Model Pembelajaran Problem Posing

untuk mendesain suatu penemuan, 2 berpikir dan bertindak kreatif, 3 memecahkan masalah yang dihadapi secara realitas, 4 mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan, 5 menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan, 6 merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat, 7 dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja. Sedangan kelemahan model pembelajaran CPS yaitu: 1 beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut, 2 memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran untuk menerapkan metode ini. Sebagai contoh terbatasnya alat- alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya yang lain, 3 diperlukan kemauan siswa yang tinggi. Untuk siswa yang tidak menpunyai kemauan melakukannya cenderung malas untuk mencoba mengemukakan gagasan.

2.1.6 Model Pembelajaran Problem Posing

Astra 2012: 351 mengkaji bahwa model pembelajaran Problem Posing adalah model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui berlatih soal secara mandiri. Suryanto sebagaimana dikutip dalam Thobroni Mustofa 2011: 351 menyatakan bahwa Problem Posing merupakan perumusan soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah Problem Posing menempati posisi yang strategis, sebab dalam hal ini siswa dituntut menguasai materi dan urutan penyelesaian soal yang dibuat secara mendetail, sehingga dapat memperkaya pengetahuan siswa sebagai bekal dalam memecahkan masalah yang ditemuinya. Problem Posing berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswa melalui perumusan situasi yang menantang sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan yang diselesaikan dan berakibat pada peningkatan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Menurut Xia et al . 2008: 156, “Through observing and exploring mathematics situations, studens can find, pose and solve mathematical problems under the guidance of teachers ”, yang artinya melalui kegiatan eksplorasi kondisi matematika, siswa dapat menemukan, mengajukan, dan menyelesaikan masalah matematika dengan bimbingan guru. Menurut Southwell, sebagaimana dikutip oleh Lavy Shriki 2007, “Posing problems based on given problems could be a valuable strategy for developing problem solving abilities of mathematics PT ”. Artinya problem posing bisa menjadi strategi yang berharga untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah matematika. Berdasarkan kajian oleh Silver, sebagaimana dikutip oleh Lin 2004, “Problem-posing involves generating new problems and reformatting a given problems ”, bahwa model pembelajaran problem posing menghasilkan masalah baru dan memformat masalah yang diberikan. Suryanto mengartikan sebagaimana dikutip dalam Thobroni Mustofa 2011: 343 bahwa kata problem berarti masalah atau soal, sehingga pengajuan masalah dipandang sebagai suatu tindakan merumuskan masalah atau soal dari situasi yang diberikan. Sedangkan Silver dan Cai dalam Thobroni Mustofa 2011: 352 mencatat bahwa istilah menanyakan soal problem posing biasanya diaplikasikan pada tiga bentuk aktifitas kognitif yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Pre-solution Posing, yaitu siswa membuat pertanyaan berdasarkan situasi yang diadakan berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh guru. Contoh penerapannya, jika guru memberikan pernyataan sebagai berikut. “Vina ingin membuat sebuah kotak berbentuk balok dengan cara membuat jaring- jaring balok dari bahan mika transparan dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 9 cm.” Kemungkinan pertanyaan yang dibuat oleh siswa sebagai berikut. a Hitunglah luas permukaan balok yang dibuat Vina? b Hitunglah volum balok yang dibuat Vina? 2. Within Solution Posing, yaitu siswa memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan yang relevan dengan pertanyaan guru. Contoh penerapan dalam soal, jika guru memberikan pernyataan sebagai berikut. “Vina ingin membuat sebuah kotak berbentuk balok dengan cara membuat jaring- jaring balok dari bahan mika transparan dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 9 cm. Hitunglah luas permukaan kotak tersebut ” Kemungkinan pertanyaan yang dibuat oleh siswa sebagai berikut. a Apa yang akan dibuat oleh Vina? b Terbuat dari apa benda yang akan dibuat oleh Vina? c Berapa pasang kah persegi panjang yang memiliki ukuran sama besar? d Hitunglah luas sebuah persegi panjang terkecil pada kotak yang dibuat Vina e Hitunglah luas sebuah persegi panjang terbesar pada kotak yang dibuat Vina b Berapa banyaknya anak yang hanya mempunyai ponsel android? 3. Post-solution Posing, yaitu siswa membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat oleh guru. Jika guru memberikan pertanyaan sebagai berikut. “Vina ingin membuat sebuah kotak berbentuk balok dengan cara membuat jaring- jaring balok dari bahan mika transparan dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 9 cm. a Hitunglah luas permukaan kotak tersebut b Hitunglah volum kotak tersebut ” Kemungkinan pertanyaan yang dibuat oleh siswa sebagai berikut. Karena tidak ada tempat untuk menyimpan mainan, Edo membuat kotak berbentuk balok dari triplek dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 30 cm, dan tinggi 25 cm. a Hitunglah luas permukaan triplek yang dibutuhkan untuk membuat kotak mainan teresebut b Hitunglah volum kotak mainan tersebut Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model pembelajaran Problem Posing tipe Pre-solution Posing dan Post-solution Posing yang dilakukan secara kelompok. Pengajuan masalah secara kelompok merupakan salah satu cara untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Sebagaimana yang dikaji oleh Dimyati Mudjiono sebagaimana dikutip dalam Thobroni Mustofa 2011: 346 bahwa tujuan pembelajaran dengan cara berkelompok antara lain sebagai berikut. 1. Memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional. 2. Mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong royong dalam kehidupan. 3. Mendinamiskan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap anggota merasa diri sebagai bagian yang bertanggungjawab. 4. Mengembangkan kemampuan kepemimpinan pada setiap anggota kelompok dalam pemecahan masalah kelompok. Pengajuan masalah melalui kelompok dapat membantu siswa dalam memikirkan ide dengan jangkauan yang lebih jauh antara sesama anggota dalam suatu kelompok. Dengan demikian, penajuan masalah secara kelompok dapat menggali pengetahuan, alasan, serta pandangan antara satu suswa dengan siswa lain. Langkah-langkah model pembelajaran Problem Posing menurut Aurbech sebagaimana dikutip dalam Astra 2012: 137 yakni menguraikan isi, menggambarkan masalah, membuat masalah, mendiskusikan masalah, dan mendiskusikan alternatif pemecahan masalah. Berikutnya masing-masing langkah akan dijabarkan pada Tabel 2.3 di bawah ini. Tabel 2.3 Sintaks Model Pembelajaran Problem Posing Fase Peran Guru Fase 1 Menguraikan Isi Guru menjelaskan materi kepada siswa jika perlu untuk memperjelas konsep Fase 2 Menggambarkan masalah Guru memberikan contoh-contoh soal, memberi stimulus berupa sebuah gambaran, paparan dan lain-lain, kemudian siswa menggambarkan masalahmenjabarkan masalah yang diberikan dengan mengidentifikasi stimulus yang diberikan. Fase 3 Membuat masalah Guru memberi latihan kepada siswa yakni membuat soal dengan mengaitkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Fase 4 Mendiskusikan masalah Fase 5 Mendiskusikan alternatif pemecahan masalah Pada langkah ini, seorang guru menjadi fasilitator untuk memandu siswanya berdiskusi untuk memecahkan maalah. Fasilitator atau guru hanya memantau dan mengarahkan jalannya kegiatan belajar mengajar, tidak boleh ikut terlibat dalam pemecahan masalah. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan para siswa bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencari pemecahan masalah sendiri. Guru membahas tugas yang diberikan dan melatih siswa untuk mencari kemungkinan pertanyaan lain yang didapat dari stimulus yang diberikan. Thobroni Mustofa 2011:351 mengkaji penerapan model pembelajaran Problem Posing dapat dilakukan sebagai berikut. 1 Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. 2 Guru memberikan latihan soal secukupnya. 3 Guru membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen, tiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa. 4 Setiap kelompok diminta menyelesaikan soal pada lembar kerja kelompok. 5 Setiap kelompok diminta mengajukan soal yang menantang, dan kelompok yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Suatu masalah mengandung tantangan dan memerlukan tindakan dalam menanganinya jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan melalui prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. 6 Secara acak guru menyuruh perwakilan kelompok untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan kelompok secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan. 7 Guru bisa membubarkan kelompok yang dibentuk dan para siswa kembali ketempat duduknya masing-masing. 8 Guru memberikan tugas rumah secara individual. Layaknya model pembelajaran CPS, model pembelajaran Problem Posing pun mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut Thobroni Mustofa 2011: 349, kelebihan model pembelajaran Problem Posing antara lain sebagai berikut. 1. Mendidik siswa berpikir kritis, 2. Siswa aktif dalam pembelajaran, 3. Siswa belajar menganalisis suatu masalah, 4. Mendidik anak menjadi percaya diri. Sedangan kelemahannya antara lain sebagai berikut. 1. Memerlukan waktu yang cukup banyak, 2. Tidak bias digunakan di kelas-kelas rendah, 3. Tidak semua siswa terampil bertanya.

2.1.7 Model Pembelajaran Langsung Direct Instruction