sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis dan jika dipakai sebagai kata
benda artinya sama dengan “etika”. Dari pemaknaannya, moral diartikan nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan istilah Moralitas
” dari kata sifat Latin moralis mempunyai arti dasarnya sama dengan
“moral”, hanya lebih abstrak. Kita berbicara tentang
“moralitas suatu perbuatan”, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
14
Perlu kita pahami, bahwa agama mempunyai sifat mengikat kepada para pemeluknya,maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam
pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafat dan pemikiran manusia. Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta
mempunyai sifat ketulusan dan absolute yang tidak dapat ditolak oleh manusia, perintah manusia masih bisa dilawan, tapi Perintah Tuhan tak dapat
ditentang. Faham inilah yang membuat norma-norma, akhlak yang diajarkan agama mempunyai pengaruhnya dalam membentuk manusia berakhlak dan
berbudi pekerti luhur.
15
Keberagamaan erat kaitannya dengan keimanan dan ritual keagamaan. Kedua hal tersebut memang selalu berdampingan dalam keberagamaan
manusia. Hal demikianlah yang akan membentuk kepribadian baik bagi pemeluknya dalam berbuat kebajikan atau kesalehan. Maka menengahi antara
iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah peribadatan. Hal demikian merupakan konkretisasi rasa keimanan,
karena ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan taqarrub. Dalam ibadat itu seorang Hamba Allah, merasakan kehampiran
spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan
14
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, Cet. Kesebelas, h. 7.
15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985, Cet. Kelima, h. 19
sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiositas.
16
Keimanan terhadap Tuhan merupakan pokok dari keberagamaan, dengan keyakinan itulah prilaku keberagamaan akan terbentuk sebagai efek
dari keterkaitan antara makhluk dengan Penciptanya. Kualitas keyakinan akan berpengaruh pada kualitas perilaku pemeluknya. Menurut Kamrani, secara
berurutan perilaku seseorang digiring oleh tata nilai, yang tata nilai sendiri keluar dari keyakinan seseorang. Jadi dari keyakinan believe or conviction
muncul nilai value, kemudian muncul sikap attitude dan terakhir muncullah perilaku behavior.
17
Keterkaitan antara keimanan dan amal shaleh tidak serta merta menjadi hal
yang padu
dalam keberagamaan,
diperlukan interaksi
yang menghubungkan keduanya. Maka keimanan dan amal shaleh bisa terwujud
dari tindakan ritual keagamaan atau ibadat. Ibadat bukan hanya sekedar ruang untuk berinteraksi dengan Khalik saja, tetapi juga bisa membentuk
kepribadian bagi pelakunya. Karena disamping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental sebagaimana menurut Nurcholis
Madjid, “karena sifatnya yang amat pribadi dalam seginya sebagai hubungan
antara seorang hamba dan Tuhannya, ibadat dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Sebagaimana
Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial.
18
Jadi disamping nilai vertical, ibadat pun bisa melahirkan nilai horizontal dengan
sesama makhluk, dalam arti sebagai pembentuk moralitas.
B. Dimensi-dimensi Sikap Keberagamaan
Adapun mengenai dimensi keberagamaan, penulis akan mengacu pada teori yang dirumuskan oleh C. Y. Glock dan R. Stark sebagaimana dibahas
dalam buku Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso yang berjudul
16
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Terhadap Keimanan Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, Cet.
Keempat, h. 60-61.
17
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikannya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 37.
18
Madjid, Op. cit, h. 61-62.
Psikologi Islami, di dalamnya menguraikan lima dimensi keberagamaan yaitu Dimensi keyakinan Ideologis, dimensi praktik agama ritualistik, dimensi
penghayatan eksperensial, dimensi pengetahuan keagamaan intelektual, dan dimensi pengamalan konsekuensial. Sdangkana dalam rinciannya
penulis hanya akan membahas hal yhagn relevan dengan kebutuhan kebugtuhan kajian dalanm penelitiaqn skripsi ini.
1.
Dimensi Ideologis Keyakinan
Dimensi Idiologis berisi berbagai pengharapan, dimana penganut agama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
19
semua penganut agama memiliki prinsip di dalam keyakinannya, maka dimensi inilah yang mendasari
prinsip tersebut. Keberagamaan didasari oleh sebuah keyakinan yang teramat personal, sehingga dimensi ini merupakan sisi yang paling sensitif
dalam beragama. adapun dimensi ideologis sama dengan akidah dalam Islam. dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun
iman, kebenaran agama, serta masalah-masalah ghaib yang diajarkan agama.
20
Ada tiga katagori kepercayaan, yaitu kepercayaan yang menjadi dasar esensi suatu agama, semisal dalam Islam kepercayaan pada kenabian
Nabi Muhamad Saw. Kemudian kepercayaan-kepercayaan mengenai tujuan Ilahi dalam menciptakan manusia, hanya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Kemudian kepercayaan mengenai sebagaimana di dalam Islam ada ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan cara terbaik
dalam melaksanakan tujuan Ilahi, seperti halnya seorang muslim percaya bahwa melaksanakan amal saleh ia harus melakukan pengabdian kepada
Allah, serta penghigmatan kepada sesama manusia.
21
19
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Solusi atas Problematika Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, Cet. Ke-2, h. 77.
20
Fuad Nashori, dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami, Jogjakarta: Menara Kudus Jogjakarta, 2002, Cet. Ke-1, h. 78.
21
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2005, Cet. Ke-3, h. 44-45.
Kompleksitas keagamaan pada masyarakat membawa seorang penganut agama harus dihadapkan pada dua hal, yakni ia harus
menjalankan ajaran agama yang seutuhnya, dan dilain hal dihadapkan pada keyakinan lain yang secara sosial membawa penganut agama tertentu harus
bisa menghargai keyakinan lain yang secara formal merupakan suatu hal yang dinilai salah oleh keyakinan lainnya. Dengan demikian keyakinan
terhadap agama secara sosial harus diimbangi dengan pemahaman toleransi antar sesama manusia walaupun secara keyakinan mereka bertentangan.
Secara umum boleh saja menyatakan semua agama itu benar, tapi bagi Islam ada pijakan yakni al-Quran yang menyatakan bahwa agama yang
diridhai Allah hanyalah Islam. maka pernyataan tentang semua agama itu benar tidak boleh. Serta menyatakan Agama kita lebih baik dan meskipun
memberikan pernyataan seperti itu akan mengganggu akidah ”.
22
Sebuah keyakinan tidak serta merta tumbuh dalam diri manusia, diperlukan stimulus untuk menumbuhkannya, serta pemeliharaan keyakinan
sebagai usaha dalam menjaga keutuhan akidah. Berhati-hati dalam berkeyakinan, bertindak dan berucap mesti dilakukan guna terhindar dari
kerusakan akidah yang akan menjerumuskan umat muslim. Kehati-hatian menjaga akidah atau munculnya kecemburuan membuktikan keyakinan
yang kuat terhadap agama yang dianutnya. Agama adalah sesuatu yang utama bagi manusia termasuk para pelajar. Keyakinan dan sikap seperti itu
merupakan karekteristik kedewasaan dalam beragama membuktikan kematangan beragama. Diantara pertanyaan untuk menaksir kematangan
beragama menurut Clark sebagaimana dikutip oleh Kamrani, ialah pertanyaan tentang apakah agama itu merupakan sesuatu yang utama.
23
Ketauhidan merupakan unsur pokok keberagamaan dalam Islam Dengan tauhid itulah keberagamaan Islam bisa tegak, dan jika tauhid bisa
tertanam dengan baik pada seorang muslim, maka dengan akan membentuk suatu kepribadian yang berkualitas baik dalam berkeyakinan maupun
22
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 27.
23
Ibid, h. 35
bersosial. Menurut M. Amien Rais, “Tauhid berarti komitmen manusia
kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan
menjadi nilai value bagi manusia tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk dari Allah.
24
Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain
mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah Hamba Allah yang berstatus sama.
Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektifitas
manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya.
Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT Al-Hujurat:
13.
25
Umumnya bukti seorang beriman kepada Tuhan secara dzahir tergambar dari tindakan keagamaan semisal berdoa dan ikhtiar dalam
perbuatan yang dilakukannya hanya karena Allah. Kesadaran akan adanya Tuhan bukan hanya sekedar dibuktikan dengan berdoa saja, tetapi ditambah
pula dengan intensitas ingat terhadap Tuhan yang selalu menyertai dalam kehidupan ini.
26
Oleh karenanya, sebuah keyakinan kepada Allah ditandai dengan intensitas rasa selalu diawasi dalam sertiap perbuatan yang kemudian akan
menimbulkan sikap kepatuhan, sehingga selalu menunaikan apa yang diajarkan agama dengan baik dan tidak lalai. Dalam arti akan menimbulkan
kedisiplinan dalam sikap orang yang beriman, sebagaimana menurut Nurcholis Madjid,
“Maka dalam rangka menanamkan budaya disiplin,
24
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, tt, h. 13.
25
Ibid, h. 14.
26
Kamrani Buseri, Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, Telaah Phenomenologi dan Strategi Pendidikanya, Yogyakarta: UII-Press, 2004, h. 45-47.