Uji lipat Penentuan Frekuensi Pencucian Terbaik

rendah daripada ikan dalam kondisi segar. Hal ini disebabkan karena terjadinya denaturasi protein khususnya protein miofibril. Nilai kekuatan gel bakso A dan B berturut-turut adalah 190,63 dan 318,75 g.cm Gambar 12. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah beku ataupun segar dan surimi layang segar tidak dipengaruhi secara nyata oleh nilai kekuatan gel bakso ikan Lampiran 21. Dari Gambar 12 menunjukkan bahwa bakso A mempunyai nilai kekuatan gel yang lebih rendah 190,63 g.cm daripada bakso B 318,75 g.cm meskipun sudah ada penambahan pati tepung tapioka dan karagenan. Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan terutama denaturasi protein miofibril, sehingga pada saat proses pembuatan bakso tidak dapat membentuk ikatan yang kuat antara granula pati dengan protein miofibril dan menghasilkan gel yang rendah Suzuki 1981; Hamadi 1984 dalam Astuti 1995.

4.4.5 Uji lipat

Pengukuran uji lipat dari suatu produk dilakukan secara subyektif atau sensoris dengan menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat ini berhubungan dengan uji kekuatan gel yang diukur menggunakan alat secara kuantitatif. Menurut Lanier 1992, metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa untuk membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik. Nilai rata-rata uji lipat dari gel surimi A dan B dan bakso A dan B dapat dillihat pada Tabel 9. Nilai rata-rata uji lipat gel surimi A dan B berturut-turut adalah 1,1 dan 1,4. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah beku ataupun segar dan surimi layang segar tidak berpengaruh nyata terhadap nilai uji lipat surimi Lampiran 22. Surimi A mempunyai nilai rata-rata uji lipat gel yang lebih rendah 1,1 daripada surimi B 1,4 Tabel 9. Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan, sehingga menghasilkan gel yang lebih rendah. Menurut Suzuki 1981, daging ikan yang telah disimpan dengan pembekuan, maka sifat-sifat fungsional seperti kemampuan pembentukan gel menjadi lebih rendah daripada ikan dalam kondisi segar. Hal ini disebabkan karena terjadinya denaturasi protein khususnya protein miofibril. Nilai rata-rata uji lipat bakso A dan B berturut-turut 6,3 dan 7,8 Tabel 9. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan campuran surimi daging tetelan kakap merah beku ataupun segar dan surimi layang segar berpengaruh secara nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat bakso ikan Lampiran 23. Bakso A mempunyai nilai rata-rata uji lipat yang lebih rendah 6,3 daripada bakso B 7,8, meskipun sudah ada penambahan pati tepung tapioka dan karagenan. Hal ini diduga karena bahan baku yang berasal dari daging tetelan kakap merah beku sudah mengalami denaturasi protein selama proses pembekuan terutama denaturasi protein miofibril, sehingga pada saat proses pembuatan bakso tidak dapat membentuk ikatan yang kuat antara granula pati dengan protein miofibril, sehingga menghasilkan gel yang rendah Suzuki 1981; Hamadi 1984 dalam Astuti 1995. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai rata-rata uji lipat surimi dan bakso berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel surimi dan bakso ikan yang dihasilkan.

4.4.6 Uji gigit