perairan Indonesia E13, maupun dalam upaya menjaga mutu komoditas hasil tangkapan melalui penerapan sistem kapal carrier, sehingga komoditas
perikanan laut tidak perlu terlalu lama berada di dalam kapal. Tercapainya harga ikan yang wajar bagi nelayan dan pengusaha agroindustri dapat menjaga
stabilitas kegiatan penangkapan, tingkat keuntungan yang wajar bagi usaha agroindustri dan harga produk yang tidak memberatkan konsumen.
Pada sektor II, terdapat sub elemen Pengembangan sistem insentif seperti perpajakan dan investasi E4, Menciptakan iklim kondusif untuk
dunia usaha E12, Pendidikan dan pelatihan SDM yang terlibat dalam kegiatan agroindustri E10 dan Promosi produk agroindustri E15
menunjukkan bahwa sub elemen tersebut mempunyai daya dorong yang lebih rendah dari sub elemen lain, serta aktivitas tersebut bersifat dependent atau
bergantung pada aktivitas lainnya.
F. Implementasi Pengembangan Sistem Agroindustri Perikanan Laut
Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Agar sumber daya alam
tersebut dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai
dengan kemampuan dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun
global. Pengelolaan wilayah yang bertumpu pada sumber daya lokal local based resources
diyakini mampu memberikan manfaat pembangunan agroindustri berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan perubahan situasional
yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang mempertimbangkan seluruh aspek holistic, berorientasi pada tujuan yang jelas cybernetics dan dapat
diaplikasikan effective Eriyatno, 1999. Produksi perikanan tangkap laut periode 2000-32003 mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 4,58 per tahun, yakni 4.521 juta ton pada tahun 2000 menjadi 4.728 juta ton pada tahun 2003. Berdasarkan data badan pangan
dunia FAO tahun 1994, disebutkan Indonesia menempati urutan ke 7 sebagai produsen perikannan dunia, setelah China, Peru, Jepang, Chile, USA dan India.
Sejak tahun 2002, dengan produksi 5,6 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen ikan terbesar ke-6 dunia, setelah China, Peru, India, Jepang dan
USA DKP, 2004
c
. Produksi perikanan tangkap yang besar tersebut tersebar di sepanjang pesisir pantai wilayah Indonesia yang panjangnya mencapai 81.000 km
dengan jenis komoditas perikanan yang juga sangat beragam. Berdasar kondisi inilah maka pengembangan sistem agroindustri perikanan laut membutuhkan
implementasi Sub Model Kawasan, yaitu dengan dibentuknya kawasan-kawasan pengembangan yang berbasis pada produksi perikanan laut. Tujuan pembentukan
kawasan pengembangan ini lebih bersifat fungsional administratif, seperti pola pembinaan teknologi yang menyesuaikan komoditas potensial, pola pembinaan
mutu, pola pembinaan manajerial usaha yang menggunakan prinsip usaha profesional tanpa meninggalkan sistem nilai sosial kemasyarakatan yang berlaku,
efektivitas penggunaan sarana prasarana, pengembangan riset dan membangun kemitraan dalam proses pemasaran di masing-masing kawasan pengembangan.
Implementasi Sub Model Pemilihan terhadap komoditas dan produk dalam satu kawasan pengembangan diperlukan agar pengembangan dapat difokuskan pada
komoditas potensialnya, sehingga dapat direncanakan jenis agroindustri yang tepat bagi komoditas tersebut dan menghasilkan produk unggulan yang bersifat
kompetitif dan strategis, artinya selain memberikan peningkatan nilai tambah added value, juga memberikan nilai manfaat benefit value sebesar-besarnya.
Implementasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa kemiripan produksi hasil perikanan laut di dua kawasan pengembangan
yang terhampar di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, juga memberikan kemiripan dalam usaha agroindustri yang dijalankan. Komoditas potensial di kedua kawasan
tersebut adalah ikan layang dan kembung, sedangkan jenis produk agroindustri yang diunggulkan adalah hasil olahan tradisional pengeringanpenggaraman di
kawasan bagian barat dan pemindangan di kawasan bagian timur. Komoditas potensial di kawasan yang terbentang di pantai selatan Pulau Jawa adalah tuna,
cakalang dan udang, sedangkan produk unggulannya dihasilkan menggunakan teknologi modern yang padat modal, yaitu industri pengalengan.
Hingga saat ini usaha pengolahan hasil tangkapan di laut masih didominasi oleh pengolahan tradisional seperti penggaramanpengeringan, pemindangan,
pengasapan dan fermentasi yang hampir mencapai 90 dari usaha pengolahan. Data nasional menyebutkan tercatat sebanyak 4.270 unit pengolahan tradisional
DKP, 2003. Apabila dilihat dari nilai manfaat, pengolahan tradisional merupakan upaya yang tepat untuk penyelamatan komoditas ikan yang ketika
didaratkan mutu komoditas telah mengalami banyak kemundurun. Hal ini dikarenakan pengolahan tradisional menggunakan teknologi dan peralatan
sederhana. Dari aspek keterbatasan permodalan, usaha ini juga dipandang tepat karena usaha ini tidak membutuhkan modal investasi yang besar, sehingga dapat
diusahakan oleh industri kecil dan rumah tangga yang merupakan usaha padat karya sehingga sekaligus memperluas peluang lapangan kerja. Dari sisi
konsumen domestik, tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini daya beli masyarakat terhadap produk hewani masih sangat terbatas. Total pengeluaran per
kapita untuk pangan kurang dari Rp 1 juta per tahun BPS, 2004, sehingga ikan asin, ikan pindang atau hasil olahan tradisional lain bisa dijadikan prioritas
alternatif sumber protein hewani. Usaha pengolahan tradisional umumnya merupakan usaha dengan skala kecil dengan tingkat keterampilan yang berasal
dari warisan atau turun menurun dari keluarga. Tanpa pembinaan pola manajerial dan adopsi teknologi untuk perbaikan mutu produk akan berdampak negatif dalam
upayanya untuk mengakses modal yang diperlukan untuk pengembangan usahanya. Disini diperlukan dukungan pemerintah yang dapat diwujudkan
diantaranya dalam bentuk program pelatihan, kemitraan, konsultasi dan advokasi. Hasil analisis kelayakan finansial pada setiap jenis produk agroindustri
menunjukkan bahwa baik usaha pengolahan tradisional maupun modern memberikan prospek kelayakan finansial. Hasil ini penting diketahui oleh
investor dan lembaga keuangan sebagai penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai bisnis dengan resiko tinggi.
Industri pengolahan modern memberi harapan besar bagi perolehan devisa negara. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat dua permasalahan besar
yang menghambat profil industri ini yaitu dari aspek produksi terhambat dengan ketersediaan bahan baku dan aspek pemasaran dimana preferensi pasar atau
konsumen global menuntut peningkatan kualitas dan ragam olahan.
Melalui analisis yang merupakan implementasi dari Sub Model Strategi teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan
agroindustri perikanan laut, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut. Implementasi
Sub Model Kelembagaan yang berfungsi dalam proses identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk merevitalisasi
agroindustri perikanan laut menunjukkan elemen kunci dari pelaku, kebutuhan program, kendala yang dihadapi, tolok ukur pencapaian tujuan dan aktivitas yang
diperlukan Gambar 49. Prioritas utama alternatif strategi pengembangan agroindustri perikanan
laut adalah memperkuat agroindustri yang ada, diikuti dengan optimalisasi industri penangkapan. Prioritas keputusan ini dapat dipahami bahwa strategi
pengembangan harus mampu merevitalisasi dan merestrukturisasi industri yang bergerak di bidang usaha pascapanen perikanan laut sehingga akan meningkatkan
daya saing produk yang dihasilkan. Daya saing produk perikanan laut dapat ditingkatkan melalui pengelolaan berbasis teknologi serta pengelolaan yang
menekankan pada efisiensi produksi, sehingga tuntutan mutu dan harga yang kompetitif dapat terpenuhi.
Penguatan agroindustri yang ada membutuhkan dukungan kesinambungan pasokan bahan baku yang berarti strategi optimalisasi industri penangkapan harus
berjalan dengan baik. Terdapat banyak kasus industri pengolahan modern tidak mampu meneruskan usahanya karena kesulitan bahan baku. Disinilah diperlukan
peran pemerintah pusat dan daerah yang menjadi elemen kunci pelaku pengembangan agroindustri perikanan laut untuk bertindak sebagai fasilitator dan
regulator dalam mengatasi kelangkaan bahan baku. Sejalan dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 24, opsi untuk mengatasi kelangkaan bahan
baku tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan seperti : 1. Penetapan peraturan dengan mengatur sejumlah quota tertentu yang
memprioritaskan agar ikan yang ditangkap di perairan Indonesia diproses pengolahannya di dalam negeri, sehingga ada pembatasan ijin ekspor ikan
dalam bentuk gelondongan.
Gambar 49. Elemen kunci yang mendukung strategi pengembangan agroindustri perikanan laut.
PENGEMBANGAN AGROINDUST RI PERIKANAN L AUT
Pelaku Pengembangan : • Pemerintah Daer ah
• Pemerintah Pusat • Nelayan
• Pelaku Usaha AIPL • Pelaku Usaha Alat Produksi
• Bakul Ikan • T enaga Ker j a AIPL
• Distr ibutor Produk AIPL • Konsumen
Kendala dalam Pengembangan : • Keterbatasan Modal
• Keterbatasan Sarana dan Prasarana • Kuantitas, Mutu dan Kontinuitas Bahan Baku
• Kestabilan Harga Bahan Baku • Akses Informasi T erhadap T eknologi
Pascapanen
Kebutuhan untuk Pelaksanaan Pr ogr am : • Jaminan Kesinambungan Bahan Baku
• Permodalan • SDM T erampil dan T erdidik
• Sar ana dan Pr asarana • Standar Mutu dan Keamanan Produk
• T eknologi T epat Guna • Pemasaran T erj amin
T olok Ukur untuk Pencapaian T ujuan Pengembangan :
• Penurunan Angka Kemiskinan Pengangguran • Peningkatan Volume Produksi
• Peningkatan Pendapatan Daerah • Peningkatan Pangsa Pasar Domestik
• Peningkatan Pangsa Pasar Ekspor T ujuan Pengembangan :
• Peningkatan Lapangan Kerj a • Peningkatan Kesempatan Berusaha
• Peningkatan Nilai T ambah • Peningkatan Pendapatan Daerah
• Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi • Peningkatan Konsumsi Ikan
Str ategi Pengembangan : • Memperkuat AIPL yang Ada
• Optimalisasi Industri Penangkapan • Menumbuhkan AIPL yang Baru
Aktivitas yang Dibutuhkan Guna Per encanaan T indakan dalam Pengembangan :
• Identifikasi Produk AIPL yang Layak Dikembangkan • Koordinasi antar Sektor yang T erlibat
• Perumusan Perda Pendukung • Kemudahan Akses Informasi dan T eknologi
• Pemenuhan Sarana dan Pr asana • Kemudahan Akses T erhadap Lembaga Permodalan
• Kej el asan Proses Perij inan • Pembinaan Cara Pengolahan yang Baik dan Higienis
• Pembinaan Manaj erial • Minimalisasi IUU Fishi ng
• Penerapan Sistem Kapal Car r ier • Mendorong T erciptanya Harga yang Waj ar antara Bahan Baku dan Produk
2. Pemberian insentif bagi industri penangkapan yang menjual ikannya di dalam negeri, misal dengan pengurangan pajak atau restribusi;
3. Penurunan tarif bea masuk bahan baku industri pengolahan modern juga perlu mendapat pertimbangan, khususnya bahan baku hasil tangkapan dan hasil
produksinya ditujukan untuk pasar ekspor. Berkembangnya usaha pengolahan dalam negeri ini akan memberikan mulplier effect yang sangat besar, seperti
penyerapan tenaga kerja dan terbukanya peluang usaha pendukung produksi, serta peningkatan pendapatan daerah dari pajak industri.
Disamping memiliki fleksibilitas, implementasi Model AGRIPAL pada penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan.
Sub Model Kawasan.
Sub Model Kawasan menggunakan metode Analisis Klaster Cluster Analysis dapat diaplikasikan untuk pemetaan
perwilayahan tertentu, baik berbasis jarak atau klasifikasi wilayah yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat diberikan
atau tidak diberikan bobot. Pada kajian ini keseluruhan penilaian terhadap masing-masing alternatif dan kriteria diserahkan kepada interpretasi pakar yang
dianggap kompeten dan memiliki kewenangan dalam menilai kondisi Jawa Tengah, yaitu BAPPEDA dan Diskanlut Jateng. Namun demikian, bilamana
diperlukan sub model ini dapat menggabungkan sekaligus pendapat pakar pada kriteria kualitatif dan nilaiskor pada kriteria yang memiliki data kuantitatif.
Sub Model Pemilihan. Sub Model Pemilihan menggunakan metode
Evaluasi Pilihan Bebas Independent Preference EvaluastionIPE dengan kaidah Fuzzy Group Decision Making
FGDM yang dirancang untuk menentukan prioritas alternatif berdasar kriteria yang telah ditetapkan. Model ini pada
prinsipnya dapat diaplikasikan untuk membuat prioritas alternatif komoditasproduk lebih dari 250 jenisaltenatif. Kriteria yang digunakan mampu
mengakomodasi lebih dari 250 kriteria untuk masing-masing alternatif. Namun demikian, untuk menghindari kejenuhan pakar dalam proses penilaian, dalam
kajian ini telah dilakukan seleksi awal terhadap komoditasalternatif, yaitu
sebanyak 18 jenis. Seleksi awal ini dilakukan berdasarkan data produksi dan hal lain yang didiskusikan dengan pakar.
Sub Model Kelayakan.
Sub Model Kelayakan ini mengintegrasikan berbagai operasi dalam penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, IRR, Net BC,
PBP dan BEP. Selain itu, sub model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang, analisis sensitivitas, optimasi peubah kritis dan
perencanaan produksi, sehingga operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan dapat dilakukan dengan cepat. Sub Model
ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dapat digunakan untuk menganalisis maksimal 4 jenis komoditasproduk, dengan struktur biaya yang telah ditentukan
pada program. Oleh karena itu, pengguna yang ingin melakukan input dengan jumlah komoditasproduk lebih dari 4 jenis atau ingin melakukan perubahan
dalam struktur pembiayaan, maka perlu melakukan penyesuaian dengan membuka tombol designer yang kewenangannya pada program ini ditujukan bagi pengguna
berkategori tertentu sebagaimana diatur dalam program.
Sub Model Strategi.
Sub Model Strategi dirancang dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process AHP. Pengguna dapat melakukan input
hirarki dan elemen, sehingga keseluruhannya berjumlah lebih dari 250 elemen. Hirarki yang terlalu panjang atau elemen yang terlalu banyak dapat menimbulkan
kejenuhan dalam proses penilaian. Untuk itu, diperlukan seleksi awal terhadap elemen-elemen penting di masing-masing hirarki yang dapat dilakukan melalui
grup diskusi atau metode OWA Operator.
Sub Model Kelembagaan.
Sub Model Kelembagaan dirancang dengan metode Intepretative Structural Modelling ISM dan digunakan untuk melakukan
identifikasi struktur elemen unsur dalam sistem. Penetapan elemen yang mengacu pada rumusan Saxena dalam Eriyatno 1999 meliputi 9 elemen, tetapi
pada penelitian ini hanya dikaji 5 elemen, yaitu pelakulembaga yang terlibat dalam pengembangan, kebutuhan dari program, kendala, tolok ukur untuk menilai
pencapaian tujuan dan aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan rasional dan kemudahan operasional dalam pengelolaan kelembagaan yang terkait dengan industrialisasi di sektor perikanan,
terutama pelaku usahainvestor dan pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan berusaha dan pengembangan wilayah.
Sistem Informasi Agroindustri Perikanan Laut Provinsi Jawa Tengah.
Pada bagian ini pengguna dapat memperoleh beberapa informasi mengenai gambaran umum Provinsi Jawa Tengah dan KabupatenKota yang
memiliki potensi perikanan laut, produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan dan KabupatenKota, kependudukan, sarana dan prasarana, serta data lain yang
terkait dengan agroindustri perikanan laut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL berbasis komputer membantu peningkatan efisiensi
mekanisme pengambilan keputusan, sehingga dapat dengan cepat mengantisipasi dinamika perubahan dan informasi. Model AGRIPAL mampu
mengakomodasi kebutuhan pengambil keputusan untuk membantu mengidentifikasi wilayahpermasalahan yang hendak dikelompokkan;
mengidentikasi dan membuat prioritasi komoditas, produk, strategi ataupun permasalahan lain yang hendak difokuskan; membantu dalam analisis
finansial beserta analisis resiko usaha yang dijalankan. 2. Berdasarkan potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki dan berbagai
kriteria terkait dalam pengelompokan wilayah, Provinsi Jawa Tengah dibagi menjadi tiga kawasan pengembangan, yaitu Kawasan Pengembangan I
meliputi Kabupaten Brebes, Pemalang, KabupatenKota Tegal dan Pekalongan, dengan Pusat Pertumbuhan Kota Pekalongan, Kawasan
Pengembangan II meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang dan Kota Semarang, dengan Pusat Pertumbuhan Kabupaten Pati dan Kawasan
Pengembangan III meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen, dengan Pusat Pertumbuhan Kabupaten Cilacap.
3. Komoditas potensial di Kota Pekalongan adalah ikan layang, lemuru dan kembung, Kabupaten Pati adalah ikan layang, kembung dan selar, serta
Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna, cakalang dan udang. 4. Produk unggulan agroindustri perikanan laut Kota Pekalongan adalah ikan
layang asin, Kabupaten Pati adalah ikan layang pindang, dan Kabupaten Cilacap adalah ikan tuna kaleng.
5. Berdasarkan analisis kelayakan finansial ketiga jenis agroindustri perikanan laut yang diunggulkan layak dikembangkan sesuai dengan kriteria kelayakan
finansial yang meliputi NPV, IRR, Net BC, PBP, dan BEP. Dari analisis sensitivitas didapatkan hasil bahwa usaha tersebut masih mampu menahan