Dimensi Konsekuensial Akhlak Siswa Tunanetra
mensyukuri nikmat Allah SWT. Di sini jiwa keberagamaan siswa lebih labil dan pragmatis dalam arti agama akan diterima jika ada kesesuaian
dengan kondisi kejiwaan siswa. Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa pada remaja telah
tumbuh kesadaran beragama, namun masih dipengaruhi oleh kondisi emosional dan perasaan serta berbagai paradigma umum yang turut
mempengaruhi jiwa keberagamaan siswa. sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius
akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat
pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual.
130
b. Nilai Percaya Diri Siswa Tunanetra
Salah satu sasaran pendidikan agama pada SLB adalah untuk membentuk rasa percaya diri siswa melalui pembelajaran Tauhid.
Karena agama yang paling sesuai untuk disabilitas adalah agama Islam. Karena memberikan bimbingan bukan hanya di dunia
melainkan akhirat. Kemudian di dalam Islam Tidak ada marjinalisasi terhadap disabilitas, Sebagai bukti adanya Surat Abasa yang
memberikan teguran bagi Nabi. Ada tiga nilai pada surat abasa, yaitu bahwasannya seorang tunanetra
“disucikan”, dan disarankan untuk percaya diri, Kemudian Hal demikian menunjukkan sebuah himbauan
untuk adanya pendidikan luar biasa.
131
, maka dari itu, pada poin bagian ini penulis akan merangkai pembahasan d
o’a dengan nilai keimanan siswa.
Nilai beriman kepada takdir Allah adalah senantiasa menerima segala bentuk pemberian-Nya baik yang diharapkan maupun yang
130
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005, h. 75.
131
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB,
kurang diharapkan. Mengenai hal demikian, hampir seluruh siswa tunanetra mengakui bahwa mereka merasa minder dengan kondisi
yang mereka alami. Siswa merasa iri dengan orang lain yang lebih sempurna daripada yang mereka alami. Hal demikian menunjukan
ketunanetraan berpengaruh terhadap rasa percaya diri siswa. Seorang siswa mengakui bahwa dirinya merasa minder karena ada orang lain
yang memberikan ejekan terhadap kondisi yang dialami siswa. lalu ada Siswa lain merasa minder walau tidak ada orang disekitarnya yang
mencela, dan siswa lainnya merasa minder karena merasa takut ada orang yang mengejeknya. Namun ada siswa yang mengakui bahwa
dirinya tidak merasa minder karena sekitar siswa tersebut dinilai baik dan tidak ada yang mempermasalahkan kondisi siswa.
132
Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri siswa dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu kondisi emosional
siswa yang
belum bisa
menerima sepenuhnya
terhadap ketunanetraaannya, serta kondisi lingkungan yang kurang baik menjadi
faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri siswa, dan siswa yang kurang percaya diri karena khawatir akan ada yang memberikan
tanggapan buruk terhadapnya menunjukan bahwa, persepsi negative siswa terhadap lingkungann siswa pun turut mempengaruhi tingkat
kepercayaan diri siswa. Sebagian kecil siswa merasa tidak minder dengan kondisi
ketunanetraan yang dialami. Menurut salah seorang siswa, “kita
makhluk sosial, karena kita hidup berpasang-pasangan bersama orang interaksi.
133
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa pemahaman siswa terhadap kepentingan sosial akan berpengaruh terhadap persepsi
positif siswa akan lingkungannya. Dengan demikian siswa merasa tidak minder dan lebih memilih untuk melakukan tindakan interaktif
sebagai makhluk yang dihadapkan pada realitas sosial.
132
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Kelas VIIII SMP-LB,
133
Hasil Wawancara dengan Ibrohim, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Sebagian besar siswa tunanetra merasa minder dengan ketunanetraan yang mereka
alami. Hal demikian dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, rasa penerimaan yang kurang terhadap ketunanetraan yang dialami, kondisi
lingkungan yang memberikan tanggapan buruk terhadap ketunanetraan siswa, dan persepsi negatif siswa terhadap lingkungannya turut
mempengaruhi kepercayaan diri siswa. adapun sebagian kecil siswa yang tidak minder dipengaruhi pemahaman siswa akan pentingnya
interaksi sosial, yang menumbuhkan persepsi positif siswa terhadap lingkungannnya.
c. Nilai Solidaritas Sosial Siswa Tunanetra
Nilai utama Puasa dan zakat adalah timbulnya keperdulian kepadasesama, Pada siswa tunanetra. Dari hasil wawancara, semua
siswa tunanetra menyampaikan bahwa mereka pernah menolong, dan yagn palng umum siswa memberikan pertolongan tidak jauh dari
kemampuan atau kondisi kesanggupan siswa. semisal berupa membantu untuk menuntun atau menyebrang tunanetra lainnya yaitu
sisswa tunanetra tidak total membantu tunanetra total. Ataupun dengan
memberi pinjam alat tulis khusus tunanetra yaitu riglet. Artinya
tolong-menolong pada konteks siswa tunanetra adalah tidak terlepas dari kondisi atau kapasitas kemampuan siswa.
Seorang siswi menyatakan, “harus saling tolong-menolong dan
menolong orang dapat pahala ”.
134
Di sini terlihat dua alasan siswi, yaitu keharusan akan tolong-menolong, menunjukkan ada kesadaran
kemanusiaan yang menarik siswa untuk memberikan pertolongan terhadap sesama. Kemudian hasrat ingin mendapatkan pahala,
menunjukkan tindakan
menolong siswa
dilandasi hasrat
keberagamaan. Seorang Siswa mengemukakan sebuah hadis, “barang
siapa yang menghilangkan kesusahan orang satu kesusahan di bumi,
134
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB,
maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan di hari kiamat.
135
Dari uraian tersebut bisa terlihat dasar pengetahuan ajaran isalm yang kental
pada siswa. di sini menunjukkan bahwa tolong-menolong siswa telah didasari oleh nilai keagamaan.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa, semua siswa memiliki rasa keperdulian terhadap sesama, terutama dengan sesama
siswa tunanetra atau satu kondisi. Dan yang mendasari hal demikian atas dua alasan yaitu, dasar kemanusiaan. seorang siswa menolong
sesama didasari atas kepedulian sosial. Kemudian dasar agama. Yaitu siswa menolong sesama didasari oleh adanya ganjaran yang baik atas
perbuatan yang telah dilakukannya. d.
Nilai Estetika dalam Pergaulan Siswa Tunanetra Nilai lain muamalah bagi siswa adalah mengenai cara
berpakaian siswa. dalam hal ini seorang muslim hendaknya mengetahui batasan aurat dan cara berpakaian yang bisa menjaga aurat
tersebut. Pada hasil wawancara
136
seluruh sisswa umumya mengetahui bahwa seorang muslim harus menutup aurat. Namun mengenai batasan
aurat tersebut, tidak seluruh siswa mengetahui, umumnya siswa hanya mengeatahui batasan aurat perempuan, sedangkan mengenai batasan
aurat laki-laki kurang begitu mengetahui secara utuh. Adapun secara peraktis, nilai estetika siswi bisa terlihat dari
jumlah siswi yang memakai jilbab atau memakai pakaian tertutup. Adapun nilai estetika siswi tidak ada yang harus dipermasalahkan.
Dari pengamatan penulis
137
semua siswi SMP dan SMA, tidak ada yang memakai jilbab. Penulis hanya mendapati siswi yang memakai
jilbab hanya seorang dan kurang begitu mengingat apakah ada lagi siswi SD lain yang memakai jilbab. hal demikian menunjukkan tingkat
permasalahan ketaatan siswi dalam menutup aurat yang tinggi. Seorang siswi menuturkan bahwa belum siap menutup aurat,
135
Hasil Wawancara dengan Alfathulloh, Siswa Kelas VIIII SMP-LB,
136
Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, Pada Tanggal, 1-21 April 2016.
137
Hasil Catatan Lapangan, dari bulan September-bulan desember 2015.
dan siswi akan menutup aurat ketika sudah masuk jenjang SMA. Siswi menyadari akan dosa, dan ibu dari siswi tersebut menutup aurat.
138
Di sini kita bisa memahami bahwa seorang siswi sudah menyadari akan
kesalahannya namun belum memahami akan kewajibannya dalam menutup aurat.
Siswi lain menyatakan bahwa menutup aurat merupakan cara berpakaian yang sepantasnya, sedangkan orang tua sudah mengajarkan
dan menghimbau untuk mamakai jilbab. Siswi beralasan belum siap dan berkeyakinan jika berlum siap akan mendapatkan dosa pula, dan ia
menyatakan aka nada waktunya untuk berjilbab.
139
Siswi telah mengetahui akan manfaat dan nilai dari pada menutup aurat, dan tentu
belum bisa menyadari akan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan. Namun ada cara pandang yang perlu diluruskan,
bahwa siswi berpendapat akan mendapat dosa jika memakai jilbab dengan setengah hati. Pendapat demikian tentu sulit dicari dasarnya,
dan bisa dikatakan bahwa siswi memiliki cara pandang yang salah dalam jilbab. Adapun orang tua yang sudah mengajarkan dan
menghimbau untuk memakai jilbab, menunjukkan siswi bukan hanya tidak patuh terhadap menutup aurat, malainkan juga kurang mematuhi
nasihat orang tua. Di sini, yang menjadi masalah bukan pendidikan keluarga, sikap siswi yang belum bisa memahami akan pentingnya
menutup aurat dan mematuhi nasihat orang tua. Siswi lain mengemukakan bahwa dirinya lupa akan batasan
aurat, dan tidak memakai . Kakak siswi pun tidak memakai kerudung.
140
Dengan mengakui siswi tidak begitu mengetahui akan batasan aurat, tentu kita perlu meninjau secara seksama. Siswi tidak
menggunakan jilbab dan menuturkan kakak siswi pun tidak memakai jilbab. Di sini seorang siswi tinggal bersama kakaknya, yang tidak
138
Hasil Wawancara dengan Desi, Siswi Kelas VIII SMP-LB,
139
Hasil Wawancara dengan Nurul, Siswi Kelas VIIII SMP-LB,
140
Hasil Wawancara dengan Tiwi, Siswi Kelas XI SMA-LB,
memakai jilbab. Bisa kita pahami bahwa lingkungan keluarga siswi bukan termasuk dalam lingkungan yang mendukung akan menutup
aurat. Hal demikian linear dengan pengetahuan siswi yang minim tentang batasan aurat. Maka bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga
yang kurang mendukung akan jilbab, turut bepengaruh terhadap ketaatan siswi terhadap menutup aurat.
Mengacu pada penuturan salah satu guru agama, bahwa sekolah tidak memiliki peraturan untuk mewajibkan untuk menutup
aurat. Gurunya menegaskan bahwa hal dimikian merupakan urusan masing-masing, dan Guru pun menambahkan perlu ada kerajasama
dengan orang tua, karena jangankan siswi yang memakai jlbab, orang tua nya pun belum bisa memberi contoh untuk memakai jilbab.
141
Di sini bisa terlihat bahwa sekolah yang negeri yang bukan secara khusus
sebagai sekolah Islam, tidak bisa memberikan pengaruh secara langusung secara langsung terhadap menanamkan ketaatan siswi dalam
menutup aurat. Hanya saja, pada catatan penulis, ditemui siswi yang memakai
jilbab pada hari jum’at karena ada kegiatan keagamaan. Hal demikian menunjukkan siswi hanya memakai jilbab pada momen tertentu terkait
kegiatan keagamaan sekolah. artinya, sekolah hanya mendidik secara simbolik tanpa memberian penanaman secara praktik.
Jadi penulis bisa menyimpullkan bahwa SLB A Pembina Tingkat Nasional tidak bisa memberikan pengaruh langsung dalam
membentuk ketaatan siswa untuk menutup aurat, melainkan lingkungan keluarga yang dinilai bisa memberikan pengaruh terhadap
ketaatan dalam menutup aurat. Adapun semua siswa tunanetra menyadari akan kewajiban untuk menutup aurat, namun secara
kongnitif, umumnya siswa tidak mengetahui batasan rinci tentang menutup aurat. Dan semua siswi SMP-LB dan SMA-LB, tidak
141
Hasil Wawancara dengan H. Abbas Sukardi, Guru Agama SMP-LB, Pada Tanggal 27 April, 2016.
menutup aurat dengan beberapa faktor yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai menutup aurat, kurangnya ketaatan siswa
terhadap nasihat orang tua untuk menutup aurat, dan lingkungan keluarga yang kurang
“mendukung” jilbab. e.
Nilai Menjaga Batasan dengan Lawan Jenis Selain menutup aurat, seorang muslimpun dituntut untuk
menjagabatasan antara
lai-laki dan
perempuan. Dari
hasil wawancara
142
seluruh informan menyatakan bahwa menjaga batasan merupakan sebuah kewajiban bahkan siswa mengetahui bahwa hukum
dasar bersentuhan antara lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram. Namun secara peraktis, ada beberapa informan yang secara
kognitif mengetahui akan batasan namun secara praktis siswa melanggarnya.
Seorang siswa menyatakan bahwa pernah melakukan pegangan tangan dengan bukan muhrim saat berjalan dengan pacarnya. Siswa
menyadari akan larangan agama, namun siswa memandang bahwa pada remaja memegang tangan saja dianggap tidak bermasalah. Siswa
lain menuturkan, bahwa dirinya tidak pernah bepegangan tangan karena tidak pernah memiliki teman dekat perempuan, siswa berujar,
bahwa seandainya memiliki teman dekat perempuan pun akan melakukan hal yang sama.
143
Dari penuturan di atas, bisa kita lihat ada dua sudut pandang siswa yang menjadi catatan, yaitu siswa memahami bahwa
berpegangan tangan pada remaja merupakan sebuah kondisi yang biasa. Penuturan tersebut menunjukkan bahwa kondisi kejiwaan
remaja bisa merubah mempengaruhi cara remaja terhadap agamanya, sehingga cenderung menghindari akan realitas peraturan agama.
Kemudian alasan siswa berpegangan dengan remaja, menunjukkan bahwa tindakan berpacaran bukan hanya dilakukan oleh siswa umum
142
Hasil Wawancara dengan Seluruh Siswa Tunanetra, pada tanggal 1-21 April 2016.
143
Hasil Wawancara dengan nurul hakim dan ahmad ruyani, Siswa Kelas XII SMA-LB,
saja, melainkan siswa tunanetra melakukan hal yagn sama. artian dari sisi perkembangan seksual remaja, tidak ada perbedaan antar siswa
umum dengan siswa tunanetra. Jadi bisa dipahami bahwa Bukan hanya perkembangan pikiran
saja, perkembangan perasaan pun turut mempengaruhi jiwa keagamaan remaja. Sebagaimana Menurut Jalaluddin, Berbagai perasaan telah
berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati peri kehidupan yang terbiasa
dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi
remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual.
144
Penulis bisa menyimpulkan bahwa semua siswa tunanetra mengetahui kewajiban dalam menjaga batasan dengan lawan jenis.
Dan secara praktis umumnya siswa menyampaikan bahwa mereka menjaga batasan dengan lawan jenis, adapun siswa yang tidak bisa
menjaga interaksi lawan jenis dipengaruhi oleh kondisi perkembangan seksual yang lebih besar dari pada kesadaran keagamaan, serta
pengaruh paradigama remaja yang kurang baik turut mempengaruhi cara pandang siswa terhadap ketaatan keagamaan yang diketahuinya.
Dan yang penting pula, bahwa perkembangan seksual siswa tunanetra tidak berbeda dengan siswa pada umumnya.
f. Nilai Menjaga Lingkungan
Tadabur merupakan kegiatan tambahan yang sifatnya kondisional. Acara tersebut yang diadakan menjelang liburan dan
bertujuan untuk membina pemahaman siswa tunanetra akan kehidupannya, menunjukkan ada sebuah usaha penanaman akan
kualitas kepribadian dalam menjalani kehidupan. Bukan hanya itu, adanya pembelajaran yang terkait menanam menunjukan bahwa siswa
tunanetra telah mendapat pembinaan akan kesadaran terhadap
144
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2005, h. 75.
lingkungan alam sekitar. Dan sinkronisasi antara tadabur dengan pembelajaran menanam pohon adalah adanya sebuah kepekaan akan
kehidupan termasuk di dalamnya kepekaan terhadap lingkungan alam. Dari hasil wawancara
145
bisa dikatakan seluruh siswa memiliki jawaban yang hampir sama. siswa akan tanggungjawab untuk menjaga
lingkungan baik dengan cara menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya dan lain sebagainya. Siswa pun menyadari ketika alam
tidak dijaga akan terjadi berbagai bencana alam semisal longsor, banjir. Umumnya pendapat siswa, untuk menjaga lingkungan dengan
cara membersihkan dan menjaga lingkungann dengan tidak membuang sampah sembarangan. Mengenai kebersihan dan melarang buang
sampah sembarangan, secara umum siswa mengakui bahwa mereka melakukan tindakan tersebut baik sering maupun jarang.
Seorang siswa menyebutkan, bahwa terpaksa membuang sampah sembarangan karena sukar menemukan tempat sampah. Siswa
pun mengakui bahwa di rumah siswa suka bersih-bersih berupa mengepel, beres-beres tempat tidur. Siswa menuturkan bahwa
kebisaaan tersebut untuk membangun kesadaran dan disiplin di masa depan pada saat berumah tangga.
146
Kita bisa mengetahui bahwa pada dasarnya siswa telah menyadari akan sebuah kebersihan dan
kedisiplinan. Bahkan siswa sudah bisa berpikir visioner dengan memperhatikan perilaku yang semestinya di bangun dalam hal
kebersihan dan kedisiplinan. Namun dengan kesadaran tersebut, belum bisa membentuk sebuah kebijaksanaan untuk bisa membuang sampah
pada tempatnya, ketika tidak menemukan tempat sampah. Disini, bisa terlihat bahwa siswa telah tumbuh kesadaran akan sebuah kedisiplinan,
namun belum tumbuh sebuah kebijaksanaan ketika dihadapkan dengan sesuatu hal yang memaksa siswa untuk membuang sampah
sembarangan.
145
Hasil Wawancara dengan Seluruh Informan Siswa Tunanetra, Pada Tanggal 1-21 April 2016.
146
Hasil Wawancara dengan Taufiq, Siswa Kelas XII SMA-LB,
Seorang siswa menyatakan bahwa siswa jarang bersih-bersih di rumah karena malas. siswa menyampaikan bahwa di rumah tidak
membuang sampah sembarangan karena ada tempat sampah, dan di luar rumah siswa mengaku tidak membuang sampah pada
tempatnya.
147
Disini bisa disimpulkan bahwa siswa membuang sampah bukan karena sadar akan kebersihan, melainkan karena kondisi yang
membuat siswa terbisa membuang sampah pada tempatnya. Seorang siswa, menyatakan bahwa dirinya jarang buang
sampah sembarangan Karena dapat merusak lingkungan. Siswa mengakui bahwa dirinya suka melakukan kebersihan di rumah, semisal
mengepel, menyapu, dan membersihkan meja dari debu. Siswa megakui bahwa itu adalh kesadaran sendiri.
148
Siswa terlihat telah menyadari akan pentingnya kebersihan. Dari kesadaran tersebut, maka
dengan sendirinya siswa akan sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa semua siswa menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan, serta mengetahui dampak buruk
ketika tidak menjaga lingkungan dengan baik. Namun hampir semua siswa pernah atau sering membuang sampah sembarangan dengan dua
alasan, yaitu kondisi terpaksa, karena tidak menemukan tempat sampah, dan kondisi malas karena tidak menyadari akan pentingnnya
sebuah kebersihan. Adapun siswa yagn jarang buang sampah sembarangan, karena telah tumbuh kesadaran akan menjaga
lingkungan. Bisa dikatakan bahwa seringnnya siswa melakukan kegiatan kebersihan di rumah bukan dasar utama dalam membentuk
kesadaran siswa. melainkan tumbuhnya kesadaran akan menjaga lingkungan sebagai dasar utama siswa untuk tidak membuang sampah
pada tempatnya. Di sini tidak terlihat alasan dari nilai keagamaan, artinya sikap keberagamaan siswa tunanetra tidak terlihat pada
147
Hasil Wawancara dengan Davit, Siswa Kelas VIII SMP-LB,
148
Hasil Wawancara dengan Yogi, Siswa Kelas X SMA-LB,
kesadaran akan menjaga lingkungan.