Analisis Hubungan Kewenangan Mendagri dengan Peraturan Presiden Dalam

ketentuan pada pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 itu bertentangan dengan ketentuan pada pasal 145 ayat 3 dan 7 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut: Ayat 3 Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Ayat 7 Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Ketentuan pada pasal 145 tersebut menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi keputusan pembatalannya melalui Peraturan Presiden. Lalu ditegaskan kembali pada ayat 7, bahwa pembatalan perda yang tidak diputuskan melalui Peraturan Presiden perda tersebut dinyatakan berlaku dan sah mejadi perda. Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa pembatalan perda pada pasal 145 tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan pada pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 dimana pembatalan perda tersebut karena bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari persamaan ketentuan ini jelas pembatalan suatu perda adalah karena bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 61 Akan tetapi pada pasal 185 ayat 5, pasal 188 dan pasal 189 menjelaskan bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui KepmendagriPermendagri. Ini sangatlah bertentangan dengan pasal 145 ayat 7 yang seharusnya pembatalan perda tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden. Ditambah lagi bahwa pembatalan perda yang tanpa menggunakan Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku. Permasalahan mengenai pembatalan perda ini membuktikan bahwa pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini terdapat perbedaan dalam hal wewenang pembatalan perda. Menurut Nomensen Sinamo sebuah peraturan perundang-undangan haruslah mengandung asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat c. Kesesuaian antara jenis d. Dapat dilaksanakan e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan dan g. Keterbukaan 62 Dalam undang-undang ini, menurut penulis terjadi ketidaktaatan asas antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Dimana kejelasan bentuk produk hukum 61 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 h. 37 62 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Pustaka Mandiri, 2010 h. 102 mengenai pembatalan perda ini terjadi pertentangan antara Peraturan Presiden ataukah KepmendagriPermendagri yang memiliki kewenangan terhadap pembatalan tersebut. Kemudian perihal perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mengenai pengawasan perda tentang pajak dan retribusi daerah inipun dijelaskan pada pasal 157 sebagai berikut: 1 Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. 2 Rancangan Peraturan Daerah kabupatenkota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh BupatiWalikota dan DPRD kabupatenkota sebelum ditetapkan disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. 3 Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-undang ini, kepentingan umum, danatau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. 4 Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 2 untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. 5 Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat 4 berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. 6 Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dapat berupa persetujuan atau penolakan. 7 Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 6 disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh Gubernur kepada BupatiWalikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupatenkota dalam jangka waktu paling lambat 15 lima belas hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. 8 Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat 6 disampaikan dengan disertai alasan penolakan. 9 Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 6, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. 10 Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat 6, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur, bupatiwalikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupatenkota. Dari pasal 157 ayat 1-10 ini menjelaskan kewenangan pengawasan perda dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum ditetapkan oleh gubernur atau bupatiwalikota dengan kata lain pengawasan ini merupakan pengawasan preventif. Pengawasan preventif ini sesuai dengan pengawasan preventif perda tentang pajak dan retribusi daerah yang ada pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam pasal 189 menjelaskan bahwa proses pengawasan pajak dan retribusi daerah sama dengan proses pada pasal sebelumnya yaitu 185 dan 186. Akan tetapi, apabila diteliti kembali, disini terdapat kejanggalan pada pasal selanjutnya, yaitu pada pasal 158 ayat 1-9 bahwa: 1 Peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur atau bupatiwalikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 tujuh hari kerja setelah ditetapkan. 2 Dalam hal peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3 Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan paling lambat 20 dua puluh hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 4 Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. 5 Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 6 Paling lama 7 tujuh hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 5, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. 7 Jika provinsikabupatenkota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dengan alasan- alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 8 Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 7 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 9 Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 5, Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. Jika dilihat pada pasal 158 di atas menjelaskan bahwa pembatalan perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah diputuskan dengan menggunakan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan ketentuan pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang proses pengawasannya sesuai dengan pasal 185 dan pasal 186 yang menjelaskan bahwa pembatalan perda tersebut dilakukan oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui Kepmendagri. Tentu hal ini bertentangan dengan pasal 158 ayat 5 dan ayat 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang pembatalan perda haruslah diputuskan dengan Peraturan Presiden bukan KepmendagriPermendagri, ditambah lagi apabila pembatalan perda dilakukan tanpa Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku. Perbedaan wewenang dalam pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi ini terjadi kembali. Dimana pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 189 yang menyatakan pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 158 yang menyatakan pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden. Ini berarti terjadi ketidakselarasan antar undang-undang yang berbeda namun membahas muatan materi yang sama. Keberadaan pengawasan perda di atas serasa kurang lengkap bila tidak menyertakan ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat 4 menyebutkan bahwa: Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. Pasal 37 ayat 4 di atas ditulis bahwa pembatalan perda dilakukan dengan menggunakan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri. Artinya, ketentuan pada pasal ini selaras dengan ketentuan pada pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 158 ayat 5 Undang- undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjelaskan bahwa pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden. Kemudian Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam hal KeputusanPeraturan Menteri sebagai pertimbangan bahwa untuk hadirnya sebuah KeputusanPeraturan Menteri adalah apabila materi yang dianggap terlalu teknis dan bersifat sektoral, Presiden dapat pula memerintahkan Menteri yang terkait untuk mengaturnya atas nama pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri. 63 Sedangkan pengujian terhadap perda bukanlah materi yang dianggap terlalu teknis, karena subtansi atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah 64 demi menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kemudian yang menjadi pertimbangan adalah tidak dimungkinkannya apabila jenis perundang-undangan yang tegas disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibatalkan melalui peraturan perundang-undangan jenis lainnya yang tidak disebutkan dalam hierarki perundangan tersebut. Dimana keberadaan KeputusanPeraturan Menteri tidak ada 63 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 221 64 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 h. 37 dalam hierarki pasal tersebut, Keputusan Menteri hanya ada pada pasal selanjutnya yaitu pasal 8 ayat 1 yang tidak termasuk dalam hierarki. Dalam pertimbangan yang harus diingat bahwa Locale Wet atau perda dibuat guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz. 65 Apalagi dari segi pembuatannya, sudah semestinya kedudukan perda ini, baik tingkat provinsi ataupun kabupatenkota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti sama-sama merupakan produk hukum lembaga legislatif. 66 Maka dari itu, pembatalannya haruslah dengan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi.

C. Analisis Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Perda

Peraturan Presiden yang dibuat oleh presiden mengandung dua makna. pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri untuk melaksanakan undang-undang sehingga kedudukannya sederajat dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah. 67 Undang-undangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden berlaku secara nasional di seluruh wilayah 65 Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta: Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007 h. 66 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 h. 356-357 67 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik , Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008 h. 114 Indonesia. 68 Sedangkan perda pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu yang mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu posisi hierarki perda dibawah Peraturan Presiden. Peraturan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan pembatalan perda represif seperti yang disebutkan dalam pasal 145 ayat 3 bahwa: Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 enam puluh hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada pasal ini membuktikan bahwa pembatalan perda adalah menggunakan Peraturan Presiden. Dan selanjutnya diperkuat kembali dengan ayat 7 yang menyatakan bahwa perda yang dibatalkan tanpa melalui peraturan presiden dinyatakan menjadi perda yang sah berlaku. Hal ini selaras dengan pendapat Maria Farida yang menyatakan bahwa materi muatan suatu KeputusanPeraturan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah. 69 68 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik , Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008 h. 118 69 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan , Cet-1, Yogyakarta: Kanisius, 2007 h. 224