sehingga bisa bekerjasama dalam membina perkembangan keagamaan siswa.
98
BAB V PENUTUP
Dari hasil kajian yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis akan dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Adapun mengenai kesimpulan yang akan diuraikan, penulis menguraikannya melalui dua poin besar, yaitu sikap keberagamaan siswa
tunanetra secara umum dan efektivitas program keagamaan SLB A PTN sebagai sarana dalam membentuk sikap keberagamaan siswa tunanetra. Hal
demikian perlu dilakukan, karena penelitian ini mengulas bukan hanya sekedar untuk mengetahui sikap keberagamaan siswa saja, melainkan juga untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dalam membentuk sikap keberagamaan. 1.
Tinjauan Sikap Keberagamaan Siswa Tunanetra a.
Semua siswa tunanetra memiliki keyakinan baik terhadap Allah Swt, karena tidak ada satupun siswa tunanetra yang memiliki pendapat
negatif terhadap ketuhanan dalam Islam. hanya saja, siswa tunanetra tidak memiliki keyakinan baik terhadap kebenaran ajaran agama. siswa
umumnya berpendapat semua agama benar karena mengajarkan kebaikan, karena semua yang dinilai kebaikan dipandang sebagai
sebuah kebenaran. Hal demikian dilatarbelakangi belum tumbuhnya pertimbangan logika beragama atas pemahaman terhadap konsep
kebenaran yang prinsipil. b.
Dari sisi intensitas peribadatan siswa, umumnya siswa tunanetra memilliki keberanian untuk meninggalkan shalat, namun seluruh siswa
tunanetra tidak memiliki keberanian untuk meninggalkan puasa. Hal demikian dilatarbelakangi keberagamaan siswa tunanetra yang masih
didasari uforia serta belum tumbuhnya kedewasaan beragama. Namun hal demikian bertolakbelakang dengan nilai penghayatan dalam
peribadatan siswa yang justru siswa lebih merasakan efek psikologis dalam hal ini ketenangan batin ketika mengerjakan shalat. Maka
tingginya intensitas puasa dan dalamnya penghayatan shalat siswa menunjukan bahwa tingginya intensitas peribadatan bukan penyebab
utama tingginya penghayatan dalam peribadatan siswa tunanetra. c.
Dari sisi pengamalan nilai keagamaan, siswa tunanetra memiliki kualitas moral yang cukup baik, menimbang siswa tidak ada yang
memiliki prilaku arogan dan berbuat keonaran di sekolah. termasuk pula dalam berhubungan dengan orang tua, guru, dan sesama teman.
Siswa relative memiliki hubungan cukup baik. Hanya saja dari sisi estetika, siswi tunanetra semuanya tidak memakai jilbab, dan masih
adanya beberapa siswa yang memiliki sikapakan kurangnnya menjaga batasan dengan lawan jenis.
d. Adapun sisi pengetahuan keagamaan siswa tunanetra,umumnya siswa
tunanetra tidak terlalu memiliki wawasan keagamaan yang cukup baik. Adapun sebagian kecil siswa yang memiliki wawasan agama yang baik
adalah siswa yang mengikuti pembelajaran keagamaan di lembaga yang mengajarkan agama khusus tunanetra, dan ada pula yang privat
dengan guru agama.
2. Tinjauan Keberhasilan Program Keagamaan SLB A PTN
a. Siswa tunanetra yang menonjol dalam pengetahuan agama lebih
didominasi pengetahuan dari luar pembelajaran formal SLB A PTN, sedangkan siswa yang hanya belajar agama secara formal di SLB tidak
begitu menonjol dari segi pengetahuan keagamaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran keagamaan di luar SLB
baik dari sisi pengetahuan, fikih, hadis, kemampuan membaca al- Qur’an, serta hafalannya, lebih didominasi oleh berbagai pembelajaran
keagamaan di luar jam formal SLB. dari pada SLB A PTN itu sendiri. Maka bisa disimpulkan SLB A PTN tidak terlalu banyak memberikan
pengaruh terhadap sisi kognitif keberagamaan siswa tunanetra. b.
Intensitas ketaatan beragama siswa dibentuk dari lingkungan keluarga, dalam arti SLB hanya sebagai fasilitator. Maka keluargalah yang
memiliki dominasi dalam membentuk ketaatan beragama siswa. dan SLB A PTN tidak memiliki pengaruh besar terhadap efektivitas
pengamalan Keberagamaan siswa tunanetra. c.
Dari sisi prilaku keagamaan siswa tunanetra, Perilaku keberagamaan siswa merupakan suatu yang abstrak dan lebih personal. Karena
terbentuk dari kompleksitas yang memberikan pengaruh pada pola pikir dan perkembangan jiwa siswa. Maka dari itu, perilaku siswa tidak
bisa diukur dari efektivitas pendidikan SLB secara langsung, karena terbentuk dari kompleksitas yang bisa mempengaruhi pola pikir, dan
perkembangan kejiwaan siswa, baik dari motivasi personal siswa, pengaruh keluarga, sekolah, lingkungan, terutama dari lembaga
keagamaan yang menanamkan nilai ilahiah pada siswa tunanetra. d.
Media pembelajaran sebagai faktor pendukung kelancaran program keagamaan. Dari sisi fasilitas pendukung kegiatan keberlangsungan
program keagamaan, SLB A PTN relatif memiliki fasilitas yang baik. Diantaranya telah memiliki perpustakaan yang menyediakan al-
Qur’an brille sebagai penunjang keberlangsungan program tadarus dan
hafaalan surat-surat tertentu. kemudian telah tersedianya tempat ibadat semisal telah memiliki dua lokasi mushala dengan segenap
perlengkapan ibadat shalat sebagai penunjang kegiatan keagamaan. e.
Keterampilan siswa pun sebagai bagian dari faktor penunjang keberlangsungan kegiatan siswa tunanetra. Melalui kegiatan
pembelajaran keagamaan yang telah diikuti siswa baik dari SLB A PTN, terlebih dari berbagai lembaga yang terkhusus memberikan
pengajaran keagamaan bagi siswa tunanetra. Darinya memudahkan dalam kelancaran program keagamaan di SLB A PTN.
f. Faktor lingkungan keluarga yang kurang baik sebagai
faktor penghambat keberlangsungan program keagamaan SLB A PTN. dalam
hal ini keluarga atau orang tua sebagai pendukung utama dalam membangun keberagamaan siswa tunanetra, kurang memberikan
dukungan terhadap keberlangsungan program keagamaan. Karena
orang tua yang kurang memberikan bimbingan keagamaan bagi siswa tunanetra akan berpengaruh pada keberagamaan siswa yang menjadi
penghambat dalam kelancaran dan tercapainya tujuan dari pada program yang telah diasdakan.
B. Saran
SLB perlu memperhatikan bahwa tidak semua siswa tunanetra memiliki kegatan pembelajaran di luar jam formal SLB. Umumnya siswa
tunanetra hanya mengikuti pembelajaran keagamaan di SLB A PTN. Dengan demikian, jika SLB tida memiliki banyak kemampuan dalam membentuk
keberagamaan siswa tunanetra, hendaknya memberikan dorongan untuk mengikuti kegiatan keagamaan diluar semisal pesantren khusus tunanetra, atau
lembaga lainnya yang memfasilitasi untuk memberikan pengajaran agama bagi siswa tunanetra,. Hal demikian perlu dilakukan menimbang tidak semua
orang tua siswa memiliki kesadaran untuk mendorong anaknnya dalam mempelajari agama secara intens.
Peranan lembaga pendidikan yang memberikan pembelajaran keagamaan pada siswa tunanetra terkhusus SLB A PTN sebagai fasilitator dan
orang tua atau keluarga terdekat sebagai pihak yang paling berpengaruh terhadap perkembangan keberagamaan siswa tunanetra, menunjukkan Perlu
adanya sinkronisasi berupa kerjasama dalam membentuk keberagamaan siswa tunanetra. Yaitu SLB yang mengajarkan prihal keagamaan, harus
mendapatkan dukungan dari orang tua di rumah sebagai pembimbing pengamalan keberagamaan dari apa yang telah dipelajari oleh siswa tunanetra.