Sistematika Penulisan Efektivitas penanaman sikap keberagamaan pada siswa tunanetra (Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan)
itu, secara antropologis telah melahirkan berbagai kepercayaan-kepercayaan di dunia dari zaman ke zaman
”.
9
Abdul MunirMulkhan berpendapat, “Keberagamaan adalah tafsir-tafsir
dengan kebenaran relatif, dan oleh karena itu, mengundang perbedaan sesuai kondisi objektif si penafsirnya. Oleh karena itu diperlukan sistem sosial politik
yang bebas dari kekerasan ”.
10
Di sini religiusitas dipandagn sebagai sesuatu yang besiat politis, bukan hanya sekedar kegiatuan individu atau kelompok
keagamaan tertentu, mlainkan melibatkan berbagai aspek lain yang terkait pemerintahan yagn memberikan pengaruh terhadap keberqagamaan pada suatu
bangsa. Ada beberapa poin besar mengenai sikap keberagamaan, yaitu sikap
keberagamaan sebagai sebuah kesalehan, sikap keberagamaan sebagai sebuah penghidmatan dari berbagai aspeknya dimulai dari pengetahuan sampai
tindakan konsekuensial, sikap keberagamaan sebagai sebuah perasaan ketulusan kepada yang transenden, dan sikap keberagamaan sebagai sebuah
penafsiran parsial yang hanya dipahami oleh pemeluk agama tertentu. Namun keberagmaan pun bukan hanya ormalitas keagamaan, meliainkan lebih dari
itu. Aritinua, sikap keberagamaan memiliki makna yagn jauh lebih luas yang terbentuk dari berbagai aspeknya yagn kompleks.
Perbandingan antara Ciri khas agama dan keberagamaan, yaitu Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada
“Dunia dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum- hukumnya, serta keseluruhan organisasi-organisasi sosial keagamaan dan
sebagainya yang
melingkupi segi-segi
kemasyarakatan. Sedangkan
Keberagamaan atau Religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati
nurani ” pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawinya ke dalam si pribadi manusia. Karena
itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang
9
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat: Ciputat Press, 2005, h. 199.
10
Abdul Munir Mulkhan, Manusia Al-Quran, Yogyakarta: Kanisius, 2007, h. 147.
tampak formal, resmi.
11
Sikap religius seperti berdiri khidmat dan rukuk secara khusyuk. Yang dicari dan diharapkan untuk anak-anak kita adalah bagaimana mereka dapat
tumbuh menjadi abdi-abdi Allah yang beragama baik, namun sekaligus orang yang mendalam cita rasa religiusitasnya, dan yang menyinarkan damai murni
karena fitrah religiusnya, meskipun barangkali dalam bidang keagamaannya kurang patuh. Itu dibandingkan dengan orang yang hebat keagamaannya,
tetapi ternyata itu cuma kulit luarnya saja. Sedangkan kehidupan sesungguhnya serba tipuan semu
”.
12
Jadi sikap keberagamaan tidak seutuhnya dikaitkan dengan tindakan keberagamaan formal, melainkan lebih dari itu, sikap keberagamaan sebagai
hasil dari tindakan keberagamaan itu sendiri, dalam arti agama yang diyakininya telah membentuk sebuah kepribadian yang baik bagi pemeluknya,
sehingga kepribadian itu terwujud dalam kehidupannya, yang secara agama disebut dengan kesalehan atau akhlak mulia, dan secara umum di sebut
dengan moralitas. Agama di tengah masyarakat hadir bukan hanya mengenai sensasi
individual, melainkan menjadi sebuah prilaku pemeluknya baik secara individu maupun kolektif. Karena Antara nilai keagamaan dengan tindakan
pemeluknya secara normatif ikut menentukan sikap seseorang dalam mengantisipasi dan memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya.
13
Maka sebuah sikap keagamaan berimbas pada kepribadian pemeluk dan interaksi antar manusia sebagai pedoman yang mengatur tata kehidupan yang
bersumber dari nilai ajaran agama yang membentuk sistem moral. Adapun Kata
“moral”, secara etimologi sama dengan “etika”, sekalipun sumber bahasa asalnya berbeda. Jika sekarang kita memandang arti
kata “moral”, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa dipakai sebagai nomina
kata benda atau sebagai adjektiva kata sifat. Jika kata “moral” digunakan
11
Muhaimin,Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012, Cet. Kelima, h. 287-288.
12
Ibid, h. 288.
13
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997, h. 6.
sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis dan jika dipakai sebagai kata
benda artinya sama dengan “etika”. Dari pemaknaannya, moral diartikan nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan istilah Moralitas
” dari kata sifat Latin moralis mempunyai arti dasarnya sama dengan
“moral”, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang
“moralitas suatu perbuatan”, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
14
Perlu kita pahami, bahwa agama mempunyai sifat mengikat kepada para pemeluknya,maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam
pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta
mempunyai sifat ketulusan dan absolute yang tidak dapat ditolak oleh manusia, perintah manusia masih bisa dilawan, tapi Perintah Tuhan tak dapat
ditentang. Faham inilah yang membuat norma-norma, akhlak yang diajarkan agama mempunyai pengaruhnya dalam membentuk manusia berakhlak dan
berbudi pekerti luhur.
15
Keberagamaan erat kaitannya dengan keimanan dan ritual keagamaan. Kedua hal tersebut memang selalu berdampingan dalam keberagamaan
manusia. Hal demikianlah yang akan membentuk kepribadian baik bagi pemeluknya dalam berbuat kebajikan atau kesalehan. Maka menengahi antara
iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah peribadatan. Hal demikian merupakan konkretisasi rasa keimanan,
karena ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan taqarrub. Dalam ibadat itu seorang Hamba Allah, merasakan kehampiran
spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan
14
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, Cet. Kesebelas, h. 7.
15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. Kelima, h. 19