Landasan Filosofis, Sosilogis, Yuridis dan Politis Peraturan Daerah

Setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai dalam kehidupan kenegaraan. Menurut Sooly Lubis, landasan filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan pemerintah ke dalam suatu rancangan atau draft peraturan negara. 19 Peraturan hukum peraturan perundang-undangan merupakan pembadanan dari norma hukumkaidah hukum dan merupakan sarana yang paling lengkap untuk mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum. Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norrma hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsep- konseppengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya. 20 Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis filosofis grondflag apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah Pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara. 19 M. Sooly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cet-1, Bandung: Mandar Maju, 1989 h. 7 20 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah , Cet-1, Jakarta: Kencana, 2010 h. 17 b. Landasan Sosiologis Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup the living law dalam masyarakat. 21 Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan peraturan daerah, yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan. 22 Sebagai contoh dibidang perikanan, salah satu instrument pengaturan adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan ini dibuatlah perda untuk menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan semestinya, demikian pula penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki oleh masyarakat. Karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan daerah tentang izin usaha perikanan. Peraturan daerah tersebut mengatur berbagai hal agar sumber daya perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan melalui pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menguntungkan 21 Rosyidi Ranggawidjaja, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2010 h. 21 22 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah , Cet-1,Jakarta: Kencana, 2010 h.25 masyarakat dan negara melalui usaha perikanan yang dalam ketentuannya juga mengatur mengenai pungutan retribusi izin usaha perikanan. Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka penyusunan suatu perundang-undangan maka tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya. c. Landasan yuridis Landasan yuridis atau landasan hukum yang menjadi landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, adalah peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan. Dari sini akan diketahui, apakah seorang pejabat atau badan mempunyai kewenangan membentuk peraturan itu atau apakah urusan yang diatur itu berada dibawah kewenangan mengatur badan itu, serta apakah materi muatan yang akan diatur menjadi kompetensi mengatur dari jenis peraturan yang akan dirancang. 23 Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukumdasar hukum untuk pembentukan suatu perundang-undangan. Landasan yuridis pada pembentukan perda yakni mengacu pada pasal 18 UUD NRI 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah 23 Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta: Perca, 2005 h. 64 untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya demi menjalankan otonomi dan tugas pembatuan. d. Landasan Politis Landasan politis adalah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi sebuah kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. 24 Landasan merupakan “ruh” yang mengarahkan kebijakan untuk memberi proteksi struktural dan kemasyarakatan guna mencegah kemungkinan kekacauan sistem pada kebijakan publik dan kegelisahan dalam masyarakat, baik dalam lingkup daerah maupun dalm lingkup nasional. 25 Hukum sebagai produk politik merupakan anggapan yang benar. Norma peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada haluan politik pemerintahan yang termuat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional Prolegnas maupun Program Legislasi Daerah Prolegda, dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal Propenas sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan 24 Jimly Asshiddiqie M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2012 h. 172 25 Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: Perca, 2005 h. 69-70 peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah

1. Fungsi Peraturan Daerah

Fungsi perda merupakan fungsi yang bersifat atribusi yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pasal 136, dan juga merupakan fungsi delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Fungsi perda adalah untuk menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun fungsi peraturan daerah ini, sebagai berikut: a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini adalah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. 26 26 Maria Farida Indrati Soeprapto Buku I. Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan , Cet-1, Yogyakarta: Kanisius, 2007 h. 232

2. Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan undang-undang, atau keputusan presiden, karena perda merupakan peraturan pelaksana undang-undang dan keputusan presiden. 27 Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian dalam pasal 138 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa materi muatan perda itu mengandung beberapa asas sebagai berikut: a. Pengayoman b. Kemanusiaan c. Kebangsaan d. Kekeluargaan e. Kenusantaraan f. Bineka tunggal ika g. Keadilan h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan i. Ketertiban dan kepastian hukum dan atau j. Keseimbangan, keselarasan dan keserasian 27 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 132