Efikasi Diri Self-efficacy Aspek Resiliensi

saya enakan keliling. Udah biasa jadi kita masuk-masuk kampung masuk-masuk gang, kalo udah biasa lewat sih hafal .” 21 Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang peneliti lakukan. Peneliti melihat tunanetra yang sedang berjualan kerupuk disekitar daerah Pondok Cabe. Seperti yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 01 Potret ketahanan fisik tunanetra Dengan berjalan membawa tongkat sakti dan memikul kerupuk dagangannya, ia tidak terlihat ragu untuk melewati jalan yang ramai dilalui oleh kendaraan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa ia mampu mengetahui keberadaan motor yang sedang berhenti di depannya, dengan sigap ia langsung mengambil arah berbelok kanan untuk menghindari motor tersebut. Dengan kemampuan dan fisik kuat yang dimiliki oleh tunanetra membuat mereka tidak mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas sehari-hari. Mereka mampu berjualan berjalan kaki dengan jarak berkilo 21 Wawancara Pribadi dengan Sudrajat, Pondok Cabe III, 20 Juni 2015, lihat lampiran VII. kilo meter dengan memikul kerupuk dagangan yang jumlahnya tidak sedikit. Fisik mereka juga dituntut harus bertahan dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Ini membuktikan bahwa kekurangan fisik tidak membuat ketahanan fisik mereka terganggu. Keseharian tunanetra ditemani oleh tongkat sakti yang merupakan teman sejati bagi mereka. Setiap tunanetra wajib memiliki tongkat sebagai penanda bahwa mereka adalah penyandang tunanetra. Apabila mereka tidak menggunakan tongkat saat berjalan di jalan raya dan suatu ketika mereka tertabrak, maka mereka yang akan disalahkan karena tidak memiliki tanda. Selain sebagai tanda dan identitas bagi tunanetra, tongkat memiliki fungsi besar sebagai pengganti mata bagi tunanetra. Tongkat juga digunakan sebagai alat peringatan saat tunanetra berjalan karena berfungsi untuk mendeteksi hambatan jalan, memberikan informasi tentang tekstur permukaan jalan, sehingga tunanetra dapat mengetahui apakah yang akan dilaluinya. Belum tersedianya sarana dan prasarana jalan yang memadai untuk tunanetra membuat mereka harus sangat berhati-hati saat berjalan di jalan raya. Saat berjalan di pinggir jalan tidak jarang tunanetra mengalami kesulitan, apabila jalan tersebut tidak memiliki trotoar atau jalan khusus pejalan kaki. Kondisi jalan yang langsung berbatasan dengan saluran air dapat mengakibatkan tunanetra terperosok ke dalamnya. Bukan hanya itu, mereka juga harus waspada terhadap kendaraan yang melintas di jalan, tidak jarang dari tunanetra dapat tersenggol atau terserempet kendaraan yang melintas. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Astuti. “Tapi kadang itu motor ya kita udah di pinggir masih di klaksonnya kan bikin kita mau jatoh atau gimana gitu .” 22 Kondisi jalan yang kurang bersahabat tentu membuat tunanetra merasa tidak aman. Tunanetra tidak pernah tahu kapan mereka akan terperosok ataupun tertabrak kendaraan saat berada di jalan raya. Mereka dituntut harus selalu waspada dan berhati-hati dengan kemungkinan tersebut. Hal itu tentu menuntut tunanetra untuk bertahan dengan kondisi sarana dan prasarana umum yang masih belum memadai. Selain tongkat, penanda lain yang harus dimiliki oleh tunanetra adalah kacamata. Memang tidak semua tunanetra menggunakan kacamata dalam beraktifitas. Kacamata memiliki fungsi untuk melindungi mata dari debu, karena mata tunanetra yang terkena dan terpapar sinar matahari atau debu akan lebih sering mengeluarkan air dan tidak jarang mengeluarkan kotoran. Selain itu, kacamata membuat tunanetra terlihat lebih rapi dan lebih percaya diri. Tunanetra telah mampu menunjukan efikasi diri mereka dengan kepercayaan mereka terhadap kemampuan diri sendiri untuk memecahkan masalah. Mereka mampu keluar dari masalah dan tidak terbelengu dalam kesulitan yang ada. Mereka berhasil kembali ke masyarakat dengan percaya diri dan kemandirian yang dimiliki. 22 Wwancara Pribadi dengan Astuti, Pondok Cabe III, 19 Mei 2015, lihat lampiran VI.

g. Peningkatan Aspek Positif Reaching out

Individu yang resiliensi memiliki kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupannya setelah kemalangan yang menimpa. Tunanetra memiliki kemampuan untuk meningkatkan aspek positif yang ada di dalam diri mereka. Mereka mengembangkan kemampuan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di yayasan khazanah kebajikan. Tidak jarang dari tunanetra yang mengembangkan dirinya dalam segi agama. Banyak tunanetra yang mampu membaca Al-Quran braille dan menghafalkan Al-Quran serta menjadi Qori dan Qoriah. Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Khazanah Kebajikan. Peneliti menyaksikan Ibu Aisyah tunanetra membacakan ayat Al-Quran dengan lantunan suara yang merdu. Ibu Aisyah membacakan ayat tersebut tanpa menggunakan alat bantu dengan kata lain ia telah menghafalnya” 23 Bukan hanya itu, beberapa dari tunanetra mampu menjadi pengajar agama untuk tunanetra lain seperti mengajarkan membaca Al-Quran braille. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Setu: “Disini juga setiap senin pagi ada kegiatan belajar Al-Quran braille. Itu juga saya sendiri yang ngajar, ada tiga orang yang ngajar, saya sama dua temen saya ada. Jamaahnya dari luar banyak ada sekitar 25-30 orang. Kalo malem jumat kita juga yasinan bareng disini.” 24 23 Catatan Lapangan observasi pada 8 Maret 2015, lihat lampiran I. 24 Wawancara Pribadi dengan Setu, Pondok Cabe III, 23 April 2015, lihat lampiran V. Dengan keterbatasan yang ada pada tunanetra, tidak menghambat mereka untuk terus maju dan berkembang. Bapak setu membuktikan dengan mengembangkan diri memperdalam ilmu agama dan membaginya kepada teman tunanetra lain. Di Yayasan Khazanah Kebajikan selain dapat mengembangkan keagamaan mereka, disana mereka juga dapat mengembangkan aspek sosial dengan menemukan banyak teman baru, berbagi pengalaman, berkumpul bersama penyandang tunanetra lainnya yang membuat mereka merasa bahwa hidup ini tidak dilalui seorang diri tetapi masih banyak teman yang memiliki nasib yang sama. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Edi: “Ya seneng seneng ajah, istilahnya pertama ibadah kedua seperti kaya semua temen temen sesama itu ini apa seperti masuk komunitas aja jadi seneng seneng aja, kaya ketemu temen segeng kan seneng.” 25 Mereka merasa sangat senang saat berkumpul dengan tunanetra lainnya. Selain karena dianggap memiliki kekurang dan nasib yang sama mereka merasa bahwa tunanetra adalah seseorang yang memiliki humor yang tinggi. Dengan meningkatkan aspek positif yang ada di dalam diri membuat tunanetra dapat menjalani kehidupan dengan lebih bermakna dan jauh dari perasaan putus asa. 25 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cirendeu, 22 April 2015, lihat lampiran IV.

2. Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Ketahanan pada tunanetra selain diperoleh melalui 7 aspek resiliensi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri tunanetra. Dimana dalam BAB II halaman 30 Grotberg menggemukakan faktor-faktor resiliensi yang didefinisikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber- sumbernya digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah ’I Can’. 26

1. I Am Inner Strength

I am merupakan kekuatan individu yang ada di dalam diri pribadi. Dimana meliputi tingkah laku, perasaan dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Bapak Edi memiliki faktor I am di dalam diri yang membuatnya dapat bangkit serta percaya terhadap kemampuan dirinya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Edi: “ya saya melihat diatas kekurangan itu dikasih kelebihan saya perhatin ini gitu. Kita dikasih kekurangan pasti dikasih kelebihan, ya dikasih kelebihan yang apa gitu .” 27 Dari pernyataan tersebut tergambar bahwa Bapak Edi percaya dibalik kekurangan yang dimilikinya tersimpan sebuah kelebihan. Bapak Edi percaya terhadap kemampuan yang ada pada dirinya, ia yakin bahwa ia memiliki kelebihan dalam berbagai hal. Begitupun Bapak Setu yang 26 Paul Barnard, dkk., Children, bereavement and trauma: Nurturing resilience, h. 57-58. 27 Wawancara Pribadi dengan Edi, Cireundeu, 15 April 2015, lihat lampiran IV.