Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut

C. Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut

Untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan agroindustri perikanan laut di masing-masing pusat pertumbuhan perlu dilakukan analisis finansial. Kriteria yang digunakan adalah Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net Benefit Cost Ratio Net BC, Pay Back Period PBP dan Break Even Point BEP. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu NPV 0, IRR 18, Net BC 1, PBP 10 th untuk usaha ikan asin dan ikan pindang atau PBP 20 th untuk usaha ikan kaleng. Sub Model untuk menghitung kelayakan finansial usaha agroindustri perikanan laut adalah Sub Model Kelayakan. Asumsi-asumsi untuk perhitungan kelayakan disajikan pada Tabel 20. Asumsi didasarkan pada data yang diperoleh melalui kuesioner seperti kebutuhan bahan baku, jumlah produksi, harga bahan baku, harga produk, target produksi dan pasar, serta kondisi umum yang berlaku seperti besar bunga bank, penyusutan dan pajak. Komoditas yang diperhitungkan merupakan campuran 2-4 komoditas potensial yang umumnya digunakan sebagai bahan baku oleh industri terkait. Asumsi umur proyek bagi kegiatan pengolahan ikan asin di Kota Pekalongan dan ikan pindang di Kabupaten Pati adalah 10 tahun, sedangkan pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah 20 tahun. Perbedaan ini disebabkan usaha pengalengan membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga membutuhkan waktu pengembalian lebih lama. Modal diperoleh dari dari pinjaman perbankan sebesar 65 dari total anggaran dan 35 sebagai modal sendiri Debt Equity RatioDER adalah 65 : 35. Total anggaran proyek meliputi modal investasi ditambah dengan modal kerja selama 1 bulan untuk usaha pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sedangkan usaha pengalengan ikan adalah modal investasi ditambah modal kerja selama 3 bulan. Bunga kredit masing- masing adalah 18th. Jangka waktu pengembalian kredit usaha ikan asin dan ikan pindang masing-masing adalah 2 tahun, sedangkan jangka pengembalian kredit industri pengalengan ikan selama 10 tahun. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada pungutan pajak usaha di industri pengolahan ikan asin dan ikan pindang, sehingga pajak hanya dihitung pada industri pengalengan ikan, yaitu 15th terhadap besarnya keuntungan usaha. Tabel 20. Asumsi kelayakan usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No Asumsi Ikan Asin Ikan Pindang Ikan Kaleng 1 Umur proyek tahun 10 10 20 2 Volume bahan baku tontahun 1.800 1.200 10.500 3 Rendemen 67 80 72 4 Jumlah hari kerja haribulan 25 25 25 5 Harga bahan baku Rpkg • Layang • Kembung • Lemuru • Cakalang • Tuna baby yellow fin • Tongkol Thunnus • Tuna Albacore 3.000 4.300 2.350 - - - 4.000 4.500 - - - - - - - 4.000 7.000 7.500 10.800 6 Harga jual produk RpKg • Layang • Kembung • Lemuru • Cakalang • Tuna baby yellow fin • Tongkol Thunnus • Tuna Albacore 5.500 7.250 4.200 - - - - 6.400 7.300 - - - - - - - 12.500 17.500 17.500 30.000 7 Debt Equity Ratio DER 65 : 35 65 : 35 65 : 35 8 Bunga bank tahun 18 18 18 9 Jangka pengembalian tahun 2 2 10 10 Pajak tahun - - 15 11 Produksi • Tahun I • Tahun II • Tahun III – XXX 70 85 100 70 85 100 70 85 100 Jumlah hari kerja masing-masing usaha adalah 25 hari kerja atau 300 haritahun. Kapasitas produksi selama tahun pertama diperhitungkan hanya akan tercapai 70, tahun kedua baru akan tercapai sebesar 85, setelah tahun ketiga kapasitas produksi akan tercapai 100. Berbagai kebutuhan permodalan untuk kegiatan usaha agroindustri disajikan pada Tabel 21. Jenis permodalan dibedakan menjadi dua, yaitu modal investasi dan modal usahakerja. Modal investasi meliputi biaya atas tanah dan bangunan, serta biaya bagi pembelian mesin dan peralatan. Di Kabupaten Pati, modal tanah dan bangunan tidak diperhitungkan, mengingat pengolah pindang telah dibuatkan suatu sentra pengolahan yang pemakaiannya dilakukan dengan cara sewa yang dikelola oleh KUD setempat. Modal usaha meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap didasarkan pada kebutuhan untuk menggaji karyawan, utilitas dan perkantoran, serta untuk menyewa lahan dan bangunan. Sedangkan biaya tidak tetap meliputi biaya pembelian bahan baku, bahan penunjang, upah buruh dan pemasarantransportasi. Rincian masing-masing pembiayaan dapat dilihat pada Lampiran 32, 33 dan 34. Tabel 21. Modal usaha produk unggulan agroindustri perikanan laut No Jenis permodalan Ikan Asin Ikan Pindang Ikan Kaleng A 1 2 Modal Investasi xRp 1000 Tanah bangunan Mesin peralatan 202.500 29.200 - 9.950 12.500.000,00 14.613.127,50 Jumlah A 231.700 9.950 27.113.127,50 B 1 a b c Modal Usaha x Rp 1000 Biaya Tetap Gaji karyawan Utilitas perkantoran Sewa lahan bangunan 58.500 2.400 - 93.000 1.800 1.500 617.500 960.000 - Jumlah B.1 60.900 96.300 1.577.500 2 a b c d Biaya Tidak Tetap Ikan Bahan penunjang Upah buruh Pemasaran 5.595.000 96.480 315.000 211.050 4.950.000 600.000 240.000 300.000 69.930.000 28.965.825 3.557.450 600.000 Jumlah B.2 6.217.530 6.090.000 103.053.275 Jumlah B 6.278.430 6.186.300 104.630.775 Untuk mengetahui terjadinya berbagai kemungkinan selama umur proyek, dibahas skenario terjadinya berbagai perubahan yang diperkirakan akan mempe- ngaruhi kelayakan usaha masing-masing produk unggulan agroindustri perikanan laut. Beberapa kajian yang diduga paling besar pengaruhnya, diantaranya penurunan jumlah bahan baku, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk. Penurunan jumlah produksi dan peningkatan harga bahan baku sangat mungkin terjadi diantaranya apabila potensi ikan menyusut, musim yang tidak baik atau peningkatan harga bahan bakar yang menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. Penurunan harga produk kemungkinan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar, khususnya pada produk hasil pengalengan ikan yang merupakan produk ekspor atau menurunnya daya beli masyarakat. Dalam analisis ini pengaruh tersebut diduga bersifat negatif yang membuat proyek menjadi tidak layak. 1. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Asin di Kota Pekalongan Komoditas yang umum diolah menjadi ikan asin adalah ikan layang, kembung dan lemuru. Dengan perencanaan produksi bagi industri ikan asin sebesar 1.800 tonth atau 6 tonhari, usaha ikan asin dinyatakan layak dengan NPV Rp 754.902.500; IRR 48,63; dan NetBC 1,95. BEP bagi agroindustri ikan asin tersebut tercapai pada volume produksi 1.126.968,61 kg atau pada harga rataan produk Rp 5.209,66. Periode pengembalian PBP seluruh modal investasi usaha agroindustri ikan asin adalah 3,76 tahun. Dalam setahun, kebutuhan bahan baku yang tersedia agar target produksi selama setahun terpenuhi adalah 1.800 ton. Jumlah tersebut setara dengan 6,71 dari total produksi ikan layang, kembung dan lemuru di Kota Pekalongan pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Hal ini juga ditunjang hasil tangkapan lain yang juga digunakan sebagai bahan baku industri ikan asin seperti ikan selar, tembang dan tongkol. Dari uji sensitivitas untuk menganalisis resiko kelayakan usaha agroindustri ikan asin terhadap perubahan nilai IRR terlihat bahwa agroindustri ikan asin masih dapat dikatakan layak bila penurunan volume produksi tidak melebihi 55,56, atau peningkatan harga bahan baku tidak melebihi 3,63 atau penurunan harga produk tidak melebihi 3,06 Gambar 31. -60 -50 -40 -30 -20 -10 10 Perubahan Vol Bhn Baku -55.56 -52.92 -45.73 -37.7 -28.81 -19.03 3.29 Hrg Bhn Baku 3.63 3.39 2.78 2.18 1.58 0.99 -0.15 Hrg Produk -3.06 -2.86 -2.35 -1.84 -1.34 -0.84 0.13 18 20 25 30 35 40 48.6 50 Gambar 31. Perubahan nilai IRR usaha ikan asin terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk 10 20 30 40 50 IRR Layang 26.22 32.05 28.71 Kembung 47.29 42.56 41.92 Lemuru 48.51 45.29 44.72 Vol Bhn Baku - 50 Hrg Bhn Baku + 3 Hrg Produk - 3 Gambar 32. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan asin Analisis sensitivitas juga dilakukan berdasarkan perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap IRR Gambar 32. Pengujian dilakukan pada batas rataan perubahan yang memungkinkan agroindustri ikan asin menjadi tidak layak, yaitu penurunan volume bahan baku 50, peningkatan harga bahan baku dan penurunan harga produk masing-masing 3. Gambar 32 memperlihatkan bahwa pada batas kelayakannya, ikan layang memiliki nilai IRR paling rendah, diikuti ikan kembung dan paling tinggi adalah nilai IRR ikan lemuru. Hal ini disebabkan bahan baku ikan layang merupakan bahan baku utama dalam agroindustri ini 67, sehingga perubahan pada ikan layang akan memberikan dampak paling besar terhadap nilai IRR, yang berarti nilai IRR menjadi lebih kecil. Pada tingkatan volume produksi yang sama antara ikan kembung dan lemuru, nilai IRR ikan kembung lebih kecil dari ikan lemuru dikarenakan tingkat keuntungan selisih harga jual produk terhadap harga bahan baku pengolahan ikan kembung lebih kecil dibanding ikan lemuru. 2. Analisis Kelayakan Finasial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Pindang di Kabupaten Pati Ikan layang dan kembung merupakan komoditas utama pada agroindustri pemindangan ikan. Dengan perencanaan produksi sebesar 1.200 tonth atau 4 tonhari, agroindustri ikan pindang dinyatakan layak dengan NPV Rp 470.048.022,88; IRR 48,63 dan Net BC 1,89. BEP agroindustri ikan pindang tercapai pada volume produksi 912.422,64 kg atau pada tingkat rataan harga produk Rp 6.296,67. Jangka waktu pengembalian modal usaha PBP pemindangan ikan adalah 4,10 tahun. Kebutuhan bahan baku bagi pemindangan dengan skala produksi 1.200 tonth tersebut setara dengan 6,50 dari total produksi ikan layang dan kembung di Kabupaten Pati pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan tingkat kecukupan berdasarkan ketersediaan bahan baku memadai untuk memasok kebutuhan industri selama proyek berlangsung. Jenis ikan lain yang sering digunakan sebagai bahan baku industri pemindangan ikan adalah ikan tongkol. Pada usaha ikan pindang, penurunan volume bahan baku masih bisa dikatakan layak kalau tidak lebih dari 55,34 dan peningkatan harga bahan baku hanya bisa dipertahankan kelayakannya tidak lebih dari 2,68, sedangkan penurunan harga produk dapat ditahan sampai 2,11 Gambar 33. -60 -50 -40 -30 -20 -10 10 Perubahan Vol Bhn Baku -55.34 -53.34 -47.7 -40.94 -32.79 -22.9 4.54 Hrg Bhn Baku 2.68 2.49 2.01 1.56 1.11 0.69 -0.1 Hrg Produk -2.11 -1.96 -1.59 -1.23 -0.88 -0.55 0.08 18 20 25 30 35 40 48.63 50 Gambar 33. Perubahan nilai IRR usaha ikan pindang terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk 10 20 30 40 50 IRR Layang 40.55 23.22 26.97 Kembung 37.89 38.43 39.91 Vol Bhn Baku - 50 Hrg Bhn Baku + 3 Hrg Produk - 2 Gambar 34. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan pindang Dari analisis sensitivitas terhadap perubahan volume bahan baku terlihat bahwa dampak lebih besar terhadap penurunan nilai IRR diakibatkan oleh berkurangnya 50 volume ikan kembung, artinya meskipun persentase volume ikan kembung lebih kecil tetapi karena marjin keuntungan per kilogramnya lebih besar akan memberi dampak yang lebih besar. Sebaliknya, peningkatan harga bahan baku sebesar 3 dan penurunan harga produk sebesar 2 menghasilkan nilai IRR ikan layang yang lebih besar dibanding nilai IRR ikan kembung Gambar 34. 3. Analisis Kelayakan Finansial dan Resiko Kelayakan Usaha Produk Unggulan Agroindustri Ikan Kaleng di Kabupaten Cilacap Bahan baku industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap yang diperhitungkan adalah ikan tuna Baby Yellow Fin, tuna Albacore, cakalang dan tongkol Thunnus. Melalui perencanaan produksi sebesar 10.500 tontahun atau 35 tonhari, industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap dinyatakan sebagai industri yang layak diusahakan dengan umur proyek 20 tahun. Keputusan kelayakan didasarkan pada nilai NPV sebesar Rp 51.445.416.951,24; IRR 45,16; dan Net BC 1,97 tahun. PBP dan BEP bagi proyek tersebut adalah 3,59 tahun dan 6.307.846,16 kgth + 21 tonhari atau Rp 15.018,68. Pada industri pengalengan, penurunan volume bahan baku sampai dengan 50,97 usaha masih layak diteruskan. Usaha juga masih dikatakan layak, apabila peningkatan harga bahan baku tidak lebih dari 19,51 atau penurunan harga produk sampai 10,40 Gambar 35. Analisis sensitivitas terhadap perubahan volume bahan baku menujukkan penurunan 50 volume ikan tuna Albacore berdampak paling besar terhadap penurunan nilai IRR diikuti ikan cakalang, tuna Baby Yellow Fin dan Thunnus Tongkol. Hal ini seiring dengan perubahan 2 peubah lain, yaitu peningkatan harga bahan baku 20 dan penurunan harga produk 10. -60 -40 -20 20 Vol Bhn Baku -50.97 -47.55 -38.74 -29.64 -20.16 -10.37 9.95 Hrg Bhn Baku 19.51 17.98 14.23 10.61 7.09 3.61 -3.34 Hrg Produk -10.36 -9.55 -7.58 -5.66 -3.79 -1.93 1.79 18 20 25 30 35 40 45.16 50 Gambar 35. Perubahan nilai IRR usaha ikan kaleng terhadap perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk 20 40 60 Cakalang 40.15 38.31 37.75 Baby Yellow Fin 41.68 39.15 39.96 Thunnus Tongkol 42.78 38.73 39.96 Albacore 31.08 35.88 36.23 Vol Bhn Baku - 50 Hrg Bhn Baku + 20 Hrg Produk - 10 Gambar 36. Perubahan volume bahan baku, harga bahan baku dan harga produk pada masing-masing jenis ikan terhadap nilai IRR usaha ikan kaleng Besarnya pengaruh ikan tuna Albacore disebabkan besarnya selisih harga produk dangan harga bahan baku yang disumbangkan oleh ikan tersebut dibanding ketiga jenis ikan lainnya. Pengaruh terbesar kedua adalah ikan cakalang, yang disebabkan ikan cakalang merupakan komoditas utama 40 industri pengalengan ikan tersebut, sehingga meskipun marginnya paling kecil dibanding ikan lainnya, tetapi karena dalam volume besar dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai IRR. Pada tahun 2003, total produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap hanya 4.425 ton. Dengan asumsi seluruh hasil produksi lokal masuk ke industri responden, jumlah tersebut hanya mampu memasok 42,15 kebutuhan bahan baku, sehingga diperlukan pasokan bahan baku dari luar Cilacap. Karena Kabupaten Cilacap merupakan produsen utama ikan tuna dan cakalang di Provinsi Jawa Tengah, maka bahan baku juga harus dipasok dari luar provinsi. Selama ini sebagian besar bahan baku diperoleh dari berbagai daerah, seperti Bitung, Kendari dan Bali. Produk yang dihasilkan lebih dari 90 diekspor ke Amerika Serikat. Jenis bahan baku industri responden mengikuti keinginan pembeli negara pengimpor. Untuk industri pengolahan modern seperti pengalengan ikan, investasi yang dibutuhkan sangat besar, sehingga berbagai faktor yang mempengaruhi keberlangsungan industri tersebut harus diperhitungkan secara cermat. Salah satu faktor yang sangat penting adalah ketersediaan bahan baku, dari segi volume, kontinuitas dan mutunya. Gambar 37 dan Lampiran 35 menunjukkan hasil peramalan antara produksi ikan kaleng oleh PT Juifa dan volume produksi ikan tuna dan cakalang di Kabupaten Cilacap. Peramalan pada Sub Model Kelayakan dan simulasi yang sesuai adalah dengan menggunakan metode Monte Carlo dengan Pola Distribusi Empiris. Dari simulasi tersebut terlihat bahwa volume produksi ikan kaleng sangat fluktuatif diatas ketersediaan bahan baku, yaitu dengan rataan produksi aktual 4.266.862 kgth, sedangkan hasil peramalan rataan volume produksi adalah 4.627.638 kgth. Volume bahan baku aktual, yaitu ikan tuna dancakalang sebagai bahan baku pengalengan yang dihasilkan di Cilacap adalah 3.619.411 kgth, sedangkan hasil ramalan adalah 3.847.316 kgth. Dengan memperhitungkan faktor rendemen 72, maka volume bahan baku yang dibutuhkan untuk keberlangsungan industri pengalengan ikan di Kabupaten Cilacap adalah 6.427.274 kgth. Ketersediaan bahan baku 3.847.316 kgth hanya memenuhi 59,86 dari total volume yang dibutuhkan. - 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 1994 1999 2004 2009 2014 2019 Tahun V o lu m e K g Bahan Baku Aktual Bahan Baku Peramalan Produksi Aktual Produksi Peramalan Gambar 37. Hasil peramalan volume bahan baku dan volume produksi ikan kaleng Mengingat pula bahwa kapasitas produksi terpasang industri pengalengan tersebut adalah 60 tonhari atau setara dengan 18.000 tonth, maka pemda Kabupaten Cilacap perlu mempertimbangkan berbagai cara untuk mampu menarik kapal penghasil ikan tuna dan cakalang agar bersedia mendaratkan hasil tangkapannya di Kabupaten Cilacap, diantaranya dengan kemudahan lelang atau insentif dalam bentuk pengurangan biaya lelang pada volume atau nilai tertentu. Apabila agroindustri ini mampu terus tumbuh dengan baik, diharapkan akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal, pengembangan usaha baru dan pendukungnya, serta peningkatan pendapatan daerah, baik dari sisi besarnya lelang atau dari pajak usaha agroindustri.

D. Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut