Dimensi Konsekuensial Akhlak Siswa Tunanetra

mensyukuri nikmat Allah SWT. Di sini jiwa keberagamaan siswa lebih labil dan pragmatis dalam arti agama akan diterima jika ada kesesuaian dengan kondisi kejiwaan siswa. Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa pada remaja telah tumbuh kesadaran beragama, namun masih dipengaruhi oleh kondisi emosional dan perasaan serta berbagai paradigma umum yang turut mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa. sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. 130 b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra Salah satu sasaran pendidikan agama pada SLB adalah untuk membentuk rasa percaya diri siswa melalui pembelajaran Tauhid. Karena agama yang paling sesuai untuk disabilitas adalah agama Islam. Karena memberikan bimbingan bukan hanya di dunia melainkan akhirat. Kemudian di dalam Islam Tidak ada marjinalisasi terhadap disabilitas, Sebagai bukti adanya Surat Abasa yang memberikan teguran bagi Nabi. Ada tiga nilai pada surat abasa, yaitu bahwasannya seorang tunanetra “disucikan”, dan disarankan untuk percaya diri, Kemudian Hal demikian menunjukkan sebuah himbauan untuk adanya pendidikan luar biasa. 131 , maka dari itu, pada poin bagian ini penulis akan merangkai pembahasan d o’a dengan nilai keimanan siswa. Nilai beriman kepada takdir Allah adalah senantiasa menerima segala bentuk pemberian-Nya baik yang diharapkan maupun yang 130 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005, h. 75. 131 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, kurang diharapkan. Mengenai hal demikian, hampir seluruh siswa tunanetra mengakui bahwa mereka merasa minder dengan kondisi yang mereka alami. Siswa merasa iri dengan orang lain yang lebih sempurna daripada yang mereka alami. Hal demikian menunjukan ketunanetraan berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa. Seorang siswa mengakui bahwa dirinya merasa minder karena ada orang lain yang memberikan ejekan terhadap kondisi yang dialami siswa. lalu ada Siswa lain merasa minder walau tidak ada orang disekitarnya yang mencela, dan siswa lainnya merasa minder karena merasa takut ada orang yang mengejeknya. Namun ada siswa yang mengakui bahwa dirinya tidak merasa minder karena sekitar siswa tersebut dinilai baik dan tidak ada yang mempermasalahkan kondisi siswa. 132 Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu kondisi emosional siswa yang belum bisa menerima sepenuhnya terhadap ketunanetraaannya, serta kondisi lingkungan yang kurang baik menjadi faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri siswa, dan siswa yang kurang percaya diri karena khawatir akan ada yang memberikan tanggapan buruk terhadapnya menunjukan bahwa, persepsi negative siswa terhadap lingkungann siswa pun turut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri siswa. Sebagian kecil siswa merasa tidak minder dengan kondisi ketunanetraan yang dialami. Menurut salah seorang siswa, “kita makhluk sosial, karena kita hidup berpasang-pasangan bersama orang interaksi. 133 Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pemahaman siswa terhadap kepentingan sosial akan berpengaruh terhadap persepsi positif siswa akan lingkungannya. Dengan demikian siswa merasa tidak minder dan lebih memilih untuk melakukan tindakan interaktif sebagai makhluk yang dihadapkan pada realitas sosial. 132 Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB, 133 Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB, Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Sebagian besar siswa tunanetra merasa minder dengan ketunanetraan yang mereka alami. Hal demikian dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, rasa penerimaan yang kurang terhadap ketunanetraan yang dialami, kondisi lingkungan yang memberikan tanggapan buruk terhadap ketunanetraan siswa, dan persepsi negatif siswa terhadap lingkungannya turut mempengaruhi kepercayaan diri siswa. adapun sebagian kecil siswa yang tidak minder dipengaruhi pemahaman siswa akan pentingnya interaksi sosial, yang menumbuhkan persepsi positif siswa terhadap lingkungannnya. c. Nilai Solidaritas Sosial Siswa Tunanetra Nilai utama Puasa dan zakat adalah timbulnya keperdulian kepadasesama, Pada siswa tunanetra. Dari hasil wawancara, semua siswa tunanetra menyampaikan bahwa mereka pernah menolong, dan yagn palng umum siswa memberikan pertolongan tidak jauh dari kemampuan atau kondisi kesanggupan siswa. semisal berupa membantu untuk menuntun atau menyebrang tunanetra lainnya yaitu sisswa tunanetra tidak total membantu tunanetra total. Ataupun dengan memberi pinjam alat tulis khusus tunanetra yaitu riglet. Artinya tolong-menolong pada konteks siswa tunanetra adalah tidak terlepas dari kondisi atau kapasitas kemampuan siswa. Seorang siswi menyatakan, “harus saling tolong-menolong dan menolong orang dapat pahala ”. 134 Di sini terlihat dua alasan siswi, yaitu keharusan akan tolong-menolong, menunjukkan ada kesadaran kemanusiaan yang menarik siswa untuk memberikan pertolongan terhadap sesama. Kemudian hasrat ingin mendapatkan pahala, menunjukkan tindakan menolong siswa dilandasi hasrat keberagamaan. Seorang Siswa mengemukakan sebuah hadis, “barang siapa yang menghilangkan kesusahan orang satu kesusahan di bumi, 134 Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB, maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan di hari kiamat. 135 Dari uraian tersebut bisa terlihat dasar pengetahuan ajaran isalm yang kental pada siswa. di sini menunjukkan bahwa tolong-menolong siswa telah didasari oleh nilai keagamaan. Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa, semua siswa memiliki rasa keperdulian terhadap sesama, terutama dengan sesama siswa tunanetra atau satu kondisi. Dan yang mendasari hal demikian atas dua alasan yaitu, dasar kemanusiaan. seorang siswa menolong sesama didasari atas kepedulian sosial. Kemudian dasar agama. Yaitu siswa menolong sesama didasari oleh adanya ganjaran yang baik atas perbuatan yang telah dilakukannya. d. Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra Nilai lain muamalah bagi siswa adalah mengenai cara berpakaian siswa. dalam hal ini seorang muslim hendaknya mengetahui batasan aurat dan cara berpakaian yang bisa menjaga aurat tersebut. Pada hasil wawancara 136 seluruh sisswa umumya mengetahui bahwa seorang muslim harus menutup aurat. Namun mengenai batasan aurat tersebut, tidak seluruh siswa mengetahui, umumnya siswa hanya mengeatahui batasan aurat perempuan, sedangkan mengenai batasan aurat laki-laki kurang begitu mengetahui secara utuh. Adapun secara peraktis, nilai estetika siswi bisa terlihat dari jumlah siswi yang memakai jilbab atau memakai pakaian tertutup. Adapun nilai estetika siswi tidak ada yang harus dipermasalahkan. Dari pengamatan penulis 137 semua siswi SMP dan SMA, tidak ada yang memakai jilbab. Penulis hanya mendapati siswi yang memakai jilbab hanya seorang dan kurang begitu mengingat apakah ada lagi siswi SD lain yang memakai jilbab. hal demikian menunjukkan tingkat permasalahan ketaatan siswi dalam menutup aurat yang tinggi. Seorang siswi menuturkan bahwa belum siap menutup aurat, 135 Hasil Wawancara dengan Alfathulloh, Siswa Kelas VIIII SMP-LB, 136 Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, Pada Tanggal, 1-21 April 2016. 137 Hasil Catatan Lapangan, dari bulan September-bulan desember 2015. dan siswi akan menutup aurat ketika sudah masuk jenjang SMA. Siswi menyadari akan dosa, dan ibu dari siswi tersebut menutup aurat. 138 Di sini kita bisa memahami bahwa seorang siswi sudah menyadari akan kesalahannya namun belum memahami akan kewajibannya dalam menutup aurat. Siswi lain menyatakan bahwa menutup aurat merupakan cara berpakaian yang sepantasnya, sedangkan orang tua sudah mengajarkan dan menghimbau untuk mamakai jilbab. Siswi beralasan belum siap dan berkeyakinan jika berlum siap akan mendapatkan dosa pula, dan ia menyatakan aka nada waktunya untuk berjilbab. 139 Siswi telah mengetahui akan manfaat dan nilai dari pada menutup aurat, dan tentu belum bisa menyadari akan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan. Namun ada cara pandang yang perlu diluruskan, bahwa siswi berpendapat akan mendapat dosa jika memakai jilbab dengan setengah hati. Pendapat demikian tentu sulit dicari dasarnya, dan bisa dikatakan bahwa siswi memiliki cara pandang yang salah dalam jilbab. Adapun orang tua yang sudah mengajarkan dan menghimbau untuk memakai jilbab, menunjukkan siswi bukan hanya tidak patuh terhadap menutup aurat, malainkan juga kurang mematuhi nasihat orang tua. Di sini, yang menjadi masalah bukan pendidikan keluarga, sikap siswi yang belum bisa memahami akan pentingnya menutup aurat dan mematuhi nasihat orang tua. Siswi lain mengemukakan bahwa dirinya lupa akan batasan aurat, dan tidak memakai . Kakak siswi pun tidak memakai kerudung. 140 Dengan mengakui siswi tidak begitu mengetahui akan batasan aurat, tentu kita perlu meninjau secara seksama. Siswi tidak menggunakan jilbab dan menuturkan kakak siswi pun tidak memakai jilbab. Di sini seorang siswi tinggal bersama kakaknya, yang tidak 138 Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB, 139 Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB, 140 Hasil Wawancara dengan Tiwi, Siswi Kelas XI SMA-LB, memakai jilbab. Bisa kita pahami bahwa lingkungan keluarga siswi bukan termasuk dalam lingkungan yang mendukung akan menutup aurat. Hal demikian linear dengan pengetahuan siswi yang minim tentang batasan aurat. Maka bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga yang kurang mendukung akan jilbab, turut bepengaruh terhadap ketaatan siswi terhadap menutup aurat. Mengacu pada penuturan salah satu guru agama, bahwa sekolah tidak memiliki peraturan untuk mewajibkan untuk menutup aurat. Gurunya menegaskan bahwa hal dimikian merupakan urusan masing-masing, dan Guru pun menambahkan perlu ada kerajasama dengan orang tua, karena jangankan siswi yang memakai jlbab, orang tua nya pun belum bisa memberi contoh untuk memakai jilbab. 141 Di sini bisa terlihat bahwa sekolah yang negeri yang bukan secara khusus sebagai sekolah Islam, tidak bisa memberikan pengaruh secara langusung secara langsung terhadap menanamkan ketaatan siswi dalam menutup aurat. Hanya saja, pada catatan penulis, ditemui siswi yang memakai jilbab pada hari jum’at karena ada kegiatan keagamaan. Hal demikian menunjukkan siswi hanya memakai jilbab pada momen tertentu terkait kegiatan keagamaan sekolah. artinya, sekolah hanya mendidik secara simbolik tanpa memberian penanaman secara praktik. Jadi penulis bisa menyimpullkan bahwa SLB A Pembina Tingkat Nasional tidak bisa memberikan pengaruh langsung dalam membentuk ketaatan siswa untuk menutup aurat, melainkan lingkungan keluarga yang dinilai bisa memberikan pengaruh terhadap ketaatan dalam menutup aurat. Adapun semua siswa tunanetra menyadari akan kewajiban untuk menutup aurat, namun secara kongnitif, umumnya siswa tidak mengetahui batasan rinci tentang menutup aurat. Dan semua siswi SMP-LB dan SMA-LB, tidak 141 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Pada Tanggal 27 April, 2016. menutup aurat dengan beberapa faktor yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai menutup aurat, kurangnya ketaatan siswa terhadap nasihat orang tua untuk menutup aurat, dan lingkungan keluarga yang kurang “mendukung” jilbab. e. Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis Selain menutup aurat, seorang muslimpun dituntut untuk menjagabatasan antara lai-laki dan perempuan. Dari hasil wawancara 142 seluruh informan menyatakan bahwa menjaga batasan merupakan sebuah kewajiban bahkan siswa mengetahui bahwa hukum dasar bersentuhan antara lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram. Namun secara peraktis, ada beberapa informan yang secara kognitif mengetahui akan batasan namun secara praktis siswa melanggarnya. Seorang siswa menyatakan bahwa pernah melakukan pegangan tangan dengan bukan muhrim saat berjalan dengan pacarnya. Siswa menyadari akan larangan agama, namun siswa memandang bahwa pada remaja memegang tangan saja dianggap tidak bermasalah. Siswa lain menuturkan, bahwa dirinya tidak pernah bepegangan tangan karena tidak pernah memiliki teman dekat perempuan, siswa berujar, bahwa seandainya memiliki teman dekat perempuan pun akan melakukan hal yang sama. 143 Dari penuturan di atas, bisa kita lihat ada dua sudut pandang siswa yang menjadi catatan, yaitu siswa memahami bahwa berpegangan tangan pada remaja merupakan sebuah kondisi yang biasa. Penuturan tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejiwaan remaja bisa merubah mempengaruhi cara remaja terhadap agamanya, sehingga cenderung menghindari akan realitas peraturan agama. Kemudian alasan siswa berpegangan dengan remaja, menunjukkan bahwa tindakan berpacaran bukan hanya dilakukan oleh siswa umum 142 Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April 2016. 143 Hasil Wawancara dengan nurul hakim dan ahmad ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB, saja, melainkan siswa tunanetra melakukan hal yagn sama. artian dari sisi perkembangan seksual remaja, tidak ada perbedaan antar siswa umum dengan siswa tunanetra. Jadi bisa dipahami bahwa Bukan hanya perkembangan pikiran saja, perkembangan perasaan pun turut mempengaruhi jiwa keagamaan remaja. Sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. 144 Penulis bisa menyimpulkan bahwa semua siswa tunanetra mengetahui kewajiban dalam menjaga batasan dengan lawan jenis. Dan secara praktis umumnya siswa menyampaikan bahwa mereka menjaga batasan dengan lawan jenis, adapun siswa yang tidak bisa menjaga interaksi lawan jenis dipengaruhi oleh kondisi perkembangan seksual yang lebih besar dari pada kesadaran keagamaan, serta pengaruh paradigama remaja yang kurang baik turut mempengaruhi cara pandang siswa terhadap ketaatan keagamaan yang diketahuinya. Dan yang penting pula, bahwa perkembangan seksual siswa tunanetra tidak berbeda dengan siswa pada umumnya. f. Nilai Menjaga Lingkungan Tadabur merupakan kegiatan tambahan yang sifatnya kondisional. Acara tersebut yang diadakan menjelang liburan dan bertujuan untuk membina pemahaman siswa tunanetra akan kehidupannya, menunjukkan ada sebuah usaha penanaman akan kualitas kepribadian dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya itu, adanya pembelajaran yang terkait menanam menunjukan bahwa siswa tunanetra telah mendapat pembinaan akan kesadaran terhadap 144 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005, h. 75. lingkungan alam sekitar. Dan sinkronisasi antara tadabur dengan pembelajaran menanam pohon adalah adanya sebuah kepekaan akan kehidupan termasuk di dalamnya kepekaan terhadap lingkungan alam. Dari hasil wawancara 145 bisa dikatakan seluruh siswa memiliki jawaban yang hampir sama. siswa akan tanggungjawab untuk menjaga lingkungan baik dengan cara menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya dan lain sebagainya. Siswa pun menyadari ketika alam tidak dijaga akan terjadi berbagai bencana alam semisal longsor, banjir. Umumnya pendapat siswa, untuk menjaga lingkungan dengan cara membersihkan dan menjaga lingkungann dengan tidak membuang sampah sembarangan. Mengenai kebersihan dan melarang buang sampah sembarangan, secara umum siswa mengakui bahwa mereka melakukan tindakan tersebut baik sering maupun jarang. Seorang siswa menyebutkan, bahwa terpaksa membuang sampah sembarangan karena sukar menemukan tempat sampah. Siswa pun mengakui bahwa di rumah siswa suka bersih-bersih berupa mengepel, beres-beres tempat tidur. Siswa menuturkan bahwa kebisaaan tersebut untuk membangun kesadaran dan disiplin di masa depan pada saat berumah tangga. 146 Kita bisa mengetahui bahwa pada dasarnya siswa telah menyadari akan sebuah kebersihan dan kedisiplinan. Bahkan siswa sudah bisa berpikir visioner dengan memperhatikan perilaku yang semestinya di bangun dalam hal kebersihan dan kedisiplinan. Namun dengan kesadaran tersebut, belum bisa membentuk sebuah kebijaksanaan untuk bisa membuang sampah pada tempatnya, ketika tidak menemukan tempat sampah. Disini, bisa terlihat bahwa siswa telah tumbuh kesadaran akan sebuah kedisiplinan, namun belum tumbuh sebuah kebijaksanaan ketika dihadapkan dengan sesuatu hal yang memaksa siswa untuk membuang sampah sembarangan. 145 Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21 April 2016. 146 Hasil Wawancara dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB, Seorang siswa menyatakan bahwa siswa jarang bersih-bersih di rumah karena malas. siswa menyampaikan bahwa di rumah tidak membuang sampah sembarangan karena ada tempat sampah, dan di luar rumah siswa mengaku tidak membuang sampah pada tempatnya. 147 Disini bisa disimpulkan bahwa siswa membuang sampah bukan karena sadar akan kebersihan, melainkan karena kondisi yang membuat siswa terbisa membuang sampah pada tempatnya. Seorang siswa, menyatakan bahwa dirinya jarang buang sampah sembarangan Karena dapat merusak lingkungan. Siswa mengakui bahwa dirinya suka melakukan kebersihan di rumah, semisal mengepel, menyapu, dan membersihkan meja dari debu. Siswa megakui bahwa itu adalh kesadaran sendiri. 148 Siswa terlihat telah menyadari akan pentingnya kebersihan. Dari kesadaran tersebut, maka dengan sendirinya siswa akan sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Jadi bisa disimpulkan bahwa semua siswa menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan, serta mengetahui dampak buruk ketika tidak menjaga lingkungan dengan baik. Namun hampir semua siswa pernah atau sering membuang sampah sembarangan dengan dua alasan, yaitu kondisi terpaksa, karena tidak menemukan tempat sampah, dan kondisi malas karena tidak menyadari akan pentingnnya sebuah kebersihan. Adapun siswa yagn jarang buang sampah sembarangan, karena telah tumbuh kesadaran akan menjaga lingkungan. Bisa dikatakan bahwa seringnnya siswa melakukan kegiatan kebersihan di rumah bukan dasar utama dalam membentuk kesadaran siswa. melainkan tumbuhnya kesadaran akan menjaga lingkungan sebagai dasar utama siswa untuk tidak membuang sampah pada tempatnya. Di sini tidak terlihat alasan dari nilai keagamaan, artinya sikap keberagamaan siswa tunanetra tidak terlihat pada 147 Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB, 148 Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas X SMA-LB, kesadaran akan menjaga lingkungan.

5. Aspek Intelektual Pengetahuan Keagamaan Siswa Tunanetra

Pengetahuan Keagamaan a. Pengetahuan Tentang Fikih Ibadah Diantara visi dan misi SLB A Pembina Tingkkat Nasional adalah “membudayakan beribadah”. Maksud dari istilah tersebut ialah kegiatan pembelajaran dan pembisaaan mengenai keberagamaan diantaranya membaca al- Qur’an sebelum masuk jam pelajaran, penanaman kebisaaan shalat dhuha ketika awal bulan, program hafalan al- Qur’an, shalat dhuhur berjamaah, dan lainnya. Bisa menjadi sebuah kebisaaan bukan hanya di sekolah melainkan di luar sekolah ketika siswa ada di rumah. 149 Di dalam Islam, peribadatan termuat dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih ibadat yang diantaranya memuat empat pokok pembahasan sebagai mana tercantum dalam rukun Islam, kecuali syahadat sebagai ilmu tauhid. Terkait demikian, sebagian besar siswa menanggapi bahwa mereka belum begitu mengenal jauh menganai ilmu fikih. Hal demikian dilatarbelakangi siswa hanya mempelajari ajaran Islam ketika di SLB, saja, di luar itu, siswa kurang begitu mendalami pelajaran fikih. Ketika ditanyakan mengenai pengalaman siswa dalam mengikuti pesantren, seorang siswa mengakui pernah mesantren ketika SD di Raudhlatul Muta’alimin Surabaya, sejauh pengetahuannya, ilmu fikih adalah suatu ilmu yang diidentikan dengan Imam Syafi’i. 150 Dengan demikian dalam pemahaman siswa tersebut dipahami fikih identik dengan Imam Syafi’I, darinya menunjukkan bahwa sebuah madzhab yagn digunakan oleh mayoritas muslim bisa menyempitkan sudut pandang siswa. dalam hal ini, mayoritas muslimin Indonesia penganut Imam Syafi’I, maka dalam pemahaman 149 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Senin, 02, Mei, 2016. 150 Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa kelas VIII SMP-LB, siswa fikih adalah apa yang dikeemukakan oleh Madzhab tersebut. Sebagian siswa menuturkan bahwa mereka cukup mengetahui ilmu fikih. Siswa mengaku i bahwa mereka belajar dari majelis ta’lim yang diselenggarakan di masjid tempat siswa tinggal, serta mengikuti pembelajaran di madrasah yang bernama Raudhlatul Makfufin. 151 Ada pula siswa yang cukup mengenal ilmu fikih, karena siswa tersebut mempelajari ilmu fikih yang dipelajari dari guru agama SLB secara khusus atas permintaan ibu siswa. siswa menuturkan bahwa dirinya saat ini telah mempelajari tentang jenazah, setelah sebelumnya mempelajari wudhlu, tayamum, dan shalat. 152 Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar siswa yang kurang mengenal ilmu fikih umumnya memiliki intensitas pembelajaran agama yang kurang. Mereka hanya belajar agama di SLB saja, tanpa ada kelanjutan di luar. Sehingga mata pelajaran yang telah dibahas lupa atau-pun belum bisa dipelajari karena keterbatasan materi. Adapun siswa yang cukup mengenal ilmu fikih, umumnya siswa belajar di luar jam pelajaran agama secara formal di SLB. Siswa mengikuti pembelajaran di luar sekolah semisal di majelis ta’lim yang diselenggarakan di masjid, serta lembaga keagamaan yang mengajarkan siswa tunanetra dalam mempelajari ajaran Islam. Serta adanya inisiatif orang tua untuk meminta guru khusus untuk mengajarkan siswa mengenai ilmu fikih, menunjukkan peranan orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan siswa tunanetra terutama dalam hal mempelajari dan memahami fikih ibadah. Maka kesinambungan dalam mempelajari agama Islam siswa di luar SLB, semisal kondisi lingkungan serta peranan orang tua untuk memasukkan siswa ke lembaga keagamaan atau mencari guru khusus untuk mengajarkan perihal agama, lebih berpengaruh terhadap jiwa keagamaan siswa dari pada sekedar melakukan pembelajaran di SLB 151 Hasil Wawancara dengan Ahmad Ruyani dan Nurul Hakim, Siswa Kelas XII SMA- LB, . 152 Hasil Wawancara dengan Al-Fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB, yang seiring perjalanan waktu dan tidak ada kesinambungan dalam pembelajarannya, membuat siswa lupa. b. Ketrampilan Membaca al-Qur’an Membaca al- Qur’an bukan hanya sekedar bisa melantunkannya, namun ada aturan membaca yang terangkum di dalam ilmu tajwid yang harus dipahami. Sebagian besar siswa mengakui masih belum lancar membaca al- Qur’an. Seorang siswa mengemukakan jarang belajar al- Qur’an. Sedangkan sisa lainnya menuturkan masih belajar didampingi orang tua, namun kendalanya orang tua hanya menggunakan al-Quran brille. Pernyataan lain mengungkapkan bahwa siswa lumayan lancar membaca al- Qur’an. Siswa menuturkan bahwa dirinya belajar di raudhlatul makfufin. 153 Uraian di atas bisa dipahami bahwa umumnya siswa yang belum lancar dalam membaca al- Qur’an dipengaruhi oleh jarangnya intensitas siswa dalam mempelajari al- Qur’an serta kendala media pembelajaran yang dialami oleh siswa yang belajar dengan orang tua. Adapun siswa yagn cukup lancar dalam membaca al- Qur’an, siswa mengikuti pembelajaran di lembaga yang pendidikan keagamaan khusus bagi tunanetra. Hal demikian menunjukkan bahwa lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan al- Qur’an menjadi sangat berpengaruh terhadap kualitas membaca Qur’an bagi seorang siswa tunanetra. Perlu diketahui, bahwasanya pada pembelajaran siswa tunetra terkhusus dalam mempelajari al- Qur’an Brille memiliki beberapa hambatan. Ada siswa yang memiliki hambatan mobilitas. Yaitu siswa kurang peka terhadap lingkungan atau sesuatu hal yang hendak dihadapi. Semisal siswa belum baisa peka unik duduk di atas kursi, atau belum bisa terbiasa untuk bisa mandiri. Ada pula siswa yang memiliki keterbatasan dalam sensorik motor, yaitu siswa memiliki perabaan yang kurang peka terhadap al- Qur’an Brille, sehingga 153 Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas XII SMA-LB, terganggu dalam belajar. Ada pula siswa yang terkadang berkeringat telapak tangannya sehingga tidak bisa menulis dengan baik. Hambatan lain mengenai IQ. Ada siswa yang tingkat IQ-nya sekitar 75, ada pula siswa yang tingkatnya 100, yang lebih tidak kesulitan dalam mengikuti pembelajaran. 154 demikinlah yang menjadi dinamika pembelajaran siswa. c. Hafalan Qur’an Siswa Tunanetra Salah satu tujuan dari digalakannnya tadarus al- Qur’an dan hafalannya adalah untuk membiasakan siswa tunanetra untuk senantiasa membaca al- Qur’an. Karena sebagian siswa SLB A PTN tidak mendapatkan bimbingan yang efisien saat di rumah dalam hal ini orang tua. Maka di SLB diusahakan untuk mengefektifkan pembelajaran keagamaan termasuk membaca dan menghafal al- Qur’an, sebagai usaha dalam merangsang keberagamaan siswa tunanetra. 155 Maka dari itu kita akan melihat sejauhmana intensitas siswa tunanetra dalam membaca dan menghafal al- Qur’an termasuk hal lainnya sebagai fekek dari penanaman dalam menumbuhkan rasa kebutruhan terhadap kitab suci al- Qur’an. Untuk mengawali, penulis akan mencoba menggali informasi terkait hafalan siswa. Pada Siswa SMP, sebagian siswa mengaku bahwa dirinya tidak hafal sampai sepuluh surat pendek sebagaimana yang dianjurkan sekolah. kemudian sebagian siswa lagi mengaku hafal lebih dari sepuluh surat, bahkan diantara siswa ada yang hafal al- Jumuah, al-Buruj, dan al-Balad. Siswa mengaku bahwa siswa belajar di mitra netra. Seorang siswa lain mengaku hafal surat al-Mursalat, al- Qiyamat dan an-Naba. Siswa mengaku diajarkan oleh salah seorang guru agama SLB Pak Maksum di SLB atas permintaan ibu siswa. 156 dan tidak jauh berbeda dengan siswa SMP-LB, siswa SMA-LB 154 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, 155 Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Sabtu, 21 Mei, 2016. 156 Hasil Wawancara dengan Firdaus dan Al-fathullah, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,

Dokumen yang terkait

GAMBARAN HARGA DIRI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB-A) TPA BINTORO KABUPATEN JEMBER

0 4 92

Peran perpustakaan SLB dalam menumbuhkan kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra : studi kasus perpustakaan SlB-A Pembina Tingkat Nasioanl Jakarta

22 112 102

Perilaku Pencarian Informasi Pemustaka Tunanetra Pada Perpustakaan Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

0 4 167

PRESTASI DIRI PENYANDANG TUNANETRA (STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNANETRA Prestasi Diri Penyandang Tunanetra (Studi Kasus Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra/SLB A-YKAB Surakarta Tahun Ajaran 2012/2013).

0 0 17

PRESTASI DIRI PENYANDANG TUNANETRA (STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNANETRA Prestasi Diri Penyandang Tunanetra (Studi Kasus Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra/SLB A-YKAB Surakarta Tahun Ajaran 2012/2013).

0 1 14

EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMBAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) (Studi Kasus Pada Tingkat SMP YKAB di SLB-

3 11 16

PENDAHULUAN EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) (Studi Kasus Pada Tingkat SMP YKAB di SLB-A Jebres Surakarta).

0 0 16

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 14

PENDAHULUAN Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 6

Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.

0 4 146