Kampung Beber terdapat dua orang penjahit, sedangkan di Kampung Cikupa terdapat tiga orang penjahit. Ponsel juga dimanfaatkan oleh para guru dan kepala
sekolah untuk berhubungan dengan sesama mereka, khususnya untuk membicarakan sejumlah permasalahan dan kegiatan di sekolah. Setiap bulannya,
pengeluaran mereka untuk pulsa rata-rata sebesar Rp 20.000,000 sampai Rp 50.000,00. Secara rinci, rata-rata pengeluaran pulsa untuk setiap pola
pemanfaatan, dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini.
Tabel 26 Pengeluaran Pulsa Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang Tahun 2011 dalam rupiah
Pola Pemanfaatan Ponsel Pengeluaran Pulsa
MeneleponSMS Keluarga Inti 40000-100000
MeneleponSMS Teman Sebaya 20000-25000
MeneleponSMS Saudara Jauh 20000-50000
MeneleponSMS Rekan BisnisKerja 20000-1000000
Selain mereka yang menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengan individu lain, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya adopter ponsel yang
memanfaatkan ponsel sebagai media bisnis, yaitu untuk berdagang pulsa elektrik. Selain itu, terdapat adopter ponsel yang hanya memanfaatkan ponsel sebagai
media hiburan, yaitu mendengarkan radio dan bermain game. Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pemanfaatan
ponsel oleh para adopter di Desa Kemang, khususnya di kedua kampung tersebut di atas, merupakan kegiatan konsumtif semata. Hanya sebagian kecil dari adopter
yang memanfaatkan ponsel sebagai pendukung kegiatan produktifnya 31 persen.
8.2 Adopsi Berlebihan
Over Adoption Ponsel di Desa Kemang
Semakin membaiknya kondisi infrastruktur yang didukung oleh ketersediaan ponsel dengan berbagai merek dan harga, serta masuknya informasi
terkait ponsel dari berbagai tontonan di televisi, telah mampu membuka akses masyarakat di Kampung Beber dan Kampung Cikupa, untuk mengadopsi ponsel.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, dalam penelitian ini ditemukan karakteristik adopter ponsel yang heterogen, baik dari kelompok umur, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan serta status bekerja mereka.
Dari observasi diketahui bahwa tidak setiap individu di dua kampung tersebut menjadi adopter, sementara di pihak lain diantara para adopter ponsel
dimungkinkan ada yang seharusnya tidak mengadopsi ponsel. Kondisi ini sebenarnya memungkinkan peneliti untuk menganalisis kemungkinan adanya
fenomena adopsi berlebihan di kalangan warga Kampung Beber dan Kampung Cikupa. Namun demikian, oleh karena dalam penelitian ini peneliti tidak
mewawancarai semua warga yang ada di dua kampung, yaitu Kampung Beber dan Cikupa, maka pembahasan tentang adopsi berlebihan tidak dapat dilakukan
dengan sempurna. Dengan berbasis pada data berupa adopter ponsel di dua kampung tersebut, untuk menganalisis ada tidaknya adopsi berlebihan dilakukan
secara kualitatif, yakni dengan menghubungkan kesesuaian pemanfaatan ponsel Tabel 25 dengan jenis pekerjaan danatau kegiatan produktif dari para adopter
ponsel. Lebih lanjut, berdasar fakta bahwa ada dua kebutuhan yang terpenuhi oleh adopter ponsel, yakni kebutuhan konsumtif dan produktif, sehingga dengan
demikian, pertimbangan untuk menentukan ada tidaknya kategori adopter berlebihan adalah dengan menghubungkan penggunaan ponsel, jenis pekerjaan,
dan kategori pemenuhan kebutuhan yang mereka capai. Sehubungan dengan hal ini, bagi adopter yang memanfaatkan ponsel hanya untuk kegiatan konsumtif
dianggap tidak sesuai dan kemudian dikategorikan sebagai adopter irasional, sementara bagi adopter yang menggunakan ponsel untuk mendukung kegiatan
produktif dianggap sesuai, dan kemudian dikategorikan sebagai adopter rasional.. Berdasar Tabel 25, telah diketahui terdapat sekitar 31 persen adopter
ponsel yang dapat dikategorikan sebagai adopter rasional. Mereka memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan rekan bisniskerja saja maupun kombinasinya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka ini adalah para pengusaha, pemilik warung, guru baik PNS maupun honor, dan penjahit. Ponsel sangat
membantu mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh sebab itu, pemanfaatan ponsel oleh adopter tersebut dianggap sesuai dengan jenis
pekerjaannya yakni ponsel dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Sebenarnya, dalam penelitian ini dijumpai sejumlah remaja yang
memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan teman sekolahnya berkenaan dengan urusan sekolah, seperti berbagi informasi tentang pekerjaan atau tugas
rumah. Akan tetapi, persentase mereka terbilang kecil 23 persen dibanding mereka yang memanfaatkan ponsel untuk mengobrol dan bergosip. Yang menarik
adalah adanya sejumlah orangtua mereka yang mengeluh terkait persoalan pengeluaran rumahtangga untuk pulsa yang sangat tinggi. Ini berarti bahwa
pemanfaatan ponsel di kalangan remaja cenderung tergolong konsumtif. Penelitian ini juga menemukan seorang pelajar sekolah dasar yang telah
memiliki dan menggunakan ponsel, namun ia jarang menggunakan ponselnya untuk menghubungi teman-teman sebayanya, karena ia tidak memiliki ponsel.
Sebenarnya adopter ini juga tidak mampu membeli pulsa untuk ponselnya, karena ia berasal dari keluarga yang kondisi ekonominya kurang. Kemampuannya
mengoperasikan berbagai fitur dalam ponselnya pun terbatas, sehingga pola pemanfaatan ponsel tidak terlalu jelas. Di samping itu, terdapat pula adopter
ponsel remaja yang tidak melanjutkan sekolahnya, namun juga tidak bekerja. Dalam kesehariannya, mereka hanya diam di rumah atau sekedar ngobrol-ngobrol
di warung. Biasanya ponsel digunakan untuk berhubungan dengan teman-teman mereka, akan tetapi obrolan yang dilakukan baik melalui telepon atau SMS lebih
pada kepentingan “curhat” dan bergosip . Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa mereka ini belum sesuai dalam memanfaatkan ponsel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sekitar 19 persen adopter yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan saudara jauh saja maupun
kombinasinya dengan keluarga inti. Berhubungan dengan saudara jauh merupakan kebutuhan mendasar bagi mereka, karena hanya dengan melalui ponsel, mereka
dapat menjalin silaturahmi dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Desa Kemang merupakan desa yang terpencil, sehingga
sebelum menggunakan ponsel, para adopter kesulitan untuk berhubungan dengan saudara mereka yang berada di luar desa. Mereka hanya bisa bertemu setahun
sekali, ketika merayakan hari raya. Oleh karena itu, golongan ini dapat dikategorikan sebagai adopter rasional.
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN