meningkatnya predator karang sebagai dampak sekunder terjadinya overfishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nutrient berupa ammonium
secara rerata terlihat lebih tinggi di daerah non-reservasi dibandingkan dengan daerah reservasi, disamping itu, status pengelolaannya sebagai zona pemukiman
sangat memungkinkan terjadinya intensitas penangkapan yang tinggi sehingga menurunkan jumlah ikan herbivor yang memiliki peran ekologi sangat penting
dalam mengontrol pertumbuhan alga. Hasil analisis kelompok terhadap variabel habitat bentik menunjukkan
bahwa tidak terdapat pola yang menunjukkan adanya hubungan spesifik antara karakteristik habitat bentik dengan status pengelolaan atau zonasi. Kelompok
yang terbentuk adalah berdasarkan kualitas habitat bentik, hal ini terlihat dari variabel yang mencirikan masing-masing kelompok. Hasil ini sejalan dengan
Estradivari et al. 2007 yang tidak menemukan pola yang mengindikasikan hubungan antarlokasi pengamatan dengan struktur komunitas karang dan
menekankan bahwa pola pemanfaatan terumbu karang dan penzonasian taman nasional di Kepulauan Seribu pada dasarnya tidak memberikan pengaruh besar
terhadap struktur komunitas karang. Starr et al. 2004 menyimpulkan hasil yang sama walaupun penelitian dilakukan di lokasi berbeda, yakni di daerah reservasi
laut di Central Californial. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa karakteristik habitat di lokasi penelitian bervariasi tidak berdasarkan status reservasi dan non-
reservasi. Hasil berbeda dikemukakan oleh Aktani 2003 yang menemukan adanya kecenderungan pengelompokan habitat bentik berdasarkan lokasi
geografis yang kemungkinan berhubungan dengan pengaruh siklus monsoon sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi tutupan lifeform antara
sisi barat dan sisi timur Kepulauan Seribu.
6.3 Variasi Karakteristik Komunitas Kerapu
Hasil uji statistik terhadap beberapa variabel ekologi komunitas kerapu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan beberapa variabel secara spasial
antara daerah reservasi dengan non-reservasi, juga terlihat adanya perbedaan signifikan secara temporal antara hasil sensus visual bulan Mei dan Juni. Perbedaan
secara temporal diduga berkaitan dengan variasi akibat adanya perbedaan musim.
Bulan Mei bertepatan dengan berlangsungnya musim tenggara yang dikenal masyarakat setempat sebagai musim sampah. Pada musim ini, berbagai jenis
sampah mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah pabrik bergerak mengikuti angin musim tenggara dari Teluk Jakarta menuju kawasan perairan
Kepulauan Seribu. Sampah-sampah ini bahkan terlihat mencapai perairan P.Belanda zona inti pada saat sampling dilakukan. Hasil pengukuran derajat
keasaman pH perairan pada bulan Mei juga menunjukkan adanya kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengukuran pada bulan Juni Lampiran 1
yang diduga berkaitan dengan pergerakan massa air dari arah Teluk Jakarta pada bulan Mei. Variasi temporal yang terjadi terhadap kelimpahan dan
keanekaragaman komunitas ikan kerapu diduga sebagai dampak dari respon komunitas ikan kerapu terhadap perubahan kualitas perairan yang terjadi.
Variabel keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu hasil sensus visual jumlah spesies, indeks keanekaragaman dan densitas terlihat berbeda secara
signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun perbedaan tersebut hanya pada pengamatan di bulan Juni. Berdasarkan nilai rerata terlihat bahwa
kelimpahan ikan kerapu di daerah reservasi kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi, demikian pula halnya dengan
indikator keanekaragaman jumlah spesies dan indeks keanekaragaman Shannon terlihat lebih tinggi di daerah reservasi dibandingkan dengan daerah non-reservasi.
Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji komunitas ikan karang target di daerah reservasi atau daerah perlindungan laut dan di daerah
yang tereksploitasi Watson Ormond 1994; Starr et al. 2004; Kamukuru et al. 2004; Unsworth et al. 2007. Sebagai contoh, Watson Ormond 1994 melaporkan
bahwa kelimpahan Lutjanus fulfivlamma dan L. ehrenbergi di kawasan taman nasional di Kenya lebih tinggi sebesar 170 kali dibandingkan dengan perairan
sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung secara intensif; Starr et al. 2004 menyebutkan bahwa densitas beberapa jenis rockfish di daerah reservasi di
Central California lebih tinggi sebesar 12-35 dibandingkan dengan kawasan di luar daerah reservasi, walaupun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik;
Kamukuru et al. 2004 menggambarkan bahwa densitas Lutjanus fulfivlamma di dalam sebuah kawasan taman nasional di Tanzania 4 kali lebih besar, dan biomassa
6 hingga 10 kali lebih besar dibandingkan dengan perairan sekitarnya yang tereksploitasi berat akibat tingginya aktivitas penangkapan; sedangkan Unsworth et
al. 2007 menemukan bahwa setelah 5 tahun dilindungi dan berstatus sebagai kawasan larang ambil no-take area, populasi ikan kerapu di dalam kawasan yang
berada di Taman Nasional Laut Wakatobi ini menjadi 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitar dimana aktivitas penangkapan tidak terlalu
intensif, dan hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitarnya dimana aktivitas penangkapan berlangsung sangat intensif.
Sementara itu, variabel kelimpahan stok ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu CPUE secara stastitik tidak berbeda nyata antara daerah
reservasi dan non-reservasi, walaupun rerata nilai CPUE di daerah reservasi lebih tinggi sebesar 67-79 dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Demikian
pula halnya dengan komposisi ukuran ikan kerapu hasil sensus visual dan hasil penangkapan, secara statistik tidak terdapat perbedaan distribusi ukuran ikan
kerapu antara daerah reservasi dan non-reservasi, walaupun terlihat bahwa kelas ukuran kerapu yang tercacah di daerah reservasi lebih beragam dibandingkan
dengan di daerah non-reservasi, serta ikan kerapu yang tercacah di daerah reservasi didominasi oleh ikan berukuran yang lebih besar dibandingkan dengan di daerah
non-reservasi. Namun demikian hasil berbeda didapat dari pengukuran panjang total total length ikan kerapu hasil penangkapan menggunakan bubu, dimana
rerata panjang ikan di daerah non-reservasi 30.57 cm tidak berbeda jauh dengan rerata panjang ikan di daerah reservasi 30.44. Di Cape Canaveral, Florida,
Johnson et al. 1999 mempelajari populasi ikan dengan menggunakan alat tangkap trammel net di daerah penangkapan dan daerah non-penangkapan yang telah
ditetapkan sebagai daerah reservasi selama 24-28 tahun. Hasilnya adalah ikan yang tertangkap di daerah non-penangkapan lebih banyak dan berukuran lebih besar
dibandingkan dengan di daerah penangkapan, nilai CPUE di daerah non- penangkapan 2,6 kali lebih besar dibandingkan dengan di daerah penangkapan.
Dalam penelitian ini terlihat kecenderungan perbedaan karaketristik populasi berdasarkan kedalaman perairan yang terlihat dari hasil sensus visual dan
hasil tangkapan bubu. Pada perairan yang lebih dangkal 3-10 m, jenis-jenis kerapu didominasi oleh kerapu balong Genus Cephalopolis dan Epinephelus yang
berukuran kecil dan memiliki nila ekonomi lebih rendah, sedangkan di perairan yang lebih dalam 15-25 meter, jenis kerapu didominasi oleh kerapu sunu Genus
Plectropomus yang berukuran lebih besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus hidup jenis-jenis kerapu pada umumnya, dimana
ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40
m. Selain itu, lebih intensifnya aktivitas penangkapan di perairan yang lebih dangkal menyebabkan jenis-jenis ikan berukuran besar dan memiliki nilai ekonomi
tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk tertangkap. Disamping jenis kerapu, hasil penelitian juga mengindikasikan tingginya
kondisi kelimpahan jenis ikan karang lainnya di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Hal ini terlihat dari variabel jumlah tangkapan
sampingan by catch alat tangkap bubu yang berbeda secara signifikan antara daerah reservasi dan non-reservasi. Hasil tangkapan sampingan alat tangkap bubu
terdiri dari berbagai jenis ikan karang, seperti: ekor kuning Caesionidae, lencam Lethrinidae, swanggi Holocentridae, baronang Siganidae, kepe-kepe
Chaetodontidae, biji nangka Mulidae, pasir-pasir Nemipteridae, kakaktua Scaridae dan jenis ikan karang lainnya Lampiran 7.
Hasil analisis multivariat menggunakan analisis kelompok cluster analysis terhadap variabel populasi ikan kerapu menunjukkan perbedaan antara karakteristik
komunitas ikan kerapu di daerah reservasi dan non-reservasi. Berdasarkan analisis kelompok terlihat bahwa komunitas ikan kerapu di daerah reservasi memiliki
keanekaragaman dan kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Selain itu, ukuran kerapu yang lebih besar ditemukan lebih
melimpah di daerah reservasi dibandingkan dengan di daerah non-reservasi. Perbedaan kondisi keanekaragaman dan kelimpahan ikan kerapu antara
daerah reservasi dan non-reservasi dalam penelitian ini, pada dasarnya merupakan gambaran dari dampak penangkapan dan dampak reservasi terhadap stok ikan
kerapu di lokasi penelitian. Russ 1991a menyatakan bahwa salah satu dampak langsung penangkapan pada level populasi yang paling sederhana untuk dideteksi
adalah penurunan hasil tangkapan per unit upaya CPUE yang pada akhirnya menurunkan total tangkapan. Lebih jauh Russ 1991a menjelaskan bahwa
kematian akibat penangkapan sering terjadi secara efektif pada individu berukuran besar dan lebih tua pada suatu populasi sebagian besar karena banyak alat tangkap
dirancang untuk secara selektif menangkap ikan ukuran tersebut, sehingga dengan demikian penangkapan berdampak pada struktur ukuran dan umur populasi.
6.4 Keterkaitan Karakteristik Habitat dan Komunitas Kerapu