Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan Efektivitas penanaman sikap keberagamaan pada siswa tunanetra (Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan)
bersosial. Menurut M. Amien Rais, “Tauhid berarti komitmen manusia
kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan
menjadi nilai value bagi manusia tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk dari Allah.
24
Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain
mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah Hamba Allah yang berstatus sama.
Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektifitas
manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya.
Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT Al-Hujurat:
13.
25
Umumnya bukti seorang beriman kepada Tuhan secara dzahir tergambar dari tindakan keagamaan semisal berdoa dan ikhtiar dalam
perbuatan yang dilakukannya hanya karena Allah. Kesadaran akan adanya Tuhan bukan hanya sekedar dibuktikan dengan berdoa saja, tetapi ditambah
pula dengan intensitas ingat terhadap Tuhan yang selalu menyertai dalam kehidupan ini.
26
Oleh karenanya, sebuah keyakinan kepada Allah ditandai dengan intensitas rasa selalu diawasi dalam sertiap perbuatan yang kemudian akan
menimbulkan sikap kepatuhan, sehingga selalu menunaikan apa yang diajarkan agama dengan baik dan tidak lalai. Dalam arti akan menimbulkan
kedisiplinan dalam sikap orang yang beriman, sebagaimana menurut Nurcholis Madjid,
“Maka dalam rangka menanamkan budaya disiplin,
24
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, tt, h. 13.
25
Ibid, h. 14.
26
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 45-47.
penting sekali ditanamkan keimanan yang mendalam kepada Allah, khususnya keimanan dalam arti keinsafan akan adanya Dia Yang Maha
Hadir Omnipresent, yang selalu menyertai manusia dan tidak pernah absen barang sedetik pun dalam mengawasi tingkah laku manusia itu
”.
27
Beriman kepada kitabullah merupakan bagian dari pokok akidah umat Islam,bukan hanya sekedar mengimani kitab suci al-
Qur’an, tetapi juga kitab yang diturunkan pula kepada para Rasul sebelum Nabi
Muhammad. Khusus bagi umat Muhammad, mengimani al-Quran bukan sekedar mempercayainya akan tetapi menjadikannya sebagai bacaan,
sebagai Hudan atau petunjuk, maupun sebagai furqan atau pemerjelas mana yang hak dan mana yang batil.
Jika kitab suci ini tersusun dari hasil karya manusia, maka niscaya akan timbul berbagai pertentangan di dalamnya. Kalau hal itu terjadi, akan
goncang dan cemaslah orang-orang yang beragama Islam itu sendiri.
28
Artinya, seorang yang beriman kepada kitabullah akan membentuk ketenteraman dalam jiwanya.
Upaya menjadikan Al-Quran sebagai hudan atau pemberi petunjuk dan furqan atau pemerjelas sesuatu antara yang benar dan yang salah, untuk
selanjutnya menjadi penuntun dalam kehidupan manusia perlu dilakukan, misalnya dengan mengajarkan ayat-ayat tertentu yang maknanya menjawab
tantangan psikologis sehingga bukan lagi sekedar dijawab dengan membaca verbal.
29
Jadi nilai utama dari iman kepada kitabullah dalam konteks ajaran yang dibawakan Nabi Muhammad adalah intensitas dari seberapa sering
seseorang itu membaca dan belajar mengenai Al- Qur’an serta
mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Persoalan mengenai beriman kepada para rasul terutama mengimani
kenabian Muhammad Saw merupakan bagian inti daripada mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam. Dalam pembinaan mental dan perkembangan
27
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997, h. 89.
28
Ibid, h. 61.
29
Kamrani Buseri, Op. Cit, h. 56-57.
kepribadian, sangat diperlukan adanya suatu tokoh yang akan diteladani dan dicontoh. Tokoh itu disebut juga Pribadi teladan the ideal person.
Proses untuk meniru segala sifat Pribadi teladan itu dinamakan identifikasi.
30
Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, kondisi Nabi Muhammad Saw sedang mengalami berbagai kesulitan yang luar biasa. Setiap dakwah
yang dilakukannya selalu mendapatkan cacian dan hinaan dari kaum Quraisy. Namun kala itu ada dua orang yang senantiasa membela,
menghibur dan membesarkan hati Nabi. Ialah Siti Khadijah Isterinya dan Abdul Muthalib Pamannya. Tetapi kedua orang yang dicintainya tersebut
meninggal pada tahun yang sama. Karena itu, Nabi menyebutnya sebagai tahun duka cita ammul huzni.
31
Nilai keteladanan Nabi Muhammad dengan kesabaran serta ketegaran hidupnya menjadi bahan kajian bagi kita untuk selalu meneladani
dan mengambil hikmah atas budi pekertinya. Karena, dalam kondisi seperti itu, cacian dan penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy yang
semakin menjadi-jadi, tetapi Nabi Muhammad tidak berputus asa, beliau tetap meneruskan dakwah sekalipun harapan keimanan kaum Quraisy
sangat tipis.
32
Bukan hanya merayakan isra mi’raj saja, dalam tradisi masyarakat muslim, dirayakan pula hari kelahiran Nabi Muhammad Saw yang sering
disebut dengan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam setiap peringatan maulid, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu bertindak, berpikir,
memimpin orang dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. adalah kesempurnaan perilaku yang sudah sepatutnya ditiru oleh kita sebagai umatnya dan dijadikan semangat bagi kita untuk
30
Zakiah Daradjat, Op. Cit, h. 48.
31
Armai Arief, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Majemuk, Ciputat: Suara ADI, 2009, h. 155.
32
Ibid, h. 156.
terus maju dan berprestasi.
33
Iman kepada takdir memberikan arti di mana kita wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam
kehidupan dan diri manusia, adalah menurut hukum, berdasarkan suatu undang-undang universal atau kepastian umum atau takdir.
34
Pada konteks penelitian ini penulis akan melakukan sebuah pengkajian terhadap sikap keberagamaan siswa tunanetra dari sisi
keyakinannya terhadap kebenaran agama Islam dan tentunya keyakinan terhadap Allah Swt serta segenap yang menyangkut akidah dalam Islam.
dimensi ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat akidah siswa sebagai gambatan dari efek pembelajaran
agama yang telah dialaminya. 2.
Dimensi Ritualistik Peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap keyakinan
yang dianutnya.
35
Semua agama memiliki prilaku yang khas, terutama dalam peribadatan. Maka peribadatan merupakan identitas yang paling
terlihat dari pada dimensi keberagamaan yang lainnya. Selain itu, Peribadatan inilah sebagai bentuk interaksi antara Tuhan sebagai pemberi
ruang dalam beribadah, dengan manusia sebagai pengemban amanat dengan melaksanakan ibadat. Dengan peribadatan inilah pemeluk agama
akan terlihat bukan hanya sekedar prilaku beragama saja, melainkan pula sebagai sebuah tanda kesungguhan beragama. Maka pemeluk yang tidak
melakukan peribadatan secara sengaja, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak patuh terhadap titah Tuhannya dan tidak memiliki komitmen
keagamaan yang baik.Dimensi ritual sama halnya ibadah dalam Islam, hanya saja, ibadah dalam Islam teramat luas jangkauannya. Islam
mengajarkan bukan hanya sekedar ibadah ritual saja, melainkan harus
33
Ibid, h. 172-173.
34
Didiek Ahmad Supardi, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011, h. 198.
35
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas Problematika Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. Ke-2, h. 77.
melakukan peribadatan lain di luar itu. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di dalam Islam
dikenal dengan istilah Syari’ah. Syariah inilah yang menjadi jalan kehidupan umat Islam dalam menjalannkan kehidupan baik
secara teologis maupun sosial. Artinya dimensi ritual memuat mengenai seberapa jauh tingkat kepatuhan seorang muslimm, dalam mengerjakan
berbagai ritual peribadatan sebagaimana diperintahhkan dan serta dianjurkan oleh agamanya.
36
Shalat memang erat hubungannya dengan latihan moral, di dalam surat Al-Ankabut ayat 45 diungkapkan bahwa
“ Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar
”.Kemudian didukung dengan Hadits Nabi yang mengungkapkan
“Shalat yang tidak menjauhkan pelakunya dari perbuatan tidak senonoh bukanlah shalat.
” Kemudian ungkapan hadis lain,
“Shalat yang ku terima hanyalah shalat yang membuat pelakunya merendah terhadap kebesaran-Ku, tidak bersikap
sombong terhadap makhluk-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku, tetapi senantiasa mengingat-Ku, menaruh kasih sayang terhadap orang
miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, wanita yang kematian suami, dan orang yang ditimpa kesusahan
”.
37
Shalat merupakan konsekuensi dari keyakinan tentang sifat-sifat Allah SWT yang menguasai Alam raya ini, termasuk manusia serta yang
kepada-Nya bergantung segala sesuatu. Keyakinan tersebut memerlukan pembuktian dalam bentuk kongkrit, karena keyakinan tidak hanya terbatas
dalam hati, tapi harus dibuktikan dengan amal.
38
Shalat bukan hanya sekedar kewajiban manusia saja, melainkan sebagai sarana manusia dalam mendekatkan diri dan mencari solusi atas
berbagai keluh kesah yang dirasakan manusia. karena itu salat beriringan dengan keuletan dan ketabahan dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi
36
Ibid, h. 80
37
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. Kelima, h. 40.
38
M. Quraish Shihab, “Falsafah Ibadah dalam Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet. Ke-2, , h. 184.
kebutuhan-kebutuhan sebagaimana ditekankan oleh ayat 45 dan 153 surat Al-Baqarah: Artinya:
“Dan jadikanlah ketabahan dan salat sebagai penolongmu sarana untuk memenuhi kebutuhanmu.
39
Pada ibadah puasa, seorang muslim dituntut untuk menahan diri dari makan, minum, hubungan sex, dan hal lainnya yang akan merusak ibadah
dan pahala puasa. dengan demikian, seorang bisa merasakan penderitaan orang lain yang jauh di bawahnya dari segi sosial atau pun material. Oleh
karenannya ibadah puasa akan mendobrak dinding yang menghalangi antara kaum kaya dan kaum miskin karna secara emosional akan diikat dari
satu rasa ketika menahan dari berbagai hal yang akan mendatangkan keselarasan sosial. Oleh karenanya, pada bulan ramadhan akan
menanamkan rasa ukhuwah, menumpuk rasa solidaritas, dan meningkatkan kepekaan sosial.
40
Pengendalian dan pengarahan ini sangat dibutuhkan oleh manusia baik secara individu maupun secara kelompok masyarakat, karena secara
umum jiwa manusia sangat cepat terpengaruh oleh segala sesuatu khususnya apabila ia tidak memiliki kesadaran untuk mengendalikannya
serta tekad yang kuat menghadapi bisikan-bisikan negatif. Masyarakat juga membutuhkan hal-hal di atas demi mengatasi problema-problemanya atau
meraih kejayaannya. Tekad untuk menghadapi problema, dan meraih kejayaan harus dibarengi dengan kesadaran dan ketenangan jiwa dan ini
yang menjadi penafsiran mengapa cara pengendalian diri dan pengarahan keinginan puasa dilakukan dalam bentuk tertentu sehingga tidak ada yang
mengetahui hakikatnya kecuali pelakunya bersama dengan Allah SWT dan dari sinilah kesadaran yang dimaksud di atas diperoleh, sedang niat
melakukannya demi karena Allah akan menimbulkan ketenangan dan ketenteraman.
41
Shalat dan Zakat merupakan dua pokok ibadah yang dalam berbagai
39
Ibid, h. 186.
40
Ibid, h. 63
41
M. Quraish Shihab, “Falsafah Ibadah dalam Islam”, dalam Ismail Muhammad Syah,
Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet. Ke-2, , h. 198.
dalil selalu disandarkan. Karena Pelaksanaan salat melambangkan baiknya hubungan seseorang dengan Tuhan, sedang zakat adalah lambang
harmonisnya hubungannya dengan sesama manusia.
42
Adapun hikmah serta urgensi zakat adalah Sebagai perwujudan dari keimanan kepada Allah dan keyakinan akan kebenaran ajarannya.
Perwujudan dari syukur nikmat, terutama nikmat harta benda. Meminimalkan
sifat kikir,
rnaterialistik, Egoistik,
dari hanya
mementingkan diri sendiri. karena Sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah membersihkan,
menyucikan, dan membuat ketenangan jiwa muzakki orang yang berzakat.
43
Ibadah Haji juga merupakan pensucian roh. dalam mengerjakan haji di Mekkah, orang berkunjung ke Baitullah Rumah Tuhan dalam arti rumah
peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah. Sebagaimana halnya dalam salat, orang di sini juga merasa dekat sekali dengan Tuhan.
Bacaan-bacaan yang diucapkan sewaktu mengerjakan haji itu juga merupakan dialog antara manusia dengan Tuhan. Usaha pensucian roh di
sini disertai oleh latihan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal sederhana. Selama mengerjakan haji perbuatan-perbuatan
tidak baik harus dijauhi. Di dalam haji terdapat pula latihan rasa bersaudara antara semua manusia, tdak ada perbedaan antara kaya dan miskin, raja dan
rakyat biasa, antara besar dan kecil, semua sederajat.
44
Pada intinya,ibadah haji adalah momentum kebersamaan ummat Islamyang beranekal ragam, mereka datang dari penjuru negeri yang
berbeda pula, dengan latar belakang beraneka, baik kaya, miskin, kulit putih, kulit hitampostur tinggi, dan postur sederhana, dengan melepas
semua sekat perbedaan diantara mereka dan memakai pakaian yang sama dan tak lebih dari beberapa lipatan kain yang tidak mewah menuju sebuah
42
M. Quraish Shihab, Op. Cit, h. 127.
43
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, h. 87-89.
44
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. Kelima, h38.
tujuan yang sama yakni beribadah kepada Allah Swt. Ini merupakan suatu keterpaduan yang terbentuk dari suatu ritual peribadatan yang secara
maknawi bisa mendatangkan suatu emosional yang positif antara ummat Islam dengan latar belakang yang berbeda. Hal demikian yang diistilahkan
Jalaluddin Rakhmat sebagai dasar Tauhidul Ibadah yang menjadi Tauhidul Ummah, yaitu suatu kesatuan berawal dari peribadatan dan berimplikasi
pada kesatuan dalam persaudaraan ummat Islam.
3.
Dimensi Eksperensial Penghayatan
Dimensi ini memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Meski tidak tepat bila dikatakan
seorang yang beragama baik akan mendapatkan puncak dalam pengalaman keagamaan berupa mencapai sebuah kekuatan supra natural tertentu.
Dimensi ini hanya mengenai pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi dan sensasi yang dialami seorang religius.
45
Meski memang di dalam realita keberagamaan terutama di dialam Islam dikenal dengan wali yang
umumnya dipahami sebagai sosok yang berkomitmen kuat dengan agamannya, serta memiliki kemampuan tertentu yagn dianggap luar biasa
oleh kaum awam. Namun inti penghayatan keagamaan bukan itu, karena manusia beragama sebagai bentuk pengkhidmatan kepada Tuhan, bukan
bertujuan mencari kesaktian. Adapun ada yang mengalami hal diluar kebiasaan, merupakan nilai tambah seorang yang beragama.
Dimensi eksperensial sejalan dengan ihsan dalam Islam. dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seorang muslim merasa dekat dan dilihat
oleh Tuhannya dalam kehidupan. Dimensi ini di dalam Islam mencakup perasaan dekat dengan Allah, SWT, perasaan nikmat dalam beribadah, dan
hal lainya yang bernuansa menghadirkan Allah di setiap aspek kehidupannya.
46
Maka dimensi eksperensial sebuah sensasi individu dalam beragama, sebagai efek dari penjiwaan akan tindakan keagmaan yang
45
Ancok. Op. Cit, H. 77-78.
46
Nashori, Op. Cit, h. 81.
dipatuhinya. Pada penelitian ini, dimensi ekperensial digunakan untuk mengukur
tingkat penghayatan siswa terhadap ibadat yang dijalaninya. Karena pada dasarnya seorang yang beribadat hendaknya megnalami suatu hal yang
dirasakannya saat menjalani peribadatan tersebut. Dengan hal demikian akan terlihat tingkat keseriusan dan kedewasaan siswa dalam beragama.
Maka dari itu dimensi ini relevan dalam mengakaji sikap keberagamaan siswa tunanetra, sebagai nilai lain dari keberhasilan pembelajaran agama
yang dialaminya. 4.
Dimensi Konsekuensial Pengamalan Keagamaan
Dimensi pengamalan atau konsekuensial merupakan dimensi yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman dan pengetahuan keagamaan dari hari-kehari.
47
Dimensi ini merupakan akumulasi dari berbagai sisi keberagamaan. Yang berpengaruh
pada kepribadian pemeluknya dan bisa membentuk yang cara pandang dan perbuatan seseorang dalam kehidupannya. Hal ini menunjukan bahwa
agama secara fungsional bukan hanya sebagai jalan untuk mencurahkan keyakinan dan ketaatan terhadap ajaran semata, melainkan bisa
berpengaruh terhadap sisi psikologis pemeluknya yang bedampak pada segala aspek manusia. kemudian bisa melahirkan sebuah tindakan bernilai
religi dalam bermasyarakat. Dimensi amal ini bisa dikatakan sebagai akhlak dalam Islam. suatu
yang menyangkut dengan kegiatan pemeluk agama dalam merealisasikan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan. Dimensi ini menyangkut
hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya
48
. Artinya dimensi eksperensial sebagai sebuah tindakan sosial yang didasari nilai keagamaan, termasuk sikap terhadap
lingkungan sekitar. Bisa dikatakan dimensi ini sebagai sebuah sikap keberagamaan sebagai finalitas pengkhidmatan terhadap agama, yang
47
Ancok, Op. Cit, h. 78.
48
Nashori, Op. Cit, h. 80.
membentuk moralitas dalam masyarakat religius. Nilai muamalah merupakan nilai yang melibatkan antara satu
makhluk dengan makhluk yang lainnya. Disini mengatur masalah hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Karena
manusia tidak bisa lepas dari keterlibatan orang lain di dalam kehidupannya, darinya manusia disebut dengan makhluk sosial. Begitu pula
dengan alam, manusia hidup di tengah alam semesta yang menyediakan fasilitas dari berbagai kebutuhan manusia dimulai dari kebutuhan pokok
dan kebutuhan lainnya. Dari keduanya, manusia sebagai individu dan kelompok dituntut untuk menjalin hubungan dengan baik guna meraih
keselarasan secara sosial. Hal demikian juga berlaku dalam berhubungan dengan alam beserta lingkungan tempat seseorang tinggal, diharuskan
untuk menjaga keseimbangan alam sekitar supaya tidak terjadi kerusakan yang akan mendatangkan kemadlaratan kepada kehidupan baik individu
maupun kelompok. Disini agama Islam meberikan pengarahan bagi pemeluknya.
Hubungan sesama muslim yang begitu akrab sangat sejalan dengan nilai yang dikembangkan oleh Islam sendiri yaitu bahwa sesungguhnya
setiap orang yang beriman itu bersaudara sebagaimana penegasan Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat 49:10. Begitu pula sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa “Seorang muslim itu
bersaudara dengan muslim yang lain ”, H.R. Bukhari.
49
Dalam Muamalah bukan hanya sekedar hubungan baik secara interaktif, harus diperhatikan pula segala hal yang bisa menimbulkan
perhatian atau kenyamanan antar sesama muslim. Dalam hal estetika berupa, pakaian yang merangsang dorongan seksual lawan jenis
bertentangan dengan kaedah pergaulan dalam Islam. Perlakuan yang tidak wajar dalam hubungan lawan jenis, salah satunya disebabkan oleh
rangsangan yang timbul dari cara berpakaian yang membangkitkan gairah
49
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 127.
seksual.
50
Seorang muslim dituntut untuk menjalin hubungan Hubungan keluarga, sanak saudara, dan guru. Hubungan antara seoranganak kepada
keluarga atau kedua orang tuanya terlihat dari intenistas hubungan baik dengan kedua orang tuanya. Biasanya seorang pelajar melakukan hubungan
baik itu dengan cara bersalaman, meminta doa kepada kedua orang tua saat hendak berrangkat ke sekolah. Serta pula melakukan perilaku demikian
kepada guru di sekolah.
51
Manusia berkiprah di muka buni ini bukan sekedar kebetulan ataupun untuk menempatinya secara Cuma-Cuma. Manusia mengemban
suatu tanggungjawab untuk memakmurkan bumi serta menjaga keselarasan dan kestabilan alam sekitar yang menjadi tempat kehidupannya. Dalam arti
manusia harus menjaga kestabilan alam dan menjaga diri untuk berbuat kerusakan yang mengganggu ekosistem yang akan mendatangkan
kemadlaratan. Dimensi konsekuensial digunakan untuk mengukur kepribadian atau
sikap siswa dalam melakukan berbagai hal yang dikerjakannya. penulis akan melihat dari sisi maksud dan tujuan yang mendasari dari setiap
perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu dilatarbelakangi agama, maka bisa dikatakan sikap keberagamaan telah tumbuh pada diri siswa
tunanetra, dan jika sebaliknya, maka belum tumbuh sikap keberagamaan tersebut. Penulis pun akan mengukur tingkat penerimaan ssiswa terhadap
berbagai kondisi yang dialami dalam kehidupoan siswa. dengan demikian akan terlihat rasa tingkat penerimaan siswa dalam menyikapi segala hal
yang menjadi keluh kesah siswa, dan akan terlihat tingkat kesabaran dan keikhlasan pada konteks siswa tunanetra sebagai gambaran akan nilai
agama yang tertanam pada diri siswa tunanetra.
50
Ibid, h. 130.
51
Ibid, h. 138.
5.
Dimensi Intelektual Pengetahuan Keagamaan
Dimensi pengetahuan, dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan
mendasar, baik mengenai ritus-ritus, kitab suci, serta tradisi-tradisi. Karena semua agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui
oleh pemeluknya. Semisal ilmu fikih dalam Islam yang memuat informasi mengenai peribadatan sebagai hasil dari fatwa para ulama sebagai hasil
pengkajian terhadap sumber ajaran Islam.
52
Masalah ilmu dalam Islam sangat urgensial, karena perkataan ilmu al-
il’m dalam al-Qur’an lebih banyak disebut setelah nama Allah. Bila ada persoalan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta dalam
menyikapi persoalan kehidupan. maka Islam mendorong fleksibilitas dan pilihan rasional yang terefleksi dalam ijtihad, kajian sungguh-sungguh
dalam merumuskan kaidah hukum Islam, yang baru, Syura musyawarah, dan ijma konsensus. Penegasan tersebut menunjukkan bahwa dalam
memahami sumber ajaran Islam sangat penting, agar religiusitas seorang muslim tidak sekedar atributif, dan hanya sampai pada tataran simbolisme
esoterik. Maka dimensi ini meliputi empat dimensi lainnya yaitu dimensi akidah, ibadah, akhlak, serta ihsan.
53
Maka bisa dipahami bahwa dimensi pengetahuan keagamaan adalah unsur mendasar yang bisa menggerakan perilaku keberagamaan. Sebuah
konsekuensi logis bila penganut agama tidak memiliki pengetahuan akan agama yang diyakininya, maka keberagamaan sesorang bisa dikatakan
sebagai tindakan reflektif atau hanya sebatas meniru tanpa didasari maksud dan tujuannya, karena tidak mengetahui alasan mendasar dari yang
dilakukannya. Jika sebelumnya dimensi eksperensial sebagai finalitas dari keberagamaan, pada dimensi intelektual ini bisa dikatakan sebagai jalan
dari keberagamaan yang meliputi seluruh aspek keberagamaan pemeluk dalam mencapai puncaknya ,termasuk dalam membentuk pengamalan atau
52
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2005, Cet. Ke-3, h. 46.
53
Nashori, Op. Cit, h. 82.
moralitas masyarakat religius. Maka dimensi pengetahuan ini lebih universal yang mendasari semua dimensi, oleh karena itu, pengetahuan
keagamaan merupakan suatu yang urgensial, sebagai pijakan dalam
keberagamaan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN