Empati Empathy Aspek Resiliensi

Berbeda dengan Bapak Edi yang kurang dalam bersosialisasi dengan tetangga di tempat tinggalnya. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Edi: “Kalo di lingkungan sini saya ga terlalu banyak keluar rumah, jadi ya kalo ini aja ada undangan apa ya saya dateng tapi. Kalo kawinan saya dateng. Kalo sekarang saya ga terlalu banyak keluar ya istilahnya gak terlalu banyak nongkrong-nongkrong atau apa tapi paling di yayasan aja kalo sama temen-temen tunanetra saya sering ngobrol- ngobrol lah.” 18 Hal ini juga dibuktikan oleh peneliti saat mengunjungi rumah Bapak Edi, karena peneliti belum mengetahui rumah Bapak Edi maka peneliti bertanya kepada salah seorang warga yang terlihat. Saat peneliti bertanya dimana rumah Bapak Edi ternyata warga tersebut tidak mengetahuinya dan tidak mengenal sosok Bapak Edi. Padahal, jarak rumah warga tersebut dengan rumah Bapak Edi tidaklah terlalu jauh, hanya berkisar 200 m saja. Rupanya Bapak Edi memang tidak begitu sering keluar rumah dan bersosialisasi dengan tetangga yang ada. 19 Kemampuan berempati mutlak diperlukan oleh tunanetra guna menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan lingkungan. Dengan kemampuan tersebut membuat tunanetra dapat diterima di lingkungan dan akan berdampak kepada ketahanan mereka di masyarakat. 18 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cirendeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV. 19 Catatan Lapangan observasi pada 23 April 2015, lihat lampiran I.

f. Efikasi Diri Self-efficacy

Indera pengelihatan merupakan salah satu indera yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Kehilangan fungsi indera penglihatan tidak membuat aktifitas dari tunanetra terhambat. Mereka mampu memecahkan masalah yang ada dengan berupaya memaksimalkan fungsi indera lain yang dimiliki untuk menggantikan fungsi indera penglihatan. Melalui indera raba, indra pendengaran, indera penciuman, dan indera pengecap yang dimiliki oleh tunanetra dapat membantu mereka dalam memperoleh informasi tentang lingkungan, melakukan sosialisasi dan melakukan tugas-tugasnya dengan baik bahkan sebaik orang awas. Tunanetra akan memaksimalkan fungsi Indera pendengaran dan perabaan yang merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Dengan indera peraba, tunanetra mendapatkan rangsangan- rangsangan yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang dapat menjadi petunjuk bagi tunanetra untuk bergerak atau berpindah tempat sesuai dengan kehendaknya. Melalui indera pendengaran, tunanetra mampu menyebrang jalan dengan mendengar suara untuk megetahui posisi kendaraan yang melintas. Daya ingat pada tunanetra juga sangat kuat, dalam berpergian biasanya mereka akan menghafalkan arah jalan yang dilalui. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Bapak Edi: “Karena udah terbiasa bulak balik jadi hafal, saya harus belok kiri saya harus belok kanan yaudah, terus habis ini ada polisi tidur udah tau. Emang tunanetra gitu butuh hafalan kalau dia menemukan sesuatu yang baru dia harus belajar lagi. ” 20 Dengan memaksimalkan fungsi indera yang ada, tunanetra mampu menggantikan fungsi indera penglihatan yang tidak dimilikinya untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Dengan begitu, mereka dapat beraktifitas layakanya orang awas tanpa mengalami kesulitan. Selain itu, kekurangan fisik pada tunanetra tidak serta melemahkan ketahanan fisik mereka. Ketahanan fisik pada tunanetra diperlihatkan oleh tunanetra yang berprofesi sebagai penjual kerupuk. Mereka terbiasa menjajakan dagangannya dengan berkeliling berjalan kaki. Tidak jarang dari mereka yang harus berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo meter. Bukan hanya itu, resiko cuaca yang tidak bersahabat sering kali harus mereka lalui. Apabila cuaca sangat panas mereka harus rela untuk berjalan dibawah terik matahari dan apabila hujan turun tidak jarang mereka harus kehujanan. Jumlah kerupuk yang mereka bawa saat berjualan tidaklah sedikit, mereka mampu membawa hingga 100 bungkus kerupuk setiap harinya. Kerupuk jualan tersebut mereka bawa dengan cara dipikul pada pundak. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Drajat: “Ya paling dari sini Pondok Cabe, Cirendeu kadang sampe Pamulang, Lebak Bulus, Karang Tengah. Kalo saya keliling jalan aja, kalo sudah hafal ya tau, kalo belum hafal ya kita ini ngikutin tadi kemana itu, banyak nanya gitu harus banyak nanya. Kalo berangkat Setengah 4 pulang pulang jam 7 malem jam 8. Tapi kalo kerupuk sih enteng, tapi kalo karena banyak jadi berat, ada yang bawa 100 kantong, tergantung bawanya kalo banyak ya berat. Kalo 20 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cirendeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV. saya enakan keliling. Udah biasa jadi kita masuk-masuk kampung masuk-masuk gang, kalo udah biasa lewat sih hafal .” 21 Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang peneliti lakukan. Peneliti melihat tunanetra yang sedang berjualan kerupuk disekitar daerah Pondok Cabe. Seperti yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 01 Potret ketahanan fisik tunanetra Dengan berjalan membawa tongkat sakti dan memikul kerupuk dagangannya, ia tidak terlihat ragu untuk melewati jalan yang ramai dilalui oleh kendaraan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa ia mampu mengetahui keberadaan motor yang sedang berhenti di depannya, dengan sigap ia langsung mengambil arah berbelok kanan untuk menghindari motor tersebut. Dengan kemampuan dan fisik kuat yang dimiliki oleh tunanetra membuat mereka tidak mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas sehari-hari. Mereka mampu berjualan berjalan kaki dengan jarak berkilo 21 Wawancara Pribadi dengan Sudrajat, Pondok Cabe III, 20 Juni 2015, lihat lampiran VII.