Peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi sebagai landasan

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Penguasaan pengetahuan dan praktek teknologi penangkaran buaya muara pola pembesaran di Provinsi Papua tergolong sedang. Ukuran panjang anakan buaya yang ditangkap untuk penangkaran umumnya lebih panjang dari ukuran yang ditetapkan pemerintah 80 cm, masa pembesaran untuk mencapai ukuran potong ekonomis lebih lama 4-5 tahun dengan tingkat kematian 10-30, kapasitas sumber daya manusia SDM pengelola masih rendah dengan sarana prasana memadai. 2. Tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran di Papua termasuk kategori cukup B dengan nilai persentase keberhasilan 62.2. 3. Secara umum parapihak stakeholders menyatakan dukungan bagi upaya peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Provinsi Papua, dengan beberapa harapan aksi yang perlu dilakukan ke depan, yakni: a peningkatan kerjasama pengawasan pemanfaatan buaya, termasuk peningkatan kesadaran masyarakat agar ikut berperan aktif didalam pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; b perbaikan manajemen penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan internasional Appendix II CITES; c pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR secara benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan d perubahan dan peningkatan manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran rearing atau ranching menjadi pola pengembangbiakkan captive breeding.

6.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjamin kelestarian populasi buaya di habitat alaminya dimana penangkaran sebagai bagian integral dari strategi konservasi buaya in situ, maka perlu ketegasan pemerintah didalam penegakan peraturan perundangan 96 law enfrocement yang terkait dengan: a ukuran panjang anakan buaya yang ditangkap dari alam untuk penangkaran yakni 80 cm; dan b kewajiban unit manajemen penangkaran untuk mengembalikan buaya ke alam restocking sebesar 10 dari jumlah buaya hasil penangkarannya. 2. Dalam rangka mempertinggi tingkat keberhasilan penangkaran buaya di Provinsi Papua, sekaligus sebagai upaya mengurangi ancaman pemanfaatan langsung dari alam secara terus-menerus, maka segera dilakukan perbaikan manajemen penangkaran buaya, antara lain melalui: a penyediaan tenaga ahli penangkaran sesuai ketentuan yang berlaku; b peningkatan kapasitas SDM pengelola termasuk animal keeper baik di tingkat penangkaran inti maupun plasma, c perbaikan sarana prasarana penangkaran di penangkaran inti dan plasma; d mulai melakukan perubahan manajemen penangkaran dari pola pembesaran ranching atau rearing menuju pola pengembangbiakan captive breeding. 3. Agar pengembangan penangkaran buaya lebih berhasil secara sinergis dan berkelanjutan sustainable baik dari aspek sosial-budaya, ekonomi dan ekologi, yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka manajemen penangkaran buaya dengan pola PIR harus diterapkan secara benar dan konsisten oleh para pihak dan diawasi secara bertanggungjawab oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan management authority. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada semua unit usaha penangkaran buaya di Provinsi Papua untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih komprehensif agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kebijakan keberlanjutan pengelolaan penangkaran buaya pola pembesaran dan kemungkinan perubahannya menuju penangkaran pola pengembangbiakan sebagai bagian dari strategi konservasi buaya jangka panjang di wilayah Papua. DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: PT Penerbit IPB Pres. [BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2009a. Survey Monitoring Populasi Buaya Zona Mamberamo Kampung Totoberi 2009. Jayapura: BBKSDA Papua. [BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2009b. Survey Monitoring Populasi Buaya di Pulau DolokKimam 2009. Jayapura: BBKSDA Papua. [BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2010. Laporan Tahunan 2009. Jayapura: BBKSDA Papua. [BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah LAKIP Balai Besar KSDA Papua Tahun 2011. Jayapura: BBKSDA Papua. Beyeler PM. 2011. Protein requirements of juvenile Nile crocodiles Crocodylus niloticus in an intensive production systems. [Submititted in partial fulillment of the requirements for the degre Animal Nutrition M.Sc]. South Africa: In the Faculty of Natural and Agriculturel Sciences University of Pretoria. Bolton M. 1981. Crocodille Husbandry in Papua New Guinea. Port Moresby: FAO. Bolton M. 1989. The management of crocodiles in captivity. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nation. Bolton M. 1990. The management of crocodiles in captivity FAO: Conservation 1990 – Publisher, FAO, Rome Italy. Date of publication, 1990. AGRIS Categories, Animal husbandry. http:fao.orgdocrep006T0226Et0226e13. htm. [08032012] [BPSDALH Papua] Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. 2010. Laporan Akhir Pemantauan Kualitas Air Di Provinsi Papua. Jayapura: BPSDALH Provinsi Papua. Brien ML, Webb GJ, Gienger CM, Lang JW, Christian KA. 2012. Thermal preferences of hatchling saltwater crocodiles Crocodylus porosus in response to time of day, social aggregation and feeding Original Research Article. J.Thermal Biol. 37: 625-630. Briton A. 1993. Crocodile Captive Care FAO. www.crocodile.com. [11 Januari 2012 Collen DT, Greaver C, Taylor R. 2008. Body temperature and basking behaviour of Nile crocodiles Crocodylus niloticus during winter. J. Thermal Biol. 33 92008:185-192.