Keterangan: Log G: logaritma rata-rata geometrik
xi : nilai dari jawaban responden i n: jumlah responden
Perhitungan rata-rata geometrik tersebut dilakukan untuk pairwise comparison setiap responden.
2. Penyusunan prioritas Selanjutnya, rata-rata geometrik setiap pasangan pilihan menjadi skor yang
digunakan dalam penyusunan prioritas seperti langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas.
3.3.2 Decomposition
Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan decomposition, yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin
mendapatkan hasil yang akurat, maka pemecahan terhadap unsur-unsurnya dilakukan hingga tidak memungkinkan dilakukan pemecahan lebih lanjut.
Pemecahan tersebut akan menghasilkan beberapa tingkatan dari suatu persoalan. Oleh karena itu, proses analisis ini dinamakan hierarki hierachy.
Universitas Sumatera Utara
3.3.3 Comperative Judgement
Prinsip ini membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu yang berkaitan dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini
merupakan inti dari AHP karena berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk matriks
perbandingan berpasangan pairwise comparison.
3.3.4 Synthesis of Priority
Dari setiap matriks pairwise comparison dapat ditentukan nilai eigenvector untuk mendapatkan prioritas daerah local priority. Oleh karena matriks pairwise
comparison terdapat pada setiap tingkat, maka global priority dapat diperoleh dengan melakukan sintesa di antara prioritas daerah. Prosedur melakukan sintesa
berbeda menurut hierarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting.
3.3.5 Logical Consistency
Dalam pembuatan keputusan, penting untuk mengetahui seberapa baik konsistensi yang ada. Hal
– hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah : a. Mengalihkan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif Elemen
pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua, dan seterusnya
b. Menjumlahkan setipa baris. c. hasil dari baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
3.3.6 Konsistensi Hierarki
Yang diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan melihat index konsistensi Kastowo, 2008. Konsistensi yang diharapkan adalah yang mendekati
sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio konsistensi diharapkan kurang dari atau
sama dengan 10 . Rumusnya:
Indeks Konsistensi CI = λmaks-n n-1 Rasio Konsistensi CR = CI RI
di mana RI adalah indeks random konsistensi. Idealnya, setiap orang menginginkan keputusan yang konsisten. Meskipun
demikian, banyak kasus dimana kita tidak dapat mengambil keputusan yang perfectly consistent. Dalam penggunaan AHP, terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan responden memberikan jawaban yang tidak konsisten, yaitu: 1. Keterbatasan informasi
Apabila subjek yang melakukan perbandingan dalam AHP memiliki keterbatasan informasi mengenai faktor-faktor yang diperbandingkan, maka
penilaian yang mereka berikat cenderung akan bersifat acak random sehingga memberikan rasio inkonsistensi yang tinggi. Oleh karena itu, pihak yang
memberikan penilaian perlu memiliki pengetahuan yang cukup terhadap topik yang dianalisis.
2. Kurang konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
Kurang konsentrasi pada saat memberikan penilaian atau tidak tertarik pada topik analisis juga dapat menyebabkan hasil penilaian yang tidak konsisten.
3. Ketidakkonsistenan dalam dunia nyata Dalam dunia nyata, banyak kasus yang menunjukkan ketidakkonsistenan.
Sebagai contoh dalam dunia olahraga. Klub Bayern Munchen mengalahkan Juventus. Sebelumnya Juventus mengalahkan Real Madrid. Padahal pada
pertandingan sebelumnya Real Madrid mengalahkan Bayern Munchen. Hal seperti itu pula yang mungkin muncul dalam proses penilaian dalam AHP.
4. Struktur model yang kurang memadai Secara ideal, keputusan yang kompleks disusun secara hirarkis sehingga
faktor yang diperbandingkan tersebut merupakan pilihan yang berada pada level yang sama atau memiliki elemen yang setara comparable. Namun pada
praktiknya kita sering membandingkan suatu faktor dengan faktor lain yang levelnya berbeda atau bukan merupakan pilihan yang comparable.
Salah satu hal yang perlu dicatat menyangkut inkonsistensi adalah bahwa tujuan utama proses pengambilan keputusan bukanlah derajat inkonsistensi yang
rendah. Inkonsistensi rasio yang rendah bersifat perlu necessary namun belum cukup sufficient untuk sebuah keputusan yang baik. Dibandingkan dengan
konsistensi, kita lebih baik mengutamakan akurasi. AHP mentoleransi adanya inkonsistensi dengan menyediakan ukuran
inkonsistensi penilaian. Ukuran ini merupakan salah satu elemen penting dalam proses penentuan prioritas berdasarkan pairwise comparison. Semakin besar rasio
konsistensi, semakin tidak konsisten Rasio konsistensi yang acceptable adalah
Universitas Sumatera Utara
kurang dari atau sama dengan 10 persen, meskipun dalam kasus tertentu rasio konsistensi yang lebih besar dari 10 persen dapat dianggap acceptable.
3.3.7 AHP dalam Kelompok