dalam autoklaf selama 1 jam. Larutan agar disimpan dalam penangas air bersuhu 45
C. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara mencampurkan 1 g bacto pepton
ke dalam 1 liter aquades. Pengadukan dilakukan sampai bacto pepton terlarut dalam aquades. Larutan pengencer tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi
sebanyak 9 ml tiap tabung reaksi untuk pengenceran. Larutan pengencer disterilisasi bersama peralatan lain dalam autoklaf.
Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 25 g sampel yang dihomogenkan dengan blender bersama larutan pengencer sebanyak 225 ml sampai
larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril, lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga terbentuk pengenceran 10
-1
, kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Masing-masing tabung pengenceran dipipet sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan
petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai merata metode
tuang. Cawan petri agar sudah beku diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 35
C selama 48 jam. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik dan pengamatan dilakukan secara
duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni mikroba dalam cawan dihitung dengan pemilihan cawan petri yang mempunyai koloni antara 30-300 koloni. Hasil
yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama dan angka kedua, kemudian dikalikan dengan satu per faktor pengencerannya. Jika angka yang ketiga
sama atau lebih besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.
3.4.4 Uji sensori atau uji organoleptik
Uji sensori atau uji organoleptik mempunyai peranan yang penting dalam penerapan mutu karena masih banyak faktor-faktor yang ada dalam makanan, tetapi
tidak dapat diukur dengan uji kimia dan mikrobiologi saja. Uji organoleptik bersifat
sangat subyektif maka diperlukan standar dalam persyaratan pelaksanaannya sehingga
diperoleh metode yang seragam dalam pengujian organoleptik. Metode ini harus dipakai dan diterapkan dalam berbagai bidang usaha perikanan, terutama yang
menyangkut penilaian terhadap suatu produk BSN 2006
c
. Uji sensori atau uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari uji organoleptik metode
skoring dan perbandingan pasangan serta uji lipat dan uji gigit. 1 Uji skoring dan uji perbandingan pasangan Rahayu 1998
Uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian
terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian terhadap
penampakan, aroma, rasa dan tekstur dari suatu produk, dalam hal ini adalah bakso ikan. Skala angka dan spesifikasi dari setiap karakteristik mutu produk sudah
dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Lembar penilaian score sheet bakso ikan BSN 2006
c
dapat dilihat pada Lampiran 1. Metode ini menggunakan skala angka 1 satu sebagai nilai terendah dan angka
9 sembilan untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah 5 lima artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil
dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala angka ini ditujukan dengan spesifikasi
masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 15 orang panelis semi terlatih dengan dua kali ulangan
sampel. Selain uji skoring, juga dilakukan uji perbandingan pasangan terhadap bakso
dengan penambahan kitosan 0 dan bakso kitosan 0,1 yang dibandingkan dengan bakso komersial. Uji perbandingan pasangan ini bertujuan untuk mengetahui kelebihan
dari bakso yang satu dengan bakso lainnya. Pada uji perbandingan pasangan ini, jumlah panelisnya adalah 30 orang semi terlatih. Panelis melakukan penilaian melalui lembar
penilaian dengan memberikan nilai berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik
atau lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan yaitu berupa angka dengan skala
-3 sampai dengan +3, dimana -3 sangat kurang, -2 kurang, -1 agak kurang, 0 tidak berbeda, +1 agak lebih, +2 lebih dan +3 sangat lebih. Lembar isian uji
organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan A dan B dengan bakso ikan komersial dapat dilihat pada Lampiran 2.
2 Uji gigit teeth cutting test BSN 2006
c
Sebelum melakukan uji gigit, maka perlu dilakukan persiapan sampel. Sampel dipotong dengan ketebalan 1-2 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong
menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Panelis pada uji gigit ini berjumlah 15 orang semi terlatih, dengan dua kali ulangan sampel. Tingkat kualitas
uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : amat sangat kuat kekenyalannya
9 : sangat kuat kekenyalannya 8 : kuat kekenyalannya
7 : agak kuat kekenyalannya 6 : kekenyalannya masih dapat diterima
5 : agak lunak 4 : lunak
3 : sangat lunak 1 : hancur
3 Uji lipat folding test BSN 2006
c
Persiapan sampel sama seperti pada uji gigit, hanya ukuran ketebalan 4-5 mm. Pengujian dilakukan dengan cara melipat sampel menjadi setengah lingkaran. Jika
tidak putus atau retak maka dilipat lagi menjadi seperempat lingkaran. Jumlah panelis pada uji lipat ini adalah 15 orang semi terlatih, dengan dua kali ulangan sampel.
Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :
9 : tidak retak jika dilipat 4, grade AA 7 : sedikit retak jika dilipat 4, grade A
5 : sedikit retak bila dilipat 2, grade B 3 : retak tetapi masih menyatu bila dilipat 2, grade C
1 : patah seluruhnya bila dilipat 2, grade D 3.5
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data penelitian ini adalah rancangan acak lengkap RAL faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor lama
penyimpananan pada suhu dingin suhu 0-4
o
C sebagai faktor A dan faktor penambahan kitosan sebagai faktor B. Faktor A terdiri atas 4 taraf perlakuan yaitu : A0
= lama penyimpanan 0 minggu; A1 = lama penyimpanan 1 minggu; A2 = lama penyimpanan 2 minggu; A3 = lama penyimpanan 3 minggu. Faktor B terdiri atas 2
taraf perlakuan yaitu : B0 = penambahan kitosan 0; B1 = penambahan kitosan 0,1. Masing-masing taraf dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Model matematiknya sebagai
berikut Steel dan Torrie 1993 :
Y
ijk
=µ + A
i
+ B
j
+ AB
ij
+ ε
ijk
Keterangan : Y
ijk
= nilai pengamatan µ
= rata-rata umum A
i
= pengaruh faktor penyimpanan suhu dingin taraf ke-i i = 1, 2 , 3, 4 B
j
= pengaruh faktor penambahan kitosan taraf ke-j j = 1, 2 AB
ij
= pengaruh faktor interaksi penyimpanan suhu dingin taraf ke-i dan faktor penambahan kitosan taraf ke-j
ε
ijk
= galat faktor penyimpanan suhu dingin taraf ke-i dan faktor penambahan kitosan taraf ke-j pola ulangan ke-k k = 1, 2
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam anova. Perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Tukey. Hasil data uji organoleptik
diolah dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis yang bertujuan untuk
mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata dalam ranking Steel dan Torrie
1993. Model matematika uji Kruskal-Wallis sebagai berikut:
H = 12 Σ R
i 2
- 3n +1 nn+1 n
i
H’ = H Pembagi
Pembagi = 1 - Σ T , dengan T = t-1t+1
n-1n+1n Keterangan :
n = jumlah data n
i
= banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i R
i 2
= jumlah ranking dalam perlakuan ke i T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H’ = H terkoreksi H = simpangan baku
t = banyaknya pengamatan yang seri Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya
dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus:
Ri - Rj Z
α2p
kn + 1 6
Keterangan : Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-i
Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan
n = jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Komposisi Kimia Daging Ikan Layang dan Tetelan Ikan Kakap Merah
Analisis kimia terhadap daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah meliputi analisis proksimat kadar air, abu, lemak dan protein, TVB dan nilai pH. Tujuan dari
analisis adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan kandungan kimia awal daging ikan sebelum dilakukan pengolahan. Hal ini mengingat bahwa tingkat kesegaran dan
komposisi kimia ikan sangat berpengaruh terhadap karakteristik surimi sebagai bahan baku bakso ikan. Komposisi kimia daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah
disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia daging ikan layang dan tetelan ikan kakap merah
Menurut Stansby 1963, ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 dan kandungan lemak lebih kecil dari 5.
Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Tingginya kadar protein 18,13 dan rendahnya kadar
lemak 1,90 pada ikan layang sebenarnya dapat diolah menjadi surimi. Tetapi karena ikan layang memiliki nilai pH daging yang rendah yaitu 5,98 dan memiliki
proporsi daging merah yang lebih tinggi daripada daging putihnya, maka akan menghasilkan surimi dengan pembentukan gel yang rendah dan warna yang gelap.
Menurut Matsumoto dan Noguchi 1992, kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH netral dan akan menurun kemampuan
pembentukan gelnya dengan menurunnya pH. Pada pH yang rendah di bawah pH netral akan menurunkan aktivitas ATP-asenya dan protein miofibril menjadi tidak stabil
dan mudah terdenaturasi, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang.
Parameter Ikan layang
Tetelan ikan kakap merah Air
Abu Lemak
Protein kasar TVB mg N100 g
pH 78,58 ± 3,54
1,03 ± 0,00 1,90 ± 1,80
18,13 ± 1,06 9,79 ± 1,26
5,98 ± 0,07 82,23 ± 0,01
0,83 ± 0,01 1,01 ± 0,01
15,01 ± 0,41 9,59 ± 0,70
6,80 ± 0,09