Pemilihan Komoditas Potensial Agroindustri Perikanan Laut

1. Pemilihan Komoditas Potensial Agroindustri Perikanan Laut

Ketersediaan bahan baku merupakan persyaratan mutlak yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan suatu kegiatan industri pengolahan, termasuk industri perikanan. Bahan mentah tersebut harus memenuhi syarat, baik secara kuantitas maupun mutu. Berdasarkan alasan tersebut, untuk pengembangan agroindustri perikanan laut di suatu daerah perlu memperhatikan komoditas potensial yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga diharapkan persoalan bahan baku dapat diatasi. Mengingat jenis komoditas perikanan laut sangat beragam, pemilihan komoditas yang dianggap potensial di suatu daerah harus didasarkan pada kriteria yang jelas. Pemilihan komoditas potensial di Provinsi Jawa Tengah ditentukan berdasarkan enam kriteria, yaitu 1 volume produksi, 2 kontinuitas produksi, 3 mutu hasil tangkapan, 4 nilai ekonomis komoditas, 5 peluang diversifikasi, dan 6 keterpusatan lokasi pendaratan. Pembobotan masing- masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk pemilihan komoditas potensial menggunakan OWA Operator dengan hasil seperti pada Tabel 13 dan Lampiran 14. Tabel 13 Bobot kriteria pemilihan komoditas perikanan laut potensial No Kriteria Deskripsi Agregat 1 Volume Volume hasil tangkapan Tinggi 2 Kontinuitas Ketersediaan komoditas sepanjang tahun Tinggi 3 Mutu Kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan Sangat Tinggi 4 Nilai ekonomis Harga jual komoditas dan kemudahan dalam pemasaran Tinggi 5 Peluang diversifikasi Peluang komoditas diproses menjadi berbagai ragam produk olahan Tinggi 6 Lokasi pendaratan Keterpusatan lokasi pendaratan komoditas Tinggi Berdasarkan hasil pada Tabel 13 diketahui bahwa mutu bahan baku mendapat nilai sangat tinggi, artinya kesegaran dan keamanan konsumsi komoditas hasil tangkapan merupakan kriteria terpenting bagi pengembangan agroindustri perikanan laut. Mutu bahan baku merupakan parameter yang sangat penting untuk menghasilkan produk bermutu tinggi. Lima kriteria lainnya memiliki derajat kepentingan yang sama tinggi. Volume dan kontinuitas bahan bakukomoditas merupakan faktor yang penting untuk keberlangsungan suatu industri agar dapat beroperasi sesuai kapasitas mesin terpasang sepanjang waktu. Faktor nilai ekonomis bahan baku merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan agroindustri. Pada pengembangan agroindustri diharapkan tidak hanya industri pasca panen saja yang diuntungkan, tetapi juga harus menguntungkan pihak nelayan sebagai penghasil bahan baku. Komoditas perikanan yang memungkinkan adanya diversifikasi produk mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan komoditas perikanan yang tidak mempunyai peluang diversifikasi. Hal ini penting untuk mengantisipasi adanya kejenuhan terhadap satu produk agroindustri, baik dari segi permintaan maupun harga. Komoditas yang berpeluang dilakukan diversi fikasi produk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan tuntutan pasar. Faktor keterpusatan lokasi pendaratan komoditas harus diperhitungkan di dalam pengembangan suatu agroindustri. Komoditas yang produksinya terpusat akan memudahkan dalam pengumpulan bahan baku sehingga, akan menghemat biaya transportasi; sedangkan komoditas yang produksinya tersebar akan menyulitkan di dalam pengumpulan, sehingga meningkatkan biaya transportasi. Terkait dengan sifat-sifat fisik dan kimiawinya, komoditas perikanan merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak perishable. Terpusatnya lokasi pendaratan dan kedekatannya dengan lokasi pengolahan akan mengurangi laju kerusakan ikan dan memudahkan penanganan hasil tangkapan, dengan asumsi bahwa ikan setibanya di tempat pengolahan langsung diolah atau diawetkan, misalnya dengan pengesan atau pendinginan. Dengan demikian, tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan, sekaligus akan menghemat biaya produksi yang dikeluarkan untuk proses pengawetan. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah dipilih 18 alternatif komoditas perikanan laut yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku agroindustri, yaitu 1 peperek, 2 manyung, 3 cucut, 4 pari, 5 layang, 6 tigawaja, 7 layur, 8 tuna, 9 cakalang, 10 selar, 11 teri, 12 tembang, 13 lemuru, 14 kembung, 15 tengiri, 16 tongkol, 17 udang dan 18 ubur-ubur. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut menurut jenis ikan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun 1994 – 2002 disajikan pada Lampiran 15 dan 16. Prioritas komoditas potensial di masing-masing kawasan ditentukan melalui pengujian dengan Metode IPE dalam kaidah FGDM pada Sub Model Pemilihan, Sub-Sub Model Pemilihan Komoditas. Pemilihan didasarkan pada pendapat yang diberikan oleh beberapa orang pakar terkait di masing-masing kawasan pengembangan. Proses pemilihan komoditas di masing-masing kawasan dilaksanakan di kotakabupaten yang menjadi pusat pertumbuhannya. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 14 serta Lampiran 17, 18 dan 19. Tabel 14. Skala prioritas komoditas perikanan laut potensial terpilih pada masing-masing kawasan pengembangan No. Jenis Ikan Pekalongan KP I Pati KP II Cilacap KP III 1 Peperek Sangat Rendah Rendah Rendah 2 Manyung Rendah Sedang 3 Sedang 3 Cucut Rendah Rendah Sedang 4 Pari Rendah Rendah Sedang 5 Layang Sedang 1 Sedang 1 Rendah 6 Tigawaja Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah 7 Layur Rendah Rendah Sedang 8 Tuna Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi 1 9 Cakalang Sangat Rendah Sangat Rendah Tinggi 2 10 Selar Rendah Sedang 4 Rendah 11 Teri Sangat Rendah Rendah Rendah 12 Tembang Rendah Sedang 5 Rendah 13 Lemuru Sedang 2 Sedang 6 Rendah 14 Kembung Sedang 3 Sedang 2 Sedang 15 Tengiri Rendah Rendah Sedang 16 Tongkol Sedang 4 Rendah Sedang 17 Udang Sangat Rendah Rendah Tinggi 3 18 Ubur-ubur Sangat Rendah Sangat Rendah Rendah Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan urutan komoditas potensial terpilih Komoditas Perikanan Laut Potensial Kota Pekalongan . Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan prioritas komoditas potensial, yaitu volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan bagi masing-masing komoditas diketahui bahwa komoditas potensial dari Kota Pekalongan Kawasan Pengembangan IKP I adalah ikan layang, lemuru, kembung dan tongkol. Volume produksi keempat jenis ikan potensial yang menjadi unggulan Kota Pekalongan tersebut selama tahun 1994 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 20. - 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e Ton Layang Kembung Lemuru Tongkol Total Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 17. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 Gambar 17 menunjukkan bahwa produksi hasil tangkapan Kota Pekalongan dalam kurun waktu 10 tahun 1994 - 2003 mengalami penurunan dengan laju 5,95. Dari keempat jenis ikan yang potensial, ikan layang mengalami laju penurunan terbesar 10,20, diikuti ikan tongkol yang juga mengalami penurunan 3,04. Volume produksi ikan kembung dan lemuru meningkat masing-masing dengan laju 3,09 dan 3,68. Meskipun mengalami penurunan, ikan layang masih merupakan hasil tangkapan utama di Kota Pekalongan, yaitu 23 – 67 dari total tangkapan. Meskipun secara kuantitatif volume produksi mengalami penurunan, pada kurun waktu yang sama, nilai produksi perikanan laut Kota Pekalongan mengalami kenaikan 16,88. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan layang 21,17, diikuti ikan kembung 20,77, ikan lemuru 17,90 dan ikan tongkol 11,33. Peningkatan nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut terlihat dimulai pada tahun 1998 Gambar 18. Hal ini terkait dengan anjloknya nilai rupiah terhadap mata uang asing, yang terjadi pada saat krisis moneter pada tahun 1998. Krisis tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan harga-harga barang dan jasa, termasuk harga komoditas perikanan laut. - 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N il a i R p . 1 00 Layang Kembung Lemuru Tongkol Total Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 18. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 Perkembangan harga rataan ikan di Kota Pekalongan menunjukkan bahwa harga ikan layang per kilogram meningkat dari Rp 622,00 1994 menjadi Rp 1.958,00 pada awal krisis 1998 dan Rp 4.064,00 pada tahun 2003 Gambar 19. Laju peningkatan harga ikan layang adalah 31,35. Angka ini menunjukkan laju peningkatan harga ikan layang lebih besar dibanding harga ikan secara total sebesar 23,87. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dinyatakan bahwa kenaikan nyata dari nilai produksi terjadi bukan disebabkan karena peningkatan volume pelelangan, tetapi lebih diakibatkan karena meningkatnya nilai jual masing-masing ikan. Laju peningkatan nilai produksi sebanding dengan laju peningkatan harga komoditas perikanan yang dapat dilihat dari peningkatan harga ikan per satuan kilogram, yaitu ikan lemuru 25,63, kembung 24,86 dan tongkol 16,41. Pada tahun 2003, kontribusi nilai produksi ikan layang adalah Rp 51,9 M atau senilai 30,81 dari total nilai produksi Kota Pekalongan sebesar Rp 168,4 M. - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H ar g a ra taa n k o m o d it a s R p K g layang Kembung Lemuru Tongkol Total Sumber : Diskanlut Kota Pekalongan, 2004. Gambar 19 Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kota Pekalongan pada tahun 1994-2003 Dari sudut pandang nelayan, peningkatan harga ikan sangat diharapkan untuk menutupi ongkos perbekalan melaut dan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, di sisi lain peningkatan harga ini dikhawatirkan akan menjadi beban tersendiri bagi usaha pasca panen, yaitu terjadinya peningkatan ongkos produksi sehingga harga produk agroindustri menjadi kurang kompetitif di pasaran. Berdasarkan wawancara dengan nelayan diketahui bahwa waktu melaut kapal-kapal dengan alat tangkap pukat cincin umumnya berkisar 30 - 40 hari. Panjangnya masa melaut inilah yang mengakibatkan ongkos perbekalan sangat tinggi. Kondisi ini sulit dihindari akibat Laut Jawa telah mengalami over fishing, sehingga wilayah penangkapan meluas sampai ke perairan Selat Makasar dan Laut China Selatan. Namun demikian, hal ini memberikan keuntungan tersendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Widodo 2003 bahwa kondisi tersebut secara tidak langsung merupakan pola penangkapan dengan “regulasi penangkapan” secara alamiah. Dengan tiadanya aktivitas di Laut Jawa tatkala sebagian besar nelayan pukat cincin menangkap ikan di Laut Cina Selatan dan Selat Makasar, telah memberi peluang bagi sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa untuk melakukan semacam “recovery”. Dengan asumsi inilah pelagis kecil di Laut Jawa sepertinya berkesinambunga sustained selama lebih dari dua dekade. Kondisi ini cukup menguntungkan bagi perikanan rakyat, dimana nelayan yang hanya memiliki kapal kecil dan memiliki keterbatasan ongkos perbekalan masih dapat mencari tangkapan di Laut Jawa. Komoditas Potensial Kabupaten Pati. Hal yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh kinerja hasil tangkapan di Kabupaten Pati yang dalam periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan kecenderungan menurun, dengan laju 1,98. Total volume produksi Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 51.193 ton dengan nilai Rp 149,7 M Diskanlut Kabupaten Pati, 2004. Komoditas potensial bagi pengembangan produk agroindustri yang menjadi prioritas di Kabupaten Pati Kawasan Pengembangan IIKP II adalah ikan layang, kembung, manyung, selar, tembang dan lemuru. Ikan layang, kembung, selar, tembang dan lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil, sedangkan manyung merupakan jenis ikan demersal. Volume produksi ikan pelagis yang dilelang di Kabupaten Pati pada tahun 2003 sebesar 29.720 ton 58,06. Ikan layang merupakan hasil tangkapan utama Kabupaten Pati, yaitu 14 992 ton 29,28 pada tahun 2003, namun demikian selama kurun waktu 1994 – 2003 volume produksi terus mengalami penurunan dengan laju 5,53 Gambar 20 dan Lampiran 21. Komoditas potensial lain yang juga mengalami penurunan adalah ikan tembang 3,25 dan lemuru 0,70. Sedangkan volume produksi ikan kembung, manyung dan selar terjadi peningkatan sebesar 2,72, 27,54 dan 2,62. - 20,000 40,000 60,000 80,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e Ton Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 20. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Keberadaan jenis tangkapan yang hampir sama pada 2 dua wilayah KP I dan KP II yang terletak pada lokasi sejalur, yaitu Pantai Utara Jawa pantura diantaranya disebabkan oleh dominasi jenis alat tangkap yang sama, yaitu pukat cincin purseinemini purseine, serta lokasi penangkapan fishing ground yang hampir sama Laut Jawa, Laut China Selatan, Selat Karimata, Selat Makasar, dan Kepulauan Natuna. Sumber daya ikan pelagis Laut Jawa, yang merupakan fishing ground terdekat dengan wilayah sepanjang pantai utara jawa, terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai dan ikan pelagis neritik dan oseanik, seperti ikan lemuru, selar, kembung, tongkol dan layang. Kelompok jenis ikan layang Decapterus spp merupakan komponen utama di perairan ini Atmadja, et al., 2003. Atmadja, et al., 2003 menyatakan bahwa komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya adalah layang, bentong selar, kembung, sero lemuru dan juwi tembang. Keenam spesies tersebut memberi kontribusi lebih dari 90, dan kelompok jenis ikan layang menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari total hasil tangkapan. Volume produksi ikan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin Kabupaten Pati tahun 2002 adalah 40.264 ton 79,19 dengan nilai Rp 127,5 M 77,19. Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September – Februari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret – Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi 34 00 memasuki Laut Jawa melalui Selat Makasar dan Laur Flores, sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah 32 00 yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa Veen dan Wyrki di dalam Atmadja, et al., 2003. Kondisi ini menyebabkan kelompok ikan oseanik, khususnya ikan layang dan kembung cenderung bergerak ke arah timur mengikuti pergerakan massa air bersalinitas tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Atmadja, et al. 2003, bahwa pada musim peralihan dari musim timur dan musim barat September – November di perairan bagian timur Laut Jawa hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan volume produksi Kabupaten Pati, yang termasuk dalam wilayah bagian timur Laut Jawa, dimana puncak produksinya pada tahun 2003 terjadi pada bulan Agustus – November Gambar 21. 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 Januari M aret M ei Juli September November Bulan V o lu m e K g Sumber : Diskanlut Kabupaten Pati, 2004. Gambar 21. Produksi perikanan laut Kabupaten Pati tahun 2003 Ikan manyung yang merupakan jenis ikan demersal merupakan hasil tangkapan utama dari pancing longline. Jenis ikan lain yang umumnya tertangkap dengan alat tangkap pancing diantaranya adalah cucut, pari, kakap dan tongkol. Volume hasil tangkapan dengan alat tangkap pancing Kabupaten Pati pada tahun 2002 adalah 6.348 ton 12,47 dengan nilai produksi sebesar Rp. 32,6 M. Lokasi penangkapan nelayan Kabupaten Pati yang menggunakan alat tangkap pancing adalah Laut Jawa sekitar Pulau Bawean dan Kepulauan Masalembo, Selat Makasar dan Kepulauan Natuna. Dari sisi ekonomis nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati selama kurun waktu 1994 - 2003 mengalami kenaikan, yaitu 18,47. Laju kenaikan nilai ekonomis paling besar adalah ikan manyung 46,13, diikuti ikan kembung 30,95, lemuru 27,96, tembang 26,02, selar 23,21 dan layang 19,67. Peningkatan laju nilai ekonomis hasil tangkapan perikanan laut Kabupaten Pati secara mencolok juga terlihat dimulai pada tahun 1998 Gambar 22. - 4 0 ,0 0 0 ,0 0 0 8 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 2 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 6 0 ,0 0 0 ,0 0 0 2 0 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 T a h u n N il a i R p . 1 000 L a ya n g K e m b u n g M a n yu n g S e la r T e m b a n g L e m u ru T o ta l Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 22. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Laju kenaikan nilai produksi perikanan laut Kabupaten Pati tidak terlepas adanya peningkatan harga rataan ikan yang cukup nyata selama 10 tahun 1994 – 2003, yaitu 22,22. Laju kenaikan harga ikan terbesar adalah ikan tembang 33,19, diikuti oleh ikan layang 31,28, selar 25,34, lemuru 24,95, kembung 19,88 dan manyung 19,37 Gambar 23. - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H a rga ra ta an k o m od it a s R p K g Layang Kembung Manyung Selar Tembang Lemuru Total Sumber : Diskanlut Kab. Pati, 2004. Gambar 23. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Pati pada tahun 1994-2003 Berdasarkan grafik pada Gambar 23 terlihat bahwa ikan manyung memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibandingkan jenis ikan lainnya. Harga tertinggi ikan manyung terjadi pada tahun 2001, yaitu Rp. 5.942,00 per kilogram. Jenis ikan yang relatif memiliki nilai ekonomis rendah adalah ikan tembang dan lemuru. Komoditas Potensial Kabupaten Cilacap. Komoditas perikanan potensial di Kabupaten Cilacap dengan prioritas tinggi adalah ikan tuna, ikan cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas perikanan tersebut dipilih, karena pada seluruh kriteria pemilihan didapatkan nilai tinggi – sangat tinggi, artinya memiliki dukungan besar terhadap pengembangan agroindustri perikanan laut baik, dari sisi volume, kontinuitas, mutu, nilai ekonomis, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi pendaratan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap 2004, data produksi Kabupaten Cilacap pada tahun 2003 menunjukkan total persentase ikan tuna, cakalang dan udang sebesar 67.81 dari total produksi 7.671,7 ton, yaitu ikan tuna 669,7 ton 8,73, ikan cakalang 3.756,1 ton 48,96 dan udang 776,4 ton 10,12. Namun demikian, produktivitas hasil tangkapan Kabupaten Cilacap selama periode 1994 – 2003 mengalami pertumbuhan negatif 4,39. Penurunan produktivitas ini juga dialami oleh udang dengan laju 3 Gambar 24 dan Lampiran 22. - 5,000.0 10,000.0 15,000.0 20,000.0 25,000.0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun v o lu m e To n Tuna Cakalang Udang Total Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 24. Volume produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Data statistik ikan tuna sampai dengan tahun 2000 dijadikan satu data produksi dengan ikan cakalang. Mulai tahun 2001, data produksi ikan tuna dan cakalang dipisahkan. Selama tiga tahun, produktivitas ikan tuna mengalami penurunan cukup besar 40,17, dan produksi ikan cakalang mengalami peningkatan dengan laju 3,76. Puncak produksi perikanan laut Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, yaitu 23.149 ton. Meskipun puncak produksi di Kabupaten Cilacap terjadi pada tahun 1997, tetapi puncak nilai produksi terjadi pada tahun 1998 yang diakibatkan penurunan oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terlebih komoditas perikanan laut hasil tangkapan Kabupaten Cilacap merupakan komoditas ekspor. Secara umum nilai produksi Kabupaten Cilacap periode 1994 – 2003 meningkat dengan laju 11,87. Dari total nilai produksi Rp 37,8 M pada tahun 2003, 71,69 disumbangkan oleh ikan tuna, cakalang dan udang. Gambar 25 menunjukkan bahwa nilai ekonomis terbesar disumbangkan oleh udang, dengan laju pertumbuhan 21,99, kemudian diikuti oleh ikan cakalang 8,44. Seiring dengan penurunan volume produksi, nilai produksi ikan tuna selama 3 tahun 2001 – 2003 juga mengalami kemerosotan dengan laju 31,85. - 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N il a i R p . 10 Tuna Cakalang Udang Total Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 25. Nilai produksi komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Udang yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomis tinggi, harga rataannya selama periode tahun 1994 – 2003 menunjukkan laju kenaikan 23,70 dan secara nyata memperlihatkan nilai yang lebih besar dibandingkan kedua jenis komoditas lainnya Gambar 26. Namun demikian, grafik pada Gambar 26 tersebut menunjukkan harga yang fluktuatif dengan nilai harga tertinggi per kilogramnya pada tahun 1998 dan 2000. Fluktuasi ini terjadi karena komposisi jenis udang hasil tangkapan yang bervariasi. Mengacu data statistik provinsi, ada 6 jenis udang produksi Kabupaten Cilacap yang dihitung dalam satu data statistik ini, terdiri dari udang jerbung, dogol, tiger, lobster, barat dan krosok. Udang jerbung, tiger dan lobster memiliki kisaran harga Rp 50.000 – Rp 75.000,00. Harga udang dogol berkisar Rp 25.000 - Rp 30.000,00. Sedangkan harga udang barat dan krosok rataan kurang dari Rp 10.000,00. Harga udang selain ditentukan oleh jenis, juga dipengaruhi oleh ukuran dan mutu udang tersebut. Hal ini dikarenakan pada umumnya udang merupa- kan bahan baku industri yang produknya berupa udang beku untuk ekspor ke berbagai negara tujuan. Mutu udang menjadi faktor paling determinatif bagi bahan baku industri, diikuti oleh ukuran udang. Semakin segar dan semakin besar ukurannya, umumnya memiliki harga yang lebih tinggi. Grading dan sizing sangat selektif dilakukan dalam industri pembekuan udang, karena proses tersebut akan menentukan harga masing-masing kelompok udang. - 10,000 20,000 30,000 40,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H a rg a R a ta a n K o m o d it as R p . K g Tuna Cakalang Udang Total Sumber : Diskanlut Kab. Cilacap, 2004. Gambar 26. Harga rataan komoditas perikanan laut potensial Kabupaten Cilacap pada tahun 1994-2003 Grafik harga rataan ikan cakalang relatif landai dengan laju kenaikan 11.08. Kisaran harga ikan cakalang sejak tahun 1998 berkisar Rp 2.200 - Rp 3.400,00. Sedangkan harga ikan tuna selama 3 tahun meningkat dengan laju 15,26, dengan kisaran harga Rp 6.900 - Rp 9.200,00. Kabupaten Cilacap secara langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Samudera Hindia adalah salah satu Samudera terbesar di dunia, yang di dalamnya tersimpan kekayaan sumber daya ikan tuna yang besar. Sumber daya tersebut terdiri dari beberapa jenis, baik tuna besar madidihang, mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan, tongkol abu-abu dan cakalang, tuna kecil kawakawa, tongkol, lisong, tongkol gigi anjing, kenyar dan selengseng dan paruh panjang layaran, pedang, serta setuhuk hitam, biru dan loreng. Ikan tuna umumnya ditangkap dengan kapal tuna longline yang ukurannya bervariasi. Kapal tuna kecil yang berukuran kurang dari 10 GT umumnya beroperasi untuk menangkap tuna segar untuk diekspor. Oleh karena itu, tripnya tidak lama sekitar 10 hari Merta et al. 2003. Potensi sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia masih cukup besar dan armada kapal tuna longline yang beroperasi di perairan tersebut sebenarnya mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan tuna yang dilelang di Kabupaten Cilacap kemungkinan disebabkan oleh faktor tidak berkembangnya industri pasca panen tuna khususnya pembekuan. Ikan tuna yang didaratkan di Cilacap umumnya langsung dibawa ke Jakarta untuk proses pengolahan lanjutan. Penurunan produksi di Kabupaten Cilacap kemungkinan juga disebabkan pertimbangan efisiensi dan menjaga kesegaran ikan, sehingga pendaratan ikan bergeser ke Muara Baru Jakarta atau ke Benoa Bali. Hal ini dimungkinkan karena adanya persaingan dalam pelayanan proses pembongkaran ikan dengan wilayah lain, dimana kapal umumnya akan memilih TPI yang memberi pelayanan pembongkaran ikan secepatnya.

2. Pemilihan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut