Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut suatu kajian kelayakan dan strategi pengembangan di provinsi Jawa Tengah

(1)

SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

G I Y A T M I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi, dalam bentuk salinan cetakan dan/atau dokumen elektronik program aplikasi komputer pendukungnya, yang berjudul :

SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT : SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diserahkan untuk pencapaian prestasi akademik apapun melalui perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan dalam penyusunan disertasi ini, telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2005

G I Y A T M I P09600006/IPN


(3)

ABSTRACT

GIYATMI, 2005. Development System for Marine Fishery Agroindustry : an Assessment for Feasibility and Development Strategy in the Province of Central Java. Under supervision: MUSA HUBEIS as the chief of the commission, with RIZAL SYARIF and AGUS HERI PURNOMO as the members of the commission.

The objective of this study was to assess the feasibility and development strategy for marine fishery agroindustry and described as follows: (1) to assess and to formulate method for grouping of development area and determining of development center for marine fishery agroindustry, (2) to identify and to formulate selection methods for potential commodities and and lead products for marine agroindustry as well as financial feasibility in each area development, (3) to construct development strategy and empowerment technique of institution in marine fishery agroindustry, and (4) to formulate an alternative development model for marine fishery agroindustry based on Decision Supporting System (DSS).

Development system was designed in decision support system (DSS) based on computer program package called as AGRIPAL. Grouping of marine agroindustry development area and determining of development center was carried out using Cluster Analysis Method. Selection of priority potential commodity and determination of lead product were performed using Independent Preference Evaluation Method in the norm of Fuzzy Group Decision Making. Criteria applied to find out feasibility level of the lead products were Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, Break Even Point and Pay Back Period. Strategic analysis performed using Analysis Hierarchy Process Method. Analysis of elements interrelationship using Interpretative Structural Modelling Method.

Verification of the DSS AGRIPAL in Central Jawa Province showed that Central Java Province, in terms of marine fish resource, was divided into three development areas. Potential commodities for the City of Pekalongan (Development Area I) were scads, sardine and indian mackerel, with dried salted scads as a lead product. Potential commodities for Pati Regency (Development Area II) were scads, indian mackerel and marine catfish with boiled salted scads as a lead product. Cilacap regency (Development Area III) had tuna, skipjack and shrimp as potential commodities and canned tuna as a lead product. In terms of financial perspective, those lead products were suitable for condition and potency of the development areas and feasible to be implemented.

Strategic analysis informed that development of marine fishery agroindustry was to strengthen existing agroindustry. Determinative factors in the development of marine fishery agroindustry were market, human resources, and finance. Meanwhile, the objective of marine fishery agroindustry development should be directed to provide job opportunity, to widen business and to increase the added value products. The key elements of the players in the development of marine fishery agroindustry were Local and Central Governments. Raw material availability, investment fund and educated and skillful human resource were the key element of program requirements. Investment fund limitation was the key element for development constrain. The measures of the achivement were the reduction of unemployment and poverty levels, the increase of production volume and the increase of local government income. Activities needed for action plan were identification of feasible product to be developed, coordination among sectors and formation of government regulation as development support.

Keywords: decision support system, marine fisheries, agroindustry, development area, potential commodity, lead product, feasibility, strategy, AGRIPAL


(4)

GIYATMI, 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi Jawa Tengah. Di bawah bimbingan MUSA HUBEIS sebagai Ketua Komisi, dengan anggota RIZAL SYARIEF dan AGUS HERI PURNOMO.

Agroindustri perikanan laut merupakan salah satu jenis industri pengolahan hasil perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan, mengingat potensi sumber daya ikan dari perairan laut nasional sangat besar. Namun demikian terdapat sejumlah persoalan yang menghambat pengembangannya, baik dari aspek produksi bahan baku (industri penangkapan) maupun aspek pengolahan produk (agroindustri).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem pengembangan agroindustri perikanan laut. Secara khusus tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Mengkaji dan merumuskan cara pengelompokan wilayah pada kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut; (2) Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan; (3) Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri perikanan laut; dan (4) Mengembangkan alternatif model pengembangan agroindustri perikanan laut berbasis Sistem Penunjang Keputusan.

Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dirancang dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL (Agroindustri Perikanan Laut). Sub Model Kawasan untuk pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut dan penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan dirumuskan dengan Metode Cluster Analysis; Sub Model Pemilihan untuk pemilihan prioritas komoditas potensial dan pemilihan produk unggulan dirumuskan berdasarkan Metode Independent Peference Evaluation (IPE) dalam kaidah Fuzzy Group Decision Making (FGDM); Sub Model Kelayakan untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan kriteria Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return

(IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP); Sub Model Strategi untuk memilih alternatif strategi pengembangan dirumuskan dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP); dan Sub Model Kelembagaan untuk menetapkan struktur elemen kelembagaan pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan dengan metode

Interpretative Structural Modelling (ISM).

Berdasarkan verifikasi model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah, Sub Model Kawasan menunjukkan bahwa wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi perikanan laut dapat dikelompokkan menjadi tiga Kawasan Pengembangan, yaitu Kawasan Pengembangan I dengan Pusat Pertumbuhan di Kota Pekalongan; Kawasan Pengembangan II dengan Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Pati; dan Kawasan Pengembangan III dengan Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Cilacap.


(5)

Berdasarkan analisis pada Sub Model Pemilihan diketahui bahwa komoditas potensial di Kota Pekalongan (KP I) adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol, dengan produk unggulan agroindustri ikan layang asin. Komoditas potensial di Kabupaten Pati (KP II) adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru, dengan produk unggulan ikan layang pindang. Kabupaten Cilacap yang merupakan pusat pertumbuhan di Kawasan Pengembangan III, komoditas perikanan potensialnya adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang, serta produk agroindustri unggulan adalah ikan tuna kaleng.

Pada perhitungan analisis kelayakan usaha produk unggulan (Sub Model Kelayakan), komoditas yang diperhitungkan merupakan campuran 2-4 komoditas potensial yang umumnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri terkait. Perencanaan produksi bagi industri ikan asin dan ikan pindang masing-masing 1.800 ton/th dan 1.200 ton/th. Dengan asumsi umur proyek dan bunga kredit perbankan masing-masing 10 tahun dan 18%, usaha ikan asin dan pindang dinyatakan layak dengan NPV Rp 719,7 juta dan Rp 470 juta; IRR masing-masing 48,63% ; Net B/C 1,95 dan 1,89; PBP 3,76 tahun dan 4,10 tahun; serta BEP 1.127 ton untuk ikan asin dan 912 ton untuk ikan pindang. Bahan baku industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna Baby Yellow Fin, tuna

Albacore, cakalang dan tongkol Thunnus. Melalui perencanaan produksi sebesar 10.500 ton/th atau 35 ton/hari, umur proyek 20 tahun dan bunga kredit 18%, industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap dinyatakan sebagai industri yang layak. Keputusan kelayakan didasarkan pada nilai NPV sebesar Rp 51 milyar; IRR 45,16%; Net B/C 1,97; PBP 3,59 tahun dan BEP 6.308 ton/th (+ 21 ton/hr).

Dari analisis sensitivitas didapatkan bahwa kelayakan finansial dari agroindustri ikan asin masih layak bila terjadi penurunan produksi sampai 55,56%, adanya kenaikan harga bahan baku tidak melebihi 3,63%, atau harga bahan produk turun sampai 3,06%. Usaha ikan pindang masih layak bila penurunan produksi tidak lebih dari 55,34%, kenaikan harga bahan baku maksimal 2,68% atau harga produk turun sampai 2,11%. Agroindustri ikan kaleng masih mampu menahan kelayakan bila terjadi penurunan produksi sampai 50,97% dan kenaikan harga bahan baku 19,51%, atau terjadi penurunan harga produk 10,36%.

Berdasarkan analisis strategi (Sub Model Strategi) diketahui pengembangan agroindustri perikanan laut diprioritaskan untuk memperkuat agroindustri yang ada. Pada analisis ini diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan agroindustri perikanan laut, yaitu penyerapan produk oleh pasar, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang menguasai teknologi pasca panen dan memiliki jiwa kewirausahaan, serta ketersediaan permodalan yang mendukung pengembangan usaha. Sedangkan tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut harus diarahkan pada peningkatan lapangan kerja, meluasnya kesempatan berusaha dan peningkatan nilai tambah yang berorientasi pada aplikasi teknologi yang sesuai dengan potensi bahan baku dan kondisi wilayah. Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan agroindustri (Sub Model Kelembagaan) diketahui bahwa pelaku yang memiliki peran sebagai elemen kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Jaminan kesinambungan bahan baku, permodalan dan tersedianya SDM terampil dan terdidik merupakan elemen kunci dari elemen kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan agroindustri


(6)

perikanan laut. Keterbatasan modal merupakan elemen kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan elemen kunci adalah penurunan angka pengangguran dan kemiskinan, peningkatan volume produksi usaha dan peningkatan pendapatan daerah. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan dimulai dengan kemampuan mengidentifikasi produk agroindustri perikanan laut yang layak untuk dikembangkan, diikuti dengan melakukan koordinasi antar sektor terkait, serta perumusan peraturan-peraturan (pusat/daerah) yang relevan untuk mendukung pengembangan agroindustri perikanan laut.

Model konseptual dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun pelaku usaha untuk mengembangkan agroindustri perikanan laut. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk mengkaji pembentukan klaster wilayah berdasarkan sumber daya alam atau bentuk klaster lainnya, membuat urutan prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan produk unggulan daerah dan strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya.

Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model SPK AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat diaplikasikan di Provinsi Jawa Tengah, tetapi dapat juga diaplikasikan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penyesuaian dalam aplikasi model ini dapat dilakukan melalui serangkaian identifikasi awal terhadap potensi, kondisi dan harapan yang hendak dicapai oleh masing-masing wilayah.

Implementasi dari alternatif model dan hasil penelitian ini masih membutuhkan kajian yang mendalam terhadap berbagai faktor pendukungnya, seperti model kemitraan antar wilayah berdasarkan tingkat kepentingan yang serupa dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki, tinjauan kritis terhadap potensi sumber daya ikan yang lebih akurat, serta dukungan kebijakan yang nyata dari pemerintah terhadap pengembangan agroindustri bernilai tambah.


(7)

SISTEM PENGEMBANGAN

AGROINDUSTRI PERIKANAN LAUT

:

SUATU KAJIAN KELAYAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

G I Y A T M I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

D o k t o r

pada

Program Studi Ilmu Pangan

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

2005


(8)

Judul Disertasi : Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut : Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi Jawa Tengah

Nama Mahasiswa : Nomor Pokok : Program Studi :

Giyatmi P09600006 Ilmu Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

____________________________________________ Prof. Dr. Ir. H. MUSA HUBEIS, MS, Dipl. Ing., DEA

Ketua

_________________________________ ________________________________ Prof. Dr. Ir. H. RIZAL SYARIEF, DESS Dr. Ir. AGUS HERI PURNOMO, MSc.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

________________________________ _______________________________________ Prof.Dr.Ir. B. SRI LAKSMI JENIE, MS. Prof.Dr.Ir. Hj. SYAFRIDA MANUWOTO, MSc.


(9)

Persembahan untuk kedua orang tua yang tiada lelah mendoakan

Serta suami dan buah hati tercinta yang penuh keikhlasan mendukung dan berkorban :

D

Drr. . IIrr. . H

H. . H

Haarri

i E

Ekko

o IIrriiaannttoo, , D

Diippll. . T

Teecchh.,

., A

AP

PU

U

H

Huussnna

a IIzz

zzaahhnniissa

a O

Om

meeggiittaa, ,

M

Muuhhaam

mm

maad

d IIzz

zzaahhiissllaam

m M

Maasssseeyyggaa,,

SShhaabbiirra

a N

Nuurruuli

lizzzzaahh SSaahhiiddaa


(10)

PRAKATA

And if all the trees on earth were pens and the ocean (were ink), with seven oceans behind it to add to its (supply), yet would not the words of Allah be exhausted (in

the writing) : for Allah is Exalted in power, full of Wisdom (The Holly Qur’an 31 : 27)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang mencoba mengangkat setitik dari kalam Illahi yang dikaruniakan di negara tercinta ini. Karya ilmiah dalam bentuk disertasi merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor di Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini disusun berdasarkan serangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2002 hingga bulan Maret 2005 di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. Penghargaan dan ucapan terima kasih dari hati terdalam penulis sampaikan kepada ketiga pembimbing yang penuh kesabaran telah mencurahkan waktu dan perhatian bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

Pelaksanaan penelitian ini melibatkan begitu banyak pihak, diantaranya para praktisi, asosiasi, akademisi dan birokrat baik yang berada di pemerintahan pusat, maupun yang berada di Provinsi Jawa Tengah selaku pakar atau nara sumber. Nara sumber dari industri, diantaranya Ibu Esther Satyono (Dirut PT Ocean Mitramas), Bapak Ir. Tachmid WP (Dir. PT Bonecom), Bapak Hayono (Man. Prod. PT Juifa International Foods), Bapak Wukir Sudrajat (Man. Pengadaan PT Toxindo Prima), Bapak Ibrahim (Hasil Samudera), Bapak Wahirin (UD Mina Jaya Cipta Sentosa), Bapak Riswanto (SDP), dan Ibu Hj. Romlah Wagiman (Mina Artha). Dari pihak asosiasi, penulis diterima dengan sangat baik oleh Bapak Ir. Bambang Suboko (Dir. Eks. Gappindo) dan Bapak Hendri Sutandinata, MBA (Ka. APIKI). Dari pihak akademisi tercatat Bapak Prof. Dr. H. Suwarno T. Sukarto (TPG-Fateta-IPB) dan Ibu Dr. Mita Wahyuni (PHP-FPIK-(TPG-Fateta-IPB).

Bapak Dr. Achmad Poernomo (Ses Ditjen P2KP) dan Bapak Dr. Widodo Farid Ma’ruf (Ka. PRPPSE) merupakan birokrat di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan yang banyak memberi masukan mengenai keadaan agroindustri perikanan laut di Indonesia. Di tingkat Provinsi, penulis banyak mendapat masukan dari Bapak Prof. Dr. S. Budi Prayitno (Ka. Diskanlut Prov. Jateng), Bapak Drs. Danudojo Hastjarjo (Ka. Dinas Perindag Prov. Jateng), Bapak Ir. Boedi Setyana (Ka Sub Dit Pertanian Bappeda Jateng), dan Bapak Ir. Galih Rasiono, MPi (Ka Sub Dit Renbang Diskanlut Jateng). Penulis mengunjungi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki potensi perikanan laut, dimana peran Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya sangat membantu penulis dalam mengakses data dan menemui berbagai pihak terkait. Secara intensif penulis mendapat bantuan dari Bapak Ir. Sofwan (Ka Diskanlut Rembang), Bapak Ir. Gunawan, MM (Ka Diskanlut Cilacap), Bapak Ir. Ashar (Ka Diskanlut Pati), Bapak Ir. Boediono (Ka Diskanlut Pekalongan), Bapak Sartono, APi (Ka LPPMHP Cilacap), Bapak Ir. Jumala Saragih (Diskanlut Pati), Bapak Ir. Nanang Kusbiyantoro (Diskanlut Cilacap), Bapak Ir. Sochib Rochmat, M.Pi (Diskanlut Pekalongan), Ketua KUD, dan Kepala TPI masing-masing Dati II.


(11)

Kepada seluruh nara sumber tersebut di atas, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. W. Farid Mar’ruf, MSc. dan Dr. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA yang meluangkan waktu dan berkenan menjadi penguji pada ujian terbuka, serta Dr. Ir. Sukarno selaku penguji pada ujian tertutup.

Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Prof. DR. H. Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Ibu Hj. Juliah Sukamdani, kedua orang tua kami yang tergabung di Yayasan Sahid Jaya, beliau berdua mengajarkan kepada penulis untuk tidak takut bermimpi untuk terus berkarya dan mengajarkan pada kami bagaimana membangun etos kerja dalam kerangka bahwa ‘hidup untuk saling menghidupi’. Penulis juga men yampaikan terima kasih atas restu dan ijin untuk meneruskan pendidikan di tengah tugas yang beliau amanahkan kepada penulis. Biaya pendidikan penulis diantaranya didukung oleh beasiswa dari Universitas Sahid, kepada Bapak Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sahid Jakarta penulis mengucapkan terima kasih. Penulis juga mendapat beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI dan dukungan dana selama pengambilan data dari Proyek APBN di lingkungan Pusris Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi, DKP, untuk kebaikan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pimpinan di kedua instansi tersebut.

Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Ketua Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, serta seluruh pejabat, dosen dan karyawan di dalamnya yang terlibat, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu dan pelayanan administratif yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan tanpa kendala berarti.

Memberikan spirit dan teman diskusi yang penuh kenangan, Ir. H. Farhat Umar, MSi., Ir. Rindam Latief, MSi., dan Dr. Ir. Kohar Sulistyadi, MSIE. Untuk rekan seperjuangan S2/S3 di IPN khususnya Sub Program Manajemen Industri Pangan dan untuk mas Roni Wijaya, terima kasih banyak atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan kerja di Fakultas Teknologi Industri Pertanian dan Fakultas Teknik, atas segala dukungan moral dan doanya.

Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang tiada terbilang jasanya dalam mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, kiranya tidak ada sesuatu yang pantas penulis berikan, kecuali doa dan harapan bahwa Allah SWT akan mencatat dan membalas semua kebaikan tersebut. Tak lupa permohonan maaf bila penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja atau tidak.

Bogor, Juni 2005 PENULIS


(12)

RIWAYAT HIDUP

GIYATMI, dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 6 Desember 1965 dari ayah pensiunan pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Sragen bernama Minto Pawiro dan ibu Siyem seorang pedagang yang ulet. Penulis merupakan anak keenam dari sembilan bersaudara.

Pendidikan Dasar diselesaikan penulis di SD Negeri 3 Sragen dan tamat pada tahun 1977, melanjutkan studi di SMP N 1 Sragen dan tamat pada tahun 1981. Pendidikan selanjutnya dijalani di SMA N 1 Sragen hingga tamat pada tahun 1984. Pada tahun yang sama, melalui program PMDK penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun kedua, penulis menetapkan pilihan di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian hingga lulus pada tanggal 17 Desember 1988. Tahun 1995, penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Ilmu Pangan, dengan mengambil kajian di bidang Mikrobiologi Pangan. Pendidikan Strata Dua tersebut diselesaikan pada tanggal 25 Mei 1998. Pada tahun 2000, penulis kembali mengambil pendidikan formal untuk Strata Tiga di Program Studi Ilmu Pangan. Penulis tertarik dengan bidang kajian Manajemen Industri Pangan.

Tiga bulan setelah lulus dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi – FATETA - IPB, penulis diterima sebagai staf pengajar di Akademi Gizi Muhammadiyah Semarang hingga penulis pada pertengahan tahun 1990 memutuskan untuk mengundurkan diri karena harus mendampingi suami tugas belajar di New Zealand. Melalui SK Rektor USAHID tanggal 31 Januari 1994, penulis kembali mengabdikan diri di dunia pendidikan, yaitu sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Sahid Jakarta. Jabatan sebagai tenaga akademik Lektor Muda diperoleh penulis tanggal 1 Juli 1998, kemudian pada tanggal 9 Agustus 2000 meningkat menjadi Lektor Madya. Terhitung mulai tanggal 1 Juli 2002 hingga saat ini penulis meraih jabatan Lektor Kepala di bidang Mikrobiologi Pangan. Penulis mengawali karir dalam jabatan struktural sebagai Ketua Jurusan Teknologi Pangan pada bulan September tahun 1998, dan setahun kemudian pada bulan September 1999 diangkat untuk menduduki jabatan Dekan Fakultas Teknik. Kebijakan Universitas untuk mendirikan Fakultas Pertanian pada tahun 2001 (kini Fakultas Teknologi Industri Pertanian) membawa penulis pindah fakultas dengan tetap menduduki jabatan Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian hingga sekarang.

Penulis menikah dengan Dr. Ir. H. Hari Eko Irianto, Dipl. Tech, APU. pada tanggal 25 Maret 1990 dan sampai saat ini telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Husna Izzahnisa Omegita (14 tahun), Muhammad Izzahislam Masseyga (12 tahun) dan Shabira Nurulizzah Sahida (7 tahun).


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN...

Halaman xv xvii xxi

I.

II.

III.

IV.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Tujuan Penelitian... C. Ruang Lingkup Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi dan Produksi Perikanan Laut ... ...……… B. Agroindustri Perikanan Laut ... C. Penanganan Pascapanen Perikanan Laut ... D. Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut ... E. Teori Sistem ... F. Sistem Penunjang Keputusan ... G. Analisis Klaster ... H. Evaluasi Pilihan Bebas ... I. Proses Hirarki Analitik ... J. Permodelan Struktural Interpretatif ... K. Analisis Kelayakan Finansial ... L. Konsep Strategi ... M. Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan ...

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Pemikiran ... B. Metode Penelitian ... C. Pendekatan Sistem... D. Konfigurasi Model ...

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan ... B. Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan

Agroindustri Perikanan Laut ... C. Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan laut ... D. Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut ... E. Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut ... F. Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan

Laut ………. 1 6 6

8 12 16 25 27 28 31 34 38 40 43 46 48

51 53 59 66 68 88 119 130 134 146


(14)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

... ………

DAFTAR PUSTAKA

...

LAMPIRAN

...

Halaman

153 157 164


(15)

DAFTAR TABEL

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 1993 – 2002 ...………...

Potensi lestari dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia ...………... Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan pantai Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002 ……….

Kategori agroindustri berdasarkan tingkat transformasi bahan baku ... Perlakuan produksi perikanan laut menurut cara perlakuan pada tahun 2002 ……….………....

Bentuk-bentuk penanganan pascapanen perikanan laut ………. Komparasi penilaian berdasarkan skala Saaty ………... Inventarisasi kebutuhan pelaku dalam sistem pengembangan

agroindustri perikanan laut ...………... Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut ... Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1999 - 2003 ... Kelompok wilayah dan pusat pertumbuhan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah ... Jumlah alat tangkap, armada penangkapan dan nelayan di Kabupaten Pati pada tahun 1998 – 2002 ... Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial ... Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan ... Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan ...

Halaman 8 10 11 12 15 17 40 61 74 77 82 86 89 91 104 107


(16)

17.

18. 19.

20. 21.

Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati ... Data pengolah hasil perikanan laut di Kabupaten Pati ... Skala prioritas pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap ... Asumsi kelayakan usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut ... Modal usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut ...

Halaman

111 113

114 120 121


(17)

DAFTAR GAMBAR

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Struktur dasar sistem penunjang keputusan ...

Ilustrasi transformasi-z ... Pembentukan jarak euclideus ... Profil hirarki grup-grup hasil analisis klaster ... Kerangka manajemen strategik ... Diagram alir tahapan penelitian pengembangan agroindustri perikanan laut ... Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan agroindustri perikanan laut ... Diagram input-output sistem pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah ... Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan pengembangan agroindustri perikanan laut ... Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah ... Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 ... Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah ... Volume produksi perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 – 2003 ... Nilai produksi perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994 – 2003 ... Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1998 – 2003 ...

Halaman 30 32 33 34 47 56 63 65 66 70 72 76 78 79 80


(18)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.

Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993 – 2002 ... Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 ... Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 ... Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 ... Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 ... Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003 ... Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 ... Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 ... Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ... Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ... Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ... Volume produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993 – 2002 ... Volume produksi hasil pengolahan perikanan laut di Kabupaten Pati pada tahun 1996 – 2002 ... Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun 2000 – 2004 ... Perkembangan volume dan nilai ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun 1997 – 2003 ... Perubahan nilai IRR usaha ikan asin terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ...

Halaman 81 92 93 94 96 97 98 99 100 101 102 107 112 116 118 127


(19)

32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.

Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan asin ... Perubahan nilai IRR usaha ikan pindang terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ... Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan pindang ... Perubahan nilai IRR usaha ikan kalengterhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk ... Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan kaleng ... Hasil peramalan volume bahan baku dan volume produksi ikan kaleng ... Hasil analisis strategi pengembangan agroindustri perikanan laut ... Hirarki elemen pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut ... Grafik Dependence–Driver Power pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut ... Hirarki elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut ... Grafik Dependence–Driver Power kebutuhan untuk pelaksanaan program pengembangan agroindustri perikanan laut ... Hirarki elemen kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut ... Grafik Dependence–Driver Power kendala dalam pengembangan agroindustri perikanan laut ... Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut ... Grafik Dependence–Driver Power tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan agroindustri perikanan laut ...

Halaman 123 125 125 127 127 129 131 135 136 138 139 140 141 142 143


(20)

47.

48.

49.

Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut ... Grafik Dependence – Driver Power aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan agroindustri perikanan laut ... Elemen kunci yang mendukung strategi pengembangan agroindustri perikanan laut ...

Halaman

144

145


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Teknis penggunaan model AGRIPAL ... Batas-batas Provinsi Jawa Tengah ... Kabupaten/Kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang memliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi pendaratan ikan ... Kabupaten/Kota di Pantai Selatan Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut dan peta penyebaran lokasi pendaratan ikan ... Pengelompokan kawasan pengembangan daerah berpotensi produksi perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah ... Data produksi perikanan laut pada masing-masing kawasan dan kota unggulan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003 ... Pelabuhan Perikanan dan Pusat Pendaratan Ikan di Provinsi Jawa Tengah ... Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut ... Data pendukung penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah ...

Penentuan pusat pertumbuhan antar kawasan pengembangan agroindustri perikanan laut Provinsi Jawa Tengah ... Produksi perikanan laut di kabupaten/kota yang diunggulkan ... Laju pertumbuhan volume produksi perikanan laut per kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993-2002 ………. Laju pertumbuhan nilai produksi perikanan laut per kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1993-2002 ……….

Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial ... Volume produksi perikanan menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 ……….

Halaman 164 178 179 179 180 181 182 183 183 187 188 189 190 191 192


(22)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.

Nilai produksi perikanan menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2002 ... Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan ... Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati …….. Pemilihan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap …. Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003………...

Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003………...

Produksi komoditas agroindustri perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 ………....

Bobot kriteria pemilihan produk unggulan agroinustri perikanan laut ... Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan ………...

Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002………...

Hasil analisis ikan layang segar, asin dan pindang ……….. Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Pati ……….………..

Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kota Pekalongan pada tahun 1993-2002………...

Pemilihan produk unggulan agroindustri perikanan laut Kabupaten Cilacap ……….………..

Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten Cilacap pada tahun 2000 – 2004………..

Perkembangan volume dan ekspor udang dan tuna beku Kabupaten Cilacap pada tahun 1997 – 2003 ...

Halaman 193 194 195 196 197 198 199 200 201 203 203 204 206 207 209 209


(23)

32. 33.

34.

35. 36. 37.

Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan asin ... Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan pindang ……….

Tetapan umum, investasi, modal usaha dan arus uang AIPL ikan kaleng ………...

Peramalan volume bahan baku dan produksi ikan kaleng ………… Perkembangan tingkat konsumsi ikan di Provinsi Jawa Tengah …...

Reachability matriks dan interpretasinya dari elemen struktur kelembagaan ………....

Halaman

210

213

216 221 222


(24)

A. Latar Belakang

Dalam perspektif ketahanan pangan nasional, ikan dan produk perikanan memegang peranan penting sebagai penyedia bahan pangan sumber protein untuk pemenuhan gizi masyarakat. Selain itu, kandungan asam lemak tidak jenuh omega tiga yang tinggi dalam minyak ikan dilaporkan dapat memberikan banyak keuntungan di bidang kesehatan, khususnya dalam upaya pencegahan penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung koroner. Asam lemak omega tiga,

eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahecsaenoic acid (DHA), diketahui dapat menurunkan kolesterol dalam darah (Kinsella, 1987). Kandungan rataan asam lemak omega tiga pada minyak ikan lemuru dan tuna yang banyak ditemukan di Indonesia masing-masing adalah 25,9% dan 29,5% (Irianto, 1992). Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat yang dicirikan oleh rendahnya kolesterol dan tingginya protein, telah memberikan kecenderungan permintaan atas produk perikanan yang semakin meningkat (Putro, 2002).

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menggambarkan selama kurun waktu 2001 – 2003, kisaran persentase pengeluaran rataan per kapita/bulan untuk kebutuhan konsumsi ikan adalah 5,17 – 6,37%. Dalam kurun waktu yang sama, persentase ini lebih besar dibanding persentase pengeluaran sumber protein hewani lainnya, yaitu daging 2,29 – 3,43% serta telur dan susu 2,86 – 3,72% (BPS, 2004). Meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan kesadaran pada produk pangan yang lebih sehat diperkirakan akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan ikan. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 81.000 km dan sebagian besar (62%) wilayah kedaulatan Indonesia berupa laut yang memiliki luas total 5,8 juta km2, yang terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara ditambah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2 (Ismail et al., 2001; Suboko, 2001; Prasetyo, et al., 1996) merupakan sumber daya hayati perikanan yang sangat potensial untuk memenuhi kepentingan penyediaan sumber pangan tersebut,


(25)

karena memiliki potensi lestari sumber daya perikanan laut 6,7 juta ton per tahun, yaitu 4,4 juta ton pada perairan wilayah nusantara dan territorial, sekitar 2,3 juta ton per tahun pada perairan ZEE Indonesia .

Dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan memiliki peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara. Lapangan kerja yang terkait langsung dengan industri perikanan adalah usaha produksi/penangkapan, usaha penanganan/pengolahan produk perikanan dari yang berskala kecil (rumah tangga) sampai industri besar/modern, serta usaha pelayanan jasa yang mendukung usaha produksi dan pengolahan. Jumlah nelayan Indonesia mengalami peningkatan 3,86%, yaitu dari 3,1 juta orang pada tahun 2000 menjadi 3,5 juta orang pada tahun 2003. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang disumbangkan sektor perikanan pada tahun 2003 adalah Rp 44.794 M. Nilai ini meningkat 26,04% dibanding tahun 2000 yaitu Rp 29.472 M. Dari sisi penerimaan devisa negara, pada tahun 2003 devisa yang disumbangkan dari ekspor hasil perikanan mencapai US$ 2,0 M dengan volume ekspor sebesar 696.290 ton. Volume ekspor tahun 2000-2003 mengalami peningkatan rataan per tahun sebesar 11,0% dengan peningkatan nilai ekspor rataan per tahun sebesar 7,1% (DKP, 2004a). Apabila sektor perikanan ini mampu terus tumbuh positif, pada gilirannya diharapkan akan dapat diandalkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, memperluas peluang kerja dan usaha sektor terkait, serta meningkatkan pendapatan asli daerah dan negara.

Meskipun sektor perikanan secara keseluruhan tumbuh cukup menggembirakan, tetapi masih menghadapi banyak permasalahan, baik dari sisi produksi maupun penanganan pasca panen. Dari sisi produksi, hambatan yang sering ditemui dalam pengembangan kinerja agroindustri perikanan laut secara umum adalah ikan merupakan bahan pangan yang mempunyai sifat sangat mudah rusak, sehingga tingkat kesegaran ikan yang menjadi prasyarat untuk pengolahan menjadi produk lanjutan sulit dipenuhi. Hasil tangkapan untuk beberapa jenis ikan bersifat musiman, sehingga mempersulit upaya untuk menjaga kontinuitas bahan baku yang diperlukan dalam usaha industri. Pada agroindustri perikanan tradisional, kendala yang dihadapi diantaranya adalah (1) penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen masih lemah, termasuk diantaranya kurangnya


(26)

keterampilan untuk melakukan diversifikasi produk olahan guna memperoleh nilai tambah yang lebih besar; (2) rendahnya mutu bahan baku dan adopsi teknologi menyebabkan mutu produk beragam dan cenderung rendah; (3) kurangnya kemampuan modal dan manajerial yang menyebabkan kegiatan pengolahan masih terbatas pada usaha-usaha kecil tradisional yang tersebar dengan target pemasaran lokal (Dahuri, 2003; DKP, 2004b). Pola usaha ini agak menyulitkan dalam proses pembinaan dan pengembangan (Nasution, 2002). Selain kontinuitas dan kualitas bahan baku, agroindustri perikanan modern juga tidak luput dari berbagai kendala lain, seperti (1) investasi yang dibutuhkan cukup besar, tetapi selama ini persepsi bisnis perikanan masih dianggap beresiko tinggi; (2) rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional; (3) lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan, diantaranya dikarenakan lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar dan selera, serta belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. Kondisi semacam ini, terutama sangat dirasakan di daerah terpencil di luar Jawa dan Bali (Dahuri, 2003; DKP, 2004b).

Sejak diberlakukannya UU mengenai otonomi daerah No. 22/1999, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Nasution (2002) mengungkapkan bahwa keragaman kondisi tiap daerah dalam hal sosio-kultural tiap masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim serta heterogenitas ketersediaan sumber daya alam menyebabkan pengembangan pertanian dan agroindustri tidak dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas pertanian sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Namun demikian, metodologi penentuan komoditas unggulan dan produk unggulan daerah, serta penetapan wilayah pengembangan agroindustri pada suatu daerah, dari waktu ke waktu memiliki kelemahan dan bahkan belum jelas acuan konsensus untuk menemukan solusi pemecahannya. Metodologi


(27)

pengambilan keputusan dalam pengusahaan agroindustri banyak diwarnai oleh pengaruh birokrasi, seperti adanya perbedaan kriteria yang digunakan antar instansi. Akibat kelemahan metodologi pengambilan keputusan tersebut, maka muncul bias terhadap komoditas dan produk yang diunggulkan suatu wilayah.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian terpadu dan komprehensif tentang sistem pengembangan agroindustri yang mengolah hasil perikanan pada setiap daerah atau wilayah yang sesuai dengan komoditas/produk unggulannya. Adanya hubungan atau saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain dalam pemenuhan kebutuhan akan membuat persoalan semakin kompleks. Oleh karena itu, dalam pemecahannya perlu dilakukan dengan pendekatan sistem. Metode pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasi yang efektif. Pada penelitian ini akan diformulasikan sebuah model yang mengintegrasikan berbagai alat bantu dalam sistem pengambilan keputusan yang terkait dengan masalah pengembangan agroindustri perikanan laut.

Model yang dibangun diverifikasi di Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan Provinsi Jawa Tengah sebagai tempat kajian dikarenakan provinsi ini merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut yang cukup besar, yaitu 281.204 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 1.122 M pada tahun 2002 (Diskanlut Prov. Jateng, 2003). Hasil tangkapan laut tersebut berkontribusi 6,90% terhadap produksi perikanan laut nasional. Kondisi perairan laut di sebelah utara Provinsi Jawa Tengah (perairan Laut Jawa) telah mengalami overfishing, sebaliknya di pantai selatan (perairan Samudera Hindia) tingkat pemanfaatannya baru mencapai 57,92% (Dahuri, 2003). Profil agroindustri perikanan laut di Jawa Tengah pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari total produksi sebesar 281.204 ton, sebanyak 32% ikan dipasarkan dalam bentuk segar dan 66% diolah secara tradisional dengan perlakuan penggaraman/pengeringan, pemindangan, fermentasi dan pengasapan (Diskanlut Prov. Jateng 2003). Profil agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah ini tidak jauh berbeda dengan kondisi agroindustri perikanan laut nasional yang secara umum didominasi oleh agroindustri perikanan laut tradisional (Dahuri,


(28)

2003; DKP, 2004b). Meskipun data nasional menunjukkan persentase kegiatan pengolahan hasil tangkapan lebih rendah (+ 40%) dibanding persentase kegiatan pengolahan di Provinsi Jawa Tengah (+ 70%), hal ini tidak dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan bahwa kegiatan agroindustri di Provinsi Jawa Tengah lebih baik, karena pada kenyataannya dominasi bentuk usaha olahan tradisional yang dilakukan diantaranya merupakan akibat kondisi hasil tangkapan yang kurang baik. Di Provinsi Jawa Tengah, jenis agroindustri dengan olahan tradisional merupakan usaha yang dominan di wilayah yang berada di pantai utara, dimana produk yang dihasilkan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Di wilayah pantai selatan Provinsi Jawa Tengah terdapat sejumlah usaha agroindustri perikanan modern, seperti pengalengan dan pembekuan untuk memenuhi pasar ekspor. Disamping itu, seperti pada umumnya, industri pengolahan perikanan laut berada di dekat lokasi pendaratan ikan hasil tangkapan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota pantai. Profil agroindustri di Provinsi Jawa Tengah ini diharapkan dapat memberikan gambaran pembangunan agroindustri perikanan laut nasional yang diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan dan memperluas pemerataan pembangunan perikanan nasional. Indikator peningkatan pertumbuhan, diantaranya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Perikanan, peningkatan volume produksi, peningkatan volume dan nilai ekspor hasil perikanan, dan peningkatan konsumsi ikan. Indikator memperluas pemerataan, diantaranya adalah perluasan lapangan kerja, perluasan kesempatan berusaha yang ditunjukkan dengan bertambahnya unit industri, dan distribusi pendapatan untuk peningkatan taraf hidup nelayan dan pelaku usaha agroindustri.

Secara khusus, permasalahan pengembangan agroindustri perikanan laut dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimanakah perumusan cara pengelompokan kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut ?; (2) Bagaimanakah perumusan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan ?; (3) Bagaimanakah perumusan penyusunan strategi dan kelembagaan pengembangan agroindustri perikanan laut ?; dan (4) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa dalam sebuah model Sistem Penunjang Keputusan yang


(29)

mendukung rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan situasional ?

B. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengkaji pengembangan agroindustri perikanan laut. Secara khusus tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1 Mengkaji dan merumuskan cara pengelompokan wilayah pada kawasan pengembangan dan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut.

2 Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan usahanya di masing-masing kawasan pengembangan.

3 Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri perikanan laut.

4 Mengembangkan alternatif model pengembangan agroindustri perikanan laut berbasis Sistem Penunjang Keputusan.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Agrondustri perikanan laut yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah usaha penanganan/pengolahan berbahan baku hasil perikanan tangkap dari laut oleh nelayan. Sistem agroindustri perikanan laut secara definitif adalah kumpulan elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan usaha penanganan/pengolahan yang berbahan baku hasil perikanan laut. Dalam sistem agroindustri perikanan laut, perlu ditekankan bahwa pentingnya peranan pascapanen bukan hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan agar produk ikan segar yang dihasilkan tidak menurun mutunya, atau seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan melalui penerapan teknologi pascapanen, namun juga merupakan suatu mata rantai penghubung antara kegiatan produksi primer (industri penangkapan) dengan kegiatan pemasaran.


(30)

Dalam sistem pengembangan agroindustri perikanan laut perlu diperhatikan beberapa hal antara lain (1) tersebarnya wilayah yang memiliki potensi perikanan laut, (2) banyaknya ragam/jenis komoditas perikanan, sehingga jumlah rataan tiap komoditas menjadi relatif kecil, (3) terdapat berbagai ragam perlakuan (teknologi) pascapanen, tetapi terdapat sejumlah keterbatasan dalam pengusahaan, diantaranya kondisi bahan baku (jumlah, mutu dan kesinambungan), permodalan, sumber daya manusia dan pasar, (4) studi mengenai kelayakan yang menyangkut biaya – laba (cost-benefit) pada berbagai jenis usaha agroindustri perikanan laut sehingga prospek dan resiko usaha dapat diperhitungkan lebih baik, dan (5) penentuan fokus strategi dan elemen-elemen struktural yang penting dalam sistem agroindustri perikanan laut.

Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut direkayasa melalui suatu model berbasis komputer yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan, baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, para pelaku usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut, maupun pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan agroindutri perikanan laut. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk mengkaji pembentukan klaster wilayah berdasarkan sumber daya alam ataupun bentuk klaster lainnya, membuat urutan prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan produk unggulan daerah dan strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti berikutnya.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi dan Produksi Perikanan Laut

Dalam periode sepuluh tahun terakhir (1993 – 2002), produksi perikanan tangkap Indonesia meningkat rataan 3,59% per tahun, yaitu dari 3.194.938 ton meningkat menjadi 4.378.496 ton. Produksi penangkapan ikan di laut, pada

periode tersebut meningkat rataan 3,93% per tahun, atau meningkat dari 2.886.289 ton pada tahun 1993 menjadi 4.073.506 ton pada tahun 2002 (Tabel 1).

Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa lebih dari 90% produksi perikanan nasional berasal dari perikanan laut. Perkembangan produksi perikanan laut merupakan akibat penambahan kuantitas dan mutu prasarana dan sarana penangkapan ikan.

Tabel 1. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 1993 – 2002 (dalam ton)

Tahun Perikanan Laut Perairan Umum Jumlah

1993 2.886.289 308.649 3.194.938 1994 3.080.168 336.141 3.416.309 1995 3.292.930 329.710 3.662.640 1996 3.383.456 335.707 3.719.163 1997 3.612.961 304.258 3.917.219 1998 3.723.746 288.666 4.012.412 1999 3.682.444 327.627 4.010.071 2000 3.807.191 318.334 4.125.525 2001 3.966.480 310.240 4.276.720 2002 4.073.506 304.989 4.378.496 Rataan kenaikan 3,93 % 0,08% 3,59% Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2004.


(32)

Menurut Prasetyo, et al., (1996), operasionalisasi pemanfaatan potensi sumber daya perikanan dibagi atas empat kelompok :

1. Sumber daya demersal, yaitu jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan. Beberapa jenis ikan demersal merupakan jenis ikan bernilai ekonomis tinggi, seperti kakap putih dan kerapu. Jenis ikan lainnya adalah petek, bawal putih, manyung, kakap merah atau bambangan dan beberapa jenis udang seperti udang jerbung, udang windu, udang dogol dan udang krosokan.

2. Sumber daya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berenang di permukaan atau dekat permukaan air. Jenis ikan ini, diantaranya ikan kembung, bentong, layang dan selar.

3. Sumber daya pelagis besar, yaitu jenis ikan permukaan yang berukuran besar dan mempunyai sifat ruaya (pengembara) yang sangat jauh. Berdasarkan ukurannya, ikan pelagis besar dibagi atas tuna besar dan tuna kecil. Kelompok tuna besar diantaranya adalah tuna mata besar, albakora, tuna sirip biru utara, tuna sirip hitam, sedangkan kelompok tuna kecil, diantaranya cakalang dan tongkol.

4. Biota laut lainnya, seperti kerang-kerangan, rumput laut, cumi-cumi dan teripang.

Berdasarkan potensi dan penyebaran sumber daya ikan laut di perairan Indonesia yang disusun oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Tahun 1998, potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 diketahui, bahwa secara keseluruhan Selat Malaka dan Laut Jawa tingkat pemanfaatannya telah melebihi potensi lestarinya. Laut Banda lebih dari 80% potensi lestarinya juga telah dimanfaatkan, sedangkan wilayah pengelolaan perikanan lainnya, yaitu Laut China Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Arafura, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta Samudera Hindia masih sangat potensial untuk diusahakembangkan, karena tingkat pemanfaatannya masih di bawah 80%.


(33)

Potensi lestari adalah potensi sumber daya perikanan dimana pada saat dieksploitasi sumber daya perikanan tersebut tetap dalam kondisi lestari.

Tabel 2. Potensi lestari dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia

Potensi & Produksi : (103 ton/tahun) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

Kelompok Sumber Daya

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Perairan Indonesia Ikan Pelagis Besar Potensi Produksi Pemanfaatan 27,67 36,27 OE 66,08 35,16 UE 55,00 137,82 OE 193,60 85,10 UE 104,12 29,10 UE 50,86 34,56 UE 106,51 37,46 UE 175,26 153,43 FE 366,26 188,28 UE 1.165,36 756,17 UE Ikan Pelagis Kecil Potensi Produksi Pemanfaatan 147,30 132,70 FE 621,50 205,53 UE 340,00 507,53 OE 605,44 333,35 UE 132,00 146,47 OE 468,66 12,31 UE 379,44 119,43 UE 384,75 62,45 UE 526,57 26,56 UE 3.605,66 1.764,33 UE Ikan Demersal Potensi Produksi Pemanfaatan 82,40 146,29 OE 364,80 54,69 UE 375,20 334,92 FE 87,20 167,38 OE 9,32 43,20 OE 202,34 156,60 UE 88,84 32,14 UE 54,86 15,31 UE 135,13 134,83 OE 1.365,09 1.085,50 UE Ikan Karang Konsumsi Potensi Produksi Pemanfaatan 5,00 21,60 OE 21,57 7,88 UE 9,50 48,24 OE 34,10 24,11 UE 32,10 6,22 UE 3,10 22,58 OE 12,50 4,63 UE 14,50 2,21 UE 12,88 19,42 OE 145,25 156,89 OE Udang Penaeid Potensi Produksi Pemanfaatan 11,40 49,46 OE 10,00 70,51 OE 11,40 52,80 OE 4,80 36,91 OE 0,00 0,00 UE 43,10 36,67 FE 0,90 1,11 OE 2,50 2,18 FE 10,70 10,24 OE 94,80 259,94 OE Lobster Potensi Produksi Pemanfaatan 0,40 0,87 OE 0,40 1,24 OE 0,50 0,93 OE 0,70 0,65 FE 0,40 0,01 UE 0,10 0,16 OE 0,30 0,02 UE 0,40 0,04 UE 1,60 0,16 UE 4,80 4,08 FE Cumi-cumi Potensi Produksi Pemanfaatan 1,86 3,15 OE 2,70 4,89 OE 5,04 12,11 OE 3,88 7,95 OE 0,05 3,48 OE 3,39 0,30 UE 7,13 2,86 UE 0,45 1,49 OE 3,75 6,29 OE 28,25 42,51 OE TOTAL Potensi Produksi Pemanfaatan 271,06 389,28 OE 1.057,05 379,90 UE 794,64 1.094,41 OE 929,72 655,45 UE 277,99 228,48 FE 771,55 263,37 UE 590,52 197,54 UE 632,72 287,11 UE 1.076,89 623,78 UE 6.409,21 4.068,42 UE Keterangan :

• Keterangan WPP : 1. Selat Malaka, 2. Laut China Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Arafura, 7. Laut Seram dan Teluk Tomini, 8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 9. Samudera Hindia

• Kategori eksploitasi : Pemanfaatan 100% = over exploited (OE), Pemanfaatan 80-100% = full exploited (FE), Pemanfaatan < 80% = under exploited (UE)

Sumber : DKP, 2004b


(34)

Secara khusus, perairan pantai Provinsi Jawa Tengah terbagi dalam dua wilayah, yaitu perairan pantai utara Pulau Jawa yang menghadap Laut Jawa dan perairan pantai selatan Pulau Jawa yang menghadap Samudera Hindia. Perbedaan wilayah penangkapan ini mempengaruhi volume produksi dan jenis ikan yang dihasilkan. Pada Tabel 3 disajikan produksi perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan jenis ikan dan daerah perairan pantai yang merupakan lokasi pendaratan ikan.

Tabel 3. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan pantai Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2002 (dalam ton)

Jenis ikan Pantai Selatan Jawa Pantai Utara Jawa Total

Layang - 56.260.600 56.260.600 Selar - 15.204.800 15.204.800

Teri - 3.671.400 3.671.400

Tembang - 39.817.800 39.817.800 Lemuru 209.600 12.173.300 12.382.900 Kembung 6.500 16.662.400 16.668.900 Tengiri 171.600 5.492.200 5.663.800 Layur 274.400 3.236.100 3.510.500

Tuna 1.666.000 - 1.666.000

Cakalang 2.523.700 - 2.523.700 Tongkol 203.800 14.396.700 14.600.500 Peperek - 15.728.800 15.728.800 Manyung 39.900 6.832.000 6.871.900 Beloso - 1.374.100 1.374.100 Merah - 3.921.800 3.921.800 Tigawaja 74.600 5.711.000 5.785.600 Cucut 412.700 2.886.100 3.298.800 Pari 143.400 3.653.100 5.956.300 Ikan lainnya 1.749.100 52.160.400 53.909.500 Udang 790.200 1.759.800 2.550.000 Cumi-cumi 58.800 3.111.100 3.169.900 Ubur-ubur 4.433.800 4.433.800 4.433.800 Lain-lain 1.536.600 695.900 2.232.500

Total 14.294.700 266.909.200 281.203.900


(35)

B. Agroindustri Perikanan Laut

Menurut Austin (1992) dan Brown (1994), agroindustri adalah industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian yang berupa tanaman atau hewan, yang meliputi transformasi dan pengawetan yang melalui perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Soekartawi (2000) menyatakan bahwa agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian (minimal 20% dari total bahan baku), dengan penekanan pada manajemen pengolahan pangan. Hasil pertanian mencakup hasil pertanian pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (Gumbira-Sai’id dan Intan, 2001; Hubeis, 2003)

Austin (1992) mengkategorikan agroindustri dalam 4 (empat) level, yang digolongkan atas aktivitas proses yang dikerjakan, yaitu agroindustri level 1 (pembersihan, pengkelasan dan penyimpanan), agroindustri level 2 (pemisahan, penggilingan, pemotongan dan pencampuran), agroindustri level 3 (perebusan, pengalengan, pembekuan, ekstraksi dan pasteurisasi), dan agroindustri level 4 (pengubahan kandungan kimia dan teksturisasi). Kategori agroindustri tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kategori agroindustri berdasarkan tingkat transformasi bahan baku

Level Agroindustri Aktivitas Proses Contoh Produk

Level 1 Pembersihan Pengkelasan Penyimpanan

Buah-buahan segar Sayuran segar Telur segar Level 2 Pemisahan

Penggilingan Pemotongan Pencampuran

Daging Tepung

Level 3 Perebusan Pasteurisasi Pengalengan Pembekuan Ekstraksi Dehidrasi

Buah kaleng Sayuran kaleng Gula

Daging rebus

Level 4 Pengubahan kimia Teksturisasi

Makanan instan

Sayuran yang diteksturisasi Sumber : Austin, 1992.


(36)

Agroindustri merupakan salah satu subsistem dalam sistem agribisnis. Suatu sistem agribisnis yang lengkap terdiri atas (1) subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni kegiatan industri dan perdagangan yang menghasilkan sarana produksi usaha tani seperti pembibitan, agrokimia, agro-otomotif dan agri-mekanik; (2) subsistem usaha tani (on-farm agribusiness), yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi usaha tani yang menghasilkan produk pertanian primer; (3) subsistem agribisnis hilir ( down-stream agribusiness), yakni kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan (intermediate/finished product) beserta perdagangan dan konsumennya; dan (4) subsistem jasa penunjang ( agro-institution and agro-service), yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti perbankan, infrastruktur, litbang, pendidikan dan penyuluhan/ konsultasi, transportasi, dan lain-lain (Saragih, 2001). Subsistem agribisnis hilir lazim dikenal sebagai agroindustri (Gumbira-Sa’id dan Intan, 2001).

Lebih lanjut Saragih (2001) mengungkapkan bahwa agroindustri dapat menjadi suatu sektor yang memimpin (leading sector) yang didasarkan pada pemikiran sebagai berikut : pertama, agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir. Agroindustri pengolah, yang menggunakan bahan baku hasil pertanian, memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau kegiatan industri lain. Keterkaitan yang erat ini merupakan hal logis dan sebagai konsekuensinya akan menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut.

Kedua, produk-produk agroindustri, terutama agroindustri pengolah, umumnya memiliki nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi (elastis) jika dibandingkan dengan produk pertanian dalam bentuk segar atau bahan mentah. Maka dapat dikatakan bahwa dengan semakin besarnya pendapatan masyarakat, akan semakin terbuka pula pasar bagi produk agroindustri. Hal ini akan memberikan prospek baik bagi kegiatan agroindustri, dan dengan demikian akan memberikan pengaruh pula kepada seluruh kegiatan yang mengikutinya.

Ketiga, kegiatan agroindustri umumnya memiliki basis pada sumber daya alam. Oleh karena itu, dengan dukungan potensi sumber daya alam Indonesia, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan


(37)

kompetitif di pasar dunia, disamping dapat memiliki pasar domestik yang cukup terjamin. Keempat, kegiatan agroindustri umumnya menggunakan masukan yang dapat diperbaharui, sehingga keberlangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin.

Kelima, agroindustri merupakan sektor yang telah dan akan terus memberikan sumbangan besar. Data empiris menunjukan, terjadi kecenderungan peningkatan pangsa ekspor produk pertanian olahan, dan di lain pihak harga produk pertanian primer cenderung mengalami gejolak pasar yang lebih tidak pasti. Keenam, agroindustri yang memiliki basis di pedesaan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja yang berlebihan dari desa ke kota.

Perkembangan agroindustri ke depan perlu diarahkan pada pendalaman struktur agroindustri lebih ke hilir, dengan tujuan menciptakan nilai tambah (added value) sebesar mungkin di dalam negeri, mendiversifikasi produk yang mengakomodir preferensi konsumen, dalam memanfaatkan segmen-segmen pasar yang berkembang, baik di dalam negeri maupun di pasar internasional (Saragih, 2001; Nasution, 2002), mampu menyediakan lapangan kerja yang khususnya mampu menarik tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri (agroindustri sebagai proses antara) dan memperbaiki pembagian pendapatan dan menarik investor untuk mendukung pembangunan sektor pertanian (Nasution, 2002).

Menurut Poernomo, et al. (2001), tingkat pengusahaan sumber daya perikanan di Indonesia yang rataan telah mencapai 62%, ternyata belum diimbangi oleh kegiatan peningkatan nilai tambah secara sistematik melalui industri pengolahan hasil perikanan. Data nasional (Tabel 5) menunjukkan bahwa kurang lebih hanya 40% dari total produksi perikanan laut diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi, dengan perincian 30,86% diolah secara tradisional dan hanya 12,03% yang diolah dalam bentuk modern seperti pembekuan, pengalengan dan pembuatan tepung ikan. Dari data tersebut terlihat bahwa industri pengolahan ikan didominasi tiga macam pengolahan, yaitu pengeringan/penggaraman 22,35%, pemindangan 4,05% dan pembekuan 9,27%.

Salah satu kendala yang dihadapi industri perikanan, baik industri yang berteknologi maju maupun industri pengolahan tradisional adalah kesulitan memperoleh bahan baku, karena kedua jenis industri tersebut hanya mengandalkan bahan baku hasil tangkapan perikanan rakyat (Poernomo, et al.


(38)

2001). Ketersediaan bahan mentah merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. Bahkan bagi industri yang mengolah limbah perikanan, mutu bahan baku yang tinggi merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar lagi (Widiasto, 2000; Poernomo, et al. 2001). Banyak perusahaan yang tidak dapat beroperasi pada kapasitas produksi dan bahkan banyak diantaranya berhenti beroperasi, akibat tidak tesedianya bahan mentah yang memadai (Irianto,

et al. 2001). Salah satu penyebabnya, adalah corak perikanan rakyat mendominasi (87%) armada perikanan Indonesia menghasilkan tangkapan bermutu rendah. Hal lainnya adalah banyaknya jenis yang dihasilkan dan dalam volume yang tidak terlalu besar, dianggap sebagai kendala tersendiri dalam menentukan prioritas jenis agroindustri.

Tabel 5. Perlakuan produksi perikanan laut menurut cara perlakuan pada tahun 2002 (dalam ton)

Jawa Tengaha) Total Indonesia b) Cara Perlakuan

Jumlah % Jumlah %

Total 281.267 100,00 4.073.506 100,00 Dipasarkan segar 90.170 32,06 2.323.886 57,05 Pengeringan/penggaraman 126.641 45,02 910.581 22,35 Pemindangan 41.884 14,89 164.815 4,05 Terasi 142 0,05 29.884 0,73 Peda 44 0,02 6.849 0,17 Peragian

Kecap ikan 0 0,00 9 0,00 Pengasapan 10.108 3,59 69.262 1,70 Pengawetan

Lain-lain 7.577 2,69 75.946 1,86 Pembekuan 3.467 1,23 377.526 9,27 Pengalengan 1.027 0,36 66.333 1,63 Pembuatan tepung ikan 206 0,07 48.415 1,19

a)

Diskanlut Prov. Jateng, 2003.

b)


(39)

Permasalahan yang dihadapi oleh industri perikanan tidak hanya pasokan bahan baku, melainkan juga ketersediaan dan keterbatasan akses kepada teknologi, sumber modal dan pemasaran, sumber daya manusia dan kultur, serta masalah-masalah kelembagaan, termasuk di dalamnya peraturan dan perundangan (Poernomo, et al., 2001; Nasution, 2002). Heruwati, et al. (2001) menyatakan bahwa salah satu kelemahan agribisnis perikanan adalah jauhnya jarak antara lokasi pengolahan ikan dengan lokasi produksi bahan baku. Kelemahan ini berdampak pada mengalirnya nilai tambah ekonomi perkotaan, yang biasanya merupakan lokasi pengolahan ikan, sementara produsen bahan baku selain tidak menikmati nilai tambah,juga menanggung resiko penurunan mutu kesegaran ikan.

C. Penanganan Pascapanen Perikanan Laut

Ikan dan produk perikanan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable), sehingga diperlukan upaya penanganan yang tepat untuk mencegah proses pembusukan atau segera dilakukan pengolahan, yang sekaligus merupakan upaya untuk pengawetan. Mengacu pada pengkategorian agroindustri berdasarkan tingkat transformasi bahan baku yang dikemukakan oleh Austin (1992) dan bentuk-bentuk pemanfaatan hasil perikanan oleh Suparno dan Irianto (1995) dan Poernomo, et al. (1988), maka penanganan pascapanen perikanan laut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.

1. Penanganan ikan hidup

Perdagangan ikan hidup untuk konsumsi merupakan trend baru dalam perdagangan dunia bagi komoditas hasil perikanan. Ikan hidup merupakan suatu jaminan mutu yang sangat prima, bila dibandingkan segala bentuk komoditas lain, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Oleh karena itu, komoditas ini dihargai tinggi di pasaran (Suparno dan Irianto, 1995).

Penanganan atau transportasi ikan hidup umumnya dilakukan untuk hasil laut yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi, misalnya ikan kerapu dan udang. Prakteknya dilakukan dengan menggunakan kantong-kantong atau


(40)

tong-tong plastik dan tabung oksigen untuk sistem basah dan dikemas kering dengan serbuk gergaji, setelah ikan dilakukan pemingsanan terlebih dahulu.

Tabel 6. Bentuk-bentuk penanganan pascapanen perikanan laut

No Penanganan pascapanen Cakupan

1. Penanganan ikan hidup - sistem basah - sistem kering 2. Penanganan ikan segar - tanpa es

- pemberian es 3. Pengolahan tradisional - pengasinan

- pengeringan - pemindangan - pengasapan - fermentasi 4. Pembekuan - 5. Pengalengan - 6. Surimi - 7. Reduksi - penepungan

- ekstraksi minyak 8. Lain-lain - kerupuk

- dendeng - petis - dll

Sumber : Modifikasi dari Austin, 1992, Suparno dan Irianto, 1995, serta Poernomo, et al., 1988.

2. Penanganan ikan segar

Ikan segar, dalam hal ini adalah ikan yang telah mati dan pada keadaan tersebut mudah sekali busuk. Dengan demikian, setelah ikan mati harus secepatnya dilakukan penanganan untuk memperlambat atau mencegah proses pembusukan akibat proses autolisis, kimiawi dan bakterial (Suparno dan Irianto, 1995). Pemasaran segar adalah pemasaran hasil tangkapan dalam keadaan belum mengalami perubahan bentuk atau dalam bentuk belum diolah. Pada saat ini, praktek penanganan ikan laut segar sudah agak lebih maju. Kesadaran para nelayan maupun pedagang akan pentingnya es dalam menjaga kesegaran ikan sudah semakin meningkat. Di samping itu, fasilitas pendaratan ikan dan pabrik-pabrik es telah tersedia, meskipun belum dalam jumlah yang


(41)

ideal. Pengangkutan antar kota maupun antar Provinsi sudah menggunakan es, bahkan beberapa industri besar telah menggunakan truk yang dilengkapi dengan unit pendingin. Pada usaha ekspor, dipergunakan peti kemas yang dilengkapi dengan unit pendingin (Poernomo, et al., 1988).

Praktek yang dilakukan pedagang kelas menengah atau kecil, umumnya dalam transportasi ikan segar adalah menyusun ikan dengan es selapis demi selapis dalam kotak kayu, keranjang bambu, tong/kotak dari bahan plastik. Untuk keperluan penangkapan, nelayan menggunakan palka ikan dan peti-peti berinsulasi dengan sistem air laut yang didinginkan sebagai sarana pendingin atau dengan membawa bongkahan es selama masa penangkapan.

3. Pengolahan tradisional

Dalam penanganan pasca panen hasil perikanan laut, pengolahan tradisional menduduki tempat teratas dalam pemanfaatan ikan dalam bentuk olahan. Praktek pengolahan tradisional umumnya hampir sama di tiap daerah, dengan sedikit variasi sesuai dengan kebiasaan lokal. Praktek ini dilakukan secara turun temurun dan praktis tidak mengalami perubahan berarti.

Penggaraman dan Pengeringan. Penggaraman adalah salah satu teknik pengawetan makanan yang paling awal diterapkan dalam kehidupan manusia. Konsentrasi garam yang tinggi di sekitar ikan menghasilkan pertukaran air dalam ikan dengan garam. Pengurangan air dari ikan menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan bakteri penyebab kebusukan ikan. Kandungan garam 6-7% atau lebih tinggi pada umumnya dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Bakteri halofilik biasanya tidak dapat tumbuh pada kadar garam 3,5%, tetapi tumbuh dengan baik pada konsentrasi garam antara 12% sampai dengan jenuh (Motohiro, 1992).

Pada dasarnya, ada 3 macam cara penggaraman, yaitu secara kering, basah dan kombinasi keduanya. Penggaraman kering dilakukan dengan mencampur ikan dengan garam dan menyusunnya secara berlapis. Cairan


(42)

yang dihasilkan dibuang melalui lubang di dasar wadah penggaraman. Hal tersebut dilakukan untuk penggaraman ikan-ikan berukuran besar. Penggaraman basah merupakan cara penggaraman dengan merendam ikan dalam larutan garam. Cara ini sering dilakukan untuk ikan kecil seperti teri. Cara ketiga merupakan cara yang paling banyak dilakukan, yaitu menyusun ikan dan garam secara berlapis dalam wadah penggaraman dan kemudian dituangi dengan larutan garam. Cara ini cukup efektif, karena kejenuhan larutan garam akan terjaga dengan adanya kristal garam. Perbandingan antara kristal garam dengan berat ikan berkisar 20 – 30%. Larutan garam digunakan berkali-kali, bahkan sampai 25 kali, tergantung keadaan larutan. Lama penggaraman 4 – 24 jam, tergantung jenis ikan dan tingkat keasinan yang dikehendaki (Poernomo, et al., 1988). Setelah penggaraman selesai, ikan dicuci untuk menghilangkan kristal garam yang melekat di permukaan, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari (penjemuran) selama 1 – 3 hari.

Pemindangan. Pemindangan adalah suatu cara pengawetan ikan jangka pendek yang telah digunakan di banyak negara, khususnya Asia Tenggara. Daya simpan produk bervariasi dari satu atau dua hari sampai beberapa bulan, tergantung pada metode pengolahan yang diterapkan (Clucas and Ward, 1996).

Pada dasarnya, pemindangan merupakan kombinasi antara proses penggaraman dan perebusan. Pemindangan dilakukan dengan merebus ikan dalam media bergaram selama waktu tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam cara pemindangan, yaitu pemindangan kering dan basah. Pemindangan kering dilakukan dengan merebus ikan yang disusun berlapis-lapis dengan kristal garam dalam wadah perebus. Perbandingan antara garam dan ikan berkisar 30 – 50%. Perebusan dilakukan selama 3 – 5 jam. Produk pindang ini dapat tahan berminggu-minggu tergantung kadar garamnya. Pemindangan basah dilakukan dengan merebus ikan dalam larutan garam mendidih selama waktu tertentu (kurang lebih 10 – 30 menit tergantung dari jenis dan ukuran ikan). Produk pindang lebih disukai masyarakat daripada ikan asin kering, karena rasanya tidak terlalu asin. Jenis-jenis ikan yang dipindang sangat bervariasi, dari lemuru sampai tongkol, bahkan daging cucut (Poernomo, et al., 1988).


(43)

Pengasapan. Pengasapan adalah suatu proses pengawetan yang merupakan kombinasi dari pengeringan dan deposisi senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses dekomposisi thermal kayu (Motohiro, 1992). Suhu pengasapan bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya, tergantung preferensi konsumen dan tipe tungku pengasapan yang tersedia. Produk hasil pengasapan biasanya memiliki rasa dan flavor yang disukai, serta menunjukkan daya simpan yang baik (Takunaga, 1992). Daya simpan yang lama lebih disebabkan oleh pengeringan dan pemasakan, daripada nilai pengawetan akibat senyawa-senyawa kimia dari asap yang terdeposit pada permukaan ikan (Clucas and Ward, 1996).

Jenis proses pengasapan yang selama ini dikenal adalah pengasapan panas dan pengasapan dingin. Pada pengasapan panas, bara api kayu atau penghasil asap lainnya diletakkan langsung di bawah ikan yang disusun di rak-rak kayu atau digantung. Dengan cara ini, suhu asap pada saat mencapai ikan berkisar antara 65 – 80 °C. Pada pengasapan dingin, ruang pembuat asap terpisah dari ruang pengasap tempat ikan diletakkan, dan asap dialirkan melalui terowongan atau sejenisnya ke dalam ruang pengasap dari bawah. Dengan demikian, suhu asap tidak terlalu panas saat mencapai ikan (30 – 40

°C). Secara tradisional, pengasapan ikan di Indonesia banyak dikerjakan dengan pengasapan panas dan dilakukan pada barak-barak terbuka, sehingga banyak panas/asap yang hilang. Sebagai sumber asap, selain kayu, sering pula digunakan tempurung kelapa, sabut kelapa atau serbuk gergaji. Jenis-jenis ikan yang banyak di asap antara lain cakalang, tuna, belanak, tenggiri dan kakap (Poernomo, et al., 1988).

Di Kepulauan Maluku dan sekitarnya dan di Sumatera Utara dikenal produk sejenis ikan asap yang disebut ikan kayu. Produk ini sangat keras, sehingga sebelum dimasak harus diserut terlebih dahulu. Ikan yang sering digunakan sebagai bahan mentah pembuatan ikan kayu adalah cakalang dan sejenisnya. Di Jepang, produk semacam ini disebut katsuobushi, yaitu ikan kayu hasil pengasapan yang diproses lanjut dengan proses penjamuran untuk mendapatkan citarasa yang lebih spesifik.


(1)

Lampiran 28. Produksi ikan yang diolah menurut cara perlakuan di Kabupaten Pati

pada tahun 1993 - 2002

No

Tahun

Pemindangan

Pengeringan/

Pengasinan

Pengasapan/

Pemanggangan

1

1996

2 943 486 4 099 134

1 676 434

2

1997

3 394 416 4 461 222

1 842 679

3

1998

4 652 918 6 431 102

1 249 615

4

1999

2 722 433 3 568 801

1 477 924

5

2000

2 558 888 3 363 111

1 389 110

6

2001

3 002 820 3 946 563

1 630 826

7

2002

2 971 892 4 357 576

1 823 837


(2)

Lampiran 30. Perkembangan volume dan nilai ekspor ikan kaleng Kabupaten

Cilacap tahun 2000 - 2004

Tahun

Volume (kg)

Nilai (US$)

2000

1.827.482

5.375.546

2001

2.867.971

7.438.017

2002

4.699.940

12.587.460

2003

6.918.676

16.891.671

2004

5.020.240

15.067.514

Lampiran 31. Perkembangan volume dan ekspor udang dan tuna beku Kabupaten

Cilacap tahun 1997 – 2003

Tahun

Vol.Udang

Beku (kg)

Nilai Udang Beku

(US$)

Vol.Tuna

Beku (kg)

Nilai Tuna

Beku (US$)

1997

99.271

310.495

- -

1998

237.753

2.091.183

157.267 518.725

1999

341.486

3.735.558

38.581 113.220

2000

391.871

4.627.948

280.598 676.941

2001

416.260

4.305.454

731.449

2.448.565

2002

436.034

4.037.923

362.238 764.145

2003

380.410

3.599.119

24.870 88.740


(3)

Lampiran 36. Perkembangan konsumsi ikan perkapita Provinsi Jawa Tengah

No Tahun

Jumlah

Penduduk

Produksi

(kg)

Ekspor

(kg)

Konsumsi

kg/org/th

Kenaikan

(%)

1 1993 29 277 947

308 174 030

13 215 807

11.08

-

2 1994 29 542 190

372 271 830

7 146 607

12.36

11.55

3 1995 29 801 523

335 260 002

4 839 579

11.10

(10.20)

4 1996 29 992 203

347 939 800

2 263 691

11.66

5.04

5 1997 29 907 476

390 564 000

11 079 969

12.69

8.82

6 1998 30 143 915

385 855 100

40 568 171

12.80

0.86

7 1999 30 761 221

361 789 200

10 011 523

10.59

(0.17)

8 2000 30 775 876

350 414 500

12 792 033

10.97

3.59

9 2001 30 957 155

376 341 700

13 203 125

11.73

6.92

10 2002 31 691 866

380 527 600

14 542 669

12.09

3.07

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2003


(4)

Lampiran 37. Reachability matriks dan intepretasinya dari elemen struktur kelembagaan

A Elemen Pelaku

Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 DEP DEP Prior DRV

DRV Prior E1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 5 5 13 2 E2 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 9 4 10 3 E3 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 0 5 5 13 2 E4 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 9 4 10 3 E5 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 2 6 15 1 E6 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 2 6 15 1 E7 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 12 3 6 4 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 12 3 6 4 E9 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 9 4 10 3 E10 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 0 5 5 13 2 E11 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 9 4 10 3 E12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 14 1 1 6 E13 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 12 3 6 4 E14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 13 2 3 5 E15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 14 1 1 6

B Elemen Kebutuhan

Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 DEP DEP Prior DRV

DRV Prior E1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 7 3 8 2 E2 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 7 3 8 2 E3 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 7 3 8 2 E4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 10 1 1 4 E5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 4 11 1 E6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 4 11 1 E7 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 3 4 11 1 E8 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 9 2 4 3 E9 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 7 3 8 2 E10 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 9 2 4 3 E11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 10 1 1 4 Keterangan :

E1 : Nelayan E9 : Distributor/Agen Produk PL DEP : Dependent

E2 : Bakul Ikan E10 : Pengusaha Alat Produksi DEP Prior : Prioritas Dependent E3 : Pengusaha Agroindustri PL E11 : Konsumen DRV : Driver Power

E4 : Tenaga Kerja AIPL E12 : Perguruan Tinggi/Lemb Riset DRV Prior : Prioritas Driver Power E5 : Pemerintah Daerah E13 : Koperasi Elemen Kunci : E5, E6

E6 : Pemerintah Pusat E14 : Asosiasi

E7 : Perbankan E15 : Lembaga Swadaya M asyarakat E8 : Lembaga Keuangan Non Bank


(5)

C Elemen Kendala

Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 DEP DEP Prior DRV

DRV Prior E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 8 1 E2 0 1 1 1 1 1 1 0 5 4 7 2 E3 0 1 1 1 1 1 1 0 5 4 7 2 E4 0 1 1 1 1 1 1 1 5 4 7 2 E5 0 0 1 1 1 1 1 1 5 4 7 2 E6 0 0 0 0 0 1 1 1 6 3 3 3 E7 0 0 0 0 0 0 1 1 7 2 2 4 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 8 1 1 5

D Eleman Tolok Ukur

Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 DEP DEP Prior DRV

DRV Prior E1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 3 5 9 1 E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 5 9 1 E3 0 0 1 1 1 1 0 1 0 5 4 6 2 E4 0 0 1 1 1 1 0 1 1 5 4 6 2 E5 0 0 0 0 1 1 0 1 1 7 3 4 3 E6 0 0 0 0 1 1 0 1 1 7 3 4 3 E7 1 1 1 1 1 1 1 1 0 3 5 9 1 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 1 8 2 2 4 E9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 9 1 1 5 Keterangan :

E1 : Sarana dan Prasarana DEP : Dependent E2 : Standar mutu & keamanan produk DEP Pri or : Prioritas Dependent E3 : Teknologi Tepat Guna DRV : Driver Power E4 : Manajemen Usaha DRV Prior : Prioritas Driver Power E5 : Jaminan Kesinambungan Bh Baku Elemen Kunci : E5, E6, E7

E6 : Permodalan

E7 : SDM Terampil dan Terdidik E8 : Stabilitas Politik dan Moneter E9 : Pemasaran yang Terjamin E10 : Kemudahan Birokrasi (Perijinan) E11 : Pelestarian Sumber Daya Ikan

Keterangan :

E1 : Keterbatasan Modal DEP : Dependent

E2 : Keterbatasan Sarana dan Prasarana DEP Prior : Prioritas Dependent

E3 : Kuantitas, kualitas &kontinuitas bh baku DRV : Driver Power

E4 : Kestabilan harga bh baku DRV Prior : Prioritas Driver Power

E5 : Akses informasi thd teknologi pascapanen Elemen Kunci : E1

E6 :Rendahnya kualitas SDM berketrampilan

E7 : Kewirausahaan


(6)

E Elemen Aktivitas

Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 DEP DEP Prior DRV

DRV Prior E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E3 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 6 16 1 E4 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 14 3 4 4 E5 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 7 5 13 2 E6 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 7 5 13 2 E7 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 12 4 9 3 E8 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 E9 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 7 5 13 2 E10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 15 2 2 5 E11 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 7 5 13 2 E12 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 14 3 4 4 E13 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 12 4 9 3 E14 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 E15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 16 1 1 6 E16 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 12 4 9 3 Keterangan :

E1 : Penurunan Angka Kemiskinan & Pengangguran DEP : Dependent

E2 : Peningkatan Volume Produksi DEP Prior : Prioritas Dependent E3 : Peningkatan Pangsa Pasar Domestik DRV : Driver Power

E4 :Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor DRV Pri or : Prioritas Driver Power E5 : Peningkatan Keuntungan Usaha Elemen Kunci : E1, E2, E7

E6 :Peningkatan Harga Ikan E7 :Peningkatan Pendapatan Daerah E8 : Peningkatan Unit Usaha E9 : Peningkatan Konsumsi Ikan

Keterangan :

E1 : Identifikasi jenis-jenis produk agroindustri yang layak dikembangkan E2 : Koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan AIPL

E3 : Perumusan Perda untuk mendukung pengembangan AIPL sesuai potensi di masing-masing wilayah/kawasan E4 : Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan perkreditan untuk investasi

E5 : Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi E6 : Pemenuhan sarana dan prasarana

E7 :Pembinaan untuk penerapan cara peneraapan dan pengolahan yang baik dan higienis E8 : Pembinaan dalam pengelolaan usaha agroindustri

E9 : Kemudahan akses terhadap lembaga permodalan

E10 : Pendidikan dan pelatiha SDM yang terlibat dalam agroindustri E11 : Kejelasan dalam proses perijinan usaha agroindustri

E12 : Menciptakan iklim kondusif untuk dunia usaha (keamanan, politik dan moneter) E13 : Minimalisasi Illegal, Unregulated and Unreported (IUU) Fishing

E14 : Penerapan sistem kapal carrier E15 : Promosi produk agroindustri

E16 : Mendorong terciptanya harga yang wajar bagi bahan baku dan produk

DEP : Dependent DRV : Driver Power Elemen Kunci : E1, E2, E3 DEP Prior : Prioritas Dependent DRV Prior : Prioritas Driver Power