Latar Belakang Keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu (Serranidae) do daerah reservasi (Zona inti) dan Non Reservasi (Zona Pemukiman) Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi dengannya. Keanekaragaman biologi yang tinggi pada ekosistem ini tercermin dari beragamnya jenis hewan karang dan ikan karang yang ada. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok yang dapat ditemui di sebuah terumbu karang Nybakken 1988. Saat ini diketahui paling tidak terdapat sekitar 2.500 spesies ikan karang dan 400 spesies karang di perairan Indonesia Djohani 1997. Ikan karang telah menyediakan sumber pangan dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir di berbagai belahan dunia. Namun upaya pemanfaatan terhadap sumberdaya ini, serta aktivitas manusia lainnya telah menurunkan kemampuan produksi dan kelestarian pemanfaatannya Sale 2002. Meningkatnya permintaan tehadap jenis-jenis ikan karang, terutama untuk keperluan konsumsi telah mendorong intensitas penangkapan ikan karang, khususnya di wilayah perairan Indo-Pasifik. Perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi The Live Reef Food Fish Trade-LRFFT secara cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pada dekade 1990-an Mous et al. 2000, dan permintaan terhadap ikan hidup ini diproyeksikan terus bertambah di masa mendatang Dragon Search 1996. Perdagangan tersebut terutama didominasi oleh jenis ikan kerapu Suku Serranidae, khususnya Cromileptes altivelis dan spesies Plectropomus dan Epinephelus serta jenis Napoleon wrasse Cheilinus undulatus Mous et al. 2000. Jenis ikan kerapu Suku Serranidae dikenal dalam perdagangan internasional dengan nama grouper, merupakan predator puncak top predator dalam suatu ekosistem terumbu karang yang hidup dari memangsa ikan, krustasea dan chepalopoda sehingga memainkan peranan penting dalam pembentukan komunitas terumbu karang. Oleh karenanya, populasi kerapu yang besar menunjukkan sebuah komunitas terumbu yang produktif dan berkembang dengan baik meskipun mengalami eksploitasi berat Bohnsack 1994; Chiappone et al. 2000; Costa et al. 2003 dalam Unsworth et al. 2007. Umur yang panjang, pertumbuhan yang lambat serta adanya kecenderungan melakukan pemijahan secara massal spawning aggregation membuat ikan kerapu rentan terhadap penangkapan berlebih over-fishing Sadovy and Colin 1995 dalam Unsworth et al. 2007. Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada pertengahan tahun 1990-an, dimana jumlah ekspor sebesar 300 ton pada tahun 1989 menjadi 3.800 ton pada tahun 1995 DKP 2003. Menurut importir yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menyuplai lebih dari 50 tangkapan ikan karang hidup ke Hong Kong dan Singapura Johannes Riepen 1995 dan tercatat sebagai negara pengekspor utama jenis kerapu tikus Cromileptes altivelis dan giant grouper Epinephelus lanceolatus bersama dengan Phillipina Lau Parry-Jones 1999. Perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan penghasil ikan kerapu di Indonesia. Produksi kerapu di perairan Kepulauan Seribu terutama berasal dari hasil tangkapan, walaupun saat ini sudah dikembangkan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan karamba jaring apung. Perikanan kerapu memegang peranan penting dalam kegiatan penangkapan di kawasan ini dimana hasil penangkapan menyumbang sebesar 90,54 ton pada tahun 2004 dengan nilai sebesar Rp. 226,35 juta Sari 2006. Namun demikian Sari 2006 selanjutnya menyimpulkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan kerapu hasil tangkapan di perairan Kepulauan Seribu rerata produksi aktual periode 1994-2004 sebesar 50.504 kgtahun telah melebihi tingkat pemanfaatan optimal yang diperbolehkan 29.940 kgtahun, dengan kata lain pemanfaatan ikan kerapu telah berada pada taraf over-fishing. Sementara itu, tekanan akibat aktivitas manusia lainnya seperti penangkapan ikan yang merusak, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang serta penebangan mangrove mengambil porsi terbesar bagi kerusakan terumbu karang Estradivari et al. 2007 sebagai habitat berbagai jenis ikan karang konsumsi, termasuk jenis kerapu di wilayah perairan laut Kepulauan Seribu. Di sisi lain, belum adanya pengendalian terhadap upaya effort dan hasil tangkapan catch, menyebabkan perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu semakin berada dalam resiko akibat dari ketidakpastian pengelolaan. Dalam upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem di kawasan perairan Kepulauan Seribu, termasuk keanekaragaman jenis karang dan berbagai biota laut, Pemerintah mengubah fungsi Kepulauan Seribu dari cagar alam laut menjadi taman nasional laut melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 162Kpts-II1995 tanggal 21 Maret 1995. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu TNL-KS kemudian dikelola melalui sistem zonasi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Terdapat empat zona pengelolaan di kawasan TNL-KS Gambar 7, salah satunya adalah zona inti yang merupakan daerah reservasi alami yang ketat. Zona inti di TNL-KS terdiri dari 3 area: Zona Inti I diperuntukkan bagi habitat alami penyu sisik, Zona Inti II bagi tempat bertelur penyu sisik, dan Zona Inti III diperuntukkan bagi perlindungan ekosistem terumbu karang. Status tangkap lebih, terjadinya degradasi habitat serta adanya ketidakpastian pengelolaan pada perikanan kerapu di perairan Kepulauan Seribu menyebabkan zona inti sebagai kawasan reservasi yang ada di TNL-KS memiliki peran strategis dalam menopang produktivitas dan mencegah terjadinya kolaps perikanan kerapu di Kepulauan Seribu, baik melalui mekanisme limpahan individu dewasa spillover maupun ekspor larva Russ 1991. Zona inti dapat berperan sebagai “oase” bagi produktifitas spesies target, mengingat statusnya yang tertutup bagi aktifitas penangkapan. Namun demikian, seberapa besar peran tersebut tergantung dari sejauh mana efektivitas penetapan daerah reservasi itu sendiri. Untuk mengetahui hal tersebut, maka salah satu informasi dasar yang diperlukan adalah informasi mengenai kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi dan di daerah tempat aktivitas penangkapan dan degradasi habitat berlangsung secara intensif sebagai perbandingan.

1.2 Perumusan Masalah