Mekanisme Pembentukan Gel TINJAUAN PUSTAKA

merah mengandung komponen dengan BM tinggi dalam jumlah yang lebih besar daripada ikan daging putih, sehingga sulit diekstrak dengan air; 4 keberadaan enzim heat-stable protease , enzim ini aktif mendegradasi miosin selama pemanasan daging sol menjadi gel utamanya pada kisaran suhu 50-70 o C Shimizu et al. 1992. Sejak sumber Alaska pollack dibatasi penggunaannya di Jepang sebagai bahan baku surimi, maka pembuatan surimi dari ikan-ikan berdaging merah dan berlemak seperti Sardine dan Pacifik mackerel mulai diterima Shimizu et al. 1992. Ikan berdaging merah dan berlemak tinggi seperti ikan-ikan pelagis kecil dapat dibuat menjadi surimi dengan teknik pencucian alkali. Pencucian alkali lebih efektif menghilangkan lemak dan menghasilkan gel ashi yang lebih kuat. Melalui teknik pencucian alkali dapat meningkatkan pH dan kemampuan pembentukan gel, serta akan menghasilkan warna dan aroma yang lebih baik Suzuki 1981; Shimizu et al. 1992; BPPMHP 2003. Shimizu et al. 1992 melaporkan bahwa dengan teknik pencucian alkali pada pengolahan surimi yang berasal dari ikan berdaging merah seperti ikan Pacific mackerel , kemampuan pembentukan gelnya mencapai 10 kali, sedangkan pencucian biasa hanya 2-3 kali. Kemampuan pembentukan gel yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena beberapa hal, yaitu : 1 pH daging menjadi meningkat sehingga kecepatan denaturasi menurun; 2 larutnya protein sarkoplasma sehingga warna lebih cerah dan juga karena hilangnya pigmen heme; 3 flavor juga meningkat karena hilangnya komponen karbonil.

2.6 Mekanisme Pembentukan Gel

Zayas 1997 menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan Mc Clements 2005, kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang cross linking dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Menurut Niwa 1992 ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan silang garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Niwa 1992 menjelaskan terjadinya ikatan silang garam intermolekul sebagai berikut : lebih dari separuh asam amino yang menyusun miosin bersifat hidrofilik dan sekitar 80 bersifat asam dan basa. Sebagian besar residu terekspos pada permukaan molekul, yang dapat berkontak dengan air. Pada surimi, gugus karboksil dari residu asam glutamat dan aspartat bermuatan negatif, sedangkan gugus amino lisin dan arginin bermuatan positif. Oleh karena itu akan terjadi ikatan silang garam diantara gugus tersebut, dan protein miofibril saling bergabung sesamanya menjadi agregat yang tidak larut dalam air. Saat ditambahkan garam, ion-ion garam secara terpisah terhidrasi dengan air, dan akan berikatan pada gugus yang berlawanan muatannya dengan gugus- gugus pada permukaan protein. Ikatan silang garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin membentuk makromolekul aktomiosin, dan terbentuk pasta yang lengket. Masa ini disebut sol yang mempunyai sifat lengket dan adhesif. Apabila sol ini dipanaskan maka akan terbentuk gel yang kuat dan elastis. Hudson 1992 membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa 1992 ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 o C. Jaczynski dan Park 2004 menyatakan bahwa interaksi hidrofobik dapat menstabilisasikan sistem protein. Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril Hudson 1992. Pada tahap ini menurut Niwa 1992 pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida SS terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi di atas 80 o C. Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel Hudson 1992. Suzuki 1981 menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 o C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 o C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 o C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori. Dengan cara ini, akan terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi.

2.7 Mutu Surimi