Kakap merah Lutjanus sp adalah ikan demersal yang banyak terdapat di perairan laut Indonesia. Pemanfaatan ikan kakap merah selain untuk memenuhi konsumsi dan
kebutuhan protein masyarakat, juga menjadi salah satu komoditi ekspor jenis ikan berdaging putih yang sangat populer di beberapa negara seperti Eropa, Amerika,
Jepang, dan Hongkong dalam bentuk filet, smoke fish, fish cake, fish sausage dan sebagai ikan kaleng Pardjoko 2001.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan komunikasi pribadi dengan pengolah dan pengusaha filet ikan kakap merah di kawasan Muara Baru dan Muara
Angke Jakarta Utara pada bulan April 2007, ikan kakap merah dimanfaatkan dalam bentuk filet dan bagian kepalanya. Filet kakap merah yang diekspor diperoleh dari ikan
kakap merah yang berukuran 4-5 kgekor. Daging ikan kakap merah yang tidak memenuhi standar mutu ekspor,
dimanfaatkan sebagai daging tetelan. Serpihan dan sisa-sisa daging ikan kakap merah yang masih menempel pada tulang dan kulit juga termasuk sebagai daging tetelan.
Harga daging tetelan kakap merah Rp. 9.000 - 15.000kg. Daging tetelan ikan kakap merah biasanya dimanfaatkan oleh industri rumah tangga yang ada di wilayah Jakarta
dan sekitarnya sebagai bahan baku untuk nugget, otak-otak, empek-empek, bakso, siomay dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena citarasa dagingnya yang enak,
berwarna putih dan harganya lebih murah dibandingkan dengan ikan kakap merah utuh. Dengan demikian, pemanfaatan tetelan kakap merah perlu dikembangkan dan
ditingkatkan. Salah satunya adalah menjadikan tetelan kakap merah tersebut sebagai surimi.
2.3 Daging Ikan
Berdasarkan warnanya daging ikan dapat dibedakan atas daging putih dan daging merah. Daging merah biasanya terdapat di sepanjang sisi tubuh ikan di bawah kulit,
sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh bagian tubuh. Berdasarkan proporsi daging merah, terdapat tiga jenis ikan, yaitu cod dengan proporsi daging merah terkecil,
mackerel dengan proporsi daging merah sedang dan frigate mackerel dengan proporsi
daging merah terbanyak Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992.
Karakteristik dan sifat-sifat dari ikan berdaging merah dan berlemak antara lain adalah Shimizu et al. 1992:
1. Mempunyai kandungan pigmen heme mioglobin dan hemoglobin yang
tinggi dibandingkan ikan berdaging putih. 2.
Proporsi daging merah lebih besar dibandingkan daging putih, dan daging putihnya lebih gelap daripada kebanyakan ikan berdaging putih.
3. Mempunyai bau dan rasa amis yang kuat, terutama daging merahnya.
4. Mempunyai kandungan lemak yang tinggi tergantung musim.
5. Daging putihnya mempunyai tekstur yang lunak pada kondisi mentah, dan
tekstur yang keras pada kondisi masak. 6.
pH daging turun dengan cepat pada saat post-mortem. 7.
Ototnya mempunyai kandungan endogenous heat-stable protease yang tinggi. Menurut Love 1970, proporsi daging merah dan daging putih bervariasi
tergantung dari aktivitas ikan. Pada ikan-ikan pelagis seperti herring dan mackerel yang gerakannya terus menerus, sebanyak 48 berat badannya terdiri dari daging
merah. Sementara ikan demersal yaitu ikan yang berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil.
Dari sudut pandang ilmu dan teknologi pangan, daging merah merupakan masalah besar, karena mudah terjadi ketengikan yang menghasilkan flavor yang tajam. Hal ini
disebabkan oleh kandungan lemak yang tinggi dan adanya chromoprotein dalam bentuk mioglobin dan hemoglobin pada daging merah yang berperan sebagai pro-oksidan bagi
lemak Okada 1990.
2.4 Surimi
Surimi adalah istilah dari Jepang. Surimi didefinisikan sebagai lumatan daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang, dan penghilangan sebagian
komponen larut air dan lemak melalui pencucian dengan air, sehingga disebut sebagai konsentrat basah protein miofibril dari daging ikan Okada 1992.
Menurut BPPMHP 2001
b
, beberapa keuntungan dari penggunaan surimi adalah sebagai berikut :
1. Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish
jelly , terutama pada saat tidak musim ikan.
2. Pengolah tidak perlu menyiapkan daging ikan setiap hari sehingga menghemat
waktu dan biaya. 3.
Meningkatkan efisiensi produksi karena pengolah dapat mengkhususkan diri pada produksi surimi atau produk-produk fish jelly.
4. Lebih efektif menyimpan ikan dalam bentuk surimi beku daripada ikan utuh jika
dilihat dari ruangan penyimpanan, distribusi dan transportasi. 5.
Pada musim produksi ikan melimpah, pengolahan surimi merupakan alternatif yang menguntungkan karena memungkinkan dilakukannya persediaan stock
bahan baku. Ada dua tipe surimi berdasarkan kandungan garamnya, yaitu muen surimi dan
kaen surimi. Muen surimi atau surimi tanpa garam dibuat dengan cara menggiling
hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan polifosfat tanpa penambahan garam dan telah mengalami proses pembekuan. Kaen surimi atau surimi
dengan garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan polifosfat serta telah
mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku terdapat tipe surimi lain yaitu, raw surimi atau nama surimi, yaitu surimi yang tidak dibekukan dan dibuat dari daging
ikan basah segar. Surimi jenis ini digunakan langsung sebagai bahan baku pada pengolahan produk lanjutannya segera setelah dibuat, dan memiliki kelebihan dari
surimi beku yaitu kemampuan mengikat air yang lebih besar sehingga meningkatkan rendemen Suzuki 1981.
2.4.1 Proses pengolahan surimi
Proses pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu Tan et al. 1987; Shimizu et al. 1992 ; BPPMHP 2001
b
: 1.
Persiapan bahan baku yang terdiri dari penyiangan dan pencucian ikan dengan air mengalir yang dingin.
2. Penghilangan tulang dan pelumatan daging dengan menggunakan meat bone
separator .
3. Pencucian leaching daging lumat menggunakan air dingin bersuhu 5-10
o
C dengan perbandingan daging ikan dan air 1 : 4 ditambah garam 0,2 - 0,3 dari
volume air. Pencucian dilakukan sebanyak 2-3 kali selama 15 menit. Untuk jenis ikan berdaging merah seperti sardine dan mackerel yang mempunyai pH 5,6 - 5,8
setelah mati perlu diatur pHnya dengan melakukan pencucian dengan alkali. 4.
Penyaringan daging lumat dengan kasa nilon. 5.
Pengepresan daging lumat dengan menggunakan alat pengepres hidrolik yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam surimi, agar diperoleh kadar air
optimal dalam surimi antara 80 – 82. 6.
Penapisan straining yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang tertinggal agar diperoleh surimi bermutu
baik. 7.
Penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan
yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel akan mempengaruhi
elastisitas produk. Untuk mendapatkan surimi yang baik harus menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar
BBPMHP 1987.
2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi
Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein
sarkoplasma, enzim pencernaan terutama protease, lemak, garam-garam inorganik Ca
2+
dan Mg
2+
, dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida TMAO. Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama proses pencucian
karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan kekuatan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma
surimi Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki, 1981. Kemampuan pembentukan gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama
penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan
pencucian berulang maksimal tiga kali akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama penyimpanan beku
Matsumoto dan Noguchi 1992. Toyoda et al. 1992 melaporkan bahwa efisiensi proses pencucian dipengaruhi
oleh faktor banyaknya pencucian dan waktu pencucian. Menurut Lee 1986 dalam Toyoda et al. 1992, pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging
ikan 3 : 1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit
dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan 3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1, karena jika
terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan airpengepresan.
Menurut Suzuki 1981 kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10
o
C. Santoso et al. 1997 menambahkan bahwa pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan protein miofibril agar tidak mengalami
denaturasi.
2.4.3 Pengaruh pH terhadap mutu surimi
Protein miofibril untuk berbagai jenis hewan lebih stabil pada pH netral. Pengaruh pH yang menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril tidak hanya
terjadi pada suhu tinggi tetapi juga selama penyimpanan beku. Protein miofibril pada pH 6,5 bersifat tidak stabil dan aktivitas ATP-asenya hilang secara cepat, dan ini dapat
dijadikan sebagai indikator terhadap kemampuan pembentukan gel. Pada pH yang rendah dibawah pH netral akan menurunkan aktivitas ATP-ase dan protein miofibril
menjadi tidak stabil, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang Matsumoto dan Noguchi 1992.
Untuk ikan-ikan berdaging putih, pHnya tidak mengalami perubahan yang cepat setelah post-mortem, dan lebih mudah dipertahankan pada pH netral selama pengolahan
dan penyimpanan beku. Sebaliknya ikan-ikan berdaging gelap akan cepat mengalami glikolisis setelah post-mortem sehingga membentuk dan mengakumulasi asam laktat
dan menyebabkan pH daging ikan akan turun secara cepat mencapai pH 5,6. Kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH
netral dan akan menurun sejalan dengan menurunnya pH. Oleh karena itu perlu pengendalian pH selama pengolahan surimi untuk menjaga kemampuan pembentukan
gel surimi Matsumoto dan Noguchi 1992.
2.4.4 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita
rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan,
pengawet, pengemulsi, pemucat, dan pengental Winarno 1997. Bahan tambahan yang digunakan dalam pengolahan surimi bertujuan untuk
meningkatkan kualitas surimi, diantaranya garam dan cryoprotectant bahan
antidenaturan. Pada pembuatan surimi, garam biasanya ditambahkan saat proses
pencucian dengan air dingin yaitu antara 0,2 - 0,3. Penambahan garam bertujuan untuk memudahkan penghilangan protein larut air protein sarkoplasma dari daging
yang telah dilumatkan, serta untuk penghilangan lendir, darah dan kotoran lain dari
daging lumat Peranginangin et al. 1999. Selama penyimpanan beku, protein miofibril akan mengalami denaturasi sehingga
menurunkan sifat-sifat fungsional dari surimi Shenaoda 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998. Oleh karena itu, dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah
menjadi produk lanjutan, tetapi disimpan terlebih dahulu pada suhu beku surimi beku dalam waktu yang lama perlu ditambahkan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi
sebagai antidenaturan yaitu mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. Sukrosa 4, sorbitol 4 dan polyphosphates 0,2 sering digunakan bersamaan
sebagai cryoprotectant pada pengolahan surimi beku Lee 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998
2.5 Surimi dari Ikan Berdaging Merah
Ikan berdaging putih dan ikan demersal secara umum baik untuk dibuat surimi, karena mempunyai kemampuan pembentukan gel yang tinggi dan berwarna lebih cerah
dan putih. Menurut Shimizu et al. 1992 ikan berdaging merah dan berlemak tinggi mempunyai karakteristik dan sifat-sifat yang berpengaruh penting dalam pengolahan
surimi, terutama terhadap warna surimi yang lebih gelap, flavorodor aroma yang amis, serta kemampuan pembentukan gel yang rendah.
Aroma yang amis dan tidak menyenangkan pada ikan berdaging merah disebabkan karena proporsi daging merah dan lemaknya yang tinggi. Adanya pigmen
heme yang tinggi pada daging merah berperan sebagai pro-oksidan bagi lemak sehingga
mudah teroksidasi dan adanya komponen karbonil yang berasal dari asam lemak tak jenuh yang teroksidasi akan menghasilkan bau tengik dan tidak menyenangkan
Shimizu et al. 1992. Kemampuan pembentukan gel yang rendah pada ikan daging merah disebabkan
karena : 1 pH dagingnya lebih rendah pada saat post-mortem yaitu pH 5,6-5,8 dibandingkan ikan daging putih antara 6,1-6,5; 2 tingginya kandungan protein
sarkoplasma pada ikan daging merah, yang jika tidak dihilangkan akan mengganggu protein miofibril dalam membentuk gel; 3 fraksi protein sarkoplasma ikan daging
merah mengandung komponen dengan BM tinggi dalam jumlah yang lebih besar
daripada ikan daging putih, sehingga sulit diekstrak dengan air; 4 keberadaan enzim heat-stable protease
, enzim ini aktif mendegradasi miosin selama pemanasan daging sol menjadi gel utamanya pada kisaran suhu 50-70
o
C Shimizu et al. 1992. Sejak sumber Alaska pollack dibatasi penggunaannya di Jepang sebagai bahan
baku surimi, maka pembuatan surimi dari ikan-ikan berdaging merah dan berlemak seperti Sardine dan Pacifik mackerel mulai diterima Shimizu et al. 1992. Ikan
berdaging merah dan berlemak tinggi seperti ikan-ikan pelagis kecil dapat dibuat menjadi surimi dengan teknik pencucian alkali. Pencucian alkali lebih efektif
menghilangkan lemak dan menghasilkan gel ashi yang lebih kuat. Melalui teknik pencucian alkali dapat meningkatkan pH dan kemampuan pembentukan gel, serta akan
menghasilkan warna dan aroma yang lebih baik Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992; BPPMHP 2003.
Shimizu et al. 1992 melaporkan bahwa dengan teknik pencucian alkali pada pengolahan surimi yang berasal dari ikan berdaging merah seperti ikan Pacific
mackerel , kemampuan pembentukan gelnya mencapai 10 kali, sedangkan pencucian
biasa hanya 2-3 kali. Kemampuan pembentukan gel yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena beberapa hal, yaitu : 1 pH daging menjadi meningkat sehingga
kecepatan denaturasi menurun; 2 larutnya protein sarkoplasma sehingga warna lebih cerah dan juga karena hilangnya pigmen heme; 3 flavor juga meningkat karena
hilangnya komponen karbonil.
2.6 Mekanisme Pembentukan Gel