Profil Informan 4 Gambaran Umum Informan

pijatnya sudah banyak berkurang dan tidak seramai saat pertama ia menekuni profesi tersebut. Pelanggan pijatnya saat ini lebih senang untuk pergi ke tempat pijat refleksi yang pemberi jasanya adalah orang awas. Selain tempatnya yang lebih nyaman, pelayanannya juga dirasa lebih baik dari pada tunanetra. Walaupun saat ini Bapak Drajat sudah beralih profesi sebagai penjual kerupuk, tetapi ia tetap menerima panggilan apabila ada seseorang yang membutuhkan jasa pijatnya. Dari profesinya saat ini ia mampu menafkahi keluarganya yang berdomisili di Tegal. Bapak Drajat memiliki seorang istri yang juga seorang tunanetra dan dua orang anak. 62

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Resiliensi tunanetra binaan yayasan khazanah kebajikan dalam

mencapai kesejahteraan di masyarakat Berdasarkan hasil penelitian tentang resiliensi tunanetra binaan yayasan khazanah kebajikan dalam mencapai kesejahteraan di masyarakat, peneliti menemukan data, bahwa tunanetra binaan yayasan khazanah kebajikan mampu bertahan dalam mencapai kesejahteraan di masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Revich dan Shatte pada BAB II halaman 22 seseorang yang memiliki ketahanan yang baik merupakan seseorang yang memiliki komitmen tinggi untuk memecahkan masalah mereka, tidak menyerah, dan bergerak maju menemukan solusi dari permasalahan. 1 Tunanetra binaan yayasan khazanah kebajikan berhasil bergerak maju, tidak menyerah pada keadaan dan tetap bersemangat dalam menjalani kehidupannya. Ini menunjukan bahwa individu tunanetra telah memiliki kemampuan untuk bertahan. Kemampuan bertahan tunanetra diperoleh melalui 7 aspek resiliensi yaitu, regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Selain itu resiliensi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu, faktor I am, I have dan I can. 1 Keren Reivich dan Andrew Shatte, The Resilience Factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles New York: Broadway Book, 2002, BAB II hal 22.

1. Aspek Resiliensi

Dimana menurut Reivich dan Shatte terdapat 7 kemampuan yang berkontribusi dalam pembentukan resiliensi ketahanan, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. a. Regulasi Emosi Emotion regulation Keadaan emosi seperti kecemasaan dan depresi, umumnya dialami oleh tunanetra yang baru kehilangan penglihatan. Dalam keadaan depresi, orang tidak mampu membuat pertimbangan yang sehat, tidak realitis, pesimis dan membayangkan tentang masa depan yang suram. Mereka tidak pernah membayangkan kehidupan yang sebelumnya berjalan normal namun seketika harus merasakan kegelapan untuk selamanya. Perasaan ini yang sempat dirasakan oleh Bapak Edi saat pertama kali mengalami kebutaan: “Awalnya memang iya awalnya, pertama dalam artian kita bisa melihat, kan pasti ada suatu apa ya merasa ga menyangka juga ada suatu hal, malukan gitukan istilahnya keluar rumah ga terlalu kaya gini, istilahnya ga terlau berani gitu, masalahnya kitakan takut kecebur got atau apa gitukan. Jadi masih ada semacam apa ya ada sesuatu inilah satu kekurangan. Saya juga waktu itu pas awal pertama itu saya masih belum itu, menyangkal juga kalau saya jadi orang buta itu, egak saya ga buta.” 2 Bapak Setu juga sempat merasakan malu dan tidak percaya diri dengan kondisinya. Bapak Setu mengalami ketunanetraan sejak usia 5 2 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cireundeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV. tahun, meskipun begitu perasaan malu dan tidak percaya diri justru datang saat ia kuliah. Hal ini disampaikan oleh Bapak Setu: “Dulu iya pernah ngerasa kaya gitu tapi sekarang egak, waktu dulu masih kuliah, kan itu di SPGI, malu temen-temen kalo pulang kuliahkan pada bawa motor, saya pulang bawa tongkat. Temennya orang awas semua masalahnya, saya doang yang tunanetra jadi ngerasa minder, malu git u.” 3 Ibu Astutipun demikian, ketika pertama kali mengalami ketunanetraan ia sempat merasakan perasaan takut akan kondisinya. Ia yang harus menerima kenyataan tidak dapat melihat pada saat duduk di kelas 6 SD merasakan ketidakadilan atas apa yang terjadi padanya. Hal ini diutarakan oleh Ibu Astuti: “Tapi waktu itu waktu masih kecilnya malah, temen kok masih bisa liat tapi kok ga kaya mereka- mereka.” 4 Dari pernyataan diatas tergambar bahwa perasaan malu, tidak percaya diri, takut dan menyangkal dengan keadaan pernah mereka rasakan. Perasaan tersebut tidaklah bertahan lama, saat ini mereka telah berhasil mengatasi tekanan yang ada. Mereka telah menerima kekurangan yang ada dan berusaha bangkit menjalani kehidupan. Mereka mampu meregulasi emosi dan keluar dari semua persaan tersebut. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dan mengembangkannya dapat membantu mereka dalam mengontrol emosi, 3 Wawancara Pribadi dengan Setu, Pondok Cabe III, 23 April 2015, lihat lampiran V. 4 Wawancara Pribadi dengan Astuti, Pondok Cabe III, 19 Mei 2015, lihat lampiran VI.