Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
sebanyak 309.146 penderita tunanetra.
5
Hasil Susenas tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah disabilitas secara keseluruhan adalah 2,13 juta
orang dengan 339.209 orang adalah penyandang tunanetra.
6
Hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik BPS, menjelaskan jumlah penyandang tunanetra di wilayah DKI
Jakarta yang dibedakan menjadi beberapa klasifikasi tingkat kesulitan melihat. Berdasarkan klasifikasi tingkat kesulitan melihatnya adalah tidak sulit
7.631.889 jiwa, sedikit sulit 270.390 jiwa, parah 16.372, dan yang tidak ditanyakan sebanyak 82.764, jumlah keseluruhan 8.001.415 jiwa.
7
Berdasarkan data tersebut membuktikan bahwa angka penyandang tunanetra di Indonesia masih sangat tinggi dan cenderung mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Kebutaan atau gangguan penglihatan dapat mengganggu produktivitas
dan mobilitas seseorang yang akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat dan negara. Rendahnya
produktivitas seorang tunanetra jelas memberikan dampak negatif pada pendapatan income yang optimal dari suatu keluarga kemudian suatu daerah
tempat tinggalnya.
5
Hermana, ”Pemberdayaan Penyandang Cacat: Apa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?”, diakses pada Selasa, 06 Januari 2015 dari http:www.kemsos.go.idmodules.php
?name=Newsfile= articlesid=594.
6
Linda Amalia Sari Gumelar, “Keynote speech pada acara rapat kerja nasional Persatuan
Tunanetra Indonesia PERTUNI tahun 2011 Jakarta, 14 Desember 2011 ” diakses dari
http:pertuni.idp-europe.orgRakernas2011Rakernas2011-keynote_Menteri_Pemberdayaan_ Perempuan.php.
7
Data BPS 2010 Diakses pada 20 Januari 2015 dari Jakarta.bps.go.id
Pendapatan yang rendah disebabkan karena kesempatan kerja untuk seseorang yang memiliki kekurangan pada fisik masihlah sangat terbatas.
Perusahaan atau pemberi kerja belum mau menerima para pekerja yang memiliki kecacatan pada diri pekerjanya dengan alasan produktivitas.
Produktivitas mereka yang rendah di lain pihak juga kerap menimbulkan penolakan secara terang-terangan atau tersembunyi, karena dianggap kurang
mampu menyesuaikan diri di lingkungannya. Dalam Undang-undang No.4 tahun 1997 menegaskan bahwa
penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat
berhak memperoleh: 1 pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2 pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis
dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3 perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; 4
aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5 rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan 6 hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.
8
8
Hermana, “Pemberdayaan Penyandang Cacat: Apa Tanggung jawab Sosial Perusahaan?”, diakses pada Selasa, 06 Januari 2015 dari http:www.kemsos.go.idmodules.php
?name= Newsfile=articlesid=594.
Undang-undang No.4 tahun 1997 jelas menerangkan tentang kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama bagi penyandang cacat di segala
aspek kehidupan tanpa melihat adanya perbedaan. Seseorang yang memiliki keterbatasan fisik juga memiliki kesempatan dan peran yang sama di
masyarakat. Dalam Al-Quran terdapat surah yang menerangkan seruan untuk
memperhatikan penyandang tunanetra. Adapun surah yang menggambarkan tentang tunanetra terdapat dalam Al-Quran surah Abassa ayat 1-3:
Artinya: “Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling 1,
karena telah datang seorang buta kepadanya 2, Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya dari dosa
3”.
Surat Abassa mengisahkan pada suatu ketika Rasulullah SAW sedang menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang dia harapkan
agar mereka masuk Islam. Pada saat itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah SAW
membacakan ayat-ayat Al-Quran yang telah diturunkan Allah SWT. Tetapi, Rasulullah SAW bermuka masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi
Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap Ibnu Ummi Maktum. Dengan ayat tesebut sangat
tegas Allah SWT menyerukan kepada umatnya untuk tidak mengacuhkan tunanetra.
Undang-undang dan ayat Al-Quran jelas menerangkan untuk memberikan hak, kewajiban dan kedudukan yang sama kepada tunanetra,
sayangnya upaya untuk memberikan tunanetra hak serta posisi yang sama di masyarakat belum terlihat hasil yang memuaskan. Masih banyak tunanetra
yang mengalami kesulitan dalam mempertahankan kehidupanya. Pada umumnya tunanetra akan lebih mendapatkan simpati dari orang lain, ironisnya
hal tersebut banyak dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mengambil keuntungan pribadi seperti memanfaatkan kekurangannya untuk mencari
sumbangan di pinggir jalan. Hal ini membuktikan masih minimnya upaya pemerintah dalam menanggulanggi permasalahan tunanetra di Indonesia.
Sikap-sikap dari masyarakat umum terhadap orang-orang dengan kecacatan fisik telah diselidiki. Hasilnya menunjukan bahwa sikap yang
diverbalisasikan diungkapkan dengan kata-kata terhadap orang yang cacat akan sedikit menyenangkan, tetapi bagi sebagian kecil mungkin benilai
negatif. Sikap-sikap lebih dalam yang tidak diungkapkan lebih sering menimbulkan rasa permusuhan. Kadang kecacatan fisik yang mencolok dapat
mengundang ejekan.
9
Dengan segala permasalahan yang ada di masyarakat mulai dari kurangnya akses, merasa dirinya berbeda dengan yang lain, serta berbagai
pengucilan yang diterima oleh penyandang tunanetra akan menyebabkan tekanan dan kecemasan di dalam diri mereka. Tunanetra merasa mengalami
9
Yustinus Semium, Kesehatan Mental 2 Yogyakarta:KANISIUS,2006, h.297.
penolakan dan perlakuan yang berbeda yang dapat mengakibatkan peran sosialnya terhambat. Menariknya, dengan semua tekanan yang mereka
rasakan, tunanetra tetap harus menjalani dan melanjutkan kehidupannya untuk mencapai kesejahteraan di masyarakat. Untuk itu, diperlukan resiliensi
ketahanan pada diri tunanetra untuk mengatasi tekanan hidup yang mereka hadapi. Resiliensi menurut Revich dan Shatte adalah kemampuan seseorang
untuk bangkit dan berkembang dalam menghadapi tekanan hidup ataupun stres yang menimpanya.
Dalam penelitian ini peneliti memilih Yayasan Khazanh Kebajikan sebagai tempat penelitian. Yayasan Khazanah Kebajikan adalah lembaga
sosial keagamaan yang didirikan untuk menampung kaum dhuafa, anak yatim dan tunanetra. Yayasan Khazanah Kebajikan merupakan tempat berkumpul
dan tempat berkegiatan bagi tunanetra yang berada di Cinere dan sekitarnya. Yayasan khazanah kebajikan telah berdiri sejak tahun 1992, sampai saat ini
sudah lebih dari 100 tunanetra yang mengikuti kegiatan di Yayasan khazanah kebajikan. Yayasan ini sudah banyak mendapatkan bantuan dari tokoh-tokoh
terkemuka di Indonesia, seperti Yusuf Kalla dan Keluarga Cendana. Berdasarkan pemaparan diatas dalam skripsi ini peneliti akan melakukan
penelitian yang berjudul
“Resiliensi Tunanetra Binaan Yayasan Khazanah Kebajikan dalam Mencapai Kesejahteraan di Masyarakat
”.