Pengendalian Impuls Impuls Control

“kalo itu ya dari pengalaman kita aja, kita ga pernah belajar, kalo ga tau itu kita nanya aja sama yang beli berapa uangnya gitu aja. Jadi ga ada belajar dulu, kita percaya aja sama yang beli.” 7 Peneliti membuktikan langsung dengan mengetes apakah tunanetra mampu membedakan nominal uang yang ada pada uang kertas atau tidak. Peneliti membeli kerupuk dengan harga Rp.10.000 dan memberikan uang kepada Bapak Edi. Bapak Edi meraba uang tersebut dan berusaha menerka nominalnya. Tetapi tidak berapa lama Bapak Edi kembali bertanya kepada peneliti berapakah nominal uang yang diberikan. Menurut penerkaannya uang tersebut bernominal Rp.10.000, tetapi sebenarnya uang tersebut bernominal Rp.20.000” 8 Terbukti tidak adanya keahlian khusus pada tunanetra untuk membedakan nominal uang. Mereka hanya berlatih secara otodidak tanpa dibekali pelatihan terlebih dahulu. Hal ini tentu dapat merugikan tunanetra, karena minimnya keahlian membuat mereka rentan terkena penipuan. Tetapi hal tersebut seakan tidak mempengaruhi mental mereka. Ini membuktikan bahwa tunanetra memiliki mental yang kuat, meskipun rentan mengalami aksi penipuan, tetapi mereka tidak merasa khawatir dan tetap bersemangat dalam berjualan. Dari apa yang diungkapkan diatas membuktikan bahwa tunanetra mampu mengendalikan impuls yang ada di diri mereka. Pengendalian impuls merupakan kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Tunanetra 7 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cirendeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV. 8 Catatan lapangan observasi peneliti pada 22 April 2015, lihat lampiran I. mampu mengendalikan diri untuk tidak merasa marah, kecewa, dan mampu keluar dari tekanan-tekanan hidup yang mereka lalui.

c. Optimisme optimism

Dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari tunanetra harus tetap bekerja. Kekurangan fisik yang dimiliki tidak menjadikan sebuah alasan untuk tunanetra mengandalkan bantuan dari orang lain. Tunanetra tetap optimis dalam menjalani kehidupan dengan terus bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka sangat gigih berjuang tanpa mengharap belas kasihan, meski dalam keadaan yang serba keterbatasan. Namun, terbatas dan sempitnya lapangan pekerjaan untuk tunanetra berpengaruh pada kehidupan ekonomi mereka. Bapak Edi dan Bapak Drajat memilih bekerja sebagai seorang penjual kerupuk. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mereka melakukan pekerjaan yang mampu mereka kerjakan dengan kondisi mereka saat ini. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Edi: “Sebenernya tuh ya dalam artian pertama apa ya dalam artian kerja lebih sedikit lagi ya matanya udah sakit jadi kerja yang bisa aja. Semenjak waktu itu ini sih mata saya ga liat itu belum pernah istilahnya cari kerja lagi belum pernah. Terus kalo tunanetrakan sempit ya dalam arti ya beberapa item aja kerjaannya selama ini, kalo ga jadi tukang pijit, jadi operator atau marketing itu marketingnya lewat telphon. Tapi mereka lebih sempitkan ya kesempatannya juga terbatas ya kan, kaya tenaga kerja di suatu perusahaankan belum tentu inikan mau nerima.” 9 9 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cireundeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV. Dari pernyataan tersebut terungkap bahwa Bapak Edi memilih menjadi penjual kerupuk karena sempit dan terbatasnya kesempatan kerja untuk penyandang tunanetra. Banyak perusahaan yang tidak mau menerima para pekerja yang memiliki kekurangan fisik. Selain itu, Bapak Edi juga tidak memiliki keahlian lain, karena semenjak ia mengalami kebutaan ia belum pernah mendapatkan pelatihan ataupun pendidikan nonformal untuk tunanetra. Sedangkan Bapak Drajat yang sebelumnya berprofesi sebagai juru pijat beralih menjadi penjual kerupuk dikarenakan semakin sedikitnya pelanggan jasa pijatnya. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Drajat: “Nah dengan tunanetra mijit sepi akhirnya mereka pada lari jualan kerupuk. Dulu panti-panti pijat tunanetra banyak dulu, sekarang udah berubah zaman sekarang kesaing sama orang-orang awas, jadi pemijatan untuk tunanetra itu berkurang, tunanetra tuh pada jualan kerupuk soalnya panti-pantinya sepi sek arang.” 10 Hal serupa juga dilakukan oleh Ibu Astuti yang awalnya berprofesi sebagai juru pijat, saat ini beralih membuka agen kerupuk. Ini dilakukan karena lahan pekerjaan tunanetra sebagai juru pijat telah tergeser dan kalah bersaing dengan orang awas yang juga berprofesi sebagai juru pijat. Hal ini disampaikan oleh Ibu Astuti: “Kalo dulu kan suka mijit tapi sekarang sepi mba mijitnya sekarang banyak sih orang liat yang mijit pada keliling jadi kita kesaing sama yang ngeliat. Ini udah bisa jualan kerupuk udah alhamdullillah ini udah ada jalan lain. Kalo sekarang sih saya jual kerupuk.” 11 10 Wawancara Pribadi dengan Sudrajat, Pondok Cabe III, 20 Juni 2015, lihat lampiran VII. 11 Wawancara Pribadi dengan Astuti, Pondok Cabe III, 19 Mei 2015, lihat lampiran VI. Hal ini menggambarkan bahwa memiliki kemampuan memijat saja belum cukup dalam memperoleh pekerjaan. Tidak memiliki wadah yang jelas membuat tunanetra kalah bersaing dengan para pemberi jasa pijat lainnya. Dengan begitu, tunanetra harus mencari profesi lain yang dirasa mampu mereka lakukan dan pekerjaan yang mereka pilih adalah berjualan kerupuk. Keuntungan dari hasil menjual kerupuk tidaklah besar. Mereka hanya mengambil keuntungan sebesar RP.2000 dari setiap satu bungkus kerupuk yang terjual. Satu harinya mereka mampu menjual 10-20 bungkus kerupuk. Dengan begitu mereka memperoleh penghasilan kurang lebih sebesar Rp.1.200.000-per bulannya. Meskipun, penghasilan yang didapat tergolong kecil tetapi mereka tetap merasa cukup dengan hasil yang didapat. Kehidupan yang jauh dari kata mewah terlihat dari tempat tinggal dan kehidupan sehari-hari tunanetra. Hal ini tergambar dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti saat berkunjung ke rumah Bapak Edi. Bapak Edi mengontrak disebuah rumah kontrakan kecil yang ditempati oleh istri dan anaknya. Kondisi kontrakan tersebut kurang layak, kontrakan satu petak itu dipenuhi dengan barang-barang yang berantakan. Kamar tidur, ruang tamu ser ta dapur menyatu menjadi satu dalam satu ruangan.” 12 12 Catatan lapangan observasi Peneliti pada 22 April 2015, lihat lampiran I.