Kewenangan Mendagri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Perda

Dari pasal di atas dapat dilihat bahwa ada 2 dua macam peraturan yang dibahas dalam pasal tersebut yakni, raperda provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Dalam hal ini penulis akan membahas raperda tentang APBD sesuai dengan pembatasan masalah skripsi ini, bahwa hanya membahas tentang perda saja, dan tidak membahas peraturan kepala daerah. Proses raperda tentang APBD untuk provinsi ini diawasi oleh Mendagri. Dalam ayat 1-2 dijelaskan bahwa Mendagri berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur tetapi belum ditetapkan oleh Gubernur, dimana Gubernur sebelum menetapkan raperda ini untuk disampaikan kepada mendagri untuk di evaluasi. Ini adalah bentuk pengawasan preventif yang dimiliki oleh Mendagri. Pengawasan preventif lainnya dalam pasal ini terdapat pada ayat 3-4 yakni, Mendagri mengevaluasi raperda apakah perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu apabila hasil evaluasi raperda ini sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka selanjutnya Gubernur berwenang untuk menetapkan raperda tersebut menjadi perda. Pengawasan preventif ini dilakukan sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku voordat een besluit of regeling in werking kan treden . 59 59 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet- 1, Yogyakarta: FH UII, Jurnal H ukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001 h.78 Akan tetapi apabila hasil evaluasi menyatakan raperda ini bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi tersebut. Sampai pada ayat 4 ini pengawasan yang dilakukan Mendagri adalah pengawasan preventif. Selanjutnya pada ayat 5 dijelaskan bahwa apabila Gubernur tidak melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi yang diberikan oleh Mendagri, namun Gubernur tetap menetapkan raperda tersebut menjadi sebuah perda, maka dalam pasal ini memberikan wewenang kepada Mendagri untuk membatalkan perda tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa Pasal 185 ayat 5 ini sangat jelas memberikan kepada Mendagri wewenang untuk melakukan pengawasan represif, dimana Mendagri berwenang untuk membatalkan perda yang sudah ditetapkan oleh Gubernur. Pengawasan represif ini sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Irawan Soejito sebelumnya bahwa pengawasan represif ini berwujud: a Mempertangguhkan berlakunya suatu peraturan daerah danatau keputusan kepala daerah, b Membatalkan suatu peraturan daerah danatau keputusan kepala daerah. 60 Pengawasan preventif dan pengawasan represif yang dimiliki oleh Mendagri menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini berlanjut pada pasal selanjutnya yakni, pasal 188 dan 189 disebutkan bahwa: 60 Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Cet-1, Jakarta: Bina Aksara, 1983 h. 51 Pasal 188 Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan, APBD menjadi Perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal. 187. Pasal 189 Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang. Dari kedua pasal tersebut dijelaskan perda tentang perubahan APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah menjelaskan bahwa Mendagripun mempunyai kewenangan pengawasan dan pembatalan terhadap peraturan daerah tersebut, dimana prosesnya sesuai dengan pasal 185, pasal 186 dan pasal 187 untuk perda tentang perubahan APBD, dan pasal 185 dan pasal 186 untuk perda tentang pajak, retribusi dan tata ruang daerah. Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewenangan mendagri terhadap pengawasan dan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pengawasan sebelum penetapan preventif 1. Pengawasan terhadap Raperda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat 1-4 2. Pengawasan terhadap Raperda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal 188 3. Pengawasan terhadap Raperda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang tertuang pada pasal 189 Pembatalan perda represif 1. Pembatalan perda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat 5 2. Pembatalan perda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal 188 3. Pembatalan perda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang tertuang pada pasal 189

B. Analisis Hubungan Kewenangan Mendagri dengan Peraturan Presiden Dalam

Pembatalan Perda Untuk pernyataan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki pernyataan yang sama dengan pasal 145 yang sebelumnya telah dibahas, yaitu “bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undang an yang lebih tinggi”. Namun alasan menggunakan ukuran tersebut adalah dalam rangka preventif. Namun kemudian bila mencermati ayat selanjutnya, pengawasan preventif memiliki kemampuan untuk berubah menjadi pengawasan represif, sehingga pasal tersebut memberikan dua bentuk kewenangan pengawasan sekaligus kepada Mendagri, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah ketentuan pada pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 itu bertentangan dengan ketentuan pada pasal 145 ayat 3 dan 7 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut: Ayat 3 Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Ayat 7 Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Ketentuan pada pasal 145 tersebut menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi keputusan pembatalannya melalui Peraturan Presiden. Lalu ditegaskan kembali pada ayat 7, bahwa pembatalan perda yang tidak diputuskan melalui Peraturan Presiden perda tersebut dinyatakan berlaku dan sah mejadi perda. Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa pembatalan perda pada pasal 145 tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan pada pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 dimana pembatalan perda tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari persamaan ketentuan ini jelas pembatalan suatu perda adalah karena bertentangan