Latar Belakang Masalah Kewenangan Pemerintah Pusat Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global,
2
dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah selanjutnya disebut perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Subtansi
atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah
dan subtansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3
Perda ini jika dilihat dari muatannya memiliki fleksibilitas yang sangat sempit karena dilarang bertentangan dengan peraturan diatasnya yang bersifat nasional yang
sangat banyak jumlahnya. Dalam hal pembentukan perda, DPRD dan Gubernur atau
2
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
, Cet-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008 h. 37
3
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 h. 37
BupatiWalikota berhak memberikan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau BupatiWalikota.
Program penyusunan perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut Prolegda, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih
dalam penyiapan satu materi perda. Ada berbagai jenis perda yang ditetapkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupatenkota antara lain:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Tata Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah;
f. Perangkat Daerah;
g. Pemerintahan Desa;
h. Pengaturan umum lainnya
4
Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar
kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Disamping pemerintahan daerah merupakan subsistem dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan
negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
4
S. Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, Yogyakarta: Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol, 5 Nomor 2, 2007 h. 2
perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah daerah baik pada level provinsi maupun kabupatenkota, dan sudah banyak pula perda
yang telah dibatalkan, karena perda-perda tersebut dianggap bermasalah dan berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah serta juga
membebani masyarakat dan lingkungan.
5
Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan
berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah
dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan.
Mekanisme penyelesaian konflik peraturan ini dilakukan lewat pengujian peraturan perundang-undangan tersebut. Perda yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan umum danatau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikenal dua model kewenangan pengawasan, yaitu judicial review
oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah.
6
5
Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat
, Cet-1, Jakarta: HuMa, Seri Pengembangan Wacana, Nomor 1, 2002 h. 16
6
Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945
, Cet-1 Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007 h.76-77
Disini penulis akan membahas lebih banyak tentang model pengujian yang kedua yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan istilah
executive review . Dalam hal pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi perintah bahwa perda yang dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada pemerintah
paling lama 7 tujuh hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan perda, Pasal 136 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa : “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. ” Kemudian Pasal 145 ayat 2
menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
pemerintah. ” Ayat 3 menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat 1”.
Dalam hal ini, terdapat permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah adalah masalah bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum pembatalan perda
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan Peraturan Presiden. Namun
banyak dalam pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan KeputusanPeraturan
Menteri Dalam
Negeri selanjutnya
disebut KepmendagriPermendagri.
Dengan demikian,
pembatalan perda
melalui KepmendagriPermendagri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu
terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Kepmendagri sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal
145 ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya terdapat masalah lain dalam hal pembatalan perda ini yakni,
dalam pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 yang menyatakan bahwa perda tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah dibatalkan
oleh Menteri Dalam Negeri selanjutnya disebut Mendagri yang sekarang banyak menggunakan KepmendagriPermendagri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan
pasal sebelumnya, yakni pasal 145 ayat 3 yang memberikan wewenang pembatalan perda hanyalah dengan menggunakan Peraturan Presiden. Karena permasalahan yang
terdapat pada saat ini, penulis serius untuk mengkaji dan menganalisis terkait permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam permasalahan ini penulis lebih fokus meneliti pada kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan KepmendagriPermendagri dalam
pengawasan dan pembatalan peraturan-peraturan daerah tingkat provinsi dan kabupatenkota di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang
telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi ini dengan judul
“KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
”