterlibatan, persentase responden keluarga karyawan dan responden masyarakat yang merasa dilibatkan dalam proses perencanaan program CSR masing-masing sebanyak 66,67 dan 52,50. Besarnya persentase responden keluarga karyawan yang merasa dilibatkan pada proses persiapan program perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan pemanfaatan masing-masing mencapai 66,67; 83,33; 50 dan 83,33 Sedangkan besarnya persentase responden yang merasa dilibatkan pada keempat tahapan program CSR tersebut masing-masing adalah 50; 57,5; 12,5 dan 65. Berdasarkan data tersebut maka dapat terlihat bahwa persentase keluarga karyawan yang merasa dilibatkan pada penyelenggaraan kegiatan CSR PKT cenderung lebih besar dibandingkan dengan persentase masyarakat yang merasa dilibatkan pada penyelenggaraan kegiatan tersebut. Kelompok responden keluarga karyawan mayoritas dilibatkan pada tahapan pelaksanaan dan pemanfaatan, demikian pula dengan kelompok responden masyarakat. Tahapan kegiatan CSR yang paling sedikit melibatkan kelompok keluarga karyawan dan masyarakat adalah monitoring dan evaluasi. Analisis terhadap kinerja berbagai indikator menunjukkan bahwa beberapa diantaranya memberikan point yang kurang bagus, dari sudut pandang masyarakat. Beberapa indikator yang menunjukkan kinerja kurang baik ditunjukkan oleh persepsi TB Tidak baik dan KB kurang baik yang dominan diberikan oleh masyarakat. Sementara untuk indikator yang menunjukkan kinerja 120 baik, dimana ditunjukkan oleh SB sangat baik dan B baik yang dominan diberikan oleh masyarakat, adalah indikator jumlah penerima saran, jumlah dana program, secara keseluruhan penilaian indikator tersebut tersaji pada Gambar 22 berikut ; Gambar 22. Penilaian Masyarakat Terhadap Kinerja Indikator CSR Sementara harapan masyarakat terhadap masing-masing indikator yang sama menunjukkan hasil sebagai berikut : indikator yang dianggap sangat penting oleh masyarakat dimana ditunjukkan oleh dominasi SP sangat penting dan P penting diberikan masyarakat, diantaranya adalah indikator ketepatan sasaran, jumlah penerima manfaat, kontiunitas program, dampak program terhadap masyarakat, perencanaan program, koordinasi program, dan pendampingan masyarakat yang melekat dalam program tersebut. Sementara indikator lainnya menunjukkan persepsi yang cukup penting. Penilaian masyarakat atas tingkat kepentingan indikator CSR tersaji pada Gambar 23 berikut ; 10 20 30 40 50 Program Kemitraan Program Bina Lingkungan Ketepatan Sasaran Kuantitas Penerima Manfaat Jumlah Dana Program Tingkat Keberlanjutan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Mekanisme Pelaksanaan Program Keterlibatan Stakeholders Pendampingan Program Tidak Baik Kurang Baik Cukup Baik Baik Sangat Baik 121 Gambar 23. Penilaian Masyarakat Terhadap Indikator Kepentingan CSR. Hasil kombinasi antara kinerja dan harapan masyarakat terhadap masing- masing indikator tersebut menggambarkan kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan antara harapan stakeholder terhadap program CSR dan kinerja yang ditunjukkan selama ini merupakan sekat yang harus diperhatikan. Hal ini bisa terjadi karena dua hal yaitu estimasi masyarakat yang terlampau tinggi terhadap program yang akan dilaksanakan dan yang kedua dikarenakan performance terhadap indikator yang dianalisis memberikan hasil bahwa kinerja harus ditingkatkan, dari hasil analisis terlihat bahwa indikator jumlah dana program, program kemitraan dan program bina lingkungan serta kuaantitas penerima manfaat memiliki tingkat kesesuaian yang relatif lebih tinggi dibandingakn dengan indikator CSR lainnya. Pencapaian kinerja terhadap ekspektasi masyarakat tersaji pada Gambar berikut : 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Program Kemitraan Program Bina Lingkungan Ketepatan Sasaran Kuantitas Penerima Manfaat Jumlah Dana Program Tingkat Keberlanjutan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Mekanisme Pelaksanaan Program Keterlibatan Stakeholders Pendampingan Program Tidak Penting Kurang Penting Cukup Penting Penting Sangat Penting 122 Gambar 24. Perbandingan Indikator Kinerja CSR Terhadap Harapan Masyarakat. 2 Importance Performance Analysis IPA Dalam IPA, dimana mengkombinasikan antara indikator performance dan indikator importance, terlihat bahwa seluruh atribut indikator CSR memiliki nilai penting bagi responden, hal ini tergambar dari letak atibut indikator CSR seluruhnya berada pada wilayah kuadran I dan II. Di posisi kuadaran II dengan indikasi bahwa indikator dan program yang termasuk dalam kuadran ini sudah sesuai antara kinerja dan harapan masyarakat. Terdapat 5 atribut indikator CSR, yakni ; jumlah dana program, program kemitraan, program bina lingkungan, kuantitas penerima manfaat serta pengaruh program terhadap masyarakat yang masuk dalam kuadran ini, oleh karena itu rekomendasi yang tepat adalah mempertahankan prestasi yang sudah dicapai, sehingga kedepan bisa diraih prestasi yang lebih baik lagi. Posisi kuadran terlihat pada gambar berikut ; 20 40 60 80 100 Program Kemitraan Program Bina Lingkungan Ketepatan Sasaran Kuantitas Penerima Manfaat Jumlah Dana Program Tingkat Keberlanjutan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Mekanisme Pelaksanaan Program Keterlibatan Stakeholders Pendampingan Program 123 Gambar 25. Diagram Performance dan Importance Indikator CSR. Keterangan : 1. Program Kemitraan 2. Program Bina Lingk ungan 3. Ketepatan Sasaran 4. Kuantitas Penerima Manfaat 5. Jumlah Dana Program 6. Tingkat Keberlanjutan Program 7. Pengaruh Program terhadap Masyarakat 8. Mekanisme Pelaksanaan Program 9. Keterlibatan Stakeholders 10. Pendampingan Program Dari gambar tersebut terlihat bahwa aspek yang termasuk dalam kuadran I adalah mekanisme pelaksanaan program, pendampingan program, tingkat keberlanjutan program, keterlibatan stakeholders dan ketepatan sasaran diindikasikan bahwa kinerja aspek indikator tersebut belum sesuai dengan harapan yang di ekspektasikan oleh masyarakat. Bisa disebabkan oleh dua hal yaitu ekspektasi yang terlalu tinggi atau kinerjanya memang rendah sehingga belum memenuhi ekspektasi tersebut. Program dan indikator yang termasuk kedalam kuadran ini harus menjadi perhatian yang serius bagi para pelaksana 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 IM P O R T AN CE PERFORMANCE KUADRAN III KUADRAN IV KUADRAN II KUADRAN I 124 dan perencana CSR di lapangan. Oleh karena itu rekomendasinya adalah prioritas untuk diperhatikan dan ditingkatkan kinerjanya. Indikator dan program yang termasuk kedalam kuadran ini adalah aspek kontinuitas program, perencanaan program, koordinasi program dan pendampingan masyarakat. Tiga dari lima aspek yang termasuk kedalam kuadran ini dan direkomendasikan untuk diperhatikan adalah variabel dalam mekanisme pelaksanaan program sehingga implementasi dalam rangka meningkatkan kinerjanya sangat bertumpu kepada kemampuan organisasi dan tata kelola organisasi dalam rangka memprogram CSR menjadi lebih baik. Sementara satu aspek yang juga direkomenasikan penting untuk diperhatikan adalah variabel teknis dimana sangat berperan dalam keberhasilan pemberdayaan masyarakat yaitu aspek pendampingan program, disadari atau tidak disadari aspek ini memang merupakan salah satu kelemahan dalam pelaksanaan CSR PKT selama ini.

4.4.2 Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir

1 Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat pesisir dirancang selain untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi, juga dapat menjadi media pelestarian nilai-nilai lokal yang adaptif terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup. Usaha ekonomi yang dikembangkan merupakan usaha yang sesuai dengan potensi sumberdaya sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan setempat, yang memiliki prospek pemasaran produk hasil pemberdayaan ini baik dilingkungan setempat maupun dalam jaringan pasar yang lebih luas. Selain memperhatikan keberadaan kondisi masyarakat dan sumberdaya alam setempat serta aspek prospek pemasaran yang lebih luas, seyogyanya juga mempertimbangkan core business PKT, yaitu terkait dengan keberadaan PKT itu tidak membahayakan lingkungan. Sebaliknya, justru dengan keberadaan masyarakat pesisir yang diberdayakan tersebut membuktikan secara visual bahwa PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya sedemikian rupa sehingga tidak sekedar penyaluran 125 dana CSR, tetapi ada misi membangun model yang dapat menjadi contoh bagi pemberdayaan masyarakat ditempat lain oleh pihak lain yang berkepentingan. Lokasi pemberdayaan masyarakat komunitas pesisir ini dikawasan buffer zone. Selain lebih bermanfaat untuk membuktikan bahwa secara nyata PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sekitarnya secara selaras dan serasi. Indikasi kesiapan masyarakat menuju kemandiriaannya adalah berfungsinya kelembagaan mayarakat yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, misalnya permodalan usaha dan pemasaran hasil produksi masyarakat yang diberdayakan. Program Kemitraan Bina Lingkungan PKBL yang menjadi dasar praktek tanggung jawab sosial BUMN, merupakan kebijakan sosial BUMN yang menyatu dengan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi yang disebut program kemitraan PK. Kedua aspek tersebut baik program BL maupun PK, terwadahi dalam suatu ketentuan hukum yang sama. Ada tiga persoalan dalam menerapkan program PKBL, pertama Kepmen- 235MBU2003 menyangkut pembatasan terhadap lima objek bantuan pendidikan, kesehatan sarana umum, sarana ibadah dan bencana alam. Kedua, terkait dengan manajemen program ditingkat BUMN yang masih bersifat top down dan memerlukan persetujuan dari manajemen pusat bagi BUMN. Ketiga, menyangkut minimnya blue print cetak biru kebijakan. Tak jarang pelaksanaan tanggung jawab sosial BUMN hanya didasarkan pada keinginan baik dan dimensi etis, tetapi belum dirumuskan dalam suatu kebijakan tertulis oleh perusahaan BUMN.

a. Deskripsi Peserta Program Kemitraan dan Non Program Kemitraan

Sebagaian besar peserta program kemitraan PKT tinggal di Kelurahan Lhoktuan, tepatnya 64, 3 dan 35,7 lainnya bukan peserta kemitraan PKT dan mereka tersebar di tiga desa 14, 3 di Kelurahan Lhoktuan,1 di Kelurahan Belimbing. Jika diamati pendidikan dari peserta program kemitraan akan didapat variasi sebagai berikut : 10 tidak tamat SD, 30 tamat SMP dan 5 tamat SMA. Selain tingkat pendidikan, ternyata sebagian besar 126 peserta program kemitraan PKT 35 nya memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan sisanya 10 sebagai nelayan.

b. Perkembangan Penduduk Kota Bontang Berdasarkan Persepsi Responden.

Seluruh responden menyatakan bahwa pendapatan mereka meningkat atau mereka memiliki sumber pendapatan tambahan saat ini. Begitupula dengan tingkat pendidikan formal dikeluarga saat ini 70 responden lebih baik saat ini. Persepsi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan semakin baik.

c. Dampak langsung, dampak tidak langsung dan pemicu

Sebagian besar responden atau tepatnya 65 menyatakan bahwa PKT tidak memberikan manfaat langsung. Artinya sebagian besar responden sebagai penduduk Kota Bontang tidak dapat diterima sebagai karyawan atau pegawai. Persepsi ini perlu dipahami jika dikaitkan dengan kebutuhan, tingkat pendidikan masyarakat, sehingga PKT harus juga turut memikirkan manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat Kota Bontang sesuai dengan kemampuan mereka. Dampak tidak langsung dari keberadaan PKT juga dirasakan juga kurang berperan bagi masyarakat hal ini diindikasikan dari 61,1 masyarakat yang menyatakan tidak ada dampak ekonomi atau peluang usaha keberadaan PKT. Menariknya lagi dari data ini adalah semua peserta program kemitraan PK PKT menyatakan tidak menerima manfaat dari dampak tidak langsung ini. Artinya ada kecenderungan bahwa peserta program kemitraan PK PKT tidak integrasi dengan peluang bisnis yang ada perusahaan tersebut. Dampak pemicu lainnya seperti berkembangnya infrastruktur jalan, listrik, ternyata memberikan mafaat yang cukup besar bagi responden. Secara validasi angka dapat dikatakan lebih dari 88 responden menyatakan berkembangnya infrastruktur memberikan mafaat yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan tenaga kerja, ternyata hanya 27,8 responden yang menyatakan adanya pertambahan tenaga kerja atau karyawan. Dari data ini ternyata dampak pemicu sebagai instrumen yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar lebih dari 127 seperempatnya dari total 88 responden yang merasa terbantu secara ekonomi. Artinya peran dampak pemicu dalam menciptakan lapangan kerja baru, memiliki posisi lebih dari 20. Terkait pengetahuan responden terhadap program PKBL PKT serta seberapa besar program tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat dapat terlihat dari uraian sebagai berikut : 1. Bantuan pendidikan 52,6 responden mengetahuinya tetapi hanya 55 responden yang menikmatinya. 2. Bantuan kesehatan 52,6 mengetahui tetapi hanya 33,3 yang menikmatinya. 3. Bantuan sarana umum 100 responden mengetahuinya, dan semua responden menikmati bantuan ini. 4. Bantuan sarana ibadah, 100 responden mengetahuinya, 94,4 responden yang menikmatinya. 5. Bantuan bencana alam 52,6 mengetahuinya, hanya 50 yang menikmati. 6. Bantuan kemitraan usaha, 100 mengetahuinya dan semua responden menikmati. Dari informasi ini di dapatkan fakta yang cukup menarik menyangkut bantuan kemitraan usaha dari 100 bantuan kemitraan usaha ternyata responden mengetahui dan menikmati jenis bantuan ini. Artinya responden sebagai peserta program kemitraan dan peserta non program kemitraan ternyata mampu mengakses dan memanfaatkan dana program kemitraan PKT ini. Jika diamati sebagian besar bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan bantuan peralatan dan pemberian kredit. 2 Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Program CSR PKT saat ini terlihat masih belum terfokus pada upaya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, hal ini terindikasi dari pelaksanaan program pesisir yang relatif masih baru dilakukan dan terkesan belum menjadi prioritas dalam penganggaran program CSR PKT. Beberapa program yang termasuk secara khusus dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisisr secara 128 terpadu diantaranya adalah program revitalisasi terumbu karang dan penanaman mangrove di sekitar kawasan pesisir Kota Bontang. Program revitalisasi terumbu karang dilakukan dengan menanam concreteblock dengan pipa paralon tempat penyemaian bibit karang di kawasan perairan yang kondisi vegetasi terumbu karangnya telah rusak. Dari penyemaian ini diharapkan dapat memulihkan kembali kondisi ekosistem terumbu karang, yang menjadi tempat hidup bagi aneka biota laut, sehingga mampu meningkatkan produktifitas dan nilai ekonomis dari wilayah pesisir. Sementara pelaksanaan program penanaman mangrove yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, relatif menunjukkan hasil yang lebih baik. Dari sekitar 7500 bibit pohon yang ditanam, kini telah tumbuh menjadi tegakan mangrove setinggi 2 meter di kawasan HGB 63 area Sekatup Kelurahan Bontang Baru dan HGB 65 area Bukit Sintuk Kelurahan Belimbing. Diperkirakan dengan upaya penanaman 10.000 pohon per tahun akan mampu merekondisi wilayah pesisir Kota Bontang menjadi lebih baik. Bila dilihat dari besar nilai anggaran, program penanaman terumbu karang buatan satuannya diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 420.000 per unit, harga ini terdiri dari Rp. 230.000 untuk biaya pembuatan concreteblok penyemaian dan Rp. 190.000 untuk biaya angkutan dan penanaman di lokasi. Sehingga jika dikalkulasi anggaran rencana kebijakan penanaman 500 terumbu buatan mencapai sekitar Rp. 210.000.000 setiap tahunnya. Sementara program penanaman mangrove mencapai nilai Rp. 90.000.000 setiap tahun, jika diasumsikan biaya pembuatan dan penanaman berkisar Rp. 9.000 per pohon. Nilai tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total anggaran CSR PKT yang mencapai 20 milyar rupiah per tahunnya, atau jika kita hitung nilai manfaat relatif yang diperoleh dengan dampak ekologis yang ditimbulkan oleh perusahaan masih belum sebanding, sehingga nilai anggaran untuk pengelolaan wilayah pesisir haruslah proporsional, apalagi menurut perhitungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang, bahwa untuk mendapatkan hasil yang 129 optimal dari konservasi wilayah pesisir, maka jumlah minimal terumbu yang ditanam semestinya sebanyak 1000 buah setiap tahunnya. Disisi lain, dalam mendukung pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir tersebut, tentunya sangat diperlukan peran dan pemahaman dari masyarakat luas, dari hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak 65 responden menyatakan masyarakat dilingkungan mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang lebih baik dalam menjaga serta memelihara sumberdaya alam. Namun 52,6 responden juga menganggap bahwa peranan masyarakat dalam mengikuti pengelolaan sumberdaya alam tersebut ternyata relatif tidak meningkat. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat cukup baik walaupun peranan meraka dalam pengelolaan sumberdaya alam relatif tetap. Artinya kesadaran yang cukup baik ini harus ditingkatkan dalam bentuk kegiatan nyata atau agenda aksinya. Jika dikaitkan dengan program kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan perusahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, 55 responden menyatakan tidak ada keterpaduan antar unsur tersebut. Artinya, ada potensi pemanfaatan program kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan perusahaan guna mendorong peranan masyarakat harus dapat lebih aktif lagi. Sehingga kesadaran yang ada dapat diubah menjadi kegiatan nyata. Arahan dan bimbingan pemerintah dan perusahaan masih memiliki peluang untuk hal ini.

4.4.3 Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir.

Dari hasil analisis sebelumnya dapat dirumuskan permasalah utama yang dihadapi oleh kawasan pesisir Kota Bontang adalah belum terintegrasinya perencanaan kawasan pesisir yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan sekaligus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut : 1 Masih dominannya sektor industri migas mengandalkan eksploitasi sumberdaya tak terbaharui non-renewable resources sementara sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir justru tertinggal jauh dibelakang. 130 2 Dinamika kegiatan penduduk kawasan pesisir yang besar menimbulkan akses-akses negatif terhadap lingkungan fisik kawasan pesisir misalnya kerusakan mangrove, terumbu karang, dan pencemaran terhadap perairan. Hal ini pada akhirnya berdampak pada menurunnya produktifitas sektor perikanan. Kegiatan perkotaan yang berdampak besar adalah Industri PKT, BADAK dan aktifitas penduduk yang menghasilkan limbah dan sampah. 3 Tingginya ketergantungan kawasan pesisir terhadap wilayah luar Balikpapan dan Samarinda dalam produk konsumsi akibat status kelayakan usaha dan produktifitas sektor perikanan yang masih rendah dalam menunjang pendapatan daerah. 4 Rendahnya keterkaitan antar sektor karena tidak didukung sarana prasarana, modal dan teknologi. Hal ini menyebabkan terputusnya rantai ekonomi sektor-sektor sehingga tidak menciptakan nilai tambah yang dapat meningkatkan pengembangan kawasan pesisir. 5 Konflik pemanfaatan dan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya disebabkan adanya masalah ketidakpastian hukum yang bersumber dari ketidakselarasan antara peraturan perundang- undangan, serta lemahnya pembinaan dari pemerintah. 6 Peran CSR PKT terhadap kawasan pesisir cenderung masih lemah dan bersifat sporadis, hal ini terlihat dari kinerja sebagian besar program CSR PKT yang dinilai belum cukup memenuhi harapan masyarakat dan kurang berfokus pada upaya pengelolaan kawasan pesisir terpadu. 7 Belum terbangunnya sebuah visi dan misi CSR yang berlandaskan pada sustainable development, dimana dalam implementasi program hanya dilaksanakan oleh organisasi pada level Departement, yang kurang memiliki pengaruh dalam menentukan arah kebijakan perusahaan.

4.4.4 Desain Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir

Dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang perlu dirumuskan beberapa strategi pengembangan kawasan yang pada intinya memberikan 131 akselerasi untuk memacu perkembangan kawasan pesisir dengan tetap memperhatikan aspek-aspek fisik lingkungan. Strategi pengembangan kawasan pesisir Kota Bontang terbagi menjadi strategi pengembangan secara umum dan strategi pengembangan khusus. Arahan umum adalah dengan mendorong perkembangan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya pesisir terbaharui sehingga dapat menjadi penggerak bagi kegiatan ekonomi pesisir. Sementara strategi pengembangan secara khusus adalah dengan membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir terpadu dan upaya pelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kota Bontang. Dari pembahasan sebelumnya terlihat bahwa sektor perikanan tangkap masih belum teroptimalkan dengan baik begitu pula dengan budidaya rumput laut yang memiliki potensi yang sangat besar, sementara permintaan konsumsi daerah maupun luar daerah masih relatif tinggi, peluang ini dapat ditindaklanjuti dengan pemberian insentif permodalan secara tepat, pembinaan melalui upaya peningkatan kapasitas dan transfer tekhnologi dalam proses pengelolaan produksi lanjutan serta pembangunan infrastruktur dan distribusi tentunya akan mampu menjadikan semberdaya pesisir menjadi salah satu sektor unggulan di Kota Bontang. Perencanaan dan peruntukan kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang hendaknya dapat difokuskan di wilayah Kelurahan Bontang Kuala. Hal tersebut setidaknya akan mampu menjadikan Bontang Kuala sebagai salah satu ikon wisata bahari Kota Bontang. Disamping itu, potensi wisata perumahan masyarakat di atas laut ini harus dibarengi dengan fasilitas infrastruktur transportasi dan akomodasi secara memadai dengan penataan lingkungan yang baik, konsep tersebut dapat disinergikan dengan menciptakan pemahaman dan nilai kearifan lokal dalam membangun daerah wisata yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian potensi sektor perikanan dan kelautan dapat lebih teroptimalkan dalam mendukung peningkatan ekonomi masyarakat dengan tetap