Pengertian Sikap Keberagamaan Efektivitas penanaman sikap keberagamaan pada siswa tunanetra (Studi Kasus pada Siswa Tunanetra Tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Pembina Tingkat Nasional Lebak Bulus Jakarta Selatan)

sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis dan jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan “etika”. Dari pemaknaannya, moral diartikan nilai- nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan istilah Moralitas ” dari kata sifat Latin moralis mempunyai arti dasarnya sama dengan “moral”, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. 14 Perlu kita pahami, bahwa agama mempunyai sifat mengikat kepada para pemeluknya,maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta mempunyai sifat ketulusan dan absolute yang tidak dapat ditolak oleh manusia, perintah manusia masih bisa dilawan, tapi Perintah Tuhan tak dapat ditentang. Faham inilah yang membuat norma-norma, akhlak yang diajarkan agama mempunyai pengaruhnya dalam membentuk manusia berakhlak dan berbudi pekerti luhur. 15 Keberagamaan erat kaitannya dengan keimanan dan ritual keagamaan. Kedua hal tersebut memang selalu berdampingan dalam keberagamaan manusia. Hal demikianlah yang akan membentuk kepribadian baik bagi pemeluknya dalam berbuat kebajikan atau kesalehan. Maka menengahi antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah peribadatan. Hal demikian merupakan konkretisasi rasa keimanan, karena ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan taqarrub. Dalam ibadat itu seorang Hamba Allah, merasakan kehampiran spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan 14 K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, Cet. Kesebelas, h. 7. 15 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. Kelima, h. 19 sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiositas. 16 Keimanan terhadap Tuhan merupakan pokok dari keberagamaan, dengan keyakinan itulah prilaku keberagamaan akan terbentuk sebagai efek dari keterkaitan antara makhluk dengan Penciptanya. Kualitas keyakinan akan berpengaruh pada kualitas perilaku pemeluknya. Menurut Kamrani, secara berurutan perilaku seseorang digiring oleh tata nilai, yang tata nilai sendiri keluar dari keyakinan seseorang. Jadi dari keyakinan believe or conviction muncul nilai value, kemudian muncul sikap attitude dan terakhir muncullah perilaku behavior. 17 Keterkaitan antara keimanan dan amal shaleh tidak serta merta menjadi hal yang padu dalam keberagamaan, diperlukan interaksi yang menghubungkan keduanya. Maka keimanan dan amal shaleh bisa terwujud dari tindakan ritual keagamaan atau ibadat. Ibadat bukan hanya sekedar ruang untuk berinteraksi dengan Khalik saja, tetapi juga bisa membentuk kepribadian bagi pelakunya. Karena disamping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental sebagaimana menurut Nurcholis Madjid, “karena sifatnya yang amat pribadi dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya, ibadat dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Sebagaimana Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. 18 Jadi disamping nilai vertical, ibadat pun bisa melahirkan nilai horizontal dengan sesama makhluk, dalam arti sebagai pembentuk moralitas.

B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan

Adapun mengenai dimensi keberagamaan, penulis akan mengacu pada teori yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark sebagaimana dibahas dalam buku Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso yang berjudul 16 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Terhadap Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, Cet. Keempat, h. 60-61. 17 Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikannya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 37. 18 Madjid, Op. cit, h. 61-62. Psikologi Islami, di dalamnya menguraikan lima dimensi keberagamaan yaitu Dimensi keyakinan Ideologis, dimensi praktik agama ritualistik, dimensi penghayatan eksperensial, dimensi pengetahuan keagamaan intelektual, dan dimensi pengamalan konsekuensial. Sdangkana dalam rinciannya penulis hanya akan membahas hal yhagn relevan dengan kebutuhan kebugtuhan kajian dalanm penelitiaqn skripsi ini. 1. Dimensi Ideologis Keyakinan Dimensi Idiologis berisi berbagai pengharapan, dimana penganut agama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. 19 semua penganut agama memiliki prinsip di dalam keyakinannya, maka dimensi inilah yang mendasari prinsip tersebut. Keberagamaan didasari oleh sebuah keyakinan yang teramat personal, sehingga dimensi ini merupakan sisi yang paling sensitif dalam beragama. adapun dimensi ideologis sama dengan akidah dalam Islam. dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran agama, serta masalah-masalah ghaib yang diajarkan agama. 20 Ada tiga katagori kepercayaan, yaitu kepercayaan yang menjadi dasar esensi suatu agama, semisal dalam Islam kepercayaan pada kenabian Nabi Muhamad Saw. Kemudian kepercayaan-kepercayaan mengenai tujuan Ilahi dalam menciptakan manusia, hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Kemudian kepercayaan mengenai sebagaimana di dalam Islam ada ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan cara terbaik dalam melaksanakan tujuan Ilahi, seperti halnya seorang muslim percaya bahwa melaksanakan amal saleh ia harus melakukan pengabdian kepada Allah, serta penghigmatan kepada sesama manusia. 21 19 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas Problematika Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. Ke-2, h. 77. 20 Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami, Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002, Cet. Ke-1, h. 78. 21 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2005, Cet. Ke-3, h. 44-45. Kompleksitas keagamaan pada masyarakat membawa seorang penganut agama harus dihadapkan pada dua hal, yakni ia harus menjalankan ajaran agama yang seutuhnya, dan dilain hal dihadapkan pada keyakinan lain yang secara sosial membawa penganut agama tertentu harus bisa menghargai keyakinan lain yang secara formal merupakan suatu hal yang dinilai salah oleh keyakinan lainnya. Dengan demikian keyakinan terhadap agama secara sosial harus diimbangi dengan pemahaman toleransi antar sesama manusia walaupun secara keyakinan mereka bertentangan. Secara umum boleh saja menyatakan semua agama itu benar, tapi bagi Islam ada pijakan yakni al-Quran yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. maka pernyataan tentang semua agama itu benar tidak boleh. Serta menyatakan Agama kita lebih baik dan meskipun memberikan pernyataan seperti itu akan mengganggu akidah ”. 22 Sebuah keyakinan tidak serta merta tumbuh dalam diri manusia, diperlukan stimulus untuk menumbuhkannya, serta pemeliharaan keyakinan sebagai usaha dalam menjaga keutuhan akidah. Berhati-hati dalam berkeyakinan, bertindak dan berucap mesti dilakukan guna terhindar dari kerusakan akidah yang akan menjerumuskan umat muslim. Kehati-hatian menjaga akidah atau munculnya kecemburuan membuktikan keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya. Agama adalah sesuatu yang utama bagi manusia termasuk para pelajar. Keyakinan dan sikap seperti itu merupakan karekteristik kedewasaan dalam beragama membuktikan kematangan beragama. Diantara pertanyaan untuk menaksir kematangan beragama menurut Clark sebagaimana dikutip oleh Kamrani, ialah pertanyaan tentang apakah agama itu merupakan sesuatu yang utama. 23 Ketauhidan merupakan unsur pokok keberagamaan dalam Islam Dengan tauhid itulah keberagamaan Islam bisa tegak, dan jika tauhid bisa tertanam dengan baik pada seorang muslim, maka dengan akan membentuk suatu kepribadian yang berkualitas baik dalam berkeyakinan maupun 22 Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 27. 23 Ibid, h. 35 bersosial. Menurut M. Amien Rais, “Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai value bagi manusia tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk dari Allah. 24 Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah Hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektifitas manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT Al-Hujurat: 13. 25 Umumnya bukti seorang beriman kepada Tuhan secara dzahir tergambar dari tindakan keagamaan semisal berdoa dan ikhtiar dalam perbuatan yang dilakukannya hanya karena Allah. Kesadaran akan adanya Tuhan bukan hanya sekedar dibuktikan dengan berdoa saja, tetapi ditambah pula dengan intensitas ingat terhadap Tuhan yang selalu menyertai dalam kehidupan ini. 26 Oleh karenanya, sebuah keyakinan kepada Allah ditandai dengan intensitas rasa selalu diawasi dalam sertiap perbuatan yang kemudian akan menimbulkan sikap kepatuhan, sehingga selalu menunaikan apa yang diajarkan agama dengan baik dan tidak lalai. Dalam arti akan menimbulkan kedisiplinan dalam sikap orang yang beriman, sebagaimana menurut Nurcholis Madjid, “Maka dalam rangka menanamkan budaya disiplin, 24 M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, tt, h. 13. 25 Ibid, h. 14. 26 Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 45-47.

Dokumen yang terkait

GAMBARAN HARGA DIRI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB-A) TPA BINTORO KABUPATEN JEMBER

0 4 92

Peran perpustakaan SLB dalam menumbuhkan kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra : studi kasus perpustakaan SlB-A Pembina Tingkat Nasioanl Jakarta

22 112 102

Perilaku Pencarian Informasi Pemustaka Tunanetra Pada Perpustakaan Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

0 4 167

PRESTASI DIRI PENYANDANG TUNANETRA (STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNANETRA Prestasi Diri Penyandang Tunanetra (Studi Kasus Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra/SLB A-YKAB Surakarta Tahun Ajaran 2012/2013).

0 0 17

PRESTASI DIRI PENYANDANG TUNANETRA (STUDI KASUS SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNANETRA Prestasi Diri Penyandang Tunanetra (Studi Kasus Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra/SLB A-YKAB Surakarta Tahun Ajaran 2012/2013).

0 1 14

EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMBAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) (Studi Kasus Pada Tingkat SMP YKAB di SLB-

3 11 16

PENDAHULUAN EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) (Studi Kasus Pada Tingkat SMP YKAB di SLB-A Jebres Surakarta).

0 0 16

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 14

PENDAHULUAN Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 6

Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.

0 4 146