85 itu, maka pandangan parapihak ini menjadi penting dan harus mendapat perhatian
perbaikannya agar usaha penangkaran buaya ke depan menjadi lebih berhasil. 3 Peningkatan kerjasama penyediaan kebutuhan pakan buaya di penangkaran
Pakan merupakan unsur penting yang memerlukan perhatian karena ketidakcermatan penanganannya berdampak besar terhadap keberhasilan dan
keberlanjutan pengelolaan usaha penangkaran buaya muara pola pembesaran. Hasil penelitian seperti telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa salah satu
permasalahan yang terkait dengan pengelolaan penyediaan pakan adalah kontinuitas penyediaan pakan baik jumlah maupun mutu yang sesuai dengan
kebutuhan buaya di penangkaran. Berdasarkan wawancara parapihak diperoleh kesatuan pendapat bahwa
untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan koordinasi dan kerjasama antar berbagai pihak agar usaha penyediaan pakan tersebut dapat
dipenuhi. Salah satunya dari sektor peternakan dan perinakan dimana belum dimanfaatkannya secara optimal sisa produksi daging hasil usaha peternakan dan
perikanan terutama untuk mengatasi penyediaan pakan untuk penangkaran buaya. Laporan Tahunan dari Dinas Kelautan dan Perikanan mengenai pasokan daging
dan ikan beku frozen untuk memenuhi kebutuhan ikan di Kota Jayapura ternyata tidak seluruhnya habis dimanfaatkan dimana pada data akhir tahun diketahui
masih ada sisa ikan beku yang tidak dimanfaatkan DKP 2012. Jumlah pasokan ikan beku tahun 2011 sebanyak 36 653 kg namun hanya
dimanfaatkan sebanyak 35 070 kg, sehingga terdapat sisa sekitar 1 583 kg atau 1.583 ton per tahun. Pada nilai pertumbuhan sektor perikanan menunjukkkan ada
peningkatan produksi perikanan selama periode tahun 2006-2011 sebesar 2.36 atau sebanyak 278.58 kg ikan DKP 2012. Selain itu DKP telah berupaya
menggalakkan program penambahan armada kapal penangkap ikan, penerapan teknologi tangkap yang lebih baik, serta menggalakkan peningkatan usaha
budidaya perikanan darat melalui penambahan jumlah kolam-kolam tambak dan luasan wilayah pengembangan sektor perikanan di beberapa wilayah potensi
perikanan DKP 2012.
86 Artinya sektor perikanan sebenarnya memberikan harapan pada pemenuhan
kebutuhan pakan penangkaran buaya apabila ada koordinasi dan kerjasama yang terbangun dengan baik antar parapihak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan
pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua dapat terwujud dengan baik.
b. Peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi sebagai landasan
pemanfaatan buaya muara Hal kedua yang menjadi penekanan pandangan parapihak terkait dengan
keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua adalah peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat tentang konservasi dalam
arti luas, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan buaya secara berkelanjutan. Dikemukakan, bahwa penyadartahuan masyarakat tentang pengetahuan
konservasi akan sangat membantu usaha-usaha pengembangan penangkaran buaya termasuk pengawasan peredaran pemanfaatan buaya sebagai satwa liar
yang dilindungi dan bernilai ekonomi tinggi. Dengan penguasaan pengetahuan konservasi yang memadai, maka akan timbul kesadaran dan pemahaman yang
benar tentang batasan-batasan yang harus diperhatikan seseorang atau kelompok masyarakat di dalam mengambil tindakan pemanfaatan yang berpijak pada
prinsip-prinsip pemanfaatan lestari Alikodra 2010. Terkait dengan upaya peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi
tersebut, maka sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan konservasi dari masyarakat. Di antara upaya-
upaya tersebut yang perlu terus didorong peningkatannya ke depan, sebagai berikut:
Pembentukan dan pembinaan kader konservasi, penggalakan penyuluhan dan
pendidikan konservasi bagi masyarakat di daerah-daerah yang dinilai sebagai kantong potensial populasi buaya. Berdasarkan data BBKSDA 2012
kegiatan-kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh BBKSDA dari Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD Wilayah I Jayapura dan Dinas Kehutanan
Mamberamo Raya maupun instansi Pemda setempat lainnya.
Pembinaan Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia APPBI. APPBI sebagai organisasi para pengusaha penangkar buaya, pada dasarnya
87 mempunyai peranan penting dalam menjembatani keinginan dan memfasilitas
upaya pemecahan permasalahan yang dihadapi pengusaha dan penangkar dengan industri serta menggali potensi pasar internasional Ditjen PHKA
2001. Oleh karena itu, untuk memperkuat peran dan tanggungjawabnya diperlukan upaya pembinaan dan penguatan kapasitasnya agar dapat
berfungsi lebih optimal.
Pembinaan kapasitas SDM pengelola penangkaran di tingkat plasma penangkap dan plasma pengumpul, terutama terkait dengan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan teknik penangkapan anakan buaya dan pemeliharaannya sebelum diangkut ke penangkaran inti. Beberapa aspek
teknis yang perlu diperkuat kemampuannya pada anggota plasma adalah berupa pengetahuan konservasi tentang memilih anakan yang berkualitas di
alam dan sesuai dengan ketentuan ukuran badan yang ditetapkan, dan pembuatan catatan asal-usul daerah tangkap anakan sebagai langkah awal
registrasi buaya di penangkaran baik dalam bentuk stuudbook maupun logbook catatan harian di lapangan. Upaya pembinaan ini diharapkan dapat
berdampak positif terhadap penguatan ikatan kerjasama dalam pengelolaan penangkaran sehingga upaya pengembangan penangkaran buaya ke depan
menjadi lebih berbahasil.
Pembinaan mental dan tanggung jawab petugas di lapangan. Secara umum telah diketahui bahwa kendala yang dihadapi di lapangan dalam usaha
menjaga konservasi menurut Supriatna 2008 terkait dengan kekurangan jumlah dan kemampuan SDM, dukungan pendanaan yang tidak merata,
degradasi moral dan disiplin para petugas, tidak adanya perhatian dan penghargaan untuk petugas di lapangan, serta kurangnya penegakan hukum
dan dukungan pusat. Kelemahan ini membuka peluang terjadinya pelanggaran-pelanggaran, dan apabila pelanggaran tersebut terus dibiarkan
maka dapat berdampak luas terhadap keberhasilan usaha pelestarain buaya dan pengembangan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat. Bentuk
pembinaan mental dan tanggungjawab petugas dan aparat pemerintah dapat juga ditekankan pada usaha penyegaran penguasaan peraturan perundangan
88 dan penegakannya, serta ketegasan pemberian sanksi bagi siapa saja yang
melanggar.
5.3.2. Harapan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keberlanjutan Program Penangkaran Buaya di Provinsi Papua
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan parapihak, dapat dicatat ada beberapa harapan yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan dan keberlanjutan
program pengembangan penangkaran buaya di Papua. Hal ini dipandang penting, karena secara tradisional pemanfaatan buaya sudah melekat sebagai bagian dari
kultur masyarakat lokal, sementara dari segi kebijakan pemerintah, pengem- bangan penangkaran buaya muara di Papua juga ditetapkan sebagai salah satu
upaya strategis pemanfaatan sumberdaya alam hayati bagi dukungan pembangunan ekonomi daerah, penyediaan lapangan usaha dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Adapun beberapa harapan parapihak yang perlu mendapat perhatian tersebut, sebagai berikut:
a. Perbaikan pengelolaan penangkaran buaya dengan pola pembesaran
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan penangkaran buaya pola pembesaran di Propinsi Papua masih tergolong dalam
kategori cukup bernilai mutu B, sehingga secara teknis masih diperlukan upaya perbaikan pengelolaannya agar tingkat keberhasilannya menjadi lebih baik. Secara
spesifik minimal ada dua harapan terkait perbaikan pengelolaan penangkaran yang perlu dilakukan, yakni:
Perbaikan sistem manajemen pelaporan pelaksanaan penangkaran buaya.
Sebagai jenis satwa yang dilindungi dan termasuk dalam kategori Appendix II CITES, mengharuskan adanya system pelaporan yang jelas dan teratur
tentang realisasi dan perkembangan pemanfaatannya Kemenhut 2011. Kealpaan didalam memenuhi kewajiban pelaporan tersebut dapat berakibat
buruk pada kemungkinan terjadinya perubahan status buaya dalam Appendix II ditransfer menjadi Appendix I yang berarti larangan penuh untuk
memanfaatkan buaya dalam perdagangan internasional sebagaimana diatur didalam resolusi 11.16 CITES mengenai Ranching and trade in ranched
specimens of species transfered from Appendix I to Appendix II Dirjen