Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Sumiri dari Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin

(1)

KARAKTERISTIK BAKSO IKAN DARI CAMPURAN SURIMI

IKAN LAYANG (Decapterus spp) DAN IKAN KAKAP MERAH

(Lutjanus sp) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

CHAIRITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2008

Chairita


(3)

ABSTRACT

CHAIRITA. Characteristic of Fishball from Mixed-Surimi Mackerel Scad (Decapterus spp) and Red Snapper (Lutjanus sp) in Chilling Storage. Supervised by LINAWATI HARDJITO, JOKO SANTOSO, and SANTOSO.

The utilization of Mackerel Scad (Decapterus spp) has not been done yet optimally. This species is a potential fish to be processed into surimi that is a raw material of fish jelly products, such as fishball. Mackerel Scad contains red meat in greater proportion compared to white meat. For this reason, surimi of Mackerel Scad (Decapterus spp) is produced using alkaline leaching method; and mixed with Red Snapper (Lutjanus sp) surimi to be used a raw material of fishball. The fishball was added by chitosan at concentration of 0,1% as preservative, while carrageenan was added at concentration of 1% as gelling agent. The fishball was stored in chilling condition (0-4 oC). The results indicated that surimi of Decapterus spp being leached twice showed the same quality as white meat surimi. Fishball containig Red Snapper surimi and Mackerel Scad surimi of 1:3 added by 25% of tapioca starch showed a good physical and sensory characteristics. The mixed surimi of fresh fish meat was better in term of its physical, chemical, and sensory characteristics compared to the frozen one. Chitosan added at 0,1% could preserve the fishball for two weeks in chilling storage (0-4 oC) without causing any change of its physical and chemical characteristics. The fishball produced has a better flavor and texture was similar to commercial one.


(4)

RINGKASAN

CHAIRITA. Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO, JOKO SANTOSO, dan SANTOSO.

Pemanfaatan ikan layang (Decapterus spp) belum dilakukan secara optimal. Ikan layang adalah ikan yang potensial untuk diolah menjadi surimi, yaitu bahan baku untuk produk-produk fish jelly,seperti bakso ikan. Ikan layang memiliki daging merah yang lebih besar dibandingkan daging putih. Oleh karena itu, produksi surimi yang berasal dari ikan layang dilakukan melalui teknik pencucian alkali; dan dicampur dengan surimi ikan kakap merah sebagai bahan baku bakso ikan.

Bakso ikan yang dihasilkan, ditambah kitosan 0,1% sebagai bahan pengawet, dan karagenan 1% sebagai bahan pembentuk gel (pengenyal) bakso. Bakso ikan disimpan pada suhu dingin (0-4 oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus spp) menghasilkan surimi dengan kualitas yang hampir sama dengan surimi ikan berdaging putih, melalui pencucian alkali dengan dua kali frekuensi pencucian. Bakso ikan dari campuran surimi tetelan ikan kakap merah dan surimi ikan layang dengan perbandingan 1:3, dan penambahan tepung tapioka 25% merupakan formula bakso ikan terbaik, karena menghasilkan karakteristik fisik dan organoleptik bakso ikan yang baik dan diterima oleh konsumen. Berdasarkan karakteristik fisik, kimia dan organoleptiknya, surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk segar bermutu lebih baik dibandingkan surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan kakap merah dalam bentuk beku.

Penambahan kitosan 0,1% dapat mengawetkan (meningkatkan daya simpan) bakso ikan selama 2 minggu penyimpanan pada suhu dingin (suhu 0-4 0C), tanpa merubah karakteristik fisik dan kimianya. Bakso ikan yang dihasilkan lebih baik dari segi aroma dan rasa, serta tekstur yang sama dengan bakso ikan komersial.

Kata kunci: bakso ikan, campuran surimi, Decapterus spp, Lutjanus sp, penyimpanan dingin


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

KARAKTERISTIK BAKSO IKAN DARI CAMPURAN SURIMI

IKAN LAYANG (Decapterus spp) DAN IKAN KAKAP MERAH

(Lutjanus sp) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

CHAIRITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin

Nama : Chairita

NIM : C351050071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ir. Santoso, M.Phil Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas segala karunia, limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang (Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc selaku pembimbing utama, yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku pembimbing kedua, yang telah dengan sabar mengajarkan, membimbing, dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Terima kasih atas kesedian bapak menjadi pembimbing kedua, semoga ilmu yang sudah saya dapatkan dapat bermanfaat bagi pengembangan BBP2HP Jakarta, tempat saya bekerja, amin.

3. Ir. Santoso M.Phil selaku Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta, dan sekaligus pembimbing ketiga. Terima kasih atas bimbingan, arahan, saran dan motivasinya bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi, yang telah dengan sabar menguji penulis pada saat ujian tesis. Terima kasih atas saran dan masukan berharganya dalam penyusunan tesis ini.

5. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta, yang telah menjadi sponsor bagi penulis dan mendanai sebagian dari penelitian ini. Kepada Bapak Sutimantoro, A.Pi, MM selaku Kabid. TU-BBP2HP Jakarta, terima kasih atas motivasi dan bantuannya.

6. Suamiku tercinta Nedi Hartono, yang telah dengan sabar, penuh pengertian dan kasih sayangnya menemani penulis dalam suka dan duka selama menyelesaikan penulisan tesis ini. Kedua putriku Nadira dan Luhtfiya yang senantiasa mendoakan.


(9)

7. Chairuddin, SH (Papa) dan Dahliana (Mama), terima kasih untuk doanya yang selalu menyertai, kasih sayang dan restu yang tiada terputus, serta dukungan baik moril maupun materiil. Abangku Yen dan Kakakku Eri, terima kasih atas motivasi dan doanya.

8. Adikku Riza dan Nunuk (istri) yang telah banyak membantu penulis baik suka maupun duka, serta Adikku Sibontot Alid terima kasih atas bantuan dan doanya. 9. Rudi Ramdhani THP-40, teman sekaligus adik kelas yang telah dengan sabar membantu penulis selama melakukan penelitian. Atas bantuan, kerjasama dan motivasinya penulis ucapkan banyak terima kasih.

10.Vita dan Pak Adreanus yang sudah membuat diriku termotivasi selama kuliah dan melakukan penelitian, dan selalu menjadi teman dalam suka maupun duka.

11.Ibu Ema, Mas Zaki, Mas Ismail, Mas Ipul, Bahrul dan Bibik, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

12.Gud Elina yang telah dengan sabar menolong dan membantu penulis dalam kepayahan dan dalam kondisi sakit. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu.

13.Adik-adik kelasku THP ’40 (Caca, Angling, Rama, Finda, Nono, Putri, Hilda, Deden, Almira) dan THP ’39 (Joko Aprianto dan Megi), terima kasih atas bantuan, kerjasama dan motivasinya.

14.Teman-teman sekelas THP ’05 (Bu Niken, Bu Dewi, Pak Dhani, Mas Fajar dan Mas Agus), teman-teman THP ’06 (Pak Aim, Nunik, Tia, Candra, Pak Max, Pak Ahmad, Suci dan Po’e) serta teman-teman THP ‘07. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga jalinan silaturahmi diantara kita tetap terjaga sampai akhir hayat nanti, amin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih ada kekurangannya, meskipun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, pada tanggal 30 Maret 1972. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara keluarga Bapak H. Chairuddin, SH dan Ibu H. Dahliana.

Pada tahun 1991, selepas menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Ngawi, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di IPB pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan pada tahun 1995. Pada tahun 1998 sampai dengan sekarang (tahun 2008), penulis bekerja di Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP), Jakarta. Pada tahun 2005 melalui Anggaran Proyek BBP2HP-Jakarta, penulis mendapat beasiswa (tugas belajar) untuk melanjutkan pendidikan S2, pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ikan Layang... ... 7

2.2 Ikan Kakap Merah... 9

2.3 Daging Ikan ... 11

2.4 Surimi ... 13

2.4.1 Proses pengolahan surimi... 14

2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi... 15

2.4.3 Pengaruh pH terhadap mutu surimi... 16

2.4.4 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi... 16

2.5 Surimi dari Ikan Berdaging Merah ... 17

2.6 Mekanisme Pembentukan Gel... 18

2.7 Mutu Surimi... 20

2.8 Bakso Ikan... 21

2.8.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan... 22

(1) Daging ikan atau surimi... 22

(2) Bahan pengisi... 23

(3) Bumbu-bumbu... 23

(4) Es atau air es... 24

2.8.2 Pengolahan bakso ikan... 24

2.9 Karagenan... 25


(12)

3. METODOLOGI PENELITIAN... 29

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

3.2 Bahan dan Alat... 29

3.2.1 Bahan... 29

3.3.2 Alat... 30

3.3 Tahapan Penelitian... 30

3.4 Prosedur Analisis... 38

3.4.1 Uji fisik... 38

(1) Uji kekuatan gel... 38

(2) Derajat putih... 39

3.4.2 Analisis kimia... 39

(1) Kadar air... 39

(2) Kadar abu... 40

(3) Kadar protein... 40

(4) Kadar lemak... 41

(5) Kadar protein larut garam (PLG)... 41

(6) Nilai pH... 42

(7) Total volatile base (TVB)... 42

(8) Water holding capacity (WHC)... 43

(9) Kadar histamin... 44

3.4.3 Analisis mikrobiologi : Total plate count(TPC)... 45

3.4.4 Uji sensori atau uji organoleptik... 46

(1) Uji skoring dan uji perbandingan pasangan... 47

(2) Uji gigit (teeth cutting test)... 48

(3) Uji lipat (folding test)... 48

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data... 49

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

4.1 Komposisi Kimia Daging Ikan Layang dan Ikan Kakap Merah... 51

4.2 Penentuan Frekuensi Pencucian Terbaik... 52

4.3 Penentuan Formula Bakso Ikan Terbaik dari Campuran Surimi Tetelan Ikan Kakap Merah dan Surimi Ikan Layang dengan Tepung Tapioka .. 57

4.3.1 Analisis kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit... 57

4.3.2 Penilaian organoleptik dengan metode skoring... 61

(1) Kenampakan... 62


(13)

(3) Rasa... 64

(4) Tekstur... 64

4.4 Karakteristik Campuran Surimi Ikan Layang dan Surimi Ikan Kakap Merah (Beku dan Segar) serta Karakteristik Bakso Ikan yang Dihasilkan ... 66

4.4.1 Derajat keasaman (pH)... 66

4.4.2 Total volatile base (TVB)... 68

4.4.3 Derajat putih... 69

4.4.4 Kekuatan gel... 70

4.4.5 Uji lipat... 72

4.4.6 Uji gigit... 73

4.5 Karakteristik Kimia... 74

(1) Kadar air... 74

(2) Kadar abu... 76

(3) Kadar protein... 77

(4) Kadar lemak... 78

(5) Kadar histamin... 79

(6) Derajat keasaman... 81

(7) Water holding capacity (WHC)... 83

4.6 Karakteristik Fisik : Kekuatan Gel... 85

4.7 Karakteristik Mikrobiologi : Total Plate Count (TPC)... 88

4.8 Uji Organoleptik Perbandingan Pasangan... 90

5. SIMPULAN DAN SARAN... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) dalam 100 g... 9

2. Komposisi kimia daging ikan kakap (Lutjanus sp)... 10

3. Persyaratan mutu surimi beku... 21

4. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan... 32

5. Komposisi kimia daging ikan layang dan ikan kakap merah segar... 51

6. Nilai pH, PLG, kekuatan gel dan derajat putih surimi ikan layang dan tetelan ikan kakap merah pada setiap frekuensi pencucian... 53

7. Nilai kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit dari setiap formula bakso ikan... 58

8. Hasil uji organoleptik dari setiap formula bakso ikan... 62

9. Karakteristik surimi A, surimi B dan bakso ikan yang dihasilkan... 66 10. Jumlah koloni rata-rata bakteri bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin. 88


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian... 6

2. Ikan layang (Decapterus spp) ... 7

3. Ikan kakap merah (Lutjanus sp)... 10

4. Struktur molekul kitosan... 27

5. Diagram alir penelitian tahap pertama ... 34

6. Diagram alir penelitian tahap kedua ... 35

7. Diagram alir penelitian tahap ketiga ... 36

8. Diagram alir penelitian tahap keempat... 37

9. Histogram nilai derajat keasaman (pH) surimi dan bakso ... 67

10. Histogram nilai TVB surimi... 68

11. Histogram nilai derajat putih surimi dan bakso ... 70

12. Histogram nilai rata-rata kekuatan gel surimi dan bakso ... 71

13. Histogram nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 75

14. Histogram nilai kadar abu bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin... 76

15. Histogram nilai kadar protein bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin... ... 77

16. Histogram nilai kadar lemak bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin... 79

17. Histogram nilai kadar histamin bakso ikan pada awal dan akhir penyimpanan suhu dingin... 80

18. Histogram nilai derajat keasaman (pH) bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 82

19. Histogram nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 84

20. Histogram nilai kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin. 86


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan... 102

2. Lembar isian uji organoleptik perbandingan pasangan antara bakso ikan (A dan B) dan bakso ikan komersial... 103

3. Nilai pH dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH... 104

3a. Nilai pH surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian... 104

3b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai pH... 104

4. Nilai PLG dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG... 105

4a. Nilai PLG surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian... 105

4b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai PLG... 105

5. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel... 106

5a. Nilai kekuatan gel surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian... 106

5b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel ... 106

6. Nilai derajat putih dan analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai kekuatan gel... 107

6a. Nilai derajat purih surimi ikan kakap merah dan ikan layang dari setiap frekuensi pencucian... 107

6b. Analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan jenis ikan terhadap nilai derajat putih. ... 107

7. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel... 108

7a. Nilai kekuatan gel dari setiap formula bakso ikan ... 108

7b. Analisis ragam dari setiap formula bakso ikan terhadap nilai kekuatan gel... 108


(17)

9. Nilai uji lipat, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison

terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ... 110

9a. Nilai uji lipat dari setiap formula bakso ikan ... 110

9b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ... 111

9c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji lipat dari setiap formula bakso 112

10. Nilai uji gigit, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit dari setiap formula bakso ikan ... 113

10a. Nilai uji gigit bakso ikan dari setiap formula bakso ikan ... 113

10b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat dari setiap formula bakso ikan ... 114

10c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap uji gigit dari setiap formula bakso . 115

11. Nilai rata-rata kenampakan, uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan ... 116

11a. Nilai rata-rata kenampakan dari setiap formula bakso ikan ... 116

11b. Uji Kruskal Wallis terhadap kenampakan dari setiap formula bakso ikan ... 117

11c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap kenampakan dari setiap formula bakso... 118

12. Nilai rata-rata aroma dan uji Kruskal Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan ... 119

12a. Nilai rata-rata aroma dari setiap formula bakso ikan ... 119

12b. Uji Kruskal Wallis terhadap aroma dari setiap formula bakso ikan ... 120

13. Nilai rata-rata rasa dan uji Kruskal Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan... 121

13a. Nilai rata-rata rasa dari setiap formula bakso ikan... 121

13b. Uji Kruskal Wallis terhadap rasa dari setiap formula bakso ikan... 122

14. Nilai rata-rata tekstur, uji Kruskal Wallis, dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan... 123

14a. Nilai rata-rata tekstur dari setiap formula bakso ikan... 123

14b. Uji Kruskal Wallis terhadap tekstur dari setiap formula bakso ikan ... 124

14c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap tekstur dari setiap formula bakso.. 125

15. Nilai pH dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B... 126

15a. Nilai pH surimi A dan B... 126

15b. Analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B... 126


(18)

16a. Nilai pH bakso ikan A dan B... 126

16b. Analisis ragam terhadap nilai pH bakso ikan A dan B... 126

17. Nilai TVB dan analisis ragam terhadap nilai pH surimi A dan B... 127

17a. Nilai TVB surimi A dan B... 127

17b. Analisis ragam terhadap nilai TVB surimi A dan B... 127

18. Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap derajat putih surimi A dan B... 127

18a. Nilai derajat putih surimi A dan B... 127

18b. Analisis ragam terhadap derajat putih surimi A dan B... 127

19. Nilai derajat putih dan analisis ragam terhadap nilai derajat putih bakso ikan A dan B... 128

19a. Nilai derajat putih bakso ikan A dan B... 128

19b. Analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan A dan B... 128

20. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel surimi A dan B... 128

20a. Nilai kekuatan gel surimi A dan B... 128

20b. Analisis ragam terhadapn nilai kekuatan gel surimi A dan B... 128

21. Nilai kekuatan gel dan analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B... 129

21a. Nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B... 129

21b. Analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso ikan A dan B... 129

22. Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B... 130

22a. Nilai rata-rata uji lipat gel surimi A dan B dari 15 orang panelis... 130

22b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat gel surimi A dan B... 130

23. Nilai rata-rata uji lipat dan uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B... 130

23a. Nilai rata-rata uji lipat bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis... 130

23b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji lipat bakso ikan A dan B... 131

24. Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit gel surimi A dan B... 131

24a. Nilai rata-rata uji gigit gel surimi A dan B dari 15 orang panelis... 131


(19)

25. Nilai rata-rata uji gigit dan uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit bakso

ikan A dan B... 132

25a. Nilai rata-rata uji gigit bakso ikan A dan B dari 15 orang panelis... 132

25b. Uji Kruskal Wallis terhadap uji gigit bakso ikan A dan B... 132

26. Nilai kadar air, abu, protein, lemak dan histamin dan analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin... 133

26a. Nilai kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin... 133

26b. Analisis ragam kadar air bakso selama penyimpanan suhu dingin... 133

26c. Nilai kadar abu bakso selama penyimpanan suhu dingin... 133

26d. Nilai kadar protein bakso selama penyimpanan suhu dingin... 134

26e. Nilai kadar lemak bakso selama penyimpanan suhu dingin... 134

26f. Nilai kadar histamin bakso selama penyimpanan suhu dingin... 134

27. Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut MultiComparison terhadap nilai pH baksoikan selama penyimpanan suhu dingin... 135

27a. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 135

27b. Analisis ragam terhadap pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin.... 135

27c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso selama penyimpanan suhu dingin... 135

28. Nilai WHC, analisis ragam, uji lanjut Tukey dan uji Multi Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin... 136

28a. Nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin... 136

28b. Analisis ragam terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 136

28c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin... 136

29. Nilai kekuatan gel, analisis ragam, uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin... 137

29a. Nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin... 137

29b. Analisis ragam terhadap nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin... 137

29c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai kekuatan gel bakso selama penyimpanan suhu dingin... 137

30. Nilai TPC, analisis ragam, uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin... 138


(20)

30a. Nilai TPC bakso selama penyimpanan suhu dingin... 138 30b. Analisis ragam terhadap nilai TPC bakso selama penyimpanan suhu

dingin... 138 30c. Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai kekuatan gel bakso

selama penyimpanan suhu dingin... 138 31. Nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan bakso ikan... 139


(21)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan ikan layang (Decapterus spp) belum dilakukan secara optimal. Produksi ikan layang per tahunnya cukup besar yaitu 290.609 ton atau 6,59% dari total produksi perikanan laut di Indonesia (DKP 2007). Ikan-ikan pelagis kecil seperti layang, lemuru, tembang dan slengseng di Perairan Teluk Prigi digunakan sebagai umpan hidup bagi penangkapan rawai tuna di Samudera Indonesia (DKP 2002). Ikan-ikan tersebut pada umumnya merupakan hasil tangkapan nelayan tradisional yang memiliki harga jual yang rendah dan dikelompokkan sebagai ikan non-ekonomis.

Ikan layang (Decapterus spp) berpotensi dikembangkan menjadi produk bernilai tambah. Salah satu alternatif adalah surimi yaitu bahan baku produk-produk

fish jelly seperti bakso, nugget, sosis, chikuwa, fishburger, dan otak-otak. Produk fish jelly sudah memiliki pasar dan saat ini semakin populer serta banyak dijual di berbagai

supermarket sebagai produk siap saji. Menurut Budiyanto (2002) keuntungan produk surimi seperti produk fish jelly rata-rata 20-30% di atas harga produk tradisional, serta merupakan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja.

Di Indonesia baru terdapat empat industri surimi dengan kapasitas produksi 3-5 ton per hari, dimana produksinya 90% untuk ekspor dan 10% untuk domestik. Industri pengolahan produk-produk fish jelly seperti di Jakarta, pada umumnya merupakan industri sampingan pengolahan ikan dengan produksi 5 ton per bulan dan beberapa industri skala rumah tangga dengan produksi sebesar 1-2 ton per bulan yang seluruhnya untuk pasar lokal (BPPMHP 2001a). Budiyanto (2002) melaporkan bahwa produk fish jelly yang ada di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Pengolahan surimi di Indonesia yang berasal dari ikan non-ekonomis seperti ikan layang memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu dan pengembangan produk bernilai tambah, serta memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi surimi di Indonesia.

Permasalahannya adalah ikan layang memiliki karakteristik daging merah yang lebih besar, maka akan menghasilkan surimi dengan kemampuan pembentukan gel yang


(22)

rendah dan warna yang gelap. Untuk mendapatkan surimi dengan kualitas pembentukan gel yang baik seperti gel surimi ikan berdaging putih, maka produksi surimi yang berasal dari ikan layang atau ikan-ikan berdaging merah dilakukan melalui teknik pencucian dengan alkali (Shimizu et al. 1992), yaitu dengan menambahkan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,5% untuk menaikkan pH mencapai pH optimum (6,8-7,0), sehigga dapat meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi ikan layang (BPPMHP 2003). Heng dan Eong (2005) melaporkan bahwa Marine Fisheries Research Development (MFRD) dan Southeast Asean Fisheries Development Center

(SEAFDEC) telah memanfaatkan ikan-ikan pelagis kecil seperti Rastrelliger sp dan

Decapterus spp sebagai surimi untuk bahan baku sosis, nugget dan tofu ikan. Untuk meningkatkan warna dan kemampuan pembentukan gel dari produk-produk tersebut dilakukan melalui teknik pencucian dengan alkali.

Karena surimi ikan layang memiliki warna yang gelap, maka perlu dilakukan pencampuran dengan surimi ikan kakap merah yang berdaging putih dengan memanfaatkan daging tetelannya. Pencampuran surimi dari kedua jenis ikan tersebut, selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi yang cerah, juga untuk meningkatkan aroma dan rasa (flavor) dari produk bakso ikan yang dihasilkan.

Untuk meningkatkan kekenyalan bakso ikan, karagenan sebagai bahan alami pembentuk gel dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso. Penggunaan karagenan 1% dalam 1 kg adonan bakso sudah dapat meningkatkan kekenyalan bakso (Hardjito 2006). Berdasarkan karakteristiknya, bakso ikan tergolong bahan pangan yang mudah rusak akibat aktivitas mikroba, karena memiliki pH yang relatif tinggi (di atas 5,2) dan aktivitas air yang tinggi (aw di atas 0,91) (Troller dan Christian 1978). Untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan selain perlakuan penyimpanan pada suhu rendah (dingin/beku), maka penggunaan bahan tambahan yang berfungsi sebagai pengawet juga banyak dilakukan. Bahkan penggunaan bahan pengawet berbahaya seperti formalin masih dilakukan oleh pedagang untuk mengawetkan berbagai produk pangan seperti tahu, bakso, mi, ikan asin dan ikan kering. Oleh karena itu perlu


(23)

dilakukan usaha untuk mencari alternatif pengganti formalin yang berbahaya dengan bahan pengawet yang alami, seperti kitosan.

Penelitian Maulana (2007) menunjukkan bahwa kitosan pada konsentrasi 0,1% memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat bakteriostatik terhadap bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Untuk itu, aplikasi dan efektivitas kitosan 0,1% sebagai pengawet alami dan memperpanjang umur simpan bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin (0-4 oC), serta pengaruhnya terhadap karakteristik fisik dan kimia bakso ikan perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Produksi ikan layang (Decapterus sp) per tahunnya cukup besar, namun pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Untuk meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambahnya, ikan layang sebenarnya dapat diolah menjadi surimi untuk bahan baku produk fish jelly, seperti bakso ikan yang banyak digemari semua kalangan usia. Permasalahannya adalah ikan layang memiliki karakteristik daging merah yang lebih besar, sehingga akan menghasilkan surimi dengan kemampuan pembentukan gel yang rendah dan warna yang gelap. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik pencucian alkali pada proses pengolahannya, serta dilakukan pencampuran surimi ikan layang dengan surimi ikan berdaging putih seperti ikan kakap merah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi yang cerah, serta cita rasa yang enak dari bakso ikan yang dihasilkan.

Ikan kakap merah sangat cocok digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan surimi, karena memiliki kemampuan pembentukan gel yang tinggi dan warna yang putih. Tetapi karena harganya cukup tinggi, maka daging tetelannya yang berasal dari hasil samping pengolahan filet kakap merah dapat dimanfaatkan menjadi surimi. Selain efisiensi biaya bahan baku, juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan daging tetelan kakap merah dan meningkatkan nilai tambahnya.

Penggunaan boraks sebagai pengenyal dan formalin sebagai pengawet bakso masih ditemukan di masyarakat, sehingga perlu dicarikan alternatif penggantinya yang


(24)

lebih aman dan sehat. Karagenan sebagai pengenyal dan kitosan sebagai pengawet alami merupakan salah satu alternatifnya.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Membuat surimi ikan layang dengan teknik pencucian alkali dan membuat surimi tetelan ikan kakap merah dengan teknik pencucian biasa, serta menganalisis karakteristik fisik dan kimianya.

2. Mempelajari pengaruh pencampuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dengan penambahan tepung tapioka terhadap karakteristik fisik dan organoleptik bakso ikan.

3. Mempelajari karakteristik fisik, kimia dan organoleptik surimi dan bakso ikan dari campuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dalam bentuk beku dan segar.

4. Mengetahui pengaruh penambahan kitosan 0,1% terhadap karakteristik fisik, kimia, dan mikrobiologi bakso ikan pada penyimpanan suhu dingin(suhu 0-4 oC).

Manfaat penelitian ini adalah dapat mengoptimalkan pemanfaatan ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi pengolahan surimi untuk bahan baku bakso ikan. Sebagai sumber informasi bahwa kitosan dapat mengawetkan dan memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu dingin (0-4 oC).

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ikan layang (Decapterus sp) dapat menghasilkan surimi dengan kualitas yang sama dengan surimi ikan berdaging putih melalui proses pencucian dengan alkali.


(25)

2. Pencampuran surimi ikan layang dan surimi tetelan ikan kakap merah dengan penambahan konsentrasi tepung tapioka yang optimal dapat menghasilkan bakso ikan yang bermutu dan diterima oleh konsumen.

3. Penambahan kitosan 0,1% dapat mengawetkan dan memperpanjang umur simpan bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin(suhu 0-4 oC).

1.5. Kerangka Pemikiran

Ikan layang memiliki produksi per tahun yang cukup besar, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi surimi, yaitu bahan baku untuk produk fish jelly seperti bakso ikan. Daging tetelan ikan kakap merah yang berasal dari hasil samping pengolahan filet ikan kakap merah juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya menjadi surimi.

Teknologi pengolahan surimi kedua jenis ikan tersebut dilakukan dengan teknik pencucian yang berbeda. Karena ikan layang memiliki proporsi daging merah yang lebih besar dan pH daging kurang dari 6, dalam proses pengolahannya harus menggunakan teknik pencucian dengan alkali, yaitu dengan menambahkan natrium bikarbonat 0,5%, selain dengan penambahan garam 0,3%. Pengolahan surimi dari daging tetelan ikan kakap merah yang proporsi daging putihnya lebih besar dilakukan dengan teknik pencucian biasa, yaitu dengan penambahan garam 0,3 %.

Karena surimi ikan layang memiliki warna yang gelap, maka perlu dilakukan pencampuran dengan surimi tetelan kakap merah yang berwarna putih. Selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan warna surimi, juga untuk meningkatkan aroma dan rasa (flavor) dari produk bakso ikan yang dihasilkan. Agar dihasilkan bakso ikan yang kenyal maka digunakan karagenan 1%, dan untuk mengawetkan pada penyimpanan suhu dingin digunakan kitosan 0,1% dalam adonan bakso.

Dengan pemanfaatan ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah menjadi surimi dan bakso ikan, maka dapat meningkatkan nilai tambahnya; menghasilkan bakso ikan yang bermutu tinggi (kenyal, bergizi, sehat, dan bebas bahan kimia berbahaya);


(26)

meningkatkan konsumsi ikan bagi masyarakat dan pendapatan nelayan. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi surimi di Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Ikan layang Daging tetelan

ikan kakap merah

Produksi per tahunnya tinggi

Hasil samping pengolahan filet ikan kakap merah

Surimi

Metode pencucian biasa : (Surimi tetelan ikan kakap merah ) Metode pencucian alkali :

(Surimi ikan layang)

Bakso ikan + karagenan 1%; kitosan 0,1%

Bakso ikan yang kenyal dan awet pada suhu dingin

(0-4 oC) Pencampuran surimi

ikan layang dan tetelan ikan kakap

- Meningkatkan nilai tambah ikan layang dan daging tetelan ikan kakap merah

- Menghasilkan bakso ikan yang kenyal, bergizi, sehat dan bebas bahan kimia berbahaya - Meningkatkan konsumsi ikan dan pendapatan nelayan


(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Layang

Klasifikasi ikan layang (Decapterus spp.) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea Famili : Carangidae Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus spp

Warna tubuh ikan layang pada bagian punggungnya biru kehijauan dan putih perak pada bagian perutnya. Bentuk tubuh memanjang dapat mencapai 30 cm, rata-rata panjang badan ikan layang pada umumnya adalah 20-25 cm dan warna sirip-siripnya kuning kemerahan. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, selain sirip-sirip yang ada pada umumnya, ikan layang memiliki sirip tambahan dua buah di belakang sirip punggung kedua dan satu buah di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki finlet

yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus (Saanin 1984). Morfologi ikan layang (Decapterus spp) disajikan pada Gambar 2.


(28)

Ikan layang termasuk ikan pelagis, dan berdasarkan ukurannya dikelompokkan sebagai ikan pelagis kecil. Di perairan Indonesia terdapat lima jenis (spesies) ikan layang yaitu : Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus kurroides dan

Decapterus tabl serta Decapterus macarellus (BPRL 2003). Daerah penyebaran ikan layang di perairan Indonesia adalah Selat Bali, Makassar, Ambon dan Laut Jawa (Suyedi 2001).

Ikan pelagis pada umumnya merupakan filter feeder, yaitu jenis ikan pemakan plankton dengan cara menyaring plankton yang masuk. Pada siang hari ikan pelagis kecil berada di dasar perairan membentuk gerombolan yang padat dan kompak, sedangkan pada malam hari naik ke permukaan membentuk gerombolan yang menyebar (Suyedi 2001).

Selama musim timur berlangsung, air dengan salinitas tinggi mengalir ke Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gasper, Selat Karimata dan Selat Sunda. Pada tahap permulaan ikan layang kecil berasal dari Laut Flores bermigrasi ke arah barat sampai ke Pulau Bawean. Pada musim timur bulan Juni sampai dengan bulan September banyak terdapat ikan layang di Laut Jawa (disebut populasi layang timur). Populasi ikan layang timur terdiri dari dua populasi yaitu berasal dari Selat Makassar dan Laut Flores (Suyedi 2001).

Ikan pelagis memiliki proporsi daging merah yang tinggi yaitu berkisar antara 10-20%. Selain itu ikan pelagis juga memiliki kandungan glikogen yang tinggi di dalam daging. Pada saat ikan mengalami post-mortem akan cepat mengalami glikolisis membentuk dan mengakumulasi asam laktat yang menyebabkan pH daging ikan turun secara cepat hingga mencapai pH 5,6 (BPPMHP 2003; Shimizu et al. 1992; Matsumoto dan Noguchi 1992).

Pada umumnya komposisi kimia daging ikan terdiri dari air 66-84%, protein 15-24%, lemak 0,1-22%, karbohidrat 1-3% dan bahan anorganik 0,8-2% (Suzuki 1981). Besarnya komposisi kimia daging ikan sangat bervariasi tergantung spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) disajikan pada Tabel 1.


(29)

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan layang (Decapterus spp) dalam 100 g Komposisi Jumlah

Energi 335 kkal Protein 22,2%

Lemak 1,7% Air 75,4% Karbohidrat 0,33% Kalsium 0,05 mg Besi 0,02 mg Vitamin B 0,00005 mg Vitamin A 0,05 mg Fosfor 0,115 mg

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979)

2.2 Ikan Kakap Merah

Klasifikasi ikan kakap merah (Lutjanus sp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea Famili : Lutjanidae Genus : Lutjanus

Spesies : Lutjanus sp

Ikan kakap merah mempunyai badan memanjang, mencapai panjang 200 cm, umumnya 25 sampai 100 cm, gepeng, batang sirip ekor lebar, mulut lebar, sedikit serong dan gigi-gigi halus. Bagian bawah pra-penutup insang berduri-duri kuat. Bagian atas penutup terdapat cuping bergerigi. Bagian punggung warnanya mendekati keabuan, bagian bawah berwarna putih perak. Sirip-siripnya berwarna abu-abu gelap. Ikan kakap merah termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil dan crustaceae.


(30)

Hidup di perairan pantai, muara-muara sungai, teluk-teluk dan air payau (Ditjen Perikanan 1990). Morfologi ikan kakap merah (Lutjanus sp) disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan kakap merah (Lutjanus sp)

Komposisi kimia ikan kakap merah dipengaruhi oleh faktor spesies, jenis kelamin, umur, musim dan kondisi lingkungan dimana ikan tersebut ditangkap. Komposisi kimia ikan kakap merah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia daging ikan kakap merah (Lutjanus sp) Komposisi % Berat

Protein 20,54 Lemak 0,36

Air 76,11 Abu 1,46 Karbohidrat 0 Sumber : Nasran dan Tambunan (1974) dalam Dewi (1995)

Penyebaran kakap merah di Indonesia sangat luas, dapat menghuni hampir seluruh perairan Indonesia. Penyebaran kakap merah ke arah utara mencapai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan serta Filipina. Penyebaran ke arah selatan mencapai perairan tropis Australia, ke arah barat hingga ke Afrika Selatan dan perairan tropis Atlantik Amerika, sedangkan ke arah timur mencakup pulau-pulau di Samudera Pasifik. Kakap merah umumnya terdapat di lepas pantai hingga kedalaman 60 meter (Pardjoko 2001).


(31)

Kakap merah (Lutjanus sp) adalah ikan demersal yang banyak terdapat di perairan laut Indonesia. Pemanfaatan ikan kakap merah selain untuk memenuhi konsumsi dan kebutuhan protein masyarakat, juga menjadi salah satu komoditi ekspor jenis ikan berdaging putih yang sangat populer di beberapa negara seperti Eropa, Amerika, Jepang, dan Hongkong dalam bentuk filet, smoke fish, fish cake, fish sausage dan sebagai ikan kaleng (Pardjoko 2001).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan komunikasi pribadi dengan pengolah dan pengusaha filet ikan kakap merah di kawasan Muara Baru dan Muara Angke Jakarta Utara pada bulan April 2007, ikan kakap merah dimanfaatkan dalam bentuk filet dan bagian kepalanya. Filet kakap merah yang diekspor diperoleh dari ikan

kakap merah yang berukuran 4-5 kg/ekor. Daging ikan kakap merah yang tidak memenuhi standar mutu ekspor,

dimanfaatkan sebagai daging tetelan. Serpihan dan sisa-sisa daging ikan kakap merah yang masih menempel pada tulang dan kulit juga termasuk sebagai daging tetelan. Harga daging tetelan kakap merah Rp. 9.000 - 15.000/kg. Daging tetelan ikan kakap merah biasanya dimanfaatkan oleh industri rumah tangga yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai bahan baku untuk nugget, otak-otak, empek-empek, bakso, siomay dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena citarasa dagingnya yang enak, berwarna putih dan harganya lebih murah dibandingkan dengan ikan kakap merah utuh. Dengan demikian, pemanfaatan tetelan kakap merah perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Salah satunya adalah menjadikan tetelan kakap merah tersebut sebagai surimi.

2.3 Daging Ikan

Berdasarkan warnanya daging ikan dapat dibedakan atas daging putih dan daging merah. Daging merah biasanya terdapat di sepanjang sisi tubuh ikan di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh bagian tubuh. Berdasarkan proporsi daging merah, terdapat tiga jenis ikan, yaitu cod dengan proporsi daging merah terkecil,

mackerel dengan proporsi daging merah sedang dan frigate mackerel dengan proporsi daging merah terbanyak (Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992).


(32)

Karakteristik dan sifat-sifat dari ikan berdaging merah dan berlemak antara lain adalah (Shimizu et al. 1992):

1. Mempunyai kandungan pigmen heme (mioglobin dan hemoglobin) yang tinggi dibandingkan ikan berdaging putih.

2. Proporsi daging merah lebih besar dibandingkan daging putih, dan daging putihnya lebih gelap daripada kebanyakan ikan berdaging putih.

3. Mempunyai bau dan rasa amis yang kuat, terutama daging merahnya. 4. Mempunyai kandungan lemak yang tinggi tergantung musim.

5. Daging putihnya mempunyai tekstur yang lunak pada kondisi mentah, dan tekstur yang keras pada kondisi masak.

6. pH daging turun dengan cepat pada saat post-mortem.

7. Ototnya mempunyai kandungan endogenous heat-stable protease yang tinggi. Menurut Love (1970), proporsi daging merah dan daging putih bervariasi tergantung dari aktivitas ikan. Pada ikan-ikan pelagis seperti herring dan mackerel

yang gerakannya terus menerus, sebanyak 48% berat badannya terdiri dari daging merah. Sementara ikan demersal yaitu ikan yang berada di dasar dan gerakannya terbatas, proporsi daging merahnya sangat kecil.

Dari sudut pandang ilmu dan teknologi pangan, daging merah merupakan masalah besar, karena mudah terjadi ketengikan yang menghasilkan flavor yang tajam. Hal ini disebabkan oleh kandungan lemak yang tinggi danadanya chromoprotein dalam bentuk mioglobin dan hemoglobin pada daging merah yang berperan sebagai pro-oksidan bagi lemak (Okada 1990).

2.4 Surimi

Surimi adalah istilah dari Jepang. Surimi didefinisikan sebagai lumatan daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang, dan penghilangan sebagian komponen larut air dan lemak melalui pencucian dengan air, sehingga disebut sebagai konsentrat basah protein miofibril dari daging ikan (Okada 1992).


(33)

Menurut BPPMHP (2001b), beberapa keuntungan dari penggunaan surimi adalah sebagai berikut :

1. Memungkinkan tersedianya bahan baku untuk pengolahan produk-produk fish jelly, terutama pada saat tidak musim ikan.

2. Pengolah tidak perlu menyiapkan daging ikan setiap hari sehingga menghemat waktu dan biaya.

3. Meningkatkan efisiensi produksi karena pengolah dapat mengkhususkan diri pada produksi surimi atau produk-produk fish jelly.

4. Lebih efektif menyimpan ikan dalam bentuk surimi beku daripada ikan utuh jika dilihat dari ruangan penyimpanan, distribusi dan transportasi.

5. Pada musim produksi ikan melimpah, pengolahan surimi merupakan alternatif yang menguntungkan karena memungkinkan dilakukannya persediaan (stock) bahan baku.

Ada dua tipe surimi berdasarkan kandungan garamnya, yaitu muen surimi dan

kaen surimi. Muen surimi atau surimi tanpa garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan polifosfat tanpa penambahan garam dan telah mengalami proses pembekuan. Kaen surimi atau surimi dengan garam dibuat dengan cara menggiling hancuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam tanpa penambahan polifosfat serta telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku terdapat tipe surimi lain yaitu, raw

surimi atau nama surimi, yaitu surimi yang tidak dibekukan dan dibuat dari daging ikan basah segar. Surimi jenis ini digunakan langsung sebagai bahan baku pada pengolahan produk lanjutannya segera setelah dibuat, dan memiliki kelebihan dari surimi beku yaitu kemampuan mengikat air yang lebih besar sehingga meningkatkan rendemen (Suzuki 1981).


(34)

2.4.1 Proses pengolahan surimi

Proses pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Tan et al. 1987; Shimizu et al. 1992 ; BPPMHP 2001b):

1. Persiapan bahan baku yang terdiri dari penyiangan dan pencucian ikan dengan air mengalir yang dingin.

2. Penghilangan tulang dan pelumatan daging dengan menggunakan meat bone separator.

3. Pencucian (leaching) daging lumat menggunakan air dingin bersuhu 5-10 oC dengan perbandingan daging ikan dan air 1 : 4 ditambah garam 0,2 - 0,3% dari volume air. Pencucian dilakukan sebanyak 2-3 kali selama 15 menit. Untuk jenis ikan berdaging merah seperti sardine dan mackerel yang mempunyai pH 5,6 - 5,8 setelah mati perlu diatur pHnya dengan melakukan pencucian dengan alkali.

4. Penyaringan daging lumat dengan kasa nilon.

5. Pengepresan daging lumat dengan menggunakan alat pengepres hidrolik yang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam surimi, agar diperoleh kadar air optimal dalam surimi antara 80 – 82%.

6. Penapisan (straining) yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, jaringan ikat, membran dan duri-duri halus yang tertinggal agar diperoleh surimi bermutu baik.

7. Penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan.

Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel akan mempengaruhi elastisitas produk. Untuk mendapatkan surimi yang baik harus menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987).


(35)

2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi

Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam inorganik (Ca2+dan Mg2+), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian selain dapat meningkatkan kekuatan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki, 1981).

Kemampuan pembentukan gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian. Dengan pencucian berulang (maksimal tiga kali) akan meningkatkan kemampuan pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Toyoda et al. (1992) melaporkan bahwa efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian dan waktu pencucian. Menurut Lee (1986) dalam

Toyoda et al. (1992), pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan daging ikan 3 : 1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12 menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1; dan 6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan.

Menurut Suzuki (1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10 oC. Santoso et al. (1997) menambahkan bahwa pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan protein miofibril agar tidak mengalami denaturasi.


(36)

2.4.3 Pengaruh pH terhadap mutu surimi

Protein miofibril untuk berbagai jenis hewan lebih stabil pada pH netral. Pengaruh pH yang menyebabkan terjadinya denaturasi protein miofibril tidak hanya terjadi pada suhu tinggi tetapi juga selama penyimpanan beku. Protein miofibril pada pH 6,5 bersifat tidak stabil dan aktivitas ATP-asenya hilang secara cepat, dan ini dapat dijadikan sebagai indikator terhadap kemampuan pembentukan gel. Pada pH yang rendah dibawah pH netral akan menurunkan aktivitas ATP-ase dan protein miofibril menjadi tidak stabil, sehingga kemampuan pembentukan gel surimi akan berkurang (Matsumoto dan Noguchi 1992).

Untuk ikan-ikan berdaging putih, pHnya tidak mengalami perubahan yang cepat setelah post-mortem, dan lebih mudah dipertahankan pada pH netral selama pengolahan dan penyimpanan beku. Sebaliknya ikan-ikan berdaging gelap akan cepat mengalami glikolisis setelah post-mortem sehingga membentuk dan mengakumulasi asam laktat dan menyebabkan pH daging ikan akan turun secara cepat mencapai pH 5,6. Kemampuan pembentukan gel yang optimal ada pada daging ikan segar dengan pH netral dan akan menurun sejalan dengan menurunnya pH. Oleh karena itu perlu pengendalian pH selama pengolahan surimi untuk menjaga kemampuan pembentukan gel surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992).

2.4.4 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat, dan pengental (Winarno 1997).

Bahan tambahan yang digunakan dalam pengolahan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi, diantaranya garam dan cryoprotectant (bahan antidenaturan). Pada pembuatan surimi, garam biasanya ditambahkan saat proses pencucian dengan air dingin yaitu antara 0,2 - 0,3%. Penambahan garam bertujuan untuk memudahkan penghilangan protein larut air (protein sarkoplasma) dari daging


(37)

yang telah dilumatkan, serta untuk penghilangan lendir, darah dan kotoran lain dari daging lumat (Peranginangin et al. 1999).

Selama penyimpanan beku, protein miofibril akan mengalami denaturasi sehingga menurunkan sifat-sifat fungsional dari surimi (Shenaoda 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998). Oleh karena itu, dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, tetapi disimpan terlebih dahulu pada suhu beku (surimi beku) dalam waktu yang lama perlu ditambahkan cryoprotectant. Cryoprotectant berfungsi sebagai antidenaturan yaitu mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. Sukrosa 4%, sorbitol 4% dan polyphosphates 0,2% sering digunakan bersamaan sebagai cryoprotectant pada pengolahan surimi beku (Lee 1980 dalam Sultanbawa dan Chan 1998)

2.5 Surimi dari Ikan Berdaging Merah

Ikan berdaging putih dan ikan demersal secara umum baik untuk dibuat surimi, karena mempunyai kemampuan pembentukan gel yang tinggi dan berwarna lebih cerah dan putih. Menurut Shimizu et al. (1992) ikan berdaging merah dan berlemak tinggi mempunyai karakteristik dan sifat-sifat yang berpengaruh penting dalam pengolahan surimi, terutama terhadap warna surimi yang lebih gelap, flavor/odor (aroma) yang amis, serta kemampuan pembentukan gel yang rendah.

Aroma yang amis dan tidak menyenangkan pada ikan berdaging merah disebabkan karena proporsi daging merah dan lemaknya yang tinggi. Adanya pigmen

heme yang tinggi pada daging merah berperan sebagai pro-oksidan bagi lemak sehingga mudah teroksidasi dan adanya komponen karbonil yang berasal dari asam lemak tak jenuh yang teroksidasi akan menghasilkan bau tengik dan tidak menyenangkan (Shimizu et al. 1992).

Kemampuan pembentukan gel yang rendah pada ikan daging merah disebabkan karena : (1) pH dagingnya lebih rendah pada saat post-mortem yaitu pH 5,6-5,8 dibandingkan ikan daging putih antara 6,1-6,5; (2) tingginya kandungan protein sarkoplasma pada ikan daging merah, yang jika tidak dihilangkan akan mengganggu protein miofibril dalam membentuk gel; (3) fraksi protein sarkoplasma ikan daging


(38)

merah mengandung komponen dengan BM tinggi dalam jumlah yang lebih besar daripada ikan daging putih, sehingga sulit diekstrak dengan air; (4) keberadaan enzim

heat-stable protease, enzim ini aktif mendegradasi miosin selama pemanasan daging (sol menjadi gel) utamanya pada kisaran suhu 50-70 oC (Shimizu et al. 1992).

Sejak sumber Alaska pollack dibatasi penggunaannya di Jepang sebagai bahan baku surimi, maka pembuatan surimi dari ikan-ikan berdaging merah dan berlemak seperti Sardine dan Pacifik mackerel mulai diterima (Shimizu et al. 1992). Ikan berdaging merah dan berlemak tinggi seperti ikan-ikan pelagis kecil dapat dibuat menjadi surimi dengan teknik pencucian alkali. Pencucian alkali lebih efektif menghilangkan lemak dan menghasilkan gel ashi yang lebih kuat. Melalui teknik pencucian alkali dapat meningkatkan pH dan kemampuan pembentukan gel, serta akan menghasilkan warna dan aroma yang lebih baik (Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992; BPPMHP 2003).

Shimizu et al. (1992) melaporkan bahwa dengan teknik pencucian alkali pada pengolahan surimi yang berasal dari ikan berdaging merah seperti ikan Pacific mackerel, kemampuan pembentukan gelnya mencapai 10 kali, sedangkan pencucian biasa hanya 2-3 kali. Kemampuan pembentukan gel yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena beberapa hal, yaitu : (1) pH daging menjadi meningkat sehingga kecepatan denaturasi menurun; (2) larutnya protein sarkoplasma sehingga warna lebih cerah dan juga karena hilangnya pigmen heme; (3) flavor juga meningkat karena hilangnya komponen karbonil.

2.6 Mekanisme Pembentukan Gel

Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan Mc Clements (2005), kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Menurut Niwa (1992) ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap


(39)

pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan silang garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik.

Niwa (1992) menjelaskan terjadinya ikatan silang garam intermolekul sebagai berikut : lebih dari separuh asam amino yang menyusun miosin bersifat hidrofilik dan sekitar 80% bersifat asam dan basa. Sebagian besar residu terekspos pada permukaan molekul, yang dapat berkontak dengan air. Pada surimi, gugus karboksil dari residu asam glutamat dan aspartat bermuatan negatif, sedangkan gugus amino lisin dan arginin bermuatan positif. Oleh karena itu akan terjadi ikatan silang garam diantara gugus tersebut, dan protein miofibril saling bergabung sesamanya menjadi agregat yang tidak larut dalam air. Saat ditambahkan garam, ion-ion garam secara terpisah terhidrasi dengan air, dan akan berikatan pada gugus yang berlawanan muatannya dengan gugus-gugus pada permukaan protein. Ikatan silang garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin membentuk makromolekul aktomiosin, dan terbentuk pasta yang lengket. Masa ini disebut sol yang mempunyai sifat lengket dan adhesif. Apabila sol ini dipanaskan maka akan terbentuk gel yang kuat dan elastis.

Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 oC. Jaczynski dan Park (2004) menyatakan bahwa interaksi hidrofobik dapat menstabilisasikan sistem protein.

Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 oC).


(40)

Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel

suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 oC. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 oC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 oC selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori. Dengan cara ini, akan terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi.

2.7 Mutu Surimi

Syarat mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu : bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik karakteristik kesegaran bahan baku surimi sekurang-kurangnya sebagai berikut (BSN 1992b):

a) Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik ikan b) Bau : segar spesifik jenis

c) Daging : elastis, padat, dan kompak d) Rasa : netral agak amis

Bahan baku harus secepatnya diolah menjadi surimi untuk mempertahankan mutunya, apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka bahan baku harus


(41)

disimpan dengan es atau air dingin (suhu 0-5 oC), pada kondisi yang saniter dan higienis (BSN 1992b). Persyaratan mutu surimi beku disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan mutu surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan mutu a. Organoleptik

nilai minimum 7 b. Cemaran mikroba :

- ALT, maksimum koloni/g 5x105 - E. coli, maksimum per 25 g <3 - Coliform, maksimum per 25 g 3 - Salmonella* negatif - Vibrio cholerae* negatif c. Uji kimia :*

- Abu total, maksimum % b/b 1 - Lemak, maksimum % b/b 0,5 - Protein, minimum % b/b 15 d. Fisika :

- Suhu pusat, maksimum oC -18 - Uji lipat, minimum huruf(AA-D) grade A - Elastisitas, minimum g/cm 300 Catatan * Jika diminta oleh importir

Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total

Sumber : BSN (1992a)

2.8 Bakso Ikan

Bakso merupakan produk olahan daging atau ikan yang sudah sangat populer dan tidak asing lagi di masyarakat. Hampir semua orang dari berbagai kelompok umur mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa sampai manula menyukai bakso, karena rasanya yang gurih, lezat, dan kenyal serta bergizi tinggi. Berdasarkan jenis daging yang digunakan sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal berbagai jenis bakso seperti bakso ikan dan bakso sapi (Wibowo 2002).

Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh dan lumatan daging ikan (minced) atau surimi, ditambah bahan pengisi berpati atau tepung tapioka dan bumbu-bumbu, yang dibentuk bulat-bulat dan direbus dalam air panas. Daging ikan yang akan dibuat bakso harus sesegar mungkin, karena protein


(42)

miofibril terutama aktin dan miosin sebagai pembentuk tekstur bakso belum terdenaturasi. Selain itu daya ikat air pada ikan yang segar masih tinggi. Daging ikan yang kurang segar menyebabkan tekstur bakso yang dihasilkan agak lembek dan warnanya tidak lagi putih bersih. Mutu bakso ikan yang baik adalah warnanya putih bersih, tekstur kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2002 ).

Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein khususnya protein miofibril, terutama aktin dan miosin. Fungsi protein dalam bakso adalah sebagai pengikat hancuran daging dan sebagai emulsifier (Kramlich 1971; Winarno dan Rahayu 1994 ).

2.8.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan

Bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso ikan dapat berasal dari daging ikan segar ataupun dalam bentuk surimi. Bahan-bahan tambahan yang digunakan diantaranya adalah bahan pengisi seperti tepung tapioka, es atau air es dan bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, lada, garam dan gula (Wibowo 2002). Selain itu juga dapat ditambahkan bahan-bahan tambahan alami lainnya seperti karagenan sebagai bahan pengenyal bakso dan kitosan untuk mengawetkan/memperpanjang daya simpan bakso.

(1) Daging ikan atau surimi

Pada prinsipnya hampir semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku bakso. Untuk mendapatkan kualitas dan mutu bakso ikan yang baik, maka daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso harus memiliki tingkat kesegaran yang tinggi agar dihasilkan tekstur bakso yang kompak dan kenyal, tidak rapuh atau lembek (Wibowo 2002). Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu utama dari bakso sebagai produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 1987).


(43)

(2) Bahan pengisi

Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Penambahan bahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan citarasa, dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich et al. 1971). Dalam proses gelatinisasi bahan pengisi dapat mengikat lebih banyak air, sedangkan air dapat membantu melarutkan garam dan meningkatkan jumlah protein yang terekstrak. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan menjadi tampak berisi, bertekstur baik dan menarik perhatian konsumen (Soeparno 1994).

Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso bukan tepung yang berprotein melainkan tepung berpati misalnya tepung tapioka, tepung sagu dan tepung pati aren. Bahan-bahan tersebut mempunyai kadar karbohidrat yang tinggi dan kadar protein yang rendah. Agar rasa bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya antara 10-15% dari berat daging (Torwotjo et al. 1971 dalam Nurfianti 2007; Wibowo 2002).

Pada penelitian ini digunakan pati tapioka sebagai bahan pengisi bakso ikan, karena memiliki sifat-sifat yang mendekati pati kentang, mudah diperoleh dan harganya cukup murah. Pati kentang mengandung amilopektin 79% dan amilosanya 21%, sedangkan pati tapioka mengandung amilopektin 83% dan amilosa 17%. Kedua pati tersebut memiliki pengaruh yang baik untuk menguatkan gel karena mempunyai kemampuan mengikat sejumlah air dan mengembang dengan diameter yang besar. Diameter granula pati kentang sekitar 33 µm dan pati tapioka sekitar 20 µm (Swinkels 1985; Wu et al. 1985 dalam Fitrial 2000). Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashi gel telah dilaporkan oleh Suzuki (1981). Fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa.

(3) Bumbu-bumbu

Bumbu-bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah bawang putih, bawang merah, lada, garam dan gula. Tujuan dari penambahan bumbu-bumbu adalah untuk meningkatkan cita rasa dari produk bakso yang dihasilkan. Garam


(44)

berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein, dan sebagai pengawet; sedangkan gula berfungsi sebagai pemberi rasa sehingga bakso menjadi lebih gurih (Wibowo 2002).

(4) Es atau air es

Bahan tambahan lain yang digunakan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi untuk membantu pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es juga berfungsi untuk menambahkan air ke dalam adonan bakso agar tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah, sehingga dapat mencegah terjadinya denaturasi protein daging akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu dapat digunakan es sebanyak 30% dari berat daging (Wibowo 2002).

2.8.2 Pengolahan Bakso Ikan

Bakso ikan adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh atau lumatan daging ikan (minced) atau surimi. Proses pengolahan bakso ikan yang berasal dari bahan baku surimi terdiri dari penerimaan, pencampuran, pembentukan, perebusan, pendinginan, sortasi, penimbangan dan pengemasan, serta penyimpanan (BSN 2006b).

Bahan baku yang digunakan atau diterima diuji secara sensori untuk mengetahui mutunya. Pada tahap pencampuran lumatan daging ikan atau surimi dimasukkan ke dalam alat pencampur untuk digiling hingga hancur. Ditambahkan garam dan dicampur kembali hingga didapatkan adonan yang lengket. Selanjutnya dilakukan penambahan tepung dan bumbu-bumbu lainnya, dicampur sampai homogen. Kemudian adonan dicetak secara manual atau dengan mesin pencetak bakso dengan ukuran yang sudah ditentukan. Tahap selanjutnya adalah perebusan bakso pada suhu 40 0C selama 20 menit dan dilanjutkan perebusan pada suhu 90 0C selama 20 menit. Tujuan perebusan adalah untuk mendapatkan tekstur bakso ikan yang baik. Selanjutnya bakso ikan didinginkan dengan cara dibiarkan pada suhu ruang. Setelah bakso ikan dingin, tahap selanjutnya adalah melakukan sortasi untuk mendapatkan bakso ikan dengan bentuk yang seragam. Kemudian bakso ikan dimasukkan ke dalam bahan pengemas, dan


(45)

ditimbang sesuai dengan berat yang ditentukan dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Kemasan ditutup menggunakan alat penutup (sealer). Tahap selanjutnya adalah penyimpanan bakso ikan pada suhu rendah (BSN 2006b).

Penyimpanan bakso ikan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan menggunakan suhu dingin maupun suhu beku. Penyimpanan bakso ikan pada suhu dingin dapat dilakukan dalam ruang pendingin (refrigerator) pada suhu 0 - 5 oC. Penyimpanan produk pada suhu rendah dimaksudkan untuk menghambat aktivitas mikroba yang menyebabkan kebusukan, sehingga dapat mencegah kemunduran mutu atau memperlambat proses pembusukan (Ilyas 1983).

2.9 Karagenan

Karagenan adalah getah rumput laut yang diekstrak dari spesies tertentu

Rhodophyceae (alga merah). Karagenan dapat dibagi atas tiga fraksi utama yaitu,

kappa, iota dan lamda karagenan. Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah

Eucheuma cottonii yang menghasilkan kappa karagenan dan Eucheuma spinosum yang menghasilkan iota karagenan (Winarno 1990). Karagenan adalah bahan alami pembentuk gel yang dapat digunakan untuk mengenyalkan bakso sebagai bahan alternatif yang aman pengganti borax. Penggunaan karagenan 1% dalam 1 kg adonan bakso dapat meningkatkan kekenyalan bakso (Hardjito 2006).

Menurut Keeton (2001), penggunaan karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan kekenyalan produk. Karagenan dapat meningkatkan daya ikat air, memperbaiki daya iris produk akhir, meningkatkan juiceness serta melindungi produk dari efek pembekuan dan thawing. Karagenan dapat dicampurkan bersama daging, larutan garam, tepung dan bahan tambahan pangan lainnya ke dalam alat pencampur mixer atau blender. Umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1%.

Karagenan mampu melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan misalnya protein, sehingga mampu mempengaruhi peningkatan viskositas, pembentuk gel, pengendapan dan stabilisasi. Karagenan mempunyai peranan yang sangat penting dan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel, bahan pengental,


(46)

pengikat, pengemulsi dan lain-lain. Karagenan telah banyak diaplikasikan untuk industri kosmetik, obat-obatan dan pada industri pangan. Produk-produk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik dengan pati, gula dan gum, sehingga banyak diaplikasikan untuk produk pangan seperti digunakan sebagai penstabil pada berbagai produk olahan susu dan daging (Winarno 1990; Imeson 2000).

2.10 Kitosan

Kitosan (C6H11NO4)n adalah produk deasetilasi dari kitin, yang telah mengalami penghilangan gugus asetil (-COCH3). Kitosan merupakan polimer alami, dengan struktur molekul mirip dengan selulosa (serat pada sayuran dan buah-buahan). Perbedaan struktur molekul kitosan dan selulosa terletak pada gugus hidroksil (OH) C-2 selulosa yang digantikan gugus amina (NH2) kitosan (Sandford dan Hutching 1987). Struktur molekul kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.

Kitosan merupakan turunan kitin dengan rumus N-asetil D-glukosamin, yang tidak larut dalam air dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain (Bastaman 1989). Pelarut kitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0,2-1%. Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2% (Knorr 1982).


(47)

Kitosan mengandung gugus amina dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berbeda dengan polisakarida lainnya. Bubuk kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat berfungsi sebagai antibakteri yang bersifat bakteriostatik. Efek hambatan pertumbuhan bakteri karena adanya proses deasetilasi yang baik. Makin banyak gugus asetil (-CHCO3) yang hilang dari polimer kitin pada saat ekstraksi, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan dan semakin kuat juga ikatan gugus aminanya (Ornum 1992).

Menurut Sandford dan Hutching (1987), gugus amina (NH2) yang dimiliki oleh kitosan inilah yang memberikan banyak kegunaan. Hal ini disebabkan karena pada kondisi asam, gugus amina bebas dari kitosan akan terprotonasi membentuk gugus amina kationik (NH3+). Kation akan bereaksi dengan anion polimer membentuk kompleks elektrolit. Gugus amina yang bersifat kationik dan bermuatan positif dari kitosan ini akan mampu mengikat membran sel bakteri yang bermuatan negatif, sehingga metabolisme bakteri terhambat dan bakteri tidak tumbuh lagi (Pelczar dan Chan 1988).

Mekanisme aksi antibakterial kitosan melibatkan cross-lingkage antara polikationik kitosan dan anion pada permukaan bakteri, yaitu mengubah permeabilitas membran. Pada bakteri Staphylococcus aureus dan Enterobacteri aerogenosa, kitosan dapat berikatan dengan protein membran sel diantaranya glutamat yang merupakan komponen membran sel bakteri dan juga dapat berikatan dengan fosfolipida membran terutama fosfatidil kolin, sehingga menyebabkan permeabilitas membran sel meningkat, dan akan memberikan jalan bagi cairan sel untuk keluar dan berpotensi menyebabkan lisis (Simpson 1997 dalam Suptijah 2006).

Berbagai hipotesis yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesis protein (Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan Loschke 1981 dalam Hardjito 2006).


(1)

Lampiran 26d Nilai kadar protein bakso selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 3

Perlakuan Ulangan Ulangan

1 2 Rata-rata (%) 1 2 Rata-rata (%) A 11,36 11,38 11,37 11,58 11,15 11,36

B 12,12 11,40 11,76 11,86 12,06 11,96

Keterangan : A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%

Lampiran 26e Nilai kadar lemak bakso selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 3

Perlakuan Ulangan Ulangan

1 2 Rata-rata (%) 1 2 Rata-rata (%) A 0,38 0,36 0,37 0,20 0,19 0,19

B 0,26 0,27 0,26 0,16 0,20 0,18

Keterangan : A : Bakso kitosan 0% B : Bakso kitosan 0,1%

Lampiran 26f Nilai kadar histamin bakso selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 3

Perlakuan Ulangan Ulangan

1 2 Rata-rata (mg/kg) 1 2 Rata-rata (mg/kg) A 1,30 1,40 1,35 13,01 7,88 10,45

B 1,31 2,20 1,76 4,31 4,25 4,28

Keterangan : A : Bakso kitosan 0%


(2)

Lampiran 27 Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Lampiran 27a Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 1 2 3

Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan

1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata A 6,86 6,85 6,85 6,66 6,82 6,74 6,69 6,63 6,66 6,38 6,48 6,43

B 6,75 6,75 6,75 6,71 6,72 6,72 6,60 6,62 6,61 6,52 6,56 6,54

A : Bakso kitosan 0%; B : Bakso kitosan 0,1%

Lampiran 27b Analisis ragam terhadap derajat keasaman (pH) bakso selama penyimpanan suhu dingin

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pH

.251a 7 .036 13.836 .001

710.223 1 710.223 274482.1 .000

.224 3 .075 28.902 .000

.001 1 .001 .473 .511

.025 3 .008 3.224 .082

.021 8 .003

710.494 16

.271 15

Source Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error

Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .924 (Adjusted R Squared = .857) a.

Lampiran 27c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Multiple Comparisons

Dependent Variable: pH Tukey HSD

.0750 .03597 .236 -.0402 .1902 .1675* .03597 .007 .0523 .2827 .3175* .03597 .000 .2023 .4327 -.0750 .03597 .236 -.1902 .0402 .0925 .03597 .122 -.0227 .2077 .2425* .03597 .001 .1273 .3577 -.1675* .03597 .007 -.2827 -.0523 -.0925 .03597 .122 -.2077 .0227 .1500* .03597 .013 .0348 .2652 -.3175* .03597 .000 -.4327 -.2023 -.2425* .03597 .001 -.3577 -.1273 -.1500* .03597 .013 -.2652 -.0348 (J) Penyimpanan

Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2 (I) Penyimpanan

Minggu ke-0

Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(3)

Lampiran 28 Nilai WHC, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 28a Nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 1 2 3

Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan

1 2

Rata-rata

(%) 1 2

Rata-rata (%) 1 2

Rata-rata (%) 1 2 Rata-rata (%) A 80,12 75,66 77,89 86,53 81,29 83,91 79,62 64,43 72,03 59,14 59,73 59,44

B 82,34 87,57 84,96 81,46 78,50 79,98 67,54 75,48 71,51 70,75 69,18 69,97

A : Bakso kitosan 0 %; B : Bakso kitosan 0,1 %

Lampiran 28b Analisis ragam terhadap nilai WHC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: WHC

1000,560a 7 142,937 6,018 ,011

89901,027 1 89901,027 3784,745 ,000 43,231 1 43,231 1,820 ,214 824,055 3 274,685 11,564 ,003 133,275 3 44,425 1,870 ,213 190,028 8 23,754

91091,616 16 1190,589 15 Source

Corrected Model Intercept perlakuan penyimpanan

perlakuan * penyimpanan Error

Total Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = ,840 (Adjusted R Squared = ,701) a.

Lampiran 28c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap nilai WHC bakso selama penyimpanan suhu dingin

Multiple Comparisons

Dependent Variable: WHC Tukey HSD

-,5225 3,44627 ,999 -11,5587 10,5137

9,6550 3,44627 ,088 -1,3812 20,6912

16,7225* 3,44627 ,006 5,6863 27,7587

,5225 3,44627 ,999 -10,5137 11,5587

10,1775 3,44627 ,071 -,8587 21,2137

17,2450* 3,44627 ,005 6,2088 28,2812

-9,6550 3,44627 ,088 -20,6912 1,3812

-10,1775 3,44627 ,071 -21,2137 ,8587

7,0675 3,44627 ,247 -3,9687 18,1037

-16,7225* 3,44627 ,006 -27,7587 -5,6863

-17,2450* 3,44627 ,005 -28,2812 -6,2088

-7,0675 3,44627 ,247 -18,1037 3,9687

(J) lama penyimpanan minggu 1

minggu 2 minggu 3 minggu 0 minggu 2 minggu 3 minggu 0 minggu 1 minggu 3 minggu 0 minggu 1 minggu 2 (I) lama penyimpanan

minggu 0

minggu 1

minggu 2

minggu 3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the ,05 level. *.


(4)

Lampiran 29 Nilai kekuatan gel, analisis ragam dan uji lanjut Multiple

Comparison terhadap kekuatan gel bakso ikan selama

penyimpanan suhu dingin

Lampiran 29a Nilai kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Lama Penyimpanan (Minggu)

0 1 2 3

Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan

1 2

Rata-rata

(g.cm) 1 2 Rata-rata

(g.cm) 1 2 Rata-rata

(g.cm) 1 2 Rata-rata (g.cm) A 445,67 504,17 474,92 695,83 762,50 729,17 700,00 1133,33 916,67 562,50 516,67 539,58

B 454,17 562,50 508,33 983,33 641,67 812,50 804,17 820,67 812,42 683,33 670,83 677,08

A : Bakso kitosan 0 %; B : Bakso kitosan 0,1 %

Lampiran 29b Analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan selama

penyimpanan suhu dingin

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kekuatan gel

369305.956a 7 52757.994 2.584 .103

7482048.445 1 7482048.445 366.497 .000 331473.166 3 110491.055 5.412 .025

5624.750 1 5624.750 .276 .614

32208.040 3 10736.013 .526 .677 163320.431 8 20415.054

8014674.831 16 532626.387 15 Source

Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error

Total Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .693 (Adjusted R Squared = .425) a.

Lampiran 29c Uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kekuatan gel Tukey HSD

-279.2050 101.03231 .093 -602.7460 44.3360

-372.9158* 101.03231 .025 -696.4568 -49.3748

-116.7058 101.03231 .669 -440.2468 206.8352

279.2050 101.03231 .093 -44.3360 602.7460

-93.7108 101.03231 .792 -417.2518 229.8302

162.4992 101.03231 .426 -161.0418 486.0402

372.9158* 101.03231 .025 49.3748 696.4568

93.7108 101.03231 .792 -229.8302 417.2518

256.2100 101.03231 .128 -67.3310 579.7510

116.7058 101.03231 .669 -206.8352 440.2468

-162.4992 101.03231 .426 -486.0402 161.0418

-256.2100 101.03231 .128 -579.7510 67.3310

(J) Penyimpanan Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2 (I) Penyimpanan

Minggu ke-0

Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(5)

Lampiran 30 Nilai TPC, analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison

terhadap nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin Lampiran 30a Nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Perlakuan Bakso Lama Penyimpanan (Minggu)

0 1 2 3 Bakso A (koloni/g)

Bakso B (koloni/g)

- -

2,70x102 2,80x102

1,42x105 1,76x103

7,95x105 2,62x105

Lampiran 30b Analisis ragam terhadap nilai TPC bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: TPC

74.570a 7 10.653 548.117 .000

150.175 1 150.175 7726.926 .000

70.892 3 23.631 1215.865 .000

1.343 1 1.343 69.080 .000

2.335 3 .778 40.048 .000

.155 8 .019

224.900 16

74.725 15

Source

Corrected Model Intercept waktu perlakuan waktu * perlakuan Error

Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996) a.

Lampiran 30c Uji Multiple Comparison terhadap nilai TPC bakso selama

penyimpanan suhu dingin

Multiple Comparisons

Dependent Variable: TPC Tukey HSD

-2.4326* .09858 .000 -2.7483 -2.1169 -4.1648* .09858 .000 -4.4805 -3.8491 -5.6572* .09858 .000 -5.9729 -5.3415 2.4326* .09858 .000 2.1169 2.7483 -1.7322* .09858 .000 -2.0478 -1.4165 -3.2245* .09858 .000 -3.5402 -2.9089 4.1648* .09858 .000 3.8491 4.4805 1.7322* .09858 .000 1.4165 2.0478 -1.4924* .09858 .000 -1.8081 -1.1767 5.6572* .09858 .000 5.3415 5.9729 3.2245* .09858 .000 2.9089 3.5402 1.4924* .09858 .000 1.1767 1.8081 (J) Penyimpanan

Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-3 Minggu ke-0 Minggu ke-1 Minggu ke-2 (I) Penyimpanan

Minggu ke-0

Minggu ke-1

Minggu ke-2

Minggu ke-3

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

Based on observed means.

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(6)

Lampiran 31 Nilai rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan

Panelis

Parameter Penilaian

Kenampakan Aroma Rasa Tekstur

A B A B A B A B 1 -2 -2 1 1 1 0 1 1 2 -1 -1 -1 -1 1 1 1 1 3 1 2 1 2 2 2 0 0

4 -2 -1 1 2 -1 -1 -2 -2

5 2 2 3 3 -1 -1 -1 -1

6 -1 -2 1 2 -1 -1 -1 -2

7 -2 -1 1 1 1 1 -1 -1 8 2 0 1 1 2 1 2 1 9 -3 -3 2 3 3 3 3 2 10 -3 -2 1 1 1 1 -2 -1 11 -3 -3 2 2 3 2 -2 -2 12 0 -1 0 1 -1 -1 -2 -1 13 3 3 1 1 2 3 2 1 14 -2 -1 2 2 1 1 1 2 15 -1 -2 2 1 1 1 1 -1 16 0 0 2 1 1 0 0 0 17 -2 -1 0 1 1 2 0 1 18 -3 -3 1 0 -1 -1 -1 -1 19 -2 -2 0 0 -2 -2 -2 -2 20 -2 -2 1 1 0 1 0 1 21 -2 -2 2 1 2 1 1 1 22 3 2 3 2 3 2 3 1 23 -1 0 2 2 2 1 2 2 24 -2 -2 2 1 1 1 2 2 25 -2 -1 1 1 1 1 1 0 26 -1 -1 1 -1 2 1 -2 -1 27 -1 -1 1 1 2 1 -2 -1 28 -1 -1 2 2 2 2 -1 -1 29 -1 -1 2 3 2 3 0 0 30 1 1 1 1 2 -1 -1 -1

Rata-rata -0,93 -0,87 1,30 1,27 1,07 0,80 0,00 -0,07