Tingkat Keberhasilan Penangkaran Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 1. Jenis Data

44 masyarakat agar ikut berperan dalam usaha melestarikan buaya di alam sebagai sumber pendapatannya Hardjanto Masy’ud 1991; CV BM 2009; PT LC 2012. Berdasarkan sistem PIR tersebut, maka keberhasilan pengembangan penangkaran buaya di Provisni Papua pada prinsipnya ditentukan oleh praktek teknologi penangkaran yang dilakukan baik di tingkat plasma maupun inti. Berdasarkan hasil penelitian lapang diketahui adanya perbedaan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukkan dalam praktek teknis penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran yang dilakukan oleh masing- masing unsur baik plasma maupun inti. Penelitian praktek pengelolaan penangkarang buaya muara dengan pola pembesaran merupakan studi kasus yang dilakukan dengan sistem PIR oleh CV Bintang Mas pada praktek teknologi penangkaran di tingkat plasma dan inti.

5.1.1. Praktek Teknik Penangkaran di Tingkat Plasma

Sesuai perannya, ada tiga hal prinsip sebagai tahapan kegiatan utama yang dilakukan oleh plasma, yakni a penangkapan anakan buaya dari alam, b pemeliharaan selama masa penampungan sebelum dikirim ke penangkaran inti, dan c pengiriman teknis pengepakan dan angkutantransporasi anakan buaya ke penangkaran inti.

a. PenangkapanPengumpulan Anakan Buaya dari Alam

Penangkapan anakan buaya untuk keperluan penangkaran dilakukan oleh anggota plasma penangkap yakni anggota masyarakat baik secara individual maupun kelompok. Ada dua aspek penting yang terkait dengan penangkapan anakan buaya untuk penangkaran yakni 1 persyaratan ukuran dan jumlah anakan buaya yang ditangkap serta wilayah penangkapan, dan 2 metodeteknik penangkapan.

1. Persyaratan ukuran dan jumlah anakan buaya muara yang ditangkap

Berdasarkan ketentuan tentang ijin penangkapan anakan buaya untuk penangkaran pola pembesaran, maka persyaratan ukuran panjang badan anakan buaya yang diijinkan untuk ditangkap adalah 80 cm. Jumlah kuota tangkap dan wilayah penangkapan juga telah diatur sesuai ketetapan Kementerian Kehutanan 45 Cq Direktorat Jenderal PHKA yang secara teknis operasional dibawah koordinasi Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Papua dan disesuaikan dengan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI. Hasil penelitian diketahui, bahwa ijin wilayah tangkap yang diberikan kepada CV Bintang Mas sebagai penangkar inti adalah di daerah Dabra sebagai salah satu habitat utama buaya di zona Memberamo. Penetapan daerah ini didasarkan pada pertimbangan sebagai salah satu kantong populasi buaya sesuai hasil survei populasi yang dilakukan secara berulang oleh BKSDA Papua dan juga rekomenadasi LIPI BBKSDA 2012. Pertimbangan penetapan menjadi daerah penangkapan anakan buaya bila daerah potensial buaya tersebut merupakan daerah rawan banjir, air pasang maupun predator Dephut 2006. Bolton 1989 menyatakan pertimbangan masyarakat penangkar lokal di Papua New Guinea PNG dan Australia dalam penetapan daerah tangkapan buaya yaitu jarak lokasi penangkapan dengan lokasi penangkaran. Jarak tersebut harus relatif dekat agar memudahkan transportasi dan menjamin kenyamanan selama masa transportasi dari lokasi tangkap ke penangkaran inti, meskipun dengan fasilitas yang minim. Dabra ditetapkan menjadi wilayah yang diijinkan melakukan kegiatan penangkapan anakan buaya muara untuk keperluan penangkaran buaya CV BM. Jayapura sebagai lokasi penangkaran inti dengan lokasi penangkapan anakan buaya di Dabra jaraknya cukup jauh, namun karena Dabra berada dalam zona Mamberamo yang berdasarkan survei diketahui sebagai daerah kantong populasi buaya maka inilah yang menjadikannya ditetapkan sebagai wilayah tangkap buaya. Frazier 1988 dan Kurniati et al.1999 menyatakan populasi buaya muara terbanyak dijumpai di beberapa sekitar sungai pasang surut di zone Kepala Burung dan zone Merauke yakni di pulau Kimaam. Artinya perlu ada kajian kembali penetapan penangkapan anakan buaya muara di zone Mamberamo bila dilakukan untuk jangka waktu panjang. Berdasarkan ketentuan ukuran panjang badan anakan buaya muara yang ditangkap, hasil wawancara dan data lapang menunjukkan bahwa umumnya ukuran panjang badan anakan buaya muara yang ditangkap oleh plasma penangkap berkisar pada ukuran 50-100 cm, dengan jumlah terbesar berukuran 46 panjang badan 80 cm. Hal ini berarti bahwa secara umum praktek penangkapan anakan buaya untuk penangkaran pola pembesaran menyalahi ketentuan tentang persyaratan ukuran panjang badan anakan buaya muara tangkapan yang diijinkan. Ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab dari praktek penangkapan anakan buaya yang menyimpang dari ketentuan ijin ukuran badan yang ditetapkan tersebut, yakni: 1 ketidakpahaman penangkap tentang prinsip ketentuan tersebut dan dampaknya terhadap perkembangan kondisi populasi buaya di alam, dan 2 rangsangan memperoleh hasil penjualan anakan buaya yang besarnya nilai jualnya dihitung harganya berdasarkan ukuran panjang badan buaya yakni Rp5 000.00cm Marcelino Maniagasi, 23 September 2012, komunikasi pribadi. Artinya kemungkinan tindakan ini karena adanya asumsi bahwa makin panjang badan anakan buaya yang ditangkap maka pendapatan yang diperoleh makin lebih besar. Adapun jumlah anakan buaya yang diijinkan untuk ditangkap didasarkan pada penetapan kuota tangkap yang diberikan oleh pemerintah cq Ditjen PHKA dengan daerah tangkap diijinkan khusus di Papua. Dalam prakteknya, ketentuan penetapan kuota tangkap tersebut diterima dan diterjemahkan oleh penangkar inti sebagai pemegang ijin tangkap dan dilaksanakan oleh anggota plasma penangkap dan pengumpul. Hasil wawancara lapang dengan anggota plasma diketahui bahwa kemampuan setiap plasma di dalam penangkapan anakan buaya muara masih terbatas sebanyak 2-3 ekor per hari. Dengan kemampuan jumlah tangkapan tersebut, ternyata berdampak pada kecenderungan tidak tercapainya jumlah kuota tangkap yang ditetapkan.

b. MetodeTeknik Penangkapan

Hasil wawancara dan penelaahan laporan tentang kegiatan penangkapan buaya yang dilakukan masyarakat umumnya di Papua, diketahui bahwa metode teknik penangkapan anakan buaya yang dilakukan oleh anggota plasma masih sederhana tradisional. Alat yang digunakan berupa tongkat panjang yang ujungnya diberi alat seperti penjepit dan beberapa tongkat panjang sebagai penahan tangkapan Gambar 4 serta jaring-jaring tangkap seperti jala-jala penangkap serangga atau “serok” untuk menciduk anakan buaya yang berukuran kecil bayi buaya BBKSDA 2009b. 47 Sumber : Dokumentasi BBKSDA Papua 2009 Sumber: Dokumentasi BBKSDA Papua 2009 Gambar 4 Alat tradisional penangkapan anakan buaya muara oleh plasma penangkap. Kegiatan penangkapan anakan buaya muara dilakukan pada malam hari menggunakan sarana angkutan air berupa perahu dayung berukuran kecil. Pencahayaan yang digunakan untuk kegiatan penangkapan yakni dengan obor atau senter yang memudahkan penangkapan anakan buaya BBKSDA 2009a. Menurut Bolton 1989, pada malam hari anakan buaya berada di pinggiran daerah air atau sedang berendam akan bergerak mendekati cahaya karena tertarik pada sumber cahaya senter atau obor sehingga memudahkan penangkapannya. Perahu dayung ukuran kecil dan tanpa mesin menjadi pembatas sebagai sarana angkut pengumpulan anakan dalam jumlah diluar kapasitas perahu, juga berdampak bagi mengurangi kepanikan yang dapat menimbulkan strees pada saat kegiatan penangkapan anakan buaya bagi yang berhasil ditangkap maupun lolos. Ditinjau dari kemampuan penangkapan, sebenarnya kegiatan penangkapan buaya oleh masyarakat anggota plasma tersebut sudah dilakukan sejak lama sebagai kegiatan berburu buaya untuk diambil kulit dan dagingnya sebagai sumber protein hewani Kurniati 2008. Artinya secara umum anggota plasma sudah memiliki keterampilan tradisional di dalam kegiatan penangkapan buaya. Teknik penangkapan tradisional tersebut mempunyai peluang terjadinya dampak negatif pada anakan buaya tangkapan berupa luka bahkan kematian. Sebab resiko terjadinya luka bahkan kematian anakan buaya muara yang ditangkap dari segi kepentingan penangkaran dapat dikatakan kurang aman, selain itu juga dari segi peluang mendapatkan anakan buaya yang ukuran badannya sesuai ketentuan agak sulit dipenuhi dari penggunaan alat tradisional seperti yang biasa digunaka. Bolton 1989 menyatakan masyarakat lokal di Papua New Guinea biasa 48 menggiring anakan buaya ke arah jaring-jaring yang telah dipasang pada daerah yang bebas cabang atau ranting tumbuhan agar jaring tidak rusak karena terkait cabang juga tidak menimbulkan luka bagi anakan buaya yang ditangkap. Berdasarkan uraian tentang praktek penangkapan anakan buaya untuk penangkaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknis penangkapan dan kepatuhan terhadap peraturan tentang persyaratan ukuran badan anakan buaya yang boleh ditangkap oleh plasma masih rendah dan dilakukan secara tradisional. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa praktek penangkapan anakan buaya muara di Papua cenderung menyalahi ketentuan yang berlaku tentang persyaratan ukuran badan anakan buaya yang diijinkan untuk ditangkap yakni 80 cm, dan teknik penangkapannya berpeluang terjadinya luka dan kematian pada anakan buaya tangkapan.

c. Teknik Pemeliharaan Anakan Buaya di Kolam Penampungan Plasma

Hasil pengamatan lapang dan wawancara dengan plasma diketahui bahwa secara umum teknik pemeliharaan anakan buaya muara di tingkat plasma penangkap dan pengumpul masih sangat sederhana dan dapat dikategorikan kurang baik. Hal ini terlihat dari belum diterapkannya secara maksimal prinsip- prinsip kesejahteraan satwa animal walfare pada pengelolaan penangkaran anakan buaya selama dalam penampungan di tingkat plasma yaitu aspek perkandangankolam sebagai habitat tempat hidup, penyediaan pakan dan kesehatan. Kolam pemeliharaan di tingkat plasma disajikan pada Gambar 5. a Kolamkandang di plasma penangkap Sumber:DokumentasiBBKSDAPapua, 2009 b Kolamkandang di plasma pengumpul Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012 Gambar 5 Kandangkolam penampungan anakan buaya muara di tingkat plasma. 49 Perbedaan kondisi pengelolaan pada kandang anakan buaya muara di tingkat plasma penangkap dan pengumpul disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kondisi kandang anakan buaya muara di tingkat plasma No. Jenis Kandang kolam Perlengakapan Ukuran kolam p x l x t m Kondisi Daratan Kondisi Air Vegetasi naungan

I. Kandang penampungan di plasma penangkap

1. Kandang Sementara 2 x 4 x 1.5 Tidak ada lumpur √

II. Kandang penampungan di plasma pengumpul

1 Kandang Tahap Awal 3 x 4 x 3 - Teras berlantai semen setinggi 0.5 m dari dasar daerah berair - Pemisahan antara bagian kering dan berair berupa lantai makin landai ke arah bagian berair - Ukuran teras 4 m x 2 m x 0.5 m - Berupa kolam beisi air setinggi ±0.25 m dari dasar daerah berair - Ukuran daerah berair 4 m x 1 m x 0.25 m - Dilakukan penggantian air sebanyak 3 kali per minggu √ 2 Kandang Tahap Lanjutan 4 x 5 x 3 - Teras berlantai semen setinggi 0.5 m dari dasar daerah berair - Pemisahan antara bagian kering dan berair berupa lantai makin landai ke arah bagian berair - Ukuran teras 5 m x 2 m x 0.75 m - Berupa kolam beisi air setinggi ±0.50 m dari dasar daerah berair - Ukuran daerah berair 5 m x 2 m x 0.50 m - Dilakukan penggantian air sebanyak 3 kali per minggu √ 3 Kandang Tahap Akhir 4 x 5 x 3 - Teras berlantai semen setinggi 0.75 m dari dasar daerah berair - Pemisahan antara bagian kering dan berair berupa lantai makin landai ke arah bagian berair - Ukuran teras 5 m x 2 m x 0.75 m - Berupa kolam beisi air setinggi ±0.50 m dari dasar daerah berair - Ukuran daerah berair 5 m x 2 m x 0.50 m - Dilakukan penggantian air sebanyak 3 kali per minggu √ Sumber : Wawancara dan Pengamatan Fisik di tingkat Plasma Pengumpul. Kapasitas tampung dan lama penampungan tiap kandang di tingkat plasma disajikan pada Tabel 6. 50 Tabel 6 Kapasitas tampung dan lama waktu penampungan anakan buaya muara di tingkat plasma No Jenis Kandang Kapasitas tampung ekor Lama Penam- pungan Alasan Penempatan Keterangan

I. Kandang penampungan di plasma penangkap

1. Kandang Sementa- ra 15 - 20 1 bulan Bersifat penampungan sementara sebelum dijual ke plasma pengumpul Lokasi di sekitar daerah penangkapan

II. Kandang penampungan di plasma pengumpul

1 Kandang Tahap Awal 3 0 - 40 1 bulan atau 1 bulan - Penampungan awal hingga siap ditempatkan pada kolam lanjutan - Sebagai kandang karantina bagi anakan buaya menyesuaikan dengan lingkungan baru salah satunya jika terlihat tenang maksimal 3 hari sebagai aklimasi - Bersifat sementara sebelum dikirim ke penangkaran inti 2 Kandang Tahap Lanjutan 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan lanjutan setelah kolam awal - Bila telah terdapat individu anakan baru - Berdasarkan kelompok ukuran panjang badan 3 Kandang Tahap Akhir 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan tahap akhir sebelum dikirim ke penangkaran inti - Berdasarkan kelompok ukuran panjang badan Sumber : Wawancara dan Pengamatan Fisik di tingkat Plasma Pengumpul. Hasil wawancara dan pengamatan lapang diketahui bahwa umumnya anakan buaya yang ditangkap oleh plasma penangkap terlebih dahulu ditampung di kolam sementara sampai jumlah tertentu sesuai kapasitas kolam, kemudian dijual ke plasma pengumpul, dan selanjutnya dibawa ke penangkaran inti CV BM di Jayapura. Pemeliharaan anakan buaya oleh plasma penangkap hanya ditampung dalam suatu kolam sementara atau darurat berukuran 2 x 4 x 1.5 m 3 berlantai lumpur, dengan jumlah anakan yang ditampung cukup banyak 15-20 ekor, tanpa pembedaan ukuran tubuh, sanitasi rendah, kondisi pakan seadanya. Pengelolaan dilakukan sesuai pengalaman masyarakat tradisional, sehingga pada kenyataannya sering terjadi kematian anakan dalam jumlah cukup banyak. Kondisi pemeliharaan sementara di tingkat plasma penangkap seperti ini berdampak lanjut pada kondisi buaya selama masa penampungan di plasma pengumpul maupun perkembangan pembesarannya di penangkaran inti. Meskipun demikian, kolam sederhana dengan lantai lumpur seperti itu menurut Bolton 1989 dapat membantu anakan buaya menjaga suhu badannya, dan model kolam 51 sederhana ini juga telah dilakukan oleh masyarakat di Papua New Guinea. Bolton 1989 bahkan juga menyatakan bahwa lumpur tersebut berfungsi membantu proses pencernaan karena ternyata di dalam perut buaya dewasa diketahui ada batu atau pasir. Kemungkinan di dalam lumpur juga akan terikut udang halus atau hancuran bahan makanan untuk bayi atau anakan buaya. PT LC 2012 juga menyatakan bahwa kolam alami berlumpur selain sederhana dan ekonomis juga membantu proses pencernaan buaya. Dibandingkan dengan pemeliharaan di tingkat plasma penangkap, maka praktek pemeliharaan anakan buaya di tingkat plasma pengumpul dapat dinyatakan relatif lebih baik, karena sudah ada pembedaan pada tiga unit penggunaan kolam penampungan berdasarkan ukuran panjang badan anakan buaya dan tujuan penyesuaian dari alam Tabel 5 dan Tabel 6. Kandang pemeliharaan di plasma pengumpul umumnya sudah berkonstruksi semi permanen berupa tembok semen setinggi 2 m dan ditambahkan kawat pengaman jaring-jaring setinggi 1 m. Fasilitas yang ada di dalam masing-masing kandang berupa bagian berair seluas ⅓ dari luasan satu unit kolam penampungan, dan sisanya sebagai daerah kering teras berbentuk datar dan melandai ke arah bagian berair. Air di dalam kolam selalu diganti oleh petugas pengelola yang disesuaikan dengan kondisi kekeruhannya kotor. Ketinggian air di bagian berair disesuaikan dengan ukuran panjang anakan buaya muara, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perilaku berendam dan berjemur dari buaya. Selama masa penampungan baik di tingkat plasma penangkap maupun plasma pengumpul, pakan yang diberikan pada anakan buaya seperti yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya muara di tingkat plasma No. Tingkat pengumpulan Jenis Pakan Frekuensi Pemberian Pakan kaliminggu 1. Plasma Penangkap Ikan kecil, burung atau crustaceae 1 2. Plasma pengumpul a. Kandang tahap awal - Usus ayam, daging burungayamikan ukuran ¼ lebar telapak tangan orang dewasa. 2 52 Tabel 7 Lanjutan No. Tingkat pengumpulan Jenis Pakan Frekuensi Pemberian Pakan kaliminggu b. Kandang tahap lanjutan c. Kandang tahap akhir - Daging burungayam dan ikan ukuran ¼ lebar telapak tangan orang dewasa. - Daging burungayam dan ikan selebar ukuran ½ lebar telapak tangan orang dewasa. Sumber : Wawancara dan observasi lapang di tingkat Plasma Pengumpul. Buaya sebagai pemakan daging carnivora, pakan yang diberikan tersebut dapat dinyatakan telah sesuai dengan kebiasaan habit buaya dan sistem pencernaannya, namun jumlah pakan yang diberikan dilakukan dengan kira-kira perkiraan kasar sehingga kemungkinan belum memenuhi kebutuhan minimum per ekor buaya per hari. Frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya di plasma penangkap juga tidak teratur seperti halnya pemberian pakan pada kandang penampungan di plasma pengumpul. Umumnya pakan yang diberikan di kandang plasma penangkap diperoleh dari sekitar daerah tangkapan berupa ikan kecil, burung dan udang-udangan sehingga sesuai dengan kebiasaan buaya di alam dengan fekuensi pemberian satu kali per minggu. Berbeda dengan pemberian pakan pada anakan buaya di kolam penampungan plasma pengumpul. Pakan yang diberikan selain ikan-ikan kecil juga diberikan daging dan usus ayam dengan frekuensi pemberian 2 kali per minggu. Pakan yang diberikan umumnya tidak dalam keadaan segar, sehingga diduga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan buaya. Menurut Bolton 1989 makanan yang diberikan dalam keadaan tidak segar atau tidak hidup diketahui kurang disukai dan tidak memberikan stimulus gerakan bagi perkembangan buaya. Rata-rata jumlah pakan yang diberikan per individu anakan buaya muara di plasma sebanyak 0.5 kgminggu sehingga setiap plasma yang menampung anakan buaya sekitar 20 ekorkolam, harus menyediakan pakan sekitar 100 kgminggu. Pakan ini diperoleh dari masyarakat maupun pasokan ikan dari kapal pencari ikan sekitar lokasi plasma pengumpul. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara teknis, penguasaan pengetahuan dan keterampilan pemeliharaan anakan buaya muara di