Penguatan Kerjasama Pengelolaan Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

90 secara umum setiap pemanfaat cenderung berperilaku bebas untuk memanfaatkannya dengan bebas memanen semua buaya yang ditemukannya di alam Prianto 2011. Meskipun buaya juga telah ditetapkan sebagai jenis yang dilindungi, sehingga dalam pemanfaatannya pun telah diatur dengan peraturan tertentu seperti penetapan batas ukuran yang boleh dipanen dan jumlah kuota serta wilayah penangkapannya. Fakta menunjukkan masih terjadi penyimpangan praktek pemanfaatannya di lapangan, yang dapat berdampak luas terhadap ancaman kelestarian populasi di alam dan keberlanjutan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat seperti fenomena penyimpangan penangkapan anakan buaya yang ditemukan dalam penelitian ini. Oleh karena itu diperlukan usaha perbaikan manajemen pemanfaatan buaya secara lestari, melalui peningkatan kesadaratahuan masyarakat, penguatan pengetahuan dan keterampilan pelaku pemanfaatan buaya plasma dan penagkar, penegakan hukum dan aturan main pemanfaatan buaya. Hal ini menjadi penting karena pemanfaatan secara benar sesuai prinsip- prinsip pemanfaatan lestari, selain membuka harapan tersedianya lapangan pekerjaan dan peluang usaha yang luas, secara berkelanjutan juga dapat menjamin kelestarian populasinya di alam. Nilai komersil buaya tersebut memberi manfaat bagi banyak pihak, sehingga upaya perbaikan manajemen pemanfaatannya secara lestari menjadi hal mutlak. Penguatan kapasitas pengetahuan dan pelibatan aktif masyarakat lokal dengan sistem PIR didalam pengembangan manajemen pemanfaatan buaya secara lestari, diharapkan dapat mengendalikan pola pemanfaatan langsung buaya di alam yang cenderung tanpa kendali dan menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Juga menjadi bentuk penghargaan dan pengakuan keberadaannya untuk secara bersama-sama berperan didalam usaha menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Peran pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan management authority sumberdaya alam terutama didalam merumuskan kebijakan, menentukan aturan regulasi yang tepat dan pengawasan serta penegakan hukum law enformcment terkait pemanfaatan buaya, akan berdampak positif terhadap jaminan kelestarian populasi buaya di alam dan keberlanjutan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional. 91

5.4. Implikasi Hasil Penelitian bagi Upaya Pengelolaan Penangkaran

Buaya Muara di Provinsi Papua Berdasarkan hasil penelitian sebagaiman diuraikan di atas, maka timbul pertanyaan, apa implikasi penting bagi upaya perbaikan pengelolaan penangkaran dan pemanfaatan buaya di Propinsi Papua. Minimal ada dua implikasi penting yang perlu menjadi perhatikan yakni perbaikan manajemen pemanfaatan buaya dari alam, dan perbaikan manajemen pemanfaatan buaya dari penangkaran.

5.4.1. Pemanfaatan Buaya dari Alam untuk Keperluan Penangkaran

Terkait dengan pemanfaatan atau penangkapan buaya muara dari alam untuk keperluan penangkaran, hasil penelitian ini sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan masih adanya keterbatasan penguasaan teknik penangkapan dan pengumpulan anakan di tingkat plasma yang berdampak pada banyaknya kematian buaya serta menurunnya kualitas kulit buaya yang dihasilkan. Selain itu juga masih ditemukan adanya penyimpangan penangkapan anakan buaya yang berukuran lebih besar dari ketentuan yang telah ditetapkan 80 cm. Kewajiban penangkar untuk melakukan restocking sebesar 10 dari jumlah buaya siap panen di penangkaran juga belum dipenuhi. Ketidakberhasilan penangkaran buaya yang dimulai dari tahapan penangkapan dapat berdampak luas terhadap kelestarian populasi di alam. Ketika hasil penangkaran belum dapat diharapkan maka pemanfaatan langsung dari alam menjadi keterpaksaan pilihan dengan melakukan kegiatan penangkapan dan perdaganagn secara ilegal Prianto 2011. Penangkapan buaya dari alam secara terus menerus tanpa mengindahkan batasan penangkapan anakan buaya pada ukuran panjang badan yang telah ditetapkan 80 cm, tidak dilakukannya restocking sebagai salah satu cara untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian populasi di alam menjadi permasalahan serius kelestarian populasi buaya di alam. Oleh karea itu diperlukan langkah- langkah pembenahan secara lebih konsisten dan bertanggungjawab oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap kelestarian populasi buaya dan pemanfaatannya bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Berdasarkan pemikiran tersebut tindakan yang perlu dilakukan terkait pemanfaatan buaya di alam untuk keperluan penangkaran sebagai berikut: 92  Program penyadartahun masyarakat social awareness, dapat dilakukan melalui kegiatan: 1 pendidikan formal, informsal dan non-formal untuk menanamkan rasa cinta dan kesadaran lingkungan dari masyarakat, termasuk dalam hal kepatuhan terhadap aturan pemanfaatan buaya dari alam sesuai batasan jumlah dan ukuran panjang badan anakan buaya yang telah ditetapkan; 2 penyebarluasan informasi tentang pentingnya upaya pemanfaatan buaya di alam secara lestari, dan keharusan menjaga kelestarian daerah-daerah yang diketahui sebagai potensial populasi buaya agar keberadaan buaya sebagai salah satu sumber matapencaharian penduduk tidak hilang.  Program pengawasan pemanfaatan buaya dari alam, dapat dilakukan melalui kegiatan: 1 peningkatan kerjasama pengawasan antar berbagai pihak dan instansi pemerintah termasuk penegakan hukum dan aturan main yang terkait dengan perlindungan dan pemanfaatan buaya; 2 peningkatan kerjasama pengawasan di daerah-daerah rawan pelanggaran dan mempermudah birokrasi perijinan pemanfaatan buaya; 3 pengendalian perdagangan liar dengan mengontrol kuota pemanfaatan, survei potensi di alam untuk memperkecil terjadinya perburuan liar bagi perdagangan ilegal.  Program peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat dilakukan melalui kegiatan: 1 mengembangkan ekonomi alternatif bagi masyarakat yang berada di daerah kantong populasi buaya agar tidak terlalu tergantung pada pemanfaatan buaya dari alam; 2 penguatan implementasi system PIR secara konsisten dan bertanggungjawab dengan menjadikan posisi dan peran parapihak baik plasma maupun inti sebagai adil, proporsional dan transparan.

5.4.2. Pemanfaatan buaya dari penangkaran

Pelaksanaan penangkaran buaya muara pola pembesaran memerlukan keberanian untuk belajar dari pengalaman beberapa unit usaha penangkaran di luar Provinsi Papua terutama di negara-negara yang diberlakukan sistem ranching pola pembesaran. Unit usaha penangkaran di luar Indonesia dan di beberapa tempat di luar Propinsi Papua, mulai bergeser secara perlahan dari pola pembesaran ranching ke pola pengembangbiakan captive breeding seperti 93 penangkaran buaya di Australia dan Papua New Guinea. Awalnya pola penangkaran yang dilakukan berupa pengambilan telur dari alam, karena pengambilan bibit telur dapat menekan beberapa biaya, antara lain pembangunan kandang pengembangbiakan, pakan dan biaya pengiriman Cox 2010; Beyeler 2011. Kekurangan pada pilihan pengambilan telur dari alam terletak pada jaminan kualitas individu dari telur yang tidak diketahui induknya secara tepat. Buaya betina muda menghasilkan telur yang kecil yang menunjukkan rendahnya kualitas anakan hidup dan ukuran tubuh anakan hasil tetas telur dari alam Maree Casey 1993; PWSNT 2008. Pemilihan pengambilan telur dari alam memiliki konsekuensi penyiapan tenaga teknis dan tehnologi yang menjamin keberhasilan penetasan dan daya hidup anakan dari telur tersebut. Pengumpulan telur di alam juga memerlukan waktu lebih lama dan banyak tenaga mencari persarangan buaya di alam Huchzermeyer 2003. Provinsi Papua dan Negara Papua New Guinea berada pada satu daratan besar yang kemungkinannya memiliki kesamaan kondisi alam. Untuk itu penggabungan pola penangkaran antara pola pengembangbiakan berbarengan dengan pola pembesaran menjadi penting dan perlu segera diupayakan pelaksanaannya. Langkah ini mengharuskan ketersediaan tenaga profesional dan dan penguasaan teknologi penangkaran buaya secara baik. Apabila kedua hal pokok ini belum tersedia dengan baik, maka alternatif pembesaran dengan cara pengambilan telur dari alam belum menjadi pilihan yang baik saat ini. Pilihan pada pola pengembangbiakan untuk menjamin perolehan kualitas produksi penangkaran yang baik dan mengurangi beban biaya pengiriman anakan dari alam dapat dilakukan secara bertahap sambil menyiapkan kebutuhan tenaga ahli maupun teknologi penangkarannya. Hal ini juga dilakukan oleh unit usaha penangkaran buaya di Afrika Selatan Bolton 1990, Thailand dan Filipina CSG 2005, yakni mengembangkan penangkaran buaya yang ditujukan untuk menghasilkan kulit dan secara bersama-sama mengembangkan unit usaha penangkaran sebagai unit usaha jasa wisata dan pendidikan. Ada beberapa program yang dapat dilakukan untuk memperkuat usaha pemanfaatan buaya melalui usaha penangkaran. Berkaitan dengan hasil penelitian 94 ini, maka minimal ada dua program utama yang perlu dilakukan untuk memperkuat pengembangan penangkaran sebagai unit usaha pemanfaatan buaya secara berkelanjutan, yakni: a. Program Penguatan Sistem PIR penangkaran buaya melalui Pola “bapak angkat” sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat local: Melalui program ini masyarakat lokal secara luas akan dilibatkan secara aktif didalam usaha penangkaran buaya. Harapannya masyarakat dapat memiliki kepedulian dengan memperbaiki kebiasaannya yang mengandalkan budaya subsisten atau peramu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada sikap dan tindakan yang lebih teratur dan terencana di dalam kegiatan penangkapan, pengumpulan dan pemeliharaan buaya. Sistem kerja yang teratur dengan menerapkan teknologi penangkaran memerlukan bimbingan penangkar inti sebagai ‘bapak asuh’. Dengan pola demikian, secara bertahap menimbulkan rasa memiliki pada masyarakat lokal untuk juga melakukan usaha-usaha pelestarian buaya di habitat alaminya. b. Program perubahan pola penangkaran buaya dari pola pembesaran ranching ke pola pengembangbiakan captive breeding: Penangkaran pola pembesaran selama ini kurang berjalan sebagaimana mestinya sehingga akan menjurus pada pembenaran tindakan pemanfaatan langsung dari alam. Jika kejadian ini berlangsung berkepanjangan akan berdampak negatif terhadap jaminan kelestarian populasi buaya muara di alam. Oleh karena itu harus ada upaya secara bertahap untuk memulai menggeser pengembangan usaha penangkaran buaya pola pembesaran di Papua kepada pola pengembangbiakan. Penangkaran pola pengembangbiakan sebenarnya telah berlangsung bahkan ada yang telah berhasil dilaksanakan oleh unit usaha penangkaran diluar wilayah Papua. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah nyata untuk memulai usaha penangkaran pola pengembangbiakan berupa penegasan di tingkat kebijakan pemerintah, bimbingan dan pendampingan oleh pemerintah, fasilitasi kerjasama antara unit usaha penangkaran buaya di Papua dengan unit usaha penangkaran buaya yang telah berhasil di luar Papua, dan penetapan sistem insentif bagi unit usaha yang berhasil mengembangbiakan buaya di penangkaran.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Penguasaan pengetahuan dan praktek teknologi penangkaran buaya muara pola pembesaran di Provinsi Papua tergolong sedang. Ukuran panjang anakan buaya yang ditangkap untuk penangkaran umumnya lebih panjang dari ukuran yang ditetapkan pemerintah 80 cm, masa pembesaran untuk mencapai ukuran potong ekonomis lebih lama 4-5 tahun dengan tingkat kematian 10-30, kapasitas sumber daya manusia SDM pengelola masih rendah dengan sarana prasana memadai. 2. Tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran di Papua termasuk kategori cukup B dengan nilai persentase keberhasilan 62.2. 3. Secara umum parapihak stakeholders menyatakan dukungan bagi upaya peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Provinsi Papua, dengan beberapa harapan aksi yang perlu dilakukan ke depan, yakni: a peningkatan kerjasama pengawasan pemanfaatan buaya, termasuk peningkatan kesadaran masyarakat agar ikut berperan aktif didalam pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; b perbaikan manajemen penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan internasional Appendix II CITES; c pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR secara benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan d perubahan dan peningkatan manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran rearing atau ranching menjadi pola pengembangbiakkan captive breeding.

6.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjamin kelestarian populasi buaya di habitat alaminya dimana penangkaran sebagai bagian integral dari strategi konservasi buaya in situ, maka perlu ketegasan pemerintah didalam penegakan peraturan perundangan