Ketuntasan Klasikal dan Perbedaan Proporsi Ketuntasan Klasikal Perbedaan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

langkah-langkah pengerjaan soal seperti yang dicontohkan oleh guru. Sehingga siswa akan merasa kesulitan ketika menghadapi soal non rutin yang tidak secara langsung dapat diketahui cara penyelesaiannya, karena siswa kurang terbiasa menggunakan kreativitas dan pengetahuan yang didapat sebelumnya untuk diterapkan ke dalam situasi baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Secara keseluruhan rata-rata persentase keterampilan peneliti dalam menerapkan pembelajaran di kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 berdasarkan pengamatan dari guru matematika sudah sangat baik. Namun terdapat sedikit catatan dari pengamat, bahwa peneliti terkadang tidak menyampaikan motivasi di awal pembelajaran pada beberapa pertemuan. Hal ini terjadi karena kondisi jam pembelajaran yang terkurangi sehingga peneliti mencoba mengambil keputuskan untuk mempergunakan alokasi waktu yang sempit tersebut dengan efektif.

4.2.2 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Setelah diberikan perlakuan, kemampuan pemecahan masalah siswa sudah mulai terlihat ada peningkatan. Dapat dilihat dari cara mereka mengerjakan soal, sudah mulai menuliskan penyelesaiannya secara sistematis sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah Polya.

4.2.2.1 Ketuntasan Klasikal dan Perbedaan Proporsi Ketuntasan Klasikal

Berdasarkan hasil perhitungan ketuntasan klasikal, disimpulkan bahwa kelas yang diberi model pembelajaran Creative Problem Solving belum mencapai ketuntasan klasikal, sedangkan kelas yang diberi model pembelajaran Problem Posving belum mencapai ketuntasan klasikal. Berdasarkan hasil uji z, proporsi ketuntasan klasikal kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, ketuntasan klasikal kelas dengan model pembelajaran Problem Posing lebih tinggi dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, serta ketuntasan klasikal kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih rendah dari kelas dengan model pembelajaran Problem Posing.

4.2.2.2 Perbedaan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Berdasarkan hasil perhitungan ANAVA, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa antara kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving, Problem Posing, dan pembelajaran langsung Direct Instruction. Setelah diuji lanjut dengan uji LSD, diperoleh hasil bahwa kelas dengan model pembelajaran Problem Posing dan Direct Instruction terdapat perbedaan hasil tes yang signifikan. Sedangkan untuk pasangan kelas sampel dengan model pembelajaran CPS-DI dan CPS-PP tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil tes kemampuan pemecahan masalah. Untuk mengetahui lebih jauh kelas dengan model pembelajaran manakah yang memiliki rata-rata hasil tes lebih tinggi, dilakukan uji t satu pihak. Uji ini dilakukan secara berpasangan. Hasil perhitungan menyatakan bahwa rata-rata hasil tes kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, rata-rata hasil tes kelas dengan model pembelajaran Problem Posing lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction, dan rata-rata hasil tes kelas dengan model pembelajaran Creative Problem Solving kurang dari kelas dengan model pembelajaran Problem Posing. Sebagai pembanding untuk menentukan model pembelajaran manakah yang lebih baik, dapat dilihat dengan membandingkan rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan dua kelas sampel yang akan dibandingkan. 1. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa pada kelas dengan model pembelajaaran Creative Problem Solving lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Direct Instruction. 2. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa pada kelas dengan model pembelajaaran Problem Posing lebih dari kelas dengan model pembelajaran Direct Instruction. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Problem Posing lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Direct Instruction. 3. Rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah dan proporsi ketuntasan siswa pada kelas dengan model pembelajaaran Creative Problem Solving kurang dari kelas dengan model pembelajaran Problem Posing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving tidak lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Problem Posing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Posing paling baik diantara ketiga model pembelajaran tersebut dalam hal meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan model pembelajaran Problem Posing karena siswa dibiasakan untuk menyusun dan menguasai secara utuh soal beserta jawabannya, sehingga siswa cenderung lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model pembelajaran Creative Problem Solving dan Direct Instruction dalam menguasai seluruh aspek pemecahan masalah mulai dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menerapkan penyelesaian, dan meninjau kembali hasil pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner sebagaimana dikutip dalam Suyitno 2004: 37, bahwa belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Siswa harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci daripada hanya sekadar menerima penjelasan guru. Berbeda dengan siswa yang menerima model pembelajaran CPS maupun DI, mereka tidak dibiasakan untuk menguasai soal secara keseluruhan. Fokus siswa yang menerima model pembelajaran CPS dan DI hanya mengerjakan soal saja, tidak sampai pada cara menyusun soal lengkap dengan langkah penyelesaiannya. Faktor lain yang menjadi penyebab keberhasilan siswa pada kelas PP adalah rasa percaya diri siswa. Siswa sangat antusias dalam menampilkan soal temuannya yang menantang untuk dikerjakan temannya. Bahkan tidak sedikit siswa yang berebut giliran dan menjadikan sebagai ajang kompetisi untuk menyajikan soal temuannya dan mengerjakan soal yang dibuat oleh temannya. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Thobroni dan Mustofa 2011 bahwa salah satu keunggulan model pembelajaran Problem Posing adalah menumbuhkan rasa percaya diri siswa. Beberapa faktor yang menyebabkan kemampuan pemecahan siswa dengan model pembelajaran CPS dan PP lebih baik daripada siswa dengan model pembelajaran DI antara lain : 1 dalam penelitian ini intensitas mengerjakan soal pemecahan masalah pada kelas dengan model pembelajaran CPS dan PP lebih tinggi daripada pembelajaran di kelas DI. Hal ini sesuai dengan kajian oleh Thorndike pada hukum latihan, bahwa jika hubungan antara stimulus dan respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat. Dengan kata lain, banyaknya latihan soal pada kelas dengan pembelajaran CPS dan PP lebih efektif meningkatkan aspek kemampuan pemecahan masalah siswa. 2 Pelaksanaan pembelajaran di kelas CPS dan PP dengan pembentukan kelompok menunjang siswa satu sama lain dalam proses meyelesaikan masalah. Adanya interaksi antar siswa memunculkan berbagai gagasan untuk memecahkan suatu masalah. Kegiatan ini sejalan dengan kajian oleh Vygotsky pada hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan, di mana siswa dapat menemukan sendiri solusi dari permasalahan melalui bimbingan dari teman sebaya atau pakar. 3 Pengetahuan awal yang dimiliki siswa pada kelas dengan pembelajaran CPS dan PP benar-benar dimanfaatkan dengan baik untuk memecahkan masalah yang mereka temui. Kajian oleh Gagne mendukung kegiatan ini, sebab proses pemecahan masalahah perupakan proses belajar yang paling tinggi karena harus memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Berbeda dengan kegiatan pada kelas dengan model pembelajaran DI, siswa hanya menerima pengetahuan dari guru, sehingga pengetahuan yang siswa miliki sebelumnya tidak termanfaatkan dengan baik. Akan tetapi dari ketiga kelas sampel tersebut masih terdapat siswa yang belum tuntas pada tes kemampuan pemecahan masalah. Faktor-faktor yang menjadi penyebab ketidaktuntasan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Soal tes dan latihan bagi sebagian siswa masih dianggap terlalu sukar, terlebih oleh siswa di kelas kontrol. Karena siswa di kelas kontrol tidak terbiasa mengerjakan soal latihan dengan tingkat kesulitan yang sebanding dengan soal latihan di kelas eksperimen. 2. Komposisi kemampuan siswa pada saat pembentukan kelompok di kelas eksperimen tidak ideal, karena pada pelaksanaannya pengelompokan dilakukan secara acak. Sehingga muncul kemungkinan terbentuknya kelompok yang tidak seimbang anggotanya berkemampuan matematis rendah semua akan sedikit lambat dalam memahami materi. 3. Sikap siswa yang kurang serius saat mengikuti pembelajaran menyebabkan minimnya pengetahuan yang diperoleh, berdampak pada kemampuan pemecahan masalah yang lemah pada langkah merencanakan masalah. 146 BAB 5 PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai komparasi kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Magelang pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok antara pembelajaran dengan model Creative Problem Solving dan model Problem Posing, diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok yang menggunakan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving CPS belum mencapai ketuntasan klasikal. 2. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok yang menggunakan pembelajaran dengan model Problem Posing PP mencapai ketuntasan klasikal. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah submateri luas permukaan dan volum kubus dan balok pada kelas yang menggunakan pembelajaran dengan model Creative Problem Solving, Problem Posing, dan pembelajaran langsung Direct Instruction.