ketulusan hati, di sini bisa dikatakan bahwa ketulusan beribadah merupakan dasar utama penghayatan ibadah puasa. Siswa pun
menyadari akan tindakan yang baik akan memperoleh pahala yang banyak. Maka bisa dipahami bahwa pengetahuan siswa terhadap
ibadah puasa cukup baik, serta memberikan pengaruh positif terhadap motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Sebagian siswa tunanetra belum tumbuh penghayatan terhadap ibadat puasa. Adapun istilah
melimpahnya pahala di bulan ramadhan hanya sebatas pengetahuan siswa, namun belum tumbuh penghayatan akan hal tersebut. Kemudian
rasa lapar atau nikmatnya berpuasa secara fisik bukan merupakan dasar utama penghayatan dalam berpuasa. Serta banyaknya kegiatan positif
yang dilakukan siswa bukan cerminan dari tingginya penghayatan terhadap ibadah puasa yang dijalani. Maka nilai penghayatan yang
kurang tidak berpengaruh terhadap rendahnya intensitas peribadatan puasa siswa tunanetra. adapun siswa yang telah tumbuh nilai
penghayatan dalam berpuasa, dilatarbelakangi oleh dua hal yang mendasari penghayatan siswa, yaitu ketulusan beribadah merupakan
dasar utama penghayatan ibadah puasa siswa tunanetra. serta pengetahuan siswa akan peribadatan puasa yagn baik, memberikan
pengaruh positif terhadap motivasi puasa dan nilai penghayatan siswa.
4. Dimensi Konsekuensial Akhlak Siswa Tunanetra
a. Nilai Rasa Menerima dan Intensitas Syukur Siswa Tunanetra
Nilai Imaniah kepada Allah, bukan hanya sekedar berkenaan dengan intensitas dalam mengingat-Nya saja, melainkan terkait pula
dengan sikap kemanusiaan yang tercermin dalam keseharian. Seorang yang beriman kepada Allah akan menganggap bahwa Allah hadir
dalam setiap kehidupanya, oleh karena itu, kehidupan manusia baik dan buruknya akan selalu dikaitkan dengan Allah Swt. Dalam hal ini,
beriman kepada Allah terkait pula dengan beriman kepada Takdir Allah yang tercermin dari interaksi hamba melalui do’a yang
dilakukannya. Dalam menyadari akan takdir Allah, semua siswa tunanetra mengakui bahwa setiap kehidupan mereka baik dan
buruknya merupakan kehendak Allah Swt. Hal demikian menunjukan bahwa beriman kepada Allah akan berkaitan dengan beriman terhadap
Takdir Allah SWT. Sebagai sebuah bukti atas keyakinan terhadap takdir tersebut,
akan tercermin dari rasa menerima terhadap segala sesuatu yang dialami siswa dalam kehidupannya, terlepas dari baik dan buruknya
pengalaman atau peristiwa kehidupan tersebut. Pada siswa Tunanetra, rasa menerima tersebut ditanggapi atas dua hal, yaitu siswa yang
merasa dirinya menerima akan ketetapan Allah, dan Siswa yang merasa kurang dengan apa yang ditetapkan Allah. Seorang siswi
menuturkan bersyukur kepada Allah Swt, karena telah memberikan nikmat dan sebagai bentuk ekspresi syukur tersebut, siswi
mengucapkan hamdallah dan berdoa dengan bahasa sendiri disela rasa syukur tersebut
127
Seorang siswi tersebut telah menyadari akan pentingnya rasa syukur terhadap kondisi yang dialaminya. Siswi pun menyadari akan
ekspresi syukur dengan mengucapkan hamdalah serta melantunkan doa dengan bahasa sendiri. Dari uraian tersebut, sikap menerima siswa
tercermin bahwa siswa merasa bersyukur terhadap Allah karena merasa telah diberikan nikmat yang berlimpah, sehingga serta merta
mengungkapkan rasa syukur dengan berdoa dan hamdalah. Sikap tersebut, menggambarkan memang telah menyadari bahwa manusia
seharusnya bersyukur dan menerima segala hal dengan penuh kesadaran.
Adapula siswa yang mengaku ketika jengkel, siswa tidak bersyukur, namun tetap mengakui akan nikmat nafas, kesehatan, rizki,
dan makanan.
128
Hal demikian menunjukkan bahwa rasa menerima terhadap takdir Allah masih dipengaruhi oleh kondisi emosional yang
127
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
128
Hasil Wawancara dengan David, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
berdampak pada kurang menyadari akan kewajiban manusia dalam mensyukuri nikmat Allah. Di sini terlihat bahwa kondisi emosional
atau perasaan berpengaruh terhadap jiwa keberagamaan seorang remaja.
Dan siswa lainya menyatakan jarang bersyukur karena menurut siswa manusia selalu menginginkan lebih dan tidak merasa cukup
dngan apa yang dimilikinya. Siswa mengakui dirinya tidak bahagia, dan menyatakan jika bahagia maka siswa akan bersyukur, siswa pun
berpendapat bahwa manusia tidak luput dari kesalahan.
129
darinya menunjukkan bahwa sikap menerima siswa terhadap takdir Allah
dipengaruhi oleh sebuah anggapan bahwa manusia itu selalu merasa enggan untuk menerima pemberian yang telah ditetapkan Allah, serta
anggapan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Kedua fram tersebut merupakan unkapan yang sering terdengar di masyarakat,
yang membentuk pola pikir siswa dan berpengaruh pada jiwa keberagamaan. Hal demikian menunjukkan bahwa sikap menerima
siswa lebih di dasari oleh sebuah paradigma atas berbagai fram yang mempengaruhi cara pandang siswa sehingga berdampak pada
kurangnnya rasa syukur terhadap apa yang diberikan Allah SWT. Siswa pun terlihat lebih pragmatis dalam beragama, dalam arti siswa
akan merasa bersyukur jika batin siswa merasa bahagia. Jadi bisa disimpulkan bahwa sebagian siswa telah tumbuh
kesadaran akan besarnya nikmat yang telah dianugerahkan Allah, sehingga siswa bersyukur terhadap nikmat yang dirasakannya. Ada
pula siswa yang jarang bersyukur dengan didasari dua hal, yaitu kondisi perasaan dan emosional siswa. siswa akan bersyukur ketika
batinnya merasa senang, dan kondisi lingkungan atau adanya suatu anggapan tertentu di dalam masyarakat yang mempengaruhi pola fikir
siswa, sehingga berdampak pada kurangnya rasa menerima dan
129
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB, pada Hari Senin tanggal 4 April 2016.
mensyukuri nikmat Allah SWT. Di sini jiwa keberagamaan siswa lebih labil dan pragmatis dalam arti agama akan diterima jika ada kesesuaian
dengan kondisi kejiwaan siswa. Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa pada remaja telah
tumbuh kesadaran beragama, namun masih dipengaruhi oleh kondisi emosional dan perasaan serta berbagai paradigma umum yang turut
mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa. sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius
akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual.
130
b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra
Salah satu sasaran pendidikan agama pada SLB adalah untuk membentuk rasa percaya diri siswa melalui pembelajaran Tauhid.
Karena agama yang paling sesuai untuk disabilitas adalah agama Islam. Karena memberikan bimbingan bukan hanya di dunia
melainkan akhirat. Kemudian di dalam Islam Tidak ada marjinalisasi terhadap disabilitas, Sebagai bukti adanya Surat Abasa yang
memberikan teguran bagi Nabi. Ada tiga nilai pada surat abasa, yaitu bahwasannya seorang tunanetra
“disucikan”, dan disarankan untuk percaya diri, Kemudian Hal demikian menunjukkan sebuah himbauan
untuk adanya pendidikan luar biasa.
131
, maka dari itu, pada poin bagian ini penulis akan merangkai pembahasan d
o’a dengan nilai keimanan siswa.
Nilai beriman kepada takdir Allah adalah senantiasa menerima segala bentuk pemberian-Nya baik yang diharapkan maupun yang
130
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005, h. 75.
131
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,